Oleh: Usep Abdul Matin
Religion teaches its adherents to control their own passions by empowering their reflection -- a space between stimulus and response.
Being granted with this ability to meditate, human beings take a higher position than animals before God.
However, we are abusing the gifts given to us. What we instead choose to embrace is that which will bestow worldly profits upon us in the short-term: Corruption.
We are now locked into this condition, and yet our attitude remains positive: We are proud to be Indonesians, members of the world's most populous Muslim nation; meanwhile corruption remains rampant.
But has this anything to do with religion? Corruption is similarly rampant in countries dominated by different religions. For example, the Philippines embraces Catholicism as its main religion.
Those religious believers who dabble in corruption, including bribery, are guilty of not listening to their consciences, the principles of which are formed by religion.
How can we strengthen willpower, and make the inner voice irresistible?
It is likely that at some stage in our lives we will be offered illegal money in exchange for services that are regular parts of our jobs.
The money is stimulus, our receiving it is a response. Between the stimulus and the response is a space. Here in this space lies the inner voice, which speaks to us softly. We can not go wrong if we listen to it.
When we ignore our inner voice, we instead focus on our thoughts, feelings and surroundings.
The inner voice is an original inspiration; something we are born with, whereas our ability to assess a situation with our brain depends on learned abilities.
A decision based on the inner voice is formed from the desire to improve one's self, or to achieve personal enjoyment.
A decision based on the latter cycle of thought is formed from the desire for stimulus, including money, or for approval or attention from others.
However, there are those who attain the highest bureaucratic positions due to their innate honesty.
Unfortunately, this inborn integrity shrinks if they are rich.
This is evidenced by the fact that these people work not for self-fulfillment, as they had before, but to accumulate artificialities: More money and power. In such circumstances, people will keep continue on their path of corruption not out of fear of poverty, but rather out of a desire for man-made rewards.
We will call this a reduction of integrity -- a result of over-justification.
Both judicious and conventional people are capable of over-justification. Judicious individuals are rational; they make the best of their experiences and organizational skills to arrange rules and procedures.
In this respect, they have reasons to argue against a guilty court decision in the face of clear evidence for their treachery.
Moreover, these judicious people are responsible for recruiting others who can look after their businesses.
These successors are traditional individuals. If the inner voice is the result of a common truth or religion then rational and traditional people therefore lack moral regulations to rein in their own ambitions and desires. For them, this religion has lost most of its power.
From my reading on such behavior as reported by the media, I have discerned that when those that over-justify their actions are caught and brought to the courthouse, they often try to deny their wrongdoings as a kind of knee-jerk response.
It is as if they regard their hearing as their due right to appeal to the higher court. They do not consider their misfortune to be a result of their not having listened to the inner voice of their souls.
In fact, this defensive attitude consciously or unconsciously leads these people to conclude that they have become the victims of bad luck. Therefore, they are still not inclined to listen to their inner spirits.
In the interim, this shielding mind-set does not teach them that the hardship they face is a latent consequence of their defending their own dishonesties before judges.
Thus we can conclude: For a person who does not feel constrained by laws, all laws and limitations that do present themselves will appear intolerable.
Therefore, Indonesians should celebrate their countries' 63rd independence day anniversary by limiting the desires that encourage them to react in this way.
Otherwise, corruption will increase in Indonesia, along with other illnesses, including radicalism and terrorism.
Becoming proactive will also help us to better hear the voices of our inner hearts -- which will never be wrong.
Embracing this policy is essential for any one who confesses himself an Indonesian and recalls what his founding fathers did to liberate this country and to create a society with a better bureaucratic system, democracy and education system.
So corruption is independent of religion, but it is the nature of our political system to restrict our desires to those of our inner spirits.
fai.uhamka.ac.id
diskursus keislaman, artikel Islam, bahan makalah Islam, pendidikan Islam,sosiologi Islam, Hukum Islam, Politik Islam,Sejarah Islam, penelitian Islam, islamic studies, wacana Islam, etc
Sunday, September 7, 2008
Politik Dakwah, Politisasi Dakwah
Oleh: Asep Purnama bahtiar
Artikel opini yang ditulis Didin Hafidhuddin berjudul Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik (Republika, 7/8), bukan saja menggugah, tetapi juga menarik untuk dicermati. Dia memaparkan hubungan dan persinggungan antara dakwah dan politik dan mengingatkan kita semua mengenai kewajiban dakwah tersebut.
Seperti yang dikemukakan di awal tulisannya, tugas dan kewajiban dakwah (dalam pengertian yang luas) adalah tanggung jawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Karena ruang, waktu, kedudukan, dan pekerjaan tidak dibatasi dalam hal kewajiban dakwah ini, maka dalam politik pun dakwah mendapatkan tempatnya.
Dalam pandangan Didin Hafidhuddin, ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia tersebut.
Kurang-lebih seperti itulah gambaran harmonis mengenai hubungan dakwah dengan politik.
Dakwah dan politik
Persoalannya hubungan antara dakwah dan politik tidak jarang menimbulkan persoalan dan ekses. Dalam konteks seperti ini peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif relevan untuk dikutip, dakwah itu merangkul sedangkan politik memecah-belah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.
Persinggungan dan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba disatukan, misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas Islam yang sejak awal memilih jalur dakwah, bukan politik praktis.
Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai maupun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah.
Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam partai politik (parpol) seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, juga visi dan misi dakwah menjadi tercemar.
Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya.
Karena itu, yang dilakukan parpol sejatinya politisasi dakwah atau dakwah politik. Implikasinya, dimensi kerisalahan dakwah berubah menjadi kursi kekuasaan, dimensi kerahmatan berubah menjadi orientasi kedudukan. Hal ini terjadi karena dakwah oleh parpol tidak murni lagi sebagai dakwah. Akibatnya, sering muncul kesan negatif di masyarakat mengenai Islam yang diperalat untuk menyalurkan syahwat politik dan hasrat berkuasa pihak tertentu.
Tidak jarang gesekan dengan ormas Islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas Islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid. Begitu juga ketika terjadi bencana alam, bantuan dan sumbangan yang dikelola oleh parpol berjubah dakwah itu biasa diberikan dengan syarat punya kartu (atau menjadi) anggota partai. Kerap bantuan dari pihak lain diklaim atau diberi stempel partai Islam bersangkutan.
Politik dakwah
Berkaca pada kasus tersebut, dakwah yang menjadi instrumen parpol telah menjadi sesuatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan sekadar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlaknya yang mulia.
Padahal, seperti yang ditegaskan oleh almarhum Mohammad Natsir (1991), dakwah dan akhlaqul-karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain.
Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dakwah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrumen untuk kepentingan dakwah. Dalam gerakan dakwah ormas Islam, politik merupakan subordinatnya. Karena itu, dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Jadi bukan berdakwah untuk kepentingan politik (kekuasaan), tetapi berpolitik untuk kepentingan dakwah.
Dalam konteks tersebut, politik bukan sekadar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan atau mengutip C Calhoun (2002), the ways in which people gain, use, and lose power. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan negara-bangsa.
Dalam proses politik itu terdapat peluang politik yang bisa diisi oleh ormas Islam dengan gerakan dakwahnya. Ormas Islam berpolitik untuk mendukung gerakan dakwah atau disebut juga sebagai politik dakwah, yang terkait dengan strategi dan kebijakan dakwah yang substantif sehingga bisa efektif dalam memengaruhi dan mewarnai keputusan politik pemerintah.
Sikap dan kebijakan dakwah seperti itu sejalan dengan politik kebangsaan. Muhammadiyah, misalnya, menerapkan model dakwah berupa peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan dakwah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah. Antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik praktis (politik kepartaian).
Kebijakan dan sikap berpolitik yang berbeda langgamnya dengan parpol dakwah merupakan suatu ikhtiar dalam mengapresiasi dakwah dan politik secara proporsional. Dengan penempatan yang layak ini, hubungan antara dakwah dan politik bisa dipahami dalam dua hal.
Pertama, mengembalikan makna dakwah pada substansi nilai dan prinsipnya sebagaimana digariskan oleh Allah (QS Ali Imran: 104 dan 110; An-Nahl: 125; Fushilat: 33), yakni fungsi dan tujuan dakwah tidak boleh dibelokkan dan diselewengkan dari jalan Allah bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Karena itu keterlaluan dan semena-mena kalau dakwah disubordinasi oleh parpol dan dimanipulasi bagi kepentingan politik praktis untuk merebut kekuasaan.
Kedua, sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam, penulis sepakat dakwah harus dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Misalnya, setiap politisi Muslim yang bergelut di dunia politik berkewajiban melaksanakan dakwah, tetapi sekali lagi bukan berdakwah untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini menjadi contoh dan teladan di dunia politik sehingga nilai-nilai kejujuran, keberpihakan kepada rakyat, kesederhanaan, keluhuran, dan kemuliaan bisa mewarnai perilaku politisi dan penyelenggara pemerintahan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, fatsun politik dan good governance akan terbangun dan berimplikasi positif bagi keputusan dan kebijakan yang diambil.
Artikel opini yang ditulis Didin Hafidhuddin berjudul Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik (Republika, 7/8), bukan saja menggugah, tetapi juga menarik untuk dicermati. Dia memaparkan hubungan dan persinggungan antara dakwah dan politik dan mengingatkan kita semua mengenai kewajiban dakwah tersebut.
Seperti yang dikemukakan di awal tulisannya, tugas dan kewajiban dakwah (dalam pengertian yang luas) adalah tanggung jawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Karena ruang, waktu, kedudukan, dan pekerjaan tidak dibatasi dalam hal kewajiban dakwah ini, maka dalam politik pun dakwah mendapatkan tempatnya.
Dalam pandangan Didin Hafidhuddin, ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia tersebut.
Kurang-lebih seperti itulah gambaran harmonis mengenai hubungan dakwah dengan politik.
Dakwah dan politik
Persoalannya hubungan antara dakwah dan politik tidak jarang menimbulkan persoalan dan ekses. Dalam konteks seperti ini peringatan Buya Ahmad Syafii Maarif relevan untuk dikutip, dakwah itu merangkul sedangkan politik memecah-belah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.
Persinggungan dan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba disatukan, misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas Islam yang sejak awal memilih jalur dakwah, bukan politik praktis.
Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai maupun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah.
Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam partai politik (parpol) seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, juga visi dan misi dakwah menjadi tercemar.
Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya.
Karena itu, yang dilakukan parpol sejatinya politisasi dakwah atau dakwah politik. Implikasinya, dimensi kerisalahan dakwah berubah menjadi kursi kekuasaan, dimensi kerahmatan berubah menjadi orientasi kedudukan. Hal ini terjadi karena dakwah oleh parpol tidak murni lagi sebagai dakwah. Akibatnya, sering muncul kesan negatif di masyarakat mengenai Islam yang diperalat untuk menyalurkan syahwat politik dan hasrat berkuasa pihak tertentu.
Tidak jarang gesekan dengan ormas Islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas Islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid. Begitu juga ketika terjadi bencana alam, bantuan dan sumbangan yang dikelola oleh parpol berjubah dakwah itu biasa diberikan dengan syarat punya kartu (atau menjadi) anggota partai. Kerap bantuan dari pihak lain diklaim atau diberi stempel partai Islam bersangkutan.
Politik dakwah
Berkaca pada kasus tersebut, dakwah yang menjadi instrumen parpol telah menjadi sesuatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan sekadar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlaknya yang mulia.
Padahal, seperti yang ditegaskan oleh almarhum Mohammad Natsir (1991), dakwah dan akhlaqul-karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain.
Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dakwah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrumen untuk kepentingan dakwah. Dalam gerakan dakwah ormas Islam, politik merupakan subordinatnya. Karena itu, dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Jadi bukan berdakwah untuk kepentingan politik (kekuasaan), tetapi berpolitik untuk kepentingan dakwah.
Dalam konteks tersebut, politik bukan sekadar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan atau mengutip C Calhoun (2002), the ways in which people gain, use, and lose power. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan negara-bangsa.
Dalam proses politik itu terdapat peluang politik yang bisa diisi oleh ormas Islam dengan gerakan dakwahnya. Ormas Islam berpolitik untuk mendukung gerakan dakwah atau disebut juga sebagai politik dakwah, yang terkait dengan strategi dan kebijakan dakwah yang substantif sehingga bisa efektif dalam memengaruhi dan mewarnai keputusan politik pemerintah.
Sikap dan kebijakan dakwah seperti itu sejalan dengan politik kebangsaan. Muhammadiyah, misalnya, menerapkan model dakwah berupa peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan dakwah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah. Antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik praktis (politik kepartaian).
Kebijakan dan sikap berpolitik yang berbeda langgamnya dengan parpol dakwah merupakan suatu ikhtiar dalam mengapresiasi dakwah dan politik secara proporsional. Dengan penempatan yang layak ini, hubungan antara dakwah dan politik bisa dipahami dalam dua hal.
Pertama, mengembalikan makna dakwah pada substansi nilai dan prinsipnya sebagaimana digariskan oleh Allah (QS Ali Imran: 104 dan 110; An-Nahl: 125; Fushilat: 33), yakni fungsi dan tujuan dakwah tidak boleh dibelokkan dan diselewengkan dari jalan Allah bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Karena itu keterlaluan dan semena-mena kalau dakwah disubordinasi oleh parpol dan dimanipulasi bagi kepentingan politik praktis untuk merebut kekuasaan.
Kedua, sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam, penulis sepakat dakwah harus dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Misalnya, setiap politisi Muslim yang bergelut di dunia politik berkewajiban melaksanakan dakwah, tetapi sekali lagi bukan berdakwah untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini menjadi contoh dan teladan di dunia politik sehingga nilai-nilai kejujuran, keberpihakan kepada rakyat, kesederhanaan, keluhuran, dan kemuliaan bisa mewarnai perilaku politisi dan penyelenggara pemerintahan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, fatsun politik dan good governance akan terbangun dan berimplikasi positif bagi keputusan dan kebijakan yang diambil.
Sufisme Dan Modernitas
Oleh: Azyumardi Azra
Apakah relevansi sufisme dengan modernitas? Mungkinkah sufisme bisa bertahan di tengah sikap kritis kalangan Muslim sendiri terhadap sufisme? Apakah sufisme dapat bertahan di tengah deru modernitas yang bertumpu pada rasionalitas dan efisiensi serta siap menggilas segala sesuatu dalam kehidupan yang tidak cocok dengan paradigma modernitas ini?
Bagi sementara kalangan Muslim, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai 'tertuduh', bukanlah sesuatu yang baru.
Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum Muhadditsin dan Fuqaha' memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunah Nabi, eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan. Oposisi ini terus bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan reformisme Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir, aktivis modernis, dan reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik yang mereka pandang bercampur dengan bid'ah, khurafat, takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.
Pandangan seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak selalu berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin. Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan baru: mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai disorientasi dan dislokasi sosial, politik, dan budaya.
Karena itu, membaca buku Sufism and the 'Modern' in Islam yang disunting Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (London: IB Tauris, 2006), sangat membantu untuk lebih memahami berbagai gejala sufisme dalam kaitan dengan modernitas di kalangan kaum Muslimin di masa kontemporer. Buku yang berasal dari makalah-makalah pada konferensi internasional yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Bogor pada awal September 2003 merupakan sumbangan penting ke arah pemahaman lebih baik tentang sufisme dewasa ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai wilayah masyarakat Muslim lain.
Satu hal sudah pasti, yaitu terjadinya kebangkitan sufisme pada masa pascamodernitas dan globalisasi ini. Ini bertentangan dengan anggapan yang memprediksikan sufisme tidak dapat bertahan dalam modernisasi dan globalisasi. Tetapi, seperti diingatkan van Bruinessen dan Howell, kebangkitan sufisme tidak bisa sepenuhnya dipahami hanya sebagai bentuk respons kaum sufi terhadap modernitas dan globalisasi.
Hemat saya, kebangkitan sufisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak 1980-an, terjadi gejala peningkatan attachmen kepada Islam, gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'. Proses itu dimungkinkan karena terbentuknya kelas menengah Muslim saat terjadi perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam.
Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya mendorong mereka, misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.
Karena itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim lain tidak lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun tasawuf yang diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru yang mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan [spiritualitas keagamaan] zaman baru.
Dalam konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara pribadi dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka dengan liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada massa akar rumput.
fai.uhamka.ac.id
Apakah relevansi sufisme dengan modernitas? Mungkinkah sufisme bisa bertahan di tengah sikap kritis kalangan Muslim sendiri terhadap sufisme? Apakah sufisme dapat bertahan di tengah deru modernitas yang bertumpu pada rasionalitas dan efisiensi serta siap menggilas segala sesuatu dalam kehidupan yang tidak cocok dengan paradigma modernitas ini?
Bagi sementara kalangan Muslim, sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan kemodernan. Bahkan, sebaliknya, dipandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Pandangan ini, yang menempatkan sufisme sebagai 'tertuduh', bukanlah sesuatu yang baru.
Bahkan, sejak bermulanya praktik sufistik di masa awal Islam, kaum Muhadditsin dan Fuqaha' memandangnya sebagai tidak sesuai dengan sunah Nabi, eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan. Oposisi ini terus bertahan dari waktu, meski Al Ghazali berhasil merukunkan syariah dan tasawuf sejak abad 12. Bahkan, kebangkitan modernisme dan reformisme Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir, aktivis modernis, dan reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktik sufistik yang mereka pandang bercampur dengan bid'ah, khurafat, takhayul, dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.
Pandangan seperti itu perlu dikaji ulang. Modernitas dan modernisasi tidak selalu berhasil memenuhi janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin. Sebaliknya, modernisasi yang diikuti globalisasi juga memunculkan kesulitan baru: mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik sampai disorientasi dan dislokasi sosial, politik, dan budaya.
Karena itu, membaca buku Sufism and the 'Modern' in Islam yang disunting Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell (London: IB Tauris, 2006), sangat membantu untuk lebih memahami berbagai gejala sufisme dalam kaitan dengan modernitas di kalangan kaum Muslimin di masa kontemporer. Buku yang berasal dari makalah-makalah pada konferensi internasional yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Bogor pada awal September 2003 merupakan sumbangan penting ke arah pemahaman lebih baik tentang sufisme dewasa ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai wilayah masyarakat Muslim lain.
Satu hal sudah pasti, yaitu terjadinya kebangkitan sufisme pada masa pascamodernitas dan globalisasi ini. Ini bertentangan dengan anggapan yang memprediksikan sufisme tidak dapat bertahan dalam modernisasi dan globalisasi. Tetapi, seperti diingatkan van Bruinessen dan Howell, kebangkitan sufisme tidak bisa sepenuhnya dipahami hanya sebagai bentuk respons kaum sufi terhadap modernitas dan globalisasi.
Hemat saya, kebangkitan sufisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak 1980-an, terjadi gejala peningkatan attachmen kepada Islam, gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai 'santrinisasi'. Proses itu dimungkinkan karena terbentuknya kelas menengah Muslim saat terjadi perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam.
Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya mendorong mereka, misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, juga mengeksplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan sufisme, bahkan bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.
Karena itulah, gejala sufisme kontemporer di Indonesia dan di dunia Muslim lain tidak lagi hanya diwakili bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat maupun tasawuf yang diamalkan secara personal-individual. Tetapi, muncul pula bentuk baru yang mirip dengan apa yang disebut 'new age movement', gerakan [spiritualitas keagamaan] zaman baru.
Dalam konteks itu, jika secara konvensional, zikir misalnya, dilakukan secara pribadi dan kelompok di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka dengan liputan TV. Gejala baru ini tidak membuat pengamalan sufisme konvensional lenyap. Bahkan, sebaliknya, tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan momentumnya, tidak hanya di kelas menengah, sekaligus juga pada massa akar rumput.
fai.uhamka.ac.id
THE NEW APPROACH IN GEOPOLITICH
Oleh: Prof. Aymeric Chauprade
Geopolitics, as we will see, is actually a special approach within the international relations. Your big country, the one which held the famous Bandung Conference (Asia Africa Conference/ Konferensi Asia Afrika) in 1955 has already possessed a strong and long tradition both in term of practical as well as study of the international relations. Indonesia possesses a number of study centers, as well as think tanks, one of which gave me the honor today to be present here before you. Concerning the geopolitics, I perceive that the perception held in here, for sure, as it is in many other countries which have also been victims, is a reductionist conception and it is oriented, in this matter, primarily on the basis of suspicions.
It is true that the history of geopolitics, as Karl Haushofer, a geopolitical of the “l'espace vital” of the IIIrd Reich, until the cut-out of the Middle East that is commended by some Israeli-American theoreticians of neo-conservatives, as well as the renown Mackinder and his theory of heartland, has proven that this matter often used to be passed from the comprehension of the world on the remodeling of states. And yet, as you can see, it's not a sign of refusal of science if someone tries to oppose the malpractices of this notion, instead it is the real science.
Therefore, I will now begin my presentation by defining this discipline. Indeed, we define the geopolitics, as that in the study of the political relations among three types of powers, namely the power of the state, the power of intra-states (secessionist movement, rebellion, etc.), the power of trans-states (crime network, terrorist network, multinational company, etc), from the factors of physical geography (situation of the territory, characteristic of the territory), of the geographic identity (or the geographic of population), as well as of the geography of resources.
This definition has triggered numerous comments. The first dimension, that geopolitics departs from the reality of power, which refers to the states, and also the actors who often represent the challenges against the states, such as inter-state actors, such as separatist movements, and the trans-state actors, such as the religious extremist network. The reference of the geopolitics thus are the state and the problems that threat the state, be it in the domestic level (the identity of all its sorts), external (the claims made by the neighboring countries, or the imperialism exercised by big powers), or the combination between both (trans-state network, which means covering both domestic and external). Therefore, by this construction, this discipline doesn't hold an opposite position against the state, but instead, it plays as a lucid analysis that will enable all states to prevent any disease that is likely to pose a threat to it. However, as it is always stated in the medical sector, all medicines could be a poison if they are not used to no-matter-who and no-matter-how method. Of which we obtain the importance of never leaving geopolitics to others under the pretext that it will serve as a science of “imperialism” just as the Bolsheviks and Maoists believe.
The second dimension: the geopolitical approach is a multi-causal one. We should never reduce the analysis on a country or any geographical area to a mere single factor; there is nothing caused purely by ethnics, nor all religion, for instance. If my work entitled “Geopolitics, Constants and Changes Throughout History” is so voluminous, it is due to the fact that it is the fruit of my years of work identifying and assembling the factors influencing the geopolitics.
This one is an extremely important point: those who don't understand whatsoever about the geopolitical approach sustain that such a thing or such a state is not a nation-state as there are so many ethnic as well as religious fractures within. They often forget something fundamental: certain nations, despite its strong diversity of ethnics and religions, are indeed the solid formation because there are the products of some particular historical circumstances. Hence, the emancipation that faces a trusteeship has gone down into the same melting-pot of a diverse identity characteristic, and in turn determined the nation's future. In these particular circumstances, then they will add some strong state will power of a center towards the peripheries in order to forge a national identity.
All nations in the world that currently still last have been confronted with the challenges of the internal identity, an issue of which I will take the first example of my own country, France. An old nation-state, which constantly produces efforts initiated by the central government towards the peripheries which in some times rebelled. France has been surviving throughout centuries since the central government has always managed to stabilize the relation between national identity with the local identity without ever cede to emphasize the primacy of the centre towards its peripheries.
It's indeed the multi-causal dimension that allows a real geopolitics not to conduct any reductionist analysis on a reality. For instance, the problems occurring few years ago in Moluccas often interpreted in the West as a pure religious conflict: “Christians versus Muslims”. However, a scientific analysis would combine the complexities of different cleavages, such as those of center and periphery, Muslims and Christians, religious moderates and extremists, traditional and modern elites, separatists and unitarians, as well as Moluccan and non-Moluccan ethnics, and so on.
The third dimension: our geopolitics notion is basically a cultural one. It underlines the importance of the cultural factors as the determinants of the history and the fact that the most important national identities are the national cultures.
Let's take for example, and there is nothing better than this: the United States of America. The North America has endured for two hundred years as a colony inhabited by messianic white Protestants. These colonies have founded the national culture of the Americans, that is, the famous culture of WASP (White Anglo-Saxon Protestants). Afterwards, the colony step by step transformed into a nation of migrants. Nevertheless, these migrants, from their respective origins, have adopted the state of spirit of WASP. The America thus was founded by the protestant fundamentalist missionaries as well as Freemasons who inherited to their descendants, and thus to the migrants whom were welcomed by these descendants later on, a state of missionary spirit.
If we do not comprehend this dimension of the American history, of which shapes the state of spirit of the Americans, we won't likely to understand the sense (meaning) of the current global politics of the country. The national cultures is the ones shape the identity of the nations beyond the fractures of the physical geography, discontinuities of territory, as well as the fractures of ethnic and religious identities. This national culture is the product of history, of the will-power of the founding fathers of a nation which has perpetuated through state tradition, and kept in ways like armed forces in certain countries, cult of constitution for those like the United-States, by national language for the others, and so forth.
Now that I have underlined the three dimensions that characterize our French geopolitical approach, respectively the centrality of the state as well as the actor of power, multi-causality and culturally, I would like to now offer you a lecture on geopolitics that of the grand international dynamics, of which I had presented at the l'Ecole de Guerre Francaise, to our French officers as well as foreign officers from 70 nationalities, and also the one that I had presented to the students of Sorbonne and the University of Neuchatel, Switzerland.
I will bring about at the first place a dimension of geopolitics on which we're nowadays accustomed to call as the globalization (modularization in French).
Most of the explanations of globalization lie on one linear and progressive vision of history. The progress of science and technology favored throughout centuries the liberation of human in term of his relations with territory and on the traditionally rooted area. This progress favors, both in term of quantity and quality, the circulation of men, information and goods. It has also allowed the passing of, through centuries, the territory of local scale to the national territories, and, today, it favors the passing of nations while encouraging the regrouping of macro regional as well as the dynamics of (trans-state) networks. Nevertheless, it is not sufficient yet to us to really feel the real effect of globalization. Due to such a view, we often got the impression that globalization is a sort of neutral phenomenon that comes simply out of progress of sciences and technologies.
Therefore geopolitics, that puts a relationship between powers at the heart of its reflection, will complete this globalization analysis.
If we see the history of human society for long time, ever since the Antiquity, we found out in effect that there were many successful endeavors towards globalization, in the macro-regional scale in the period of Antiquity and Middle-Ages, as took place in Mediterranean area, for instance, or at the global scale on the period of Renaissance of Europe.
If we regard the history of human society for long time ago, ever since the antiquity, we could see that in fact there have been some successful efforts for globalization, in this case, at the macro-regional scale in the antiquity as well as in the middle age, for example, in Mediterranean, or at a global scale by the time of European renaissance.
A French historian, Ferrnand Braudle, once talked about the “world system” of Mediterranean with respect to the successive efforts to control the area conducted by the Phoenicians, the Greeks as well as the Romans.
We can also consider that the rapid invasion of Islam in the VIIth century in all Middle East, and afterwards in the direction of the west as well as east as a new phase of globalization.
The Muslim world, who would be soon fractured politically, after the four first caliphs, would occupy an inescapable central position from the VIIIth to XVIth century in the domain of economics and politics, between Europe and Asia. From this indisputable position, particularly in term of world commerce (since the Europeans should go to the Middle Eastern intermediaries to get your spices and wealth’s), Islam enjoyed the advantage to advance its richness and splendor. Many people at that time dreamed about the richness of central Asia, thanks to the famous Silk Road.
However, the scientific and technological progress in the domain of navigation, which was earned by notably the Italians who passed this to the Portuguese and the Spanish, enabled Europeans to conduct the Great Discovery, which refers to the opening of a new sea route that allowed them to surround the Muslim world and come directly to the richness of the Asia, which actually refers to the islands and archipelago of the present Indonesia.
The XVIth century opened a new phase of globalization. It is the globalization that Europeans applied in the America and Asia not only by trade and war, but also missionaries. All efforts for globalization is at the same time actually a projection of a philosophic religious system of value, which seeks to implement it to others, and it is also the projection of economic interest, as well as projection of force.
And we can also say that the world history is actually the history about the people who, after being confronted by the successive phases of globalization, decided to choose, whether to accompany it and assimilate into it, or to resist it with their own proper system of value and interest.
The Europeans have been, from the XVIth century to the second half of XXth century, the major actors of the globalization, one of the expressions of which is the political religious transformation of the societies living in America, Africa and Asia, while its ‘other face is of course the colonial exploitation of the wealth of these societies.
And then the fraternal wars among Europeans weakened significantly these powers. The two world wars prevailed in France, England and Germany, which had been the greatest powers in Europe since the XVIIIth century, particularly regarded from their capacity to shape the world.
The First World War, as well as the second one, was the fruit of a ferocious confrontation between Anglo-Saxons of the New York and London, with their formidable financial power, against the Germans with their colossal industrial capacity. The war in 1914 exploded just at the time when the Germany became the first economic power in front of the Britain. Meanwhile the Second World War is a vigor effort to revenge conducted by the Germany who felt humiliated in her defeat in 1918 by the ferocity of the Anglo-Saxon. Furthermore, Germans also felt that, particularly before the eyes of her national socialist people, they were actually beaten by the powerful finance of the Jews.
After the decline of the old Europe, there were then two global powers tried to catch up and use their turn to shape the world history.
It was the USA and the Soviet Union. The first one took her start when Wilson put it in the right, the vision of the founding fathers of America: when the pilgrimage of mayflower who first saw the shores of America, after leaving their mother land in Netherlands and England, then the founding fathers of the American independence and the constitution of the united states, impregnated by the Masonic principles of the English philosophy and also the enlightenment of the French.
We are easily reminded to this vision when we look at the famous text of the manifest destiny of 1845. The United States, as it was stated there, has a mission that is to transform the world to be like her image, since she now has to act as the new roman liberator for the people.
In the mean time, the Soviet started its emergence based on the communist ideology which wanted to transform the world as well. However, it is in fact no more than a terrible marriage between the ancient lust for imperialism of the ancient Russia, which regards Moscow as the third Rome (the heir of the second, that is Byzantine), with the revolutionary ideology of Bolsheviks.
The confrontation happened during 1945-1990, or the cold war, is often called as “the bipolarity”, because during this time it seemed that the international relations was organized around only those two poles in both term of geopolitics as well as ideologies. This confrontation that happened between these two world powers was actually two revolutionary efforts to transform the world into the image of each of the respective poles, which in turn favored the formation of certain national identity.
Ideology is largely used as the instrument to serve the nationalism. The communism served the geopolitics ambition of Russia to dominate her neighboring countries, her peripheries. However, it appears that even communism-based friendship couldn’t prevent the ongoing traditional confrontation between, for example, the China and Russia, as well as China with Vietnam.
On the contrary, the threat of communism in Indonesia, just as in many other countries, allowed an acceleration for the national identity, at the same time conducted by some internal state effort, and also affirmation of the external politic of the third way, which holds the country not to join the imperialism of the united states nor the one of the communist. This third way politic was applied in Indonesia under Sukarno, in France under the general de Gaulle, in Yugoslavia under Tito, as well as in India under Nehru.
In 1990, the world quitted the period of bipolarity along with the end of the Soviet American confrontation. This would also be the acceleration of the American globalism. However, the Americans knew well that the collapse of Soviet didn’t mean that they were entering an American world. Of course, the previously GATT now transformed into a World Trade Organization which welcomed many countries as its members. Of course the NATO kept continuing to enlarge and integrated new European countries and while doing so also pushes forwards its frontiers towards the Russia and China. But the United States, however, is still far away from the fulfilling of the Francis Fukuyama's promise, an influent member of the CFR (Council for Foreign Relations), that is, the promise of the American ends of history.
For most of the American strategists, China has become a major obstacle hampering their way towards an American world. Not only because China has been predicted as being capable to become the first world economic power before 2050, but also and most of all it is because China seems to be untamable for the Anglo-American capitalism. The formation of the new caste of the Mandarin capitalist in China didn't seem to mean anything but the growth of the Chinese and China's power. It doesn't either mean nothing but the great progress made by China into globalization and also, a change of relationship between the big powers.
Since 1990, the United States has realized that the western world, who already orchestrated largely the world history since the XVIth century, is being risked to loose its profitable status in the Asia pacific, with China emerged on their very eyes.
However, since 1945, the Anglo-American financial power has managed to maintain their hegemony over the world. They also managed to integrated many southern countries into their architecture of Breton Woods (GATT, IMF, World Bank).
United States also proved to manage to control the process of the European construction. Even though EU nowadays, on paper, is the first economic power in the world, but it doesn’t n fact make any significant difference, since it has no geopolitics reality and it doesn’t have any power as possessed by any government, nor it is capable to conduct a real foreign politics, an independent politics of energy, neither a monetary politics that allowed them to defend its industries in facing the competitive Asians.
Contrary to what many people believe in Asia regarding the real EU and its functions, actually the parties really considered serious in Europe were only several countries, namely France, Great Britain and Germany. The dominant tendency to underestimate the importance of these three nations, that still play important roles in international politics and world economy, and, on the other hand, to overestimate the EU which doesn't even have any geopolitics reality and the decisions of which made (be it in Brussels for the European Commission a well as Strasbourg, are actually the product of influence of the powerful network across the Atlantics (such as CFR, Bildelberg Group, Aspen Institute, and so forth).
The Iraq crisis in 2003 allowed us to see how many European countries were under the American influence. A large majority of European countries supported the American war and even sent contingents to help. The conjectural axe of Paris-Berlin-Moscow was broke up soon after rapidly. Today, we can say that the power of the Atlantic countries are never been the same powerful in front of those of French and German. An example of this is, that president Putin's politics is stigmatized by the big western medias which shaped public opinion by convincing them that Russia is actual a potential danger for the European strategic interest.
The EU didn’t have any politics of energy, except those of the renewable ones. In the years of 70, after the oil shocks, the American petrodollars ' interest, which had always been dominating the thought of the American executives, be it directly or through proxy of the big bankers of the New York, has pushed the united states to break the politics of nuclear export conducted by France and Germany to Brazil, Pakistan, Iran and Iraq.
Meanwhile, the dollar after 1973 couldn't anymore maintain its centrality but grace to the petrodollars. Whereas, all the powerful petrodollar countries after 1973 were conditioned in a nuclear politics’ game of the world.
However, France still managed to maintain her own nuclear politics, as so far as she could, and stand in a different position compared to other European countries; she chooses not to be dependent to the American in term of energy security, and therefore she is still able to conduct her proper own politics towards the Arab countries.
However, the rest of Europe such as Italy as well as Germany, where the American influence has been always so strong after the end of the second world war, see their nuclear politics are so weak, weak enough to convince them that it is unlikely to emerge the European nuclear politics.
The American world is incompatible with the multipolar world. For Washington, the bipolarity should give place to the unipolarity, instead of multipolarity. Such thing is, after the end of the Soviet Union, a central problem of the world geopolitics. For the Americans, it's all about to play the game in multipolar world in purpose to maintain their rank as the leader of the globalization.
What we see from this, more and more is actually the clashed between the unipolarity force which are united around the United States, and the multipolarity forces, which are more disunited but sometimes manage to form more conjuncture axes rather than structural ones.
The American geopolitics strategy to remain the first might be analyzed as being articulated around four directions. Each of these directions determines a strong problem of the actual geopolitics world.
1) First directions, to develop a big transatlantic bloc to conserve Europe in the status of periphery of Washington and to integrate the countries of the Russian peripheries (her neighboring countries) , the Baltic countries, as well as central Asian and Caucasian. This grand transatlantic block also integrates as the periphery, thanks to the NATO Dialogue of the Mediterranean, referring to the countries situated in the area. The idea actually is a western block that will surround the protective peripheries of Russia and china including Baltic countries, central and eastern Europe, Caucasian countries, Central Asia as well as Mediterranean countries. This program has been in the process of realization since 1990. NATO enlarged its frontiers towards Russia and China. The American s has managed to “NATO-nize” the ex-Yugoslavia. In the controlled part of Kosovo, they even have installed a gigantic military camp, the bond steal. They support the integration of the turkey into the EU because the country is one of the pillars of NATO and its adhesion will dilute a little bit the European projects. And furthermore they expect for a longer term that the integration of the EU will include also the countries situated in Caucasian and central Asia region. For them the frontiers of the EU should coincide with the one of NATO, and the project “West” should also be imposed to the project of “European power”. In a similar way, the one that we call as the colored revolution, is the result of the American activism in the ex-soviet countries and of the Washington’s willpower to eliminate the old pro Russian political class and replace them with the new pro American one, that will integrate the countries in central Europe, such as Ukraine, Caucasian, as well as Georgia, into the NATO. 2) Second direction, their main competitor, China, has a weakness that will hamper her way into the power. It is that the country depends on the energy relation the control of which is out of their access. The diversification politic over the energy material applied by Peking (nuclear and alternative energy), similarly as the huge reserves of its coals, won't be sufficient in the coming decade, to cover her deficit on petrol and gas. Whereas, 2/3 of the proven reserves of oils found in Middle East (Iran and Arab countries), and more than 1/3 of the gas equally (Iran and Qatar). While controlling politically the Middle East, the Americans control also the fate of their principal competitor's dependence on energy. In such a condition, for Peking, the access to the oil or gas from Russia and also with the central Asia, Southeast Asia, Africa and Latin America is therefore quite essential. In other words, it is the emergence of the china towards position of world super power that also contributes to accelerate, through the research over the azimuth of the oil and gas, her world projection. This fact explains the formidable and rapid development conducted by china in the Africa in one decade. But the fact also would favored more the constitution of the multipolar axes that is against the united states, such as the group of shanghai (China, Russia, Central Asia), or the axes for Peking-Caracas-Teheran. The geopolitics analysis thus agreed to a large proportion of energy factor. Without enter any error of the “unique case”. Regarding Iraq, we can't say that the united states fought threw the Saddam Hussein regime merely to control the oil, but we can say that this factor, which even added by the Israeli an interest that influences a lot the American choices in the middle east, has also been the determining factors. If the Saudi Arabia remains the first country containing the proven oil reserve, and Iran comes after at the second place, and afterwards Iraq, and if the united states someday manages to control these three countries as well as their smaller emirates neighbors, there the United States it self will control at least 50 % of the total proven reserve of oil without even counting their own! In the current Iran crisis, of course there is a will of the United States and Israel to hamper Iran to become one of the nuclear power countries, particularly in term of military. But there is also some effort to stop this country to be a country with civil nuclear energy. Whereas, Iran has always been want, even during the period of the Shah, the capability of civilian nuclear power for their own. Why? Because its economy of selling the oil and gas it produces cannot survive except if all of the gas and oil are exported and not consumed by the internal growth of the country. A civil nuclear power plant would be able to keep Iran’s position as an exporter of oil and gas and assures the durability of the regime in term of oil and gas. China, India as well as Japan need its gas. And the United States knows it. 3) The third direction of the global politics of the United States that constitutes equally a serious problem for the world geopolitics. It’s all about the logics of encirclement of china that is applied by Washington after the collapse of the Soviet Union. The very idea is simple. The containment of china will be done through approaching its traditional neighbors and adversaries. So, we need to stop a tighter relationship that could happen between china and Russia, china and India as well as china and Japan. However, china has always been trying for the last thirty years to settle all the border problems with its neighbors. It also has managed to do the same totally with the Russia. It also has managed to make some progress with India, though still need a lot of handworks to attain the desired result. Let's do a tour over china. What will we see? Washington actually is dreaming about a clean and tight relationship with Central Asia, Pakistan, India, Philippines, Indonesia, Thailand, Vietnam, Taiwan, Japan, as well as South Korea, to surround china. The Islamic terrorism emerged, at a certain point, after the collapse of soviet, the theme “convergence” that gave reason to Washington to accelerate its deployment to the whole world. It's in the name of this battle that the Americans tries to get more space in the western Europe, also its reinforcement in the Maghrib area (Algeria, Libya), and with the initiative of Pan-Sahel, also in the horn of Africa, as well as India, Philippines and Indonesia. The religious extremism is indeed has become a reality. There is no need to deny it. The whole world suffers of this, be it westerners as well as Muslims, and Indonesia has already paid a great price due to this extremism. Where does it come from? There is always such things in the Muslim world, which brings along with them violent radicalism. But these tendencies became even stronger during the cold war among the battle between the United States and the communists. To play against the communism, in the Arab world, just like in the Asia, the Americans and their moderate Muslim allies managed to come into conclusion that Islamism can be an ally based on objective, in order to defeat the atheist materialism. The Islamism has served, in the past, many moderate Muslim governments to accomplish many field task from ethnic cleansing to the repression of separatist minorities that were not able to be handled by the government's army's own. It is also clear that these extremist has benefited from such things: they kept the knowledge to get fund with them they kept the information on the powerful parties in the internal side of a state, even until the secret services, just as shown n the Pakistan case. The war in Afghanistan has been the first chance of the formation of the first international fundamentalist. The other war done after the end of the Soviet Union by the Americans, notably that in Bosnia has even brought about new chances of for the formation for the new Islamic generations. After the Afghanistan and the Bosnia, Iraq now becomes the third chance or melting pot in the process of formation of the third generation terrorists who will spread across the world if the United States manages to really control the situation in Iraq. Islamism might have attacked the United States, but it also gives benefits to US's geopolitics around the world. This movement now has replaced the function of communism and served the pretext for numerous interferences of the internal politics of many countries committed by the US. Do you know, for instance, that the EU has accepted to transmit to the Americans all the given personals of the European passengers on the flight across Atlantic? Not only that the strive against terrorism allowed the US to deploy troops and open new bases in the strategic territories that couldn't be taken by the US during the end of the Soviet, but it also gives the US a pretext to control the information for the world society. Our geopolitical approach on the religious extremism thus, not only by analyzing the causes and the characteristics it may carry with itself, but also to understand the instrumentalisation of the fact. 4) Fourth directions, the anti-missile shield. It is already understood that the multipolarity and dissuasion of nuclear are two most important problems. For the United States, the fact that many crescent countries nowadays manage to consolidate and to get shelter provided by nuclear armaments, is quite unacceptable. We have to know, however, that ever since the beginning, in the moment where the Soviet where trying to prepare their nuclear arms, the Americans have refused the notion of terror equilibrium. In 1947, they have proposed soviet a mise en commun of nuclear power to form a world nuclear government. But Stalin refused. In the decades of 70 there were many neoconservative strategist in the Ministry of Defense, such as Paul Wolfowitz, that has always been the promoter of the idea of a anti missile shield who allowed the logic of the adverse dissuasion. It was Reagan, the first republican president who was under influence of the neoconservatives, who launched the “Star War” (SDI, or Strategic Defense Initiative). G.W. Bush then launched the anti-missile shield. The strategic logic go side hand in hand with a political vision of the world. The united states supports its mission to change the world, to establish democracy, the market and western values. But how would they will do it if many people and civilizations they are about to interact are protected by nuclear? The September 11th 2001 has also given reason to accelerate this program. Two months after the event, the Americans have broken unilaterally the treaty of ABM that it had with Russia. If Russia opposes also the strengthening of today’s implantation of such a thing in Poland or Czech, it is not because the American shield will weaken the Russian attack power (this country has thousands of nuclear heads and new generation missiles which have very well performance and therefore can attack in return easily to the National Missile Defense of the America),, but it is because the United States is still trying to increase its control over the neighboring countries of Moscow. In reality, it's mostly china who feels that its nuclear dissuasion is hampered by the NMD. Contrary to what people often believe, it is indeed because it will give America the capacity of the utilization of the conventional forces to face the power of nuclear. Thus, the NMD is strategically an offensive tool, instead of defensive one. Now that we have underlined these four directions very basic regarding the world geopolitics, and since finally all the countries of the world will be affected by this matter, i would like to give several elements of geopolitics reflection as the consequences of those mentioned. The globalization that we live in now is mainly the main mover of the American power. It lies on the centrality of dollar, American domination on the oil and the centrality of it, the super power capability of American military (½ of all world military power concentrated on this country), and also on the domination through the soft power (culture and dominant values). This globalization thus is a projection of one civilization, of its goods, of its missionaries, of its canons, over the others, as it was the case with the globalization of Islam in the VIIIth century which was later followed by the European globalization in the XVIth century. In a way, the principles remain the same. Being faced with such a projection, over the arrangement of the continents, the nationalism is the best guarantee for resistance. It occurs in china, in Latin America, in Europe, in Russia, and so is the national way of Indonesia, which conserves strong relationship with the United States but develops it also to other sides, such as with Russia and also with other European powers such as France and Germany. However, unfortunately, another expression of the resistance of the civilizations against this American globalization emerges in front of religious extremism, which is often transnational in characteristics, that we can see is improving, from the Arab world to Indonesia and Malaysia, from sub Saharan Africa (Nigeria, Mali) to the Maghrib. We can also see such a thing takes place in India with the raising of Hindu intolerant and violent extremism which is directed against the Muslim and Christian minorities. This strong tendency towards religious extremism interpreted differently in the Muslim world. First by the raising of Islamic legal parties in Morocco, Turkey ( where Islamism now is in power), and the second one is the problem of terrorism. So many factors have boosted this tendency of resistance against the modernization that is perceived by the Muslim society as westernization. Among them is the frustration caused by the Palestinian problems, the consequence of the strong alliance between United States and Israel and which has created many resentment against the west, mostly within the Muslim Arab world. This resentment comes out as the consequence of the belief that interprets the globalization and westernization as the real fact that there is a war against Islam now. Our geopolitics vision puts weight on states, but it doesn't miss the other factor: civilization. Some nations base a part of their foreign politics on the civilizational sentiment. The United States plays as the mover of the west. In the same way, in the Shiite world, Iran has seek to be the main mover, while in the Sunni, many countries try to move on the position, including Saudi Arabia, Pakistan as well as Egypt. Therefore, I would like now to conclude this presentation, which is forcibly made into reduction over a multi-causal approach of geopolitics. I would like to end my presentation by taking Indonesia as a case. Indonesia is a very ideal case for a geopolitics analyst. Her complex geopolitics composes of so many factors: it is an archipelagic state, consisting of many islands. The sea serves as the tie, but also the separator, which is indeed another essential element of this country; this is really a major asset. Therefore, why don’t you develop a maritime power and thought? Indonesia is also a central state, a central which has given a will for various peripheries and sometimes so distant; a will power that is lowered by the law of decentralization. In addition to this, it also consists of diverse ethnics and religions, without yet countering about the formidable demographic power. Furthermore it is the resource factors, such as the oil issue within the relationship with the neighboring countries, particularly with Malaysia, East Timor or Australia.. If we have a purely analytical vision on the Indonesian geopolitics, we are being risked not to underline but solely the fractures and thus the risks of separation. We could have passed the factors that can lead to the unity. I believe that it is still fresh i your mind that i have emphasized from the beginning that my geopolitical perspective is integrated within the notion of national culture. My geopolitics is a culturally one. One of the hypotheses of this notion is that national cultures are one of the some other prime movers of the history. Indonesia is a nation established by having with he r the strong nationalist culture. This is of course can be trace back from the history. Many different people come along together, and surrounding the center in their struggle for collective effort against external imperialism, including within the Holland, as well as the communist and American globalization. The diversity of the population gives this country the conception of non-religious in the politics, despite the temptation to realize it promoted by some extremists to reduce the separatist minorities never ever bothered the central government. This singularity in Indonesia, a country which is not atheist or religious, is not merely imposed by the diversity of religions in the country, but also of the marriage between Islam and the local pre-Islamic cultures. Didn’t Pancasila have managed to meet the Muslim and Hindu cultures across times, and with the principles which are actually universal?
In the current world, the problem face by Indonesia and France similarly is big enough to be taken care of. It's all about how to construct a balanced foreign policy. Sweep off the entire fundamentalism which poses threats to the world. France population has changed a lot during the last thirty years, and it won't be easy to live with the whole world in a good and harmonious relation. France will be trapped into the questions of identities in her internal scale, while at the same time; she always maintains a balanced foreign politics while she has to face empires. For centuries, she has been faced with the imperialism of the holy roman empire of Germany, and afterwards during the cold war she puts into effect the third way politics that is comparable with that of the non-aligned. Indonesia is confronted with the challenges coming out as the impact of the peak duel between United States and china. Indonesia is really a power indeed, not only from the demographic perspective, but also geographic, political as well as economic factors. She has affirmed her will in the UN to take a role in the international level, by keep sending contingents to the UN Peacekeeping Forces both to Lebanon as well as Darfour, and at the same time also by becoming the member of the many actors that plays role in the decision making of the Security Council of the UN. At the same time, Indonesia also proves her independence and courage in her recent decisions concerning Iran. In my opinion, Indonesia can be one of the powers, together with Russia and India, which could help to place the balance of the world, and prevent the evolution towards another bipolarization currently is in the process of taking place between the united states and china. Indonesia has all assets needed to develop a grand balanced politics on the international level. All for a reason quite simple, that is, the grand balance of the future will depend very much on the relations with the Western/Islam/China. Indonesia knows every party of those mentioned, not only in term of geographic but also of her interior identity and of her foreign politics. A French expert on Indonesia, Denys Lombard, and one day qualified your country as a country of intersection. Indeed, such is really the case: Indonesia is an intersection: from the sides of cultures, civilizations, people, religions, etc. And being a real intersection doesn't make sense to say that it's indispensable? Now, I believe, we can reasonably say that the solicitation of Indonesia by big powers is only the beginning. And in such a new situation, in this new world, the questions of sovereignty and political identity are the pillars and guarantee for the survival. Indonesia would have to face one of the biggest threats posed by current globalization: the fragmentation of the states of which the multinational companies will reap the benefits by taking the separated small territories. The weight of such an international crime in the world finance has proven to lead to the Kosovo's independence. An organized crime, such as that done by the multinational companies, would like to get rid of the power of state. Therefore they really hope for the fragmentation of the country. Indeed, a geopolitical analysis should enable us to put in enlightenment all these risks and afterwards to study the ways to prevent the development of the separatist gangrenes that threaten the state's balance.
fai.uhamka.ac.id
Geopolitics, as we will see, is actually a special approach within the international relations. Your big country, the one which held the famous Bandung Conference (Asia Africa Conference/ Konferensi Asia Afrika) in 1955 has already possessed a strong and long tradition both in term of practical as well as study of the international relations. Indonesia possesses a number of study centers, as well as think tanks, one of which gave me the honor today to be present here before you. Concerning the geopolitics, I perceive that the perception held in here, for sure, as it is in many other countries which have also been victims, is a reductionist conception and it is oriented, in this matter, primarily on the basis of suspicions.
It is true that the history of geopolitics, as Karl Haushofer, a geopolitical of the “l'espace vital” of the IIIrd Reich, until the cut-out of the Middle East that is commended by some Israeli-American theoreticians of neo-conservatives, as well as the renown Mackinder and his theory of heartland, has proven that this matter often used to be passed from the comprehension of the world on the remodeling of states. And yet, as you can see, it's not a sign of refusal of science if someone tries to oppose the malpractices of this notion, instead it is the real science.
Therefore, I will now begin my presentation by defining this discipline. Indeed, we define the geopolitics, as that in the study of the political relations among three types of powers, namely the power of the state, the power of intra-states (secessionist movement, rebellion, etc.), the power of trans-states (crime network, terrorist network, multinational company, etc), from the factors of physical geography (situation of the territory, characteristic of the territory), of the geographic identity (or the geographic of population), as well as of the geography of resources.
This definition has triggered numerous comments. The first dimension, that geopolitics departs from the reality of power, which refers to the states, and also the actors who often represent the challenges against the states, such as inter-state actors, such as separatist movements, and the trans-state actors, such as the religious extremist network. The reference of the geopolitics thus are the state and the problems that threat the state, be it in the domestic level (the identity of all its sorts), external (the claims made by the neighboring countries, or the imperialism exercised by big powers), or the combination between both (trans-state network, which means covering both domestic and external). Therefore, by this construction, this discipline doesn't hold an opposite position against the state, but instead, it plays as a lucid analysis that will enable all states to prevent any disease that is likely to pose a threat to it. However, as it is always stated in the medical sector, all medicines could be a poison if they are not used to no-matter-who and no-matter-how method. Of which we obtain the importance of never leaving geopolitics to others under the pretext that it will serve as a science of “imperialism” just as the Bolsheviks and Maoists believe.
The second dimension: the geopolitical approach is a multi-causal one. We should never reduce the analysis on a country or any geographical area to a mere single factor; there is nothing caused purely by ethnics, nor all religion, for instance. If my work entitled “Geopolitics, Constants and Changes Throughout History” is so voluminous, it is due to the fact that it is the fruit of my years of work identifying and assembling the factors influencing the geopolitics.
This one is an extremely important point: those who don't understand whatsoever about the geopolitical approach sustain that such a thing or such a state is not a nation-state as there are so many ethnic as well as religious fractures within. They often forget something fundamental: certain nations, despite its strong diversity of ethnics and religions, are indeed the solid formation because there are the products of some particular historical circumstances. Hence, the emancipation that faces a trusteeship has gone down into the same melting-pot of a diverse identity characteristic, and in turn determined the nation's future. In these particular circumstances, then they will add some strong state will power of a center towards the peripheries in order to forge a national identity.
All nations in the world that currently still last have been confronted with the challenges of the internal identity, an issue of which I will take the first example of my own country, France. An old nation-state, which constantly produces efforts initiated by the central government towards the peripheries which in some times rebelled. France has been surviving throughout centuries since the central government has always managed to stabilize the relation between national identity with the local identity without ever cede to emphasize the primacy of the centre towards its peripheries.
It's indeed the multi-causal dimension that allows a real geopolitics not to conduct any reductionist analysis on a reality. For instance, the problems occurring few years ago in Moluccas often interpreted in the West as a pure religious conflict: “Christians versus Muslims”. However, a scientific analysis would combine the complexities of different cleavages, such as those of center and periphery, Muslims and Christians, religious moderates and extremists, traditional and modern elites, separatists and unitarians, as well as Moluccan and non-Moluccan ethnics, and so on.
The third dimension: our geopolitics notion is basically a cultural one. It underlines the importance of the cultural factors as the determinants of the history and the fact that the most important national identities are the national cultures.
Let's take for example, and there is nothing better than this: the United States of America. The North America has endured for two hundred years as a colony inhabited by messianic white Protestants. These colonies have founded the national culture of the Americans, that is, the famous culture of WASP (White Anglo-Saxon Protestants). Afterwards, the colony step by step transformed into a nation of migrants. Nevertheless, these migrants, from their respective origins, have adopted the state of spirit of WASP. The America thus was founded by the protestant fundamentalist missionaries as well as Freemasons who inherited to their descendants, and thus to the migrants whom were welcomed by these descendants later on, a state of missionary spirit.
If we do not comprehend this dimension of the American history, of which shapes the state of spirit of the Americans, we won't likely to understand the sense (meaning) of the current global politics of the country. The national cultures is the ones shape the identity of the nations beyond the fractures of the physical geography, discontinuities of territory, as well as the fractures of ethnic and religious identities. This national culture is the product of history, of the will-power of the founding fathers of a nation which has perpetuated through state tradition, and kept in ways like armed forces in certain countries, cult of constitution for those like the United-States, by national language for the others, and so forth.
Now that I have underlined the three dimensions that characterize our French geopolitical approach, respectively the centrality of the state as well as the actor of power, multi-causality and culturally, I would like to now offer you a lecture on geopolitics that of the grand international dynamics, of which I had presented at the l'Ecole de Guerre Francaise, to our French officers as well as foreign officers from 70 nationalities, and also the one that I had presented to the students of Sorbonne and the University of Neuchatel, Switzerland.
I will bring about at the first place a dimension of geopolitics on which we're nowadays accustomed to call as the globalization (modularization in French).
Most of the explanations of globalization lie on one linear and progressive vision of history. The progress of science and technology favored throughout centuries the liberation of human in term of his relations with territory and on the traditionally rooted area. This progress favors, both in term of quantity and quality, the circulation of men, information and goods. It has also allowed the passing of, through centuries, the territory of local scale to the national territories, and, today, it favors the passing of nations while encouraging the regrouping of macro regional as well as the dynamics of (trans-state) networks. Nevertheless, it is not sufficient yet to us to really feel the real effect of globalization. Due to such a view, we often got the impression that globalization is a sort of neutral phenomenon that comes simply out of progress of sciences and technologies.
Therefore geopolitics, that puts a relationship between powers at the heart of its reflection, will complete this globalization analysis.
If we see the history of human society for long time, ever since the Antiquity, we found out in effect that there were many successful endeavors towards globalization, in the macro-regional scale in the period of Antiquity and Middle-Ages, as took place in Mediterranean area, for instance, or at the global scale on the period of Renaissance of Europe.
If we regard the history of human society for long time ago, ever since the antiquity, we could see that in fact there have been some successful efforts for globalization, in this case, at the macro-regional scale in the antiquity as well as in the middle age, for example, in Mediterranean, or at a global scale by the time of European renaissance.
A French historian, Ferrnand Braudle, once talked about the “world system” of Mediterranean with respect to the successive efforts to control the area conducted by the Phoenicians, the Greeks as well as the Romans.
We can also consider that the rapid invasion of Islam in the VIIth century in all Middle East, and afterwards in the direction of the west as well as east as a new phase of globalization.
The Muslim world, who would be soon fractured politically, after the four first caliphs, would occupy an inescapable central position from the VIIIth to XVIth century in the domain of economics and politics, between Europe and Asia. From this indisputable position, particularly in term of world commerce (since the Europeans should go to the Middle Eastern intermediaries to get your spices and wealth’s), Islam enjoyed the advantage to advance its richness and splendor. Many people at that time dreamed about the richness of central Asia, thanks to the famous Silk Road.
However, the scientific and technological progress in the domain of navigation, which was earned by notably the Italians who passed this to the Portuguese and the Spanish, enabled Europeans to conduct the Great Discovery, which refers to the opening of a new sea route that allowed them to surround the Muslim world and come directly to the richness of the Asia, which actually refers to the islands and archipelago of the present Indonesia.
The XVIth century opened a new phase of globalization. It is the globalization that Europeans applied in the America and Asia not only by trade and war, but also missionaries. All efforts for globalization is at the same time actually a projection of a philosophic religious system of value, which seeks to implement it to others, and it is also the projection of economic interest, as well as projection of force.
And we can also say that the world history is actually the history about the people who, after being confronted by the successive phases of globalization, decided to choose, whether to accompany it and assimilate into it, or to resist it with their own proper system of value and interest.
The Europeans have been, from the XVIth century to the second half of XXth century, the major actors of the globalization, one of the expressions of which is the political religious transformation of the societies living in America, Africa and Asia, while its ‘other face is of course the colonial exploitation of the wealth of these societies.
And then the fraternal wars among Europeans weakened significantly these powers. The two world wars prevailed in France, England and Germany, which had been the greatest powers in Europe since the XVIIIth century, particularly regarded from their capacity to shape the world.
The First World War, as well as the second one, was the fruit of a ferocious confrontation between Anglo-Saxons of the New York and London, with their formidable financial power, against the Germans with their colossal industrial capacity. The war in 1914 exploded just at the time when the Germany became the first economic power in front of the Britain. Meanwhile the Second World War is a vigor effort to revenge conducted by the Germany who felt humiliated in her defeat in 1918 by the ferocity of the Anglo-Saxon. Furthermore, Germans also felt that, particularly before the eyes of her national socialist people, they were actually beaten by the powerful finance of the Jews.
After the decline of the old Europe, there were then two global powers tried to catch up and use their turn to shape the world history.
It was the USA and the Soviet Union. The first one took her start when Wilson put it in the right, the vision of the founding fathers of America: when the pilgrimage of mayflower who first saw the shores of America, after leaving their mother land in Netherlands and England, then the founding fathers of the American independence and the constitution of the united states, impregnated by the Masonic principles of the English philosophy and also the enlightenment of the French.
We are easily reminded to this vision when we look at the famous text of the manifest destiny of 1845. The United States, as it was stated there, has a mission that is to transform the world to be like her image, since she now has to act as the new roman liberator for the people.
In the mean time, the Soviet started its emergence based on the communist ideology which wanted to transform the world as well. However, it is in fact no more than a terrible marriage between the ancient lust for imperialism of the ancient Russia, which regards Moscow as the third Rome (the heir of the second, that is Byzantine), with the revolutionary ideology of Bolsheviks.
The confrontation happened during 1945-1990, or the cold war, is often called as “the bipolarity”, because during this time it seemed that the international relations was organized around only those two poles in both term of geopolitics as well as ideologies. This confrontation that happened between these two world powers was actually two revolutionary efforts to transform the world into the image of each of the respective poles, which in turn favored the formation of certain national identity.
Ideology is largely used as the instrument to serve the nationalism. The communism served the geopolitics ambition of Russia to dominate her neighboring countries, her peripheries. However, it appears that even communism-based friendship couldn’t prevent the ongoing traditional confrontation between, for example, the China and Russia, as well as China with Vietnam.
On the contrary, the threat of communism in Indonesia, just as in many other countries, allowed an acceleration for the national identity, at the same time conducted by some internal state effort, and also affirmation of the external politic of the third way, which holds the country not to join the imperialism of the united states nor the one of the communist. This third way politic was applied in Indonesia under Sukarno, in France under the general de Gaulle, in Yugoslavia under Tito, as well as in India under Nehru.
In 1990, the world quitted the period of bipolarity along with the end of the Soviet American confrontation. This would also be the acceleration of the American globalism. However, the Americans knew well that the collapse of Soviet didn’t mean that they were entering an American world. Of course, the previously GATT now transformed into a World Trade Organization which welcomed many countries as its members. Of course the NATO kept continuing to enlarge and integrated new European countries and while doing so also pushes forwards its frontiers towards the Russia and China. But the United States, however, is still far away from the fulfilling of the Francis Fukuyama's promise, an influent member of the CFR (Council for Foreign Relations), that is, the promise of the American ends of history.
For most of the American strategists, China has become a major obstacle hampering their way towards an American world. Not only because China has been predicted as being capable to become the first world economic power before 2050, but also and most of all it is because China seems to be untamable for the Anglo-American capitalism. The formation of the new caste of the Mandarin capitalist in China didn't seem to mean anything but the growth of the Chinese and China's power. It doesn't either mean nothing but the great progress made by China into globalization and also, a change of relationship between the big powers.
Since 1990, the United States has realized that the western world, who already orchestrated largely the world history since the XVIth century, is being risked to loose its profitable status in the Asia pacific, with China emerged on their very eyes.
However, since 1945, the Anglo-American financial power has managed to maintain their hegemony over the world. They also managed to integrated many southern countries into their architecture of Breton Woods (GATT, IMF, World Bank).
United States also proved to manage to control the process of the European construction. Even though EU nowadays, on paper, is the first economic power in the world, but it doesn’t n fact make any significant difference, since it has no geopolitics reality and it doesn’t have any power as possessed by any government, nor it is capable to conduct a real foreign politics, an independent politics of energy, neither a monetary politics that allowed them to defend its industries in facing the competitive Asians.
Contrary to what many people believe in Asia regarding the real EU and its functions, actually the parties really considered serious in Europe were only several countries, namely France, Great Britain and Germany. The dominant tendency to underestimate the importance of these three nations, that still play important roles in international politics and world economy, and, on the other hand, to overestimate the EU which doesn't even have any geopolitics reality and the decisions of which made (be it in Brussels for the European Commission a well as Strasbourg, are actually the product of influence of the powerful network across the Atlantics (such as CFR, Bildelberg Group, Aspen Institute, and so forth).
The Iraq crisis in 2003 allowed us to see how many European countries were under the American influence. A large majority of European countries supported the American war and even sent contingents to help. The conjectural axe of Paris-Berlin-Moscow was broke up soon after rapidly. Today, we can say that the power of the Atlantic countries are never been the same powerful in front of those of French and German. An example of this is, that president Putin's politics is stigmatized by the big western medias which shaped public opinion by convincing them that Russia is actual a potential danger for the European strategic interest.
The EU didn’t have any politics of energy, except those of the renewable ones. In the years of 70, after the oil shocks, the American petrodollars ' interest, which had always been dominating the thought of the American executives, be it directly or through proxy of the big bankers of the New York, has pushed the united states to break the politics of nuclear export conducted by France and Germany to Brazil, Pakistan, Iran and Iraq.
Meanwhile, the dollar after 1973 couldn't anymore maintain its centrality but grace to the petrodollars. Whereas, all the powerful petrodollar countries after 1973 were conditioned in a nuclear politics’ game of the world.
However, France still managed to maintain her own nuclear politics, as so far as she could, and stand in a different position compared to other European countries; she chooses not to be dependent to the American in term of energy security, and therefore she is still able to conduct her proper own politics towards the Arab countries.
However, the rest of Europe such as Italy as well as Germany, where the American influence has been always so strong after the end of the second world war, see their nuclear politics are so weak, weak enough to convince them that it is unlikely to emerge the European nuclear politics.
The American world is incompatible with the multipolar world. For Washington, the bipolarity should give place to the unipolarity, instead of multipolarity. Such thing is, after the end of the Soviet Union, a central problem of the world geopolitics. For the Americans, it's all about to play the game in multipolar world in purpose to maintain their rank as the leader of the globalization.
What we see from this, more and more is actually the clashed between the unipolarity force which are united around the United States, and the multipolarity forces, which are more disunited but sometimes manage to form more conjuncture axes rather than structural ones.
The American geopolitics strategy to remain the first might be analyzed as being articulated around four directions. Each of these directions determines a strong problem of the actual geopolitics world.
1) First directions, to develop a big transatlantic bloc to conserve Europe in the status of periphery of Washington and to integrate the countries of the Russian peripheries (her neighboring countries) , the Baltic countries, as well as central Asian and Caucasian. This grand transatlantic block also integrates as the periphery, thanks to the NATO Dialogue of the Mediterranean, referring to the countries situated in the area. The idea actually is a western block that will surround the protective peripheries of Russia and china including Baltic countries, central and eastern Europe, Caucasian countries, Central Asia as well as Mediterranean countries. This program has been in the process of realization since 1990. NATO enlarged its frontiers towards Russia and China. The American s has managed to “NATO-nize” the ex-Yugoslavia. In the controlled part of Kosovo, they even have installed a gigantic military camp, the bond steal. They support the integration of the turkey into the EU because the country is one of the pillars of NATO and its adhesion will dilute a little bit the European projects. And furthermore they expect for a longer term that the integration of the EU will include also the countries situated in Caucasian and central Asia region. For them the frontiers of the EU should coincide with the one of NATO, and the project “West” should also be imposed to the project of “European power”. In a similar way, the one that we call as the colored revolution, is the result of the American activism in the ex-soviet countries and of the Washington’s willpower to eliminate the old pro Russian political class and replace them with the new pro American one, that will integrate the countries in central Europe, such as Ukraine, Caucasian, as well as Georgia, into the NATO. 2) Second direction, their main competitor, China, has a weakness that will hamper her way into the power. It is that the country depends on the energy relation the control of which is out of their access. The diversification politic over the energy material applied by Peking (nuclear and alternative energy), similarly as the huge reserves of its coals, won't be sufficient in the coming decade, to cover her deficit on petrol and gas. Whereas, 2/3 of the proven reserves of oils found in Middle East (Iran and Arab countries), and more than 1/3 of the gas equally (Iran and Qatar). While controlling politically the Middle East, the Americans control also the fate of their principal competitor's dependence on energy. In such a condition, for Peking, the access to the oil or gas from Russia and also with the central Asia, Southeast Asia, Africa and Latin America is therefore quite essential. In other words, it is the emergence of the china towards position of world super power that also contributes to accelerate, through the research over the azimuth of the oil and gas, her world projection. This fact explains the formidable and rapid development conducted by china in the Africa in one decade. But the fact also would favored more the constitution of the multipolar axes that is against the united states, such as the group of shanghai (China, Russia, Central Asia), or the axes for Peking-Caracas-Teheran. The geopolitics analysis thus agreed to a large proportion of energy factor. Without enter any error of the “unique case”. Regarding Iraq, we can't say that the united states fought threw the Saddam Hussein regime merely to control the oil, but we can say that this factor, which even added by the Israeli an interest that influences a lot the American choices in the middle east, has also been the determining factors. If the Saudi Arabia remains the first country containing the proven oil reserve, and Iran comes after at the second place, and afterwards Iraq, and if the united states someday manages to control these three countries as well as their smaller emirates neighbors, there the United States it self will control at least 50 % of the total proven reserve of oil without even counting their own! In the current Iran crisis, of course there is a will of the United States and Israel to hamper Iran to become one of the nuclear power countries, particularly in term of military. But there is also some effort to stop this country to be a country with civil nuclear energy. Whereas, Iran has always been want, even during the period of the Shah, the capability of civilian nuclear power for their own. Why? Because its economy of selling the oil and gas it produces cannot survive except if all of the gas and oil are exported and not consumed by the internal growth of the country. A civil nuclear power plant would be able to keep Iran’s position as an exporter of oil and gas and assures the durability of the regime in term of oil and gas. China, India as well as Japan need its gas. And the United States knows it. 3) The third direction of the global politics of the United States that constitutes equally a serious problem for the world geopolitics. It’s all about the logics of encirclement of china that is applied by Washington after the collapse of the Soviet Union. The very idea is simple. The containment of china will be done through approaching its traditional neighbors and adversaries. So, we need to stop a tighter relationship that could happen between china and Russia, china and India as well as china and Japan. However, china has always been trying for the last thirty years to settle all the border problems with its neighbors. It also has managed to do the same totally with the Russia. It also has managed to make some progress with India, though still need a lot of handworks to attain the desired result. Let's do a tour over china. What will we see? Washington actually is dreaming about a clean and tight relationship with Central Asia, Pakistan, India, Philippines, Indonesia, Thailand, Vietnam, Taiwan, Japan, as well as South Korea, to surround china. The Islamic terrorism emerged, at a certain point, after the collapse of soviet, the theme “convergence” that gave reason to Washington to accelerate its deployment to the whole world. It's in the name of this battle that the Americans tries to get more space in the western Europe, also its reinforcement in the Maghrib area (Algeria, Libya), and with the initiative of Pan-Sahel, also in the horn of Africa, as well as India, Philippines and Indonesia. The religious extremism is indeed has become a reality. There is no need to deny it. The whole world suffers of this, be it westerners as well as Muslims, and Indonesia has already paid a great price due to this extremism. Where does it come from? There is always such things in the Muslim world, which brings along with them violent radicalism. But these tendencies became even stronger during the cold war among the battle between the United States and the communists. To play against the communism, in the Arab world, just like in the Asia, the Americans and their moderate Muslim allies managed to come into conclusion that Islamism can be an ally based on objective, in order to defeat the atheist materialism. The Islamism has served, in the past, many moderate Muslim governments to accomplish many field task from ethnic cleansing to the repression of separatist minorities that were not able to be handled by the government's army's own. It is also clear that these extremist has benefited from such things: they kept the knowledge to get fund with them they kept the information on the powerful parties in the internal side of a state, even until the secret services, just as shown n the Pakistan case. The war in Afghanistan has been the first chance of the formation of the first international fundamentalist. The other war done after the end of the Soviet Union by the Americans, notably that in Bosnia has even brought about new chances of for the formation for the new Islamic generations. After the Afghanistan and the Bosnia, Iraq now becomes the third chance or melting pot in the process of formation of the third generation terrorists who will spread across the world if the United States manages to really control the situation in Iraq. Islamism might have attacked the United States, but it also gives benefits to US's geopolitics around the world. This movement now has replaced the function of communism and served the pretext for numerous interferences of the internal politics of many countries committed by the US. Do you know, for instance, that the EU has accepted to transmit to the Americans all the given personals of the European passengers on the flight across Atlantic? Not only that the strive against terrorism allowed the US to deploy troops and open new bases in the strategic territories that couldn't be taken by the US during the end of the Soviet, but it also gives the US a pretext to control the information for the world society. Our geopolitical approach on the religious extremism thus, not only by analyzing the causes and the characteristics it may carry with itself, but also to understand the instrumentalisation of the fact. 4) Fourth directions, the anti-missile shield. It is already understood that the multipolarity and dissuasion of nuclear are two most important problems. For the United States, the fact that many crescent countries nowadays manage to consolidate and to get shelter provided by nuclear armaments, is quite unacceptable. We have to know, however, that ever since the beginning, in the moment where the Soviet where trying to prepare their nuclear arms, the Americans have refused the notion of terror equilibrium. In 1947, they have proposed soviet a mise en commun of nuclear power to form a world nuclear government. But Stalin refused. In the decades of 70 there were many neoconservative strategist in the Ministry of Defense, such as Paul Wolfowitz, that has always been the promoter of the idea of a anti missile shield who allowed the logic of the adverse dissuasion. It was Reagan, the first republican president who was under influence of the neoconservatives, who launched the “Star War” (SDI, or Strategic Defense Initiative). G.W. Bush then launched the anti-missile shield. The strategic logic go side hand in hand with a political vision of the world. The united states supports its mission to change the world, to establish democracy, the market and western values. But how would they will do it if many people and civilizations they are about to interact are protected by nuclear? The September 11th 2001 has also given reason to accelerate this program. Two months after the event, the Americans have broken unilaterally the treaty of ABM that it had with Russia. If Russia opposes also the strengthening of today’s implantation of such a thing in Poland or Czech, it is not because the American shield will weaken the Russian attack power (this country has thousands of nuclear heads and new generation missiles which have very well performance and therefore can attack in return easily to the National Missile Defense of the America),, but it is because the United States is still trying to increase its control over the neighboring countries of Moscow. In reality, it's mostly china who feels that its nuclear dissuasion is hampered by the NMD. Contrary to what people often believe, it is indeed because it will give America the capacity of the utilization of the conventional forces to face the power of nuclear. Thus, the NMD is strategically an offensive tool, instead of defensive one. Now that we have underlined these four directions very basic regarding the world geopolitics, and since finally all the countries of the world will be affected by this matter, i would like to give several elements of geopolitics reflection as the consequences of those mentioned. The globalization that we live in now is mainly the main mover of the American power. It lies on the centrality of dollar, American domination on the oil and the centrality of it, the super power capability of American military (½ of all world military power concentrated on this country), and also on the domination through the soft power (culture and dominant values). This globalization thus is a projection of one civilization, of its goods, of its missionaries, of its canons, over the others, as it was the case with the globalization of Islam in the VIIIth century which was later followed by the European globalization in the XVIth century. In a way, the principles remain the same. Being faced with such a projection, over the arrangement of the continents, the nationalism is the best guarantee for resistance. It occurs in china, in Latin America, in Europe, in Russia, and so is the national way of Indonesia, which conserves strong relationship with the United States but develops it also to other sides, such as with Russia and also with other European powers such as France and Germany. However, unfortunately, another expression of the resistance of the civilizations against this American globalization emerges in front of religious extremism, which is often transnational in characteristics, that we can see is improving, from the Arab world to Indonesia and Malaysia, from sub Saharan Africa (Nigeria, Mali) to the Maghrib. We can also see such a thing takes place in India with the raising of Hindu intolerant and violent extremism which is directed against the Muslim and Christian minorities. This strong tendency towards religious extremism interpreted differently in the Muslim world. First by the raising of Islamic legal parties in Morocco, Turkey ( where Islamism now is in power), and the second one is the problem of terrorism. So many factors have boosted this tendency of resistance against the modernization that is perceived by the Muslim society as westernization. Among them is the frustration caused by the Palestinian problems, the consequence of the strong alliance between United States and Israel and which has created many resentment against the west, mostly within the Muslim Arab world. This resentment comes out as the consequence of the belief that interprets the globalization and westernization as the real fact that there is a war against Islam now. Our geopolitics vision puts weight on states, but it doesn't miss the other factor: civilization. Some nations base a part of their foreign politics on the civilizational sentiment. The United States plays as the mover of the west. In the same way, in the Shiite world, Iran has seek to be the main mover, while in the Sunni, many countries try to move on the position, including Saudi Arabia, Pakistan as well as Egypt. Therefore, I would like now to conclude this presentation, which is forcibly made into reduction over a multi-causal approach of geopolitics. I would like to end my presentation by taking Indonesia as a case. Indonesia is a very ideal case for a geopolitics analyst. Her complex geopolitics composes of so many factors: it is an archipelagic state, consisting of many islands. The sea serves as the tie, but also the separator, which is indeed another essential element of this country; this is really a major asset. Therefore, why don’t you develop a maritime power and thought? Indonesia is also a central state, a central which has given a will for various peripheries and sometimes so distant; a will power that is lowered by the law of decentralization. In addition to this, it also consists of diverse ethnics and religions, without yet countering about the formidable demographic power. Furthermore it is the resource factors, such as the oil issue within the relationship with the neighboring countries, particularly with Malaysia, East Timor or Australia.. If we have a purely analytical vision on the Indonesian geopolitics, we are being risked not to underline but solely the fractures and thus the risks of separation. We could have passed the factors that can lead to the unity. I believe that it is still fresh i your mind that i have emphasized from the beginning that my geopolitical perspective is integrated within the notion of national culture. My geopolitics is a culturally one. One of the hypotheses of this notion is that national cultures are one of the some other prime movers of the history. Indonesia is a nation established by having with he r the strong nationalist culture. This is of course can be trace back from the history. Many different people come along together, and surrounding the center in their struggle for collective effort against external imperialism, including within the Holland, as well as the communist and American globalization. The diversity of the population gives this country the conception of non-religious in the politics, despite the temptation to realize it promoted by some extremists to reduce the separatist minorities never ever bothered the central government. This singularity in Indonesia, a country which is not atheist or religious, is not merely imposed by the diversity of religions in the country, but also of the marriage between Islam and the local pre-Islamic cultures. Didn’t Pancasila have managed to meet the Muslim and Hindu cultures across times, and with the principles which are actually universal?
In the current world, the problem face by Indonesia and France similarly is big enough to be taken care of. It's all about how to construct a balanced foreign policy. Sweep off the entire fundamentalism which poses threats to the world. France population has changed a lot during the last thirty years, and it won't be easy to live with the whole world in a good and harmonious relation. France will be trapped into the questions of identities in her internal scale, while at the same time; she always maintains a balanced foreign politics while she has to face empires. For centuries, she has been faced with the imperialism of the holy roman empire of Germany, and afterwards during the cold war she puts into effect the third way politics that is comparable with that of the non-aligned. Indonesia is confronted with the challenges coming out as the impact of the peak duel between United States and china. Indonesia is really a power indeed, not only from the demographic perspective, but also geographic, political as well as economic factors. She has affirmed her will in the UN to take a role in the international level, by keep sending contingents to the UN Peacekeeping Forces both to Lebanon as well as Darfour, and at the same time also by becoming the member of the many actors that plays role in the decision making of the Security Council of the UN. At the same time, Indonesia also proves her independence and courage in her recent decisions concerning Iran. In my opinion, Indonesia can be one of the powers, together with Russia and India, which could help to place the balance of the world, and prevent the evolution towards another bipolarization currently is in the process of taking place between the united states and china. Indonesia has all assets needed to develop a grand balanced politics on the international level. All for a reason quite simple, that is, the grand balance of the future will depend very much on the relations with the Western/Islam/China. Indonesia knows every party of those mentioned, not only in term of geographic but also of her interior identity and of her foreign politics. A French expert on Indonesia, Denys Lombard, and one day qualified your country as a country of intersection. Indeed, such is really the case: Indonesia is an intersection: from the sides of cultures, civilizations, people, religions, etc. And being a real intersection doesn't make sense to say that it's indispensable? Now, I believe, we can reasonably say that the solicitation of Indonesia by big powers is only the beginning. And in such a new situation, in this new world, the questions of sovereignty and political identity are the pillars and guarantee for the survival. Indonesia would have to face one of the biggest threats posed by current globalization: the fragmentation of the states of which the multinational companies will reap the benefits by taking the separated small territories. The weight of such an international crime in the world finance has proven to lead to the Kosovo's independence. An organized crime, such as that done by the multinational companies, would like to get rid of the power of state. Therefore they really hope for the fragmentation of the country. Indeed, a geopolitical analysis should enable us to put in enlightenment all these risks and afterwards to study the ways to prevent the development of the separatist gangrenes that threaten the state's balance.
fai.uhamka.ac.id
Khutbah Rasulullah menjelang Ramadhan
Wahai manusia! sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah yang membawa berkah, rahmat, dan maghfirah, bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama, malam-malam di bulan Ramadhan adalah malam-malam yang paling utama, jam demi jamnya adalah jam yang paling utama.
Inilah bulan yang ketika engkau diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Pada bulan ini napasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah, amal-amalmu diterima, dan doa-doa diijabah. Bermohonlah kepada Allah, Rabb-mu dengan hati yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shaum dan membaca kitab-Nya. Sungguh celakalah orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah pada bulan yang agung ini.
Kenanglah rasa lapar dan hausmu sebagaimana kelaparan dan kehausan pada hari Kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orangtuamu. Sayanglah yang muda. Sambungkanlah tali persaudaraan. Jaga lidahmu.Tahan pandangan dari apa yang tidak halal kamu memandangnya. Dan tahan pula pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarkannya.
Kasihinilah anak-anak yatim, niscaya anak-anak yatim akan dikasihini manusia. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa di waktu salatmu karena saat itulah saat yang paling utama ketika Allah Azza Wajalla memandang hamba-hamba-Nya,Dia menyambut ketika mereka memanggil-Nya, dan Dia mengabulkan doa-doa ketika mereka bermunajat kepada-Nya.
Wahai manusia! Sesungguhnya diri kalian tergadai karena amal-amal kalian, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah, Allah Swt. bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang bersujud, tidak mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbul'alamin.
Wahai manusia! Barangsiapa di antaramu memberi makan untuk berbuka kepada kaum mukmin yang melaksanakan shaum di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. Para sahabat bertanya, "Kami semua tidak akan mampu berbuat demikian". Lalu Rasulullah melanjutkan khotbahnya. Jagalah diri kalian dari api neraka walau hanya dengan setitik air.
Wahai manusia! Barangsiapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, dia akan berhasil melewati shiraatalmustaqiim, pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Barangsiapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya dan membantunya di bulan ini, maka Allah akan meringankan pemeriksaannya di hari Kiamat.
Barangsiapa yang menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya di hari berjumpa dengan-Nya, dan barangsiapa yang menyambungkan tali silaturahmi di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya. Dan barangsiapa yang memutuskan silaturahmi di bulan ini, Allah akan memutuskan dia dari rahmat-Nya.
Siapa yang melakukan salat sunat di bulan Ramadhan, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa yang melakukan salat fardu, baginya ganjaran seperti 70 salat fardu di bulan yang lain.
Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu mereka tertutup maka mohonkanlah kepada Rabb-mu agar tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar mereka tidak pernah lagi menguasaimu.
Lalu Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata: "Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama di bulan ini". Rasul yang mulia menjawab: "Ya Abul Hasan, amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah Swt."
(Khotbah ini diriwayatkan Imam Ali R.A)
fai.uhamka.ac.id
Inilah bulan yang ketika engkau diundang menjadi tetamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Pada bulan ini napasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah, amal-amalmu diterima, dan doa-doa diijabah. Bermohonlah kepada Allah, Rabb-mu dengan hati yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shaum dan membaca kitab-Nya. Sungguh celakalah orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah pada bulan yang agung ini.
Kenanglah rasa lapar dan hausmu sebagaimana kelaparan dan kehausan pada hari Kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orangtuamu. Sayanglah yang muda. Sambungkanlah tali persaudaraan. Jaga lidahmu.Tahan pandangan dari apa yang tidak halal kamu memandangnya. Dan tahan pula pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarkannya.
Kasihinilah anak-anak yatim, niscaya anak-anak yatim akan dikasihini manusia. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa di waktu salatmu karena saat itulah saat yang paling utama ketika Allah Azza Wajalla memandang hamba-hamba-Nya,Dia menyambut ketika mereka memanggil-Nya, dan Dia mengabulkan doa-doa ketika mereka bermunajat kepada-Nya.
Wahai manusia! Sesungguhnya diri kalian tergadai karena amal-amal kalian, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu. Ketahuilah, Allah Swt. bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang bersujud, tidak mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbul'alamin.
Wahai manusia! Barangsiapa di antaramu memberi makan untuk berbuka kepada kaum mukmin yang melaksanakan shaum di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. Para sahabat bertanya, "Kami semua tidak akan mampu berbuat demikian". Lalu Rasulullah melanjutkan khotbahnya. Jagalah diri kalian dari api neraka walau hanya dengan setitik air.
Wahai manusia! Barangsiapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, dia akan berhasil melewati shiraatalmustaqiim, pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Barangsiapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya dan membantunya di bulan ini, maka Allah akan meringankan pemeriksaannya di hari Kiamat.
Barangsiapa yang menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa yang memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya di hari berjumpa dengan-Nya, dan barangsiapa yang menyambungkan tali silaturahmi di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya. Dan barangsiapa yang memutuskan silaturahmi di bulan ini, Allah akan memutuskan dia dari rahmat-Nya.
Siapa yang melakukan salat sunat di bulan Ramadhan, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa yang melakukan salat fardu, baginya ganjaran seperti 70 salat fardu di bulan yang lain.
Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu mereka tertutup maka mohonkanlah kepada Rabb-mu agar tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar mereka tidak pernah lagi menguasaimu.
Lalu Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib berdiri dan berkata: "Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama di bulan ini". Rasul yang mulia menjawab: "Ya Abul Hasan, amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah Swt."
(Khotbah ini diriwayatkan Imam Ali R.A)
fai.uhamka.ac.id
Ledakan Lagislasi Ekonomi Syariah
Pengertian legislasi nasional, adalah pembuatan sesuatu aturan atau norma menjadi undang-undang secara nasional sehingga menjadi hukum positif, atau bisa juga dirumuskan dengan ”pengundangan hukum normatif menjadi hukum positif”. Istilah legislasi dalam bahasa arab disebut dengan taqnin, bentuk masdar dari qanun. Qanun arinya Undang-Undang, sedangkan taqnin artinya pengundangan atau pembuatan Undang-Undang. Materi hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fikih disebut hukum normatif. Ketika hukum fikih tersebut diundangkan oleh negara, maka disebut hukum positif yang dalam konteks hukum di Indonesia disebut hukum nasional. Dengan demikian, legislasi ekonomi syariah berarti membuat hukum ekonomi syariah menjadi Undang-Undang Nasional, seperti Undang-Undang Waqaf (UU No 41 Tahun 2004), Undang-Undang Pengelolaan Zakat No 38/1999, dan sebentar lagi Undang-Undang Perbankan Syariah yang secara khusus mengatur tentang perbankan syariah yang terpisah dari perbankan konvensional..
Di Indonesia legislasi hukum Islam mulai terwujud sejak tahun 1989, dengan diundangkannnya Undang-Undang Peradilan Agama No 7 tahun 1989. Legislasi di Indonesia juga telah terwujud dalam bidang perkawinan, waqaf, zakat, warisan, haji dan bank syariah dalam UU No 10 tahun 1998. Meskipun Undang-Undang No 10/1998, tidak khusus mengatur perbankan syariah, tetapi secara riil sistem perbankan syariah telah diatur dan akomodasi secara jelas dalam Undang-Undang tersebut.
Karena Undang-Undang No 10/1998 tidak memadai, maka praktisi dan akademisi ekonomi Islam mendesak dan merumuskan RUU perbankan syariah yang terpisah dari Undang-Undang perbankan konvensional. Insya Allah dalam waktu dekat, RUU tersebut disahkan menjadi UU.
Urgensi Legislasi Nasional
Industri Ekonomi dan keuangan syariah saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kehadiran praktek ekonomi syuariah tersebut harus diatur dengan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan kegiatan atau industri ekonomi syariah di Indonesia. Pertumbuhan industri ekonomi syariah yang semakin meningkat dan berkinerja bagus serta didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang memadai pada gilirannya akan membantu pemulihan ekonomi nasional. Pada sisi yang lain akan memberikan rasa tentram bagi masyarakat karena telah melaksanakan apa yang telah menjadi kesadaran agamanya.
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, and “ an agent of social change”.
Oleh karena itu perlu penentuan agenda legislasi nasional yang mendukung bagi tersusunnya undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syariah yang tidak saja memenuhi kebutuhan kekinian akan tetapi menjangkau pula aspek futuristiknya. Terlaksananya agenda legislasi di bidang ekonomi syariah ini akan berhasil bila dilakukan berdasarkan kajian akademik mendalam dan sistematik, seperti para pakar yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesika (IAEI). Demikian pula dukungan pihak pemerintah dan DPR serta masyarakat ekonomi syariah sendiri beserta seluruh komponen ummat Islam.
Legislasi nasional ekonomi syariah dimaksudkan untuk membangun kepastian hukum yang lebih mantap di bidang ekonomi syariah, juga untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan ekonomi syariah itu sendiri. karena itu upaya ini harus didukung oleh Program Legislasi Nasional. Perkembangan kehidupan ekonomi syariah dari suatu negara dalam kadar tertentu sangat tergantung pada dukungan peraturan perundang-undangan yang mengatur ekonomi syariah tersebut.
Program Legislasi Nasional
Program legislasi Nasional (Proglenas) menjadi dasar dan awal bagi pembentukan undang-undang yang hendak dibuat. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 15 [1]) disebutkan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional. Pengaturan selanjutnya mengenai Prolegnas tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.
Prolegnas tersebut disusun a.l dengan memperhatikan heterogenitas hukum yang terdiri dari hukum adat, hukum Islam, hukum agama lainnya, hukum kontemporer, serta Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum tertinggi
3 Prinsip Pembuatan UU
Dalam pembentukan undang-undang perlu dipegang teguh 3 (tiga) prinsip, yaitu:
1. Kesetiaan kepada cita-cita Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, serta nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila, serta nilai-nilai konstitusional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan damai; dan
3. Dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancar, dan damai serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia (Gani Abdullah, 2006).
Legislasi Ekonomi Syariah
Perkembangan pesat ekonomi syariah saat ini merupakan fakta dan realita yang tak bisa ditolak. Karena itu, kehadirannya harus didukung oleh Undang-Undang. Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum.
Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan kasus hukum bisnis syariah membawa implikasi besar terhadap Undang-Undang lain yang terkait, sehingga perlu dilakukan amandemen beberapa Undang-Undang agar aturan hukum di Indonesia tidak saling bertentangan.
Setidaknya hal ini terkait dengan 25 Undang-Undang, yaitu :
1. Undang-Undang Kepailitan,
2. Undang-Undang Fiducia
3. Undang-Undang Arbitrase
4. Undang-Undang Hak Tanggungan
5. Undang-Undang SUN (Surat Utang Negara)
6. Undang-Undang PT (Perseroan Terbatas)
7. Undang-Undang Jabatan Notaris
8. Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan
9. Undang-Undang PPh
10. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
11. Undang-Undang tentang Bank Indonesia
12. Undang-Undang tentang Perbankan Syariah
13. Undang-Undang tentang Perdagangan (Dagang)
14. Undang-Undang Perwaqafan
15. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
16. Undang-Undang Dokumen Perusahaan
17. Undang-Undang Resi Gudang
18. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
19. Undang-Undang Persaingan Usaha
20. Undang-Undang Asuransi
21. Undang-Undang Pasar Modal
22. Undang-Undang Koperasi
23. Undang-Undang Money Loundring
24. Undang-Undang tentang PPn
25. Peraturan Pemerintah tentang gadai/pegadaian
Penutup
Melihat banyaknya Undang-Undang terkait yang harus diamandemen, maka tidak salah jika dikatakan bahwa realita ini sebagai ledakan pengundangan ekonomi syariah di Indonesia, karena seluruh Undang-Undang terkait harus menyesuaikan.
Program legislasi nasional yang akan datang perlu mengagendakan dan memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan Lembaga Keuangan Syariah yang kini tengah tumbuh dan berkembang.. Penyusunan RUU-RUU yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut di atas dapat diprakarsai baik oleh pemerintah maupun oleh DPR sesuai dengan prosedur dan mekanisme serta ketentuan yang berlaku
fai.uhamka.ac.id
Di Indonesia legislasi hukum Islam mulai terwujud sejak tahun 1989, dengan diundangkannnya Undang-Undang Peradilan Agama No 7 tahun 1989. Legislasi di Indonesia juga telah terwujud dalam bidang perkawinan, waqaf, zakat, warisan, haji dan bank syariah dalam UU No 10 tahun 1998. Meskipun Undang-Undang No 10/1998, tidak khusus mengatur perbankan syariah, tetapi secara riil sistem perbankan syariah telah diatur dan akomodasi secara jelas dalam Undang-Undang tersebut.
Karena Undang-Undang No 10/1998 tidak memadai, maka praktisi dan akademisi ekonomi Islam mendesak dan merumuskan RUU perbankan syariah yang terpisah dari Undang-Undang perbankan konvensional. Insya Allah dalam waktu dekat, RUU tersebut disahkan menjadi UU.
Urgensi Legislasi Nasional
Industri Ekonomi dan keuangan syariah saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kehadiran praktek ekonomi syuariah tersebut harus diatur dengan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan kegiatan atau industri ekonomi syariah di Indonesia. Pertumbuhan industri ekonomi syariah yang semakin meningkat dan berkinerja bagus serta didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang memadai pada gilirannya akan membantu pemulihan ekonomi nasional. Pada sisi yang lain akan memberikan rasa tentram bagi masyarakat karena telah melaksanakan apa yang telah menjadi kesadaran agamanya.
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, and “ an agent of social change”.
Oleh karena itu perlu penentuan agenda legislasi nasional yang mendukung bagi tersusunnya undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syariah yang tidak saja memenuhi kebutuhan kekinian akan tetapi menjangkau pula aspek futuristiknya. Terlaksananya agenda legislasi di bidang ekonomi syariah ini akan berhasil bila dilakukan berdasarkan kajian akademik mendalam dan sistematik, seperti para pakar yang tergabung dalam Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesika (IAEI). Demikian pula dukungan pihak pemerintah dan DPR serta masyarakat ekonomi syariah sendiri beserta seluruh komponen ummat Islam.
Legislasi nasional ekonomi syariah dimaksudkan untuk membangun kepastian hukum yang lebih mantap di bidang ekonomi syariah, juga untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan ekonomi syariah itu sendiri. karena itu upaya ini harus didukung oleh Program Legislasi Nasional. Perkembangan kehidupan ekonomi syariah dari suatu negara dalam kadar tertentu sangat tergantung pada dukungan peraturan perundang-undangan yang mengatur ekonomi syariah tersebut.
Program Legislasi Nasional
Program legislasi Nasional (Proglenas) menjadi dasar dan awal bagi pembentukan undang-undang yang hendak dibuat. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 15 [1]) disebutkan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional. Pengaturan selanjutnya mengenai Prolegnas tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.
Prolegnas tersebut disusun a.l dengan memperhatikan heterogenitas hukum yang terdiri dari hukum adat, hukum Islam, hukum agama lainnya, hukum kontemporer, serta Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum tertinggi
3 Prinsip Pembuatan UU
Dalam pembentukan undang-undang perlu dipegang teguh 3 (tiga) prinsip, yaitu:
1. Kesetiaan kepada cita-cita Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, serta nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam Pancasila, serta nilai-nilai konstitusional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Terselenggaranya negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan damai; dan
3. Dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung dan melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancar, dan damai serta mengayomi seluruh tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia (Gani Abdullah, 2006).
Legislasi Ekonomi Syariah
Perkembangan pesat ekonomi syariah saat ini merupakan fakta dan realita yang tak bisa ditolak. Karena itu, kehadirannya harus didukung oleh Undang-Undang. Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum.
Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Kewenangan pengadilan agama untuk menyelesaikan kasus hukum bisnis syariah membawa implikasi besar terhadap Undang-Undang lain yang terkait, sehingga perlu dilakukan amandemen beberapa Undang-Undang agar aturan hukum di Indonesia tidak saling bertentangan.
Setidaknya hal ini terkait dengan 25 Undang-Undang, yaitu :
1. Undang-Undang Kepailitan,
2. Undang-Undang Fiducia
3. Undang-Undang Arbitrase
4. Undang-Undang Hak Tanggungan
5. Undang-Undang SUN (Surat Utang Negara)
6. Undang-Undang PT (Perseroan Terbatas)
7. Undang-Undang Jabatan Notaris
8. Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan
9. Undang-Undang PPh
10. Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
11. Undang-Undang tentang Bank Indonesia
12. Undang-Undang tentang Perbankan Syariah
13. Undang-Undang tentang Perdagangan (Dagang)
14. Undang-Undang Perwaqafan
15. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
16. Undang-Undang Dokumen Perusahaan
17. Undang-Undang Resi Gudang
18. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
19. Undang-Undang Persaingan Usaha
20. Undang-Undang Asuransi
21. Undang-Undang Pasar Modal
22. Undang-Undang Koperasi
23. Undang-Undang Money Loundring
24. Undang-Undang tentang PPn
25. Peraturan Pemerintah tentang gadai/pegadaian
Penutup
Melihat banyaknya Undang-Undang terkait yang harus diamandemen, maka tidak salah jika dikatakan bahwa realita ini sebagai ledakan pengundangan ekonomi syariah di Indonesia, karena seluruh Undang-Undang terkait harus menyesuaikan.
Program legislasi nasional yang akan datang perlu mengagendakan dan memberikan prioritas pada undang-undang yang berkaitan dengan Lembaga Keuangan Syariah yang kini tengah tumbuh dan berkembang.. Penyusunan RUU-RUU yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut di atas dapat diprakarsai baik oleh pemerintah maupun oleh DPR sesuai dengan prosedur dan mekanisme serta ketentuan yang berlaku
fai.uhamka.ac.id
Zakat Perusahaan Menurut Hukum Islam
Zakat merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah, yakni ibadah dalam bentuk harta yang berdimensi sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.
Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah. Tetapi substansinya tetap sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati.
Al-Qur’an bahkan menyebutkan dengan kata-kata “Amwaalihim”, yakni segala macam harta (Q.S. 9:103) dan kata “kasabtum”, yakni segala macam usaha yang halal (Q.S. 2:267).
Oleh karena itu, ulama kontemporer memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang berada dalam batasan-batasan syari’ah.
Prof.Dr.Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada 9 katagori: 1. Zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan perak, 3. Zakat kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian, 5. Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil laut, 7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll. 8. Zakat pencarian jasa dan profesi, 9. Zakat saham dan obligasi.
Kaedah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (Q.S. 9:103 dan 2:267), juga berpegang pada syaraf harta wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang.
Karena itu harta zakat diperluas kepada seluruh usaha dan profesi yang menghasilkan harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter, pengacara, konsultan, bankir, kontraktor, dosen, notaris, pegawai negeri, TNI, dsb.
Zakat Perusahaan
Para ulama menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legar dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah kegiatan trading atau perdagangan.
Dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik………..”.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka…….
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain: “……Jangan dipisahkan sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai syakhsiah hukmiayah (badan hukum). Para individu di perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam wacara fiqih klasik.
Meskipun ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia dapat dinyatakan sebagai syakhsyiyah hukmiayah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum”.
Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Oleh karena zakat perusahaan, analogi dari zakat perdagangan, maka perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin Mihram.
“Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”.
Berdasarkan kaedah di atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa disebut oleh ulama dengan metode syari’ah.
Yang termasuk kepada aktiva lancar ialah : 1. Kas, 2. Bank (setelah disisihkan unsur bunga), 3. Surat berharga (dengan nilai sebesar harga pasar), 4. Piutang (yakni yang mungkin bisa ditagih), 5. Persediaan, baik yang ada digudang, di show room, di perjalanan di distributor dalam bentuk konsinyasi, barang jadi, barang dalam proses atau masih bahan baku. Semua dinilai dengan harga pasar.
Sabda Nabi “Nilailah dengan harga pada hari jatuhnya kewajiban zakat, kemudian keluarkan zakatnya” (Abu ‘Ubaid bin Salam Al-Amwal).
Sedangkan yang termasuk kewajiban lancar ialah: 1. Hutang usahan, 2. Wesel bayar, 3. Hutang pajak, 4. Biaya yang masih harus dibayar, 5. Pendapatan diterima dimuka, 6. Hutang bank (hutang bunga tidak termasuk) dan 7. Hutang jangka panjang yang jatuh tempo.
Jadi untuk mengetahui nilai harta yang kena zakat dari sebuah perusahaan, ialah aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Metode syari’iy di atas digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor dan sebagainya.
fai.uhamka.ac.id
Dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah. Tetapi substansinya tetap sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang universal dan eternal (abadi), tidak mengajarkan doktrin yang kaku, tetapi memiliki ajaran yang elastis untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati.
Al-Qur’an bahkan menyebutkan dengan kata-kata “Amwaalihim”, yakni segala macam harta (Q.S. 9:103) dan kata “kasabtum”, yakni segala macam usaha yang halal (Q.S. 2:267).
Oleh karena itu, ulama kontemporer memperluas harta benda yang dizakati dengan menggunakan ijtihad kreatif yang berada dalam batasan-batasan syari’ah.
Prof.Dr.Yusuf Qardhawi adalah salah seorang ulama kaliber dunia yang mewakili ulama kontemporer itu. Qardhawi membagi al-amwal az-zakawiyah kepada 9 katagori: 1. Zakat binatang ternak, 2. Zakat emas dan perak, 3. Zakat kekayaan dagang, 4. Zakat hasil pertanian, meliputi tanah pertanian, 5. Zakat madu dan produksi hewani, 6. Zakat barang tambang dan hasil laut, 7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll. 8. Zakat pencarian jasa dan profesi, 9. Zakat saham dan obligasi.
Kaedah yang digunakan ulama dalam memperluas kategori harta wajib zakat adalah bersandar pada dalil-dalil umum, seperti (Q.S. 9:103 dan 2:267), juga berpegang pada syaraf harta wajib zakat, yaitu berpotensi untuk tumbuh dan berkembang.
Karena itu harta zakat diperluas kepada seluruh usaha dan profesi yang menghasilkan harta (uang), seperti penghasilan dari profesi dokter, pengacara, konsultan, bankir, kontraktor, dosen, notaris, pegawai negeri, TNI, dsb.
Zakat Perusahaan
Para ulama menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legar dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah kegiatan trading atau perdagangan.
Dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik………..”.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka…….
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain: “……Jangan dipisahkan sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai syakhsiah hukmiayah (badan hukum). Para individu di perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam wacara fiqih klasik.
Meskipun ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama kontemporer yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum itu sebagai menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena pada hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang saham yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia dapat dinyatakan sebagai syakhsyiyah hukmiayah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perusahaan.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung jawab yang berdiri sendiri secara umum”.
Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Oleh karena zakat perusahaan, analogi dari zakat perdagangan, maka perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu pada zakat perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin Mihram.
“Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan (persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang. Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau miliki”.
Berdasarkan kaedah di atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa disebut oleh ulama dengan metode syari’ah.
Yang termasuk kepada aktiva lancar ialah : 1. Kas, 2. Bank (setelah disisihkan unsur bunga), 3. Surat berharga (dengan nilai sebesar harga pasar), 4. Piutang (yakni yang mungkin bisa ditagih), 5. Persediaan, baik yang ada digudang, di show room, di perjalanan di distributor dalam bentuk konsinyasi, barang jadi, barang dalam proses atau masih bahan baku. Semua dinilai dengan harga pasar.
Sabda Nabi “Nilailah dengan harga pada hari jatuhnya kewajiban zakat, kemudian keluarkan zakatnya” (Abu ‘Ubaid bin Salam Al-Amwal).
Sedangkan yang termasuk kewajiban lancar ialah: 1. Hutang usahan, 2. Wesel bayar, 3. Hutang pajak, 4. Biaya yang masih harus dibayar, 5. Pendapatan diterima dimuka, 6. Hutang bank (hutang bunga tidak termasuk) dan 7. Hutang jangka panjang yang jatuh tempo.
Jadi untuk mengetahui nilai harta yang kena zakat dari sebuah perusahaan, ialah aktiva lancar dikurangi kewajiban lancar. Setelah itu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Metode syari’iy di atas digunakan di Saudi Arabia dan beberapa negara Islam lainnya sebagai pendekatan perhitungan arsitek, konsultan, pengacara, dokter, pegawai negeri, kontraktor dan sebagainya.
fai.uhamka.ac.id
Pendidikan Anak Dalam islam
Dan orang-orang yang berkata : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami kesenangan hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
( QS. Al-Furqan : 74 )
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At Tahrim: 6 ).
“Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.”
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul termulia, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Seringkali orang mengatakan: “Negara ini adikuasa, bangsa itu mulia dan kuat, tak ada seorangpun yang berpikir mengintervensi negara tersebut atau menganeksasinya karena kedigdayaan dan keperkasaannya” .
Dan elemen kekuatan adalah kekuatan ekonomi, militer, teknologi dan kebudayaan. Namun, yang terpenting dari ini semua adalah kekuatan manusia, karena manusia adalah sendi yang menjadipusat segala elemen kekuatan lainnya. Tak mungkin senjata dapat dimanfaatkan, meskipun canggih, bila tidak ada orang yang ahli dan pandai menggunakannya. Kekayaan, meskipun melimpah, akan menjadi mubadzir tanpa ada orang yang mengatur dan mendaya-gunakannya untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat.
Dari titik tolak ini, kita dapati segala bangsa menaruh perhatian terhadap pembentukan individu, pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan warga secara khusus agar mereka menjadi orang yang berkarya untuk bangsa dan berkhidmat kepada tanah air.
Sepatutnya umat Islam memperhatikan pendidikan anak dan pembinaan individu untuk mencapai predikat “umat terbaik”, sebagaimana dinyatakan Allah ‘Azza Wa lalla dalam firman-Nya:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar… “. (Surah Ali Imran : 110).
Dan agar mereka membebaskan diri dari jurang dalam yang mengurung diri mereka, sehingga keadaan mereka dengan umat lainnya seperti yang beritakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
“Hampir saja umat-umat itu mengerumuni kalian bagaikan orang-orang yang sedang makan berkerumun disekitar nampan.”. Ada seorang yang bertanya: “Apakah karena kita berjumlah sedikit pada masa itu?” Jawab beliau: “Bahkan kalian pada masa itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih air bah. Allah niscaya mencabut dari hati musuh kalian rasa takut kepada kalian, dan menanamkan rasa kelemahan dalam dada kalian”. Seorang bertanya: “Ya Rasulullah, apakah maksud kelemahan itu?” Jawab beliau: “Yaitu cinta kepada dunia dan enggan mati”.
PERANAN KELUARGA DALAM ISLAM
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karerena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya.
Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.
Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingya peranan keluarga ini. Maka mereka pun tak segan-segan dalam upaya menghancurkan dan merobohkannya. Mereka mengerahkan segala usaha ntuk mencapai tujuan itu. Sarana yang mereka pergunakan antara lain:
1. Merusak wanita muslimah dan mempropagandakan kepadanya agar meninggallkan tugasnya yang utama dalam menjaga keluarga dan mempersiapkan generasi.
2. Merusak generasi muda dengan upaya mendidik mereka di tempat-tempat pengasuhan yang jauh dari keluarga, agar mudah dirusak nantinya.
3. Merusak masyarakat dengan menyebarkan kerusakan dan kehancuran, sehingga keluarga, individu dan masyarakat seluruhnya dapat dihancurkan.
Sebelum ini, para ulama umat Islam telah menyadari pentingya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh penguru dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila dewasa.”
TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Banyak penulis dan peneliti membicarakan tentang tujuan pendidikan individu muslim. Mereka berbicara panjang lebar dan terinci dalam bidang ini, hal yang tentu saja bermanfaat. Apa yang mereka katakan kami ringkaskan sebagai berikut:
” Nyatalah bahwa pendidikan individu dalam islam mempunyai tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.” (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Mu’atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at Thiflil Muslim wa Thuruq ‘Ilajiha, hal. 76.
MEMPERHATIKAN ANAK SEBELUM LAHIR
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalelhah, Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda :
” Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda :
“Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar”
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita:
“Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: “Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya”.
MEMPERHATIKAN ANAK KETIKA DALAM KANDUNGAN
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam. Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil” (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: “Isnad hadits inijayyid’ )
Sang ibu hendaklah berdo’a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do’a yang dikabulkan adalah do’a orangtua untuk anaknya.
MEMPERHATIKAN ANAK SETELAH LAHIR
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:
1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini. Firman Allah ‘Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bersama malaikat:
“Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari lshaq (akan lahir puteranya) Ya ‘qub. ” (Surah Hud : 71).
Dan firman Allah tentang kisah Nabi Zakariya ‘Alaihissalam:
“Kemudian malaikat Jibril memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu ) Yahya ” (Ali Imran: 39).
Adapun tahni’ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam apabila dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi, maka beliau mendo’akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit mulutnya (dengan korma atau madu )” ( Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud).
Abu Bakar bin Al Mundzir menuturkan: Diriwayatkan kepada kami dari Hasan Basri, bahwa seorang laki-laki datang kepadanya sedang ketika itu ada orang yang baru saja mendapat kelahiran anaknya. Orang tadi berkata: Penunggang kuda menyampaikan selamat kepadamu. Hasan pun berkata: Dari mana kau tahu apakah dia penunggang kuda atau himar? Maka orang itu bertanya: Lain apa yang mesti kita ucapkan. Katanya: Ucapkanlah:
“Semoga berkah bagimu dalam anak, yang diberikan kepadamu, Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dikaruniai kebaikannya, dan dia mencapai kedewasaannya” ( Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Tuhfatul fi Ahkamil Maulud.)
2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan:
“Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah” ( Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi.
Hikmahnya, Wallahu A’lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Allah dan dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga bayi. Juga sebagai perisai bagi anak, karena adzan berpengaruh untuk mengusir dan menjauhkan syaitan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan pemyataan hadits:
” Jika diserukan adzan untuk shalat, syaitan lari terbirit-birit dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan” (Ibid)
3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).
Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit mulut bayi. Caranya,dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis (seperti madu atau gula). Abu Musa menuturkan:
“Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang kepada Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan mendo’akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku”.
Tahnik mempunyai pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr. Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar, edisi 50, menyebutkan: “Tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu’jizat Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia mengenal tujuan dan hikmah di baliknya. Para dokter telah membuktikan bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:
a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).
b. Jika suhu badannya menurun ketika kena udara dingin di sekelilingnya.”‘
4. Memberi nama.
Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik. Diriwayatkan dari Wahb Al Khats’ami bahwa Rasulullah bersabda:
” Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta’ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah” ( HR.Abu Daud An Nasa’i)
Pemberian nama merupakan hak bapak.Tetapi boleh baginya menyerahkan hal itu kepada ibu. Boleh juga diserahkan kepada kakek, nenek,atau selain mereka.
Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: “Semoga mudah urusanmu”
Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya.( Ibnu Qayim Al Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41.)
Termasuk tuntunan Nabi mengganti nama yang jelek dengan nama yang baik. Beliau pernah mengganti nama seseorang ‘Ashiyah dengan Jamilah, Ashram dengan Zur’ah. Disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan :”Nabi mengganti nama ‘Ashi, ‘Aziz, Ghaflah, Syaithan, Al Hakam dan Ghurab. Beliau mengganti nama Syihab dengan Hisyam, Harb dengan Aslam, Al Mudhtaji’ dengan Al Munba’its, Tanah Qafrah (Tandus) dengan Khudrah (Hijau), Kampung Dhalalah (Kesesatan) dengan Kampung Hidayah (Petunjuk), dan Banu Zanyah (Anak keturunan haram) dengan Banu Rasydah (Anak keturunan balk).” (Ibid)
5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda:
“Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya” (HR. Al Bukhari.)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,bahwaRasulullah bersabda:
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing” (HR. Ahmad dan Turmudzi).
Aqiqah merupakah sunnah yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama. Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh boleh dilaksanakan kapan saja, Wallahu A’lam.
Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6 bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun, dan harus bebas dari cacat.
6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
Hal ini mempunyai banyak faedah, antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun mempunyai faedah yang jelas.
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, katanya:
“Fatimah Radhiyalllahu ‘anha menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa’)
7. Khitan.
Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah bersabda:
“Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak” (HR. Al-bukhari, Muslim)
Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab (dianjurkar) bagi kaum wanita.WallahuA’lam.
Inilah beberapa etika terpenting yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat pertama dari kelahiran anak.
Namun, di sana ada beberapa kesalahan yang terjadi pada saat menunggu kedatangannya Secara singkat, antara lain:
A. Membacakan ayat tertentu dari Al Qur’an untuk wanita yang akan melahirkan; atau menulisnya lalu dikalungkan pada wanita, atau menulisnya lalu dihapus dengan air dan diminumkan kepada wanita itu atau dibasuhkan pada perut danfarji (kemaluan)nya agar dimudahkan dalam melahirkan. ltu semua adalah batil, tidak ada dasamya yang shahih dari Rasulullah, Akan tetapi bagi wanita yang sedang menahan rasa sakit karena melahirkan wajib berserah diri kepada Allah agar diringankan dari rasa sakit dan dibebaskan dari kesulitannya Dan ini tidak bertentangan dengan ruqyah yang disyariatkan.
B. Menyambut gembira dan merasa senang dengan kelahiran anak laki-laki, bukan anak perempuan.
Hal ini termasuk adat Jahiliyah yang dimusuhi Islam. Firman Allah yang berkenaan dengan mereka:
“Apabila seseorang dari merea diberi kabar dengan (kelahiran) anak, perempuan, hitamlah (merah padamlah) matanya, dan dia sangat marah; ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan padanya. Apakah dia akan memeliharannya dengan menanggumg kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang telah mereka lakukan itu”(Surah An Nahl : 58-59).
Mungkin ada sebagian orang bodoh yang bersikap berlebihan dalam hal ini dan memarahi isterinya karena tidak melahirkan kecuali anak perempuan. Mungkin pula menceraikan isterinya karena hal itu, padahal kalau dia menggunakan akalnya, semuanya berada di tangan Allah ‘Azza wa lalla. Dialah yang memberi dan menolak. Firman-Nya:
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki atau Dia menganugerahkan kepada siapa yang dia kehendaki-Nya, dan dia menjadikan Mandul siapa yang Dia kehendaki…” (Surah Asy Syura :49-50).
Semoga Allah memberikan petunjukkepada seluruh kaum Muslimin.
C. Menamai anak dengan nama yang tidak pantas.Misalnya, nama yang bermakna jelek, atau nama orang-orang yang menyimpang seperti penyanyi atau tokoh kafir. Padahal menamai anak dengan nama yang baik merupakan hak anak yang wajib atas walinya.
Termasuk kesalahan yang berkaitan dengan pemberian nama, yaitu ditangguhkan sampai setelah seminggu.
D. Tidak menyembelih aqiqah untuk anak padahal mampu melakukannya. Aqiqah merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam, dan mengikuti tuntunan beliau adalah sumber segala kebaikan.
E. Tidak menetapi jumlah bilangan yang ditentukan untuk aqiqah. Ada yang mengundang untuk acara aqiqah semua kenalannya dengan menyembelih 20 ekor kambing, ini merupakan tindakan berlebihan yang tidak disyariatkan. Ada pula yang kurang dari jumlah bilangan yang ditentukan, dengan menyembelih hanya seekor kambing untuk anak iaki-laki, inipun menyalahi yang disyariatkan. Maka hendaklah kita menetapi sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wasalam tanpa menambah ataupun mengurangi.
F. Menunda khitan setelah akil baligh.Tradisi ini dulu terjadi pada beberapa suku, seorang anak dikhitan sebelum kawin dengan cara yang biadab di hadapan orang banyak.
Itulah sebagian kesalahan, dan masih banyak lainnya. Semoga cukup bagi kita dengan menyebutkan etika dan tata cara yang dituntunkan ketika menerima kelahiran anak. Karena apapun yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, termasuk kesalahan yang tidak disyariatkan. (Disarikan dari kitab Adab Istiqbal al Maulud fil Islam, oleh ustadz Yusuf Abdullah al Arifi)
MEMPERHATIKAN ANAK PADA USIA ENAM TAHUN PERTAMA
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.)
Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:
1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. “Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak.” (Muhammad Quthub,Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.)
Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.
2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
Kami kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini.
Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang.
3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. “Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak.
Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya.” (Ibid.)
4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.
Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)
” Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.
” Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.
” Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan ·tidur dengan miring ke kanan.
” Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.
” Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.
” Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.
” Dilarang bermain dengan hidungnya.
” Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.
” Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.
” Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.
” Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.
” Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.
” Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.
” Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.
” Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.
” Dibiasakan membaca “AZhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan
“Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.
” Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.
” Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.
” Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).
” Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.
” Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.
” Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.
” Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.
” Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.
” Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.
” Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.
” Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.
” Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.
” Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.
” Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri
( QS. Al-Furqan : 74 )
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At Tahrim: 6 ).
“Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.”
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul termulia, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Seringkali orang mengatakan: “Negara ini adikuasa, bangsa itu mulia dan kuat, tak ada seorangpun yang berpikir mengintervensi negara tersebut atau menganeksasinya karena kedigdayaan dan keperkasaannya” .
Dan elemen kekuatan adalah kekuatan ekonomi, militer, teknologi dan kebudayaan. Namun, yang terpenting dari ini semua adalah kekuatan manusia, karena manusia adalah sendi yang menjadipusat segala elemen kekuatan lainnya. Tak mungkin senjata dapat dimanfaatkan, meskipun canggih, bila tidak ada orang yang ahli dan pandai menggunakannya. Kekayaan, meskipun melimpah, akan menjadi mubadzir tanpa ada orang yang mengatur dan mendaya-gunakannya untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat.
Dari titik tolak ini, kita dapati segala bangsa menaruh perhatian terhadap pembentukan individu, pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan warga secara khusus agar mereka menjadi orang yang berkarya untuk bangsa dan berkhidmat kepada tanah air.
Sepatutnya umat Islam memperhatikan pendidikan anak dan pembinaan individu untuk mencapai predikat “umat terbaik”, sebagaimana dinyatakan Allah ‘Azza Wa lalla dalam firman-Nya:
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar… “. (Surah Ali Imran : 110).
Dan agar mereka membebaskan diri dari jurang dalam yang mengurung diri mereka, sehingga keadaan mereka dengan umat lainnya seperti yang beritakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
“Hampir saja umat-umat itu mengerumuni kalian bagaikan orang-orang yang sedang makan berkerumun disekitar nampan.”. Ada seorang yang bertanya: “Apakah karena kita berjumlah sedikit pada masa itu?” Jawab beliau: “Bahkan kalian pada masa itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih air bah. Allah niscaya mencabut dari hati musuh kalian rasa takut kepada kalian, dan menanamkan rasa kelemahan dalam dada kalian”. Seorang bertanya: “Ya Rasulullah, apakah maksud kelemahan itu?” Jawab beliau: “Yaitu cinta kepada dunia dan enggan mati”.
PERANAN KELUARGA DALAM ISLAM
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karerena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya.
Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.
Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingya peranan keluarga ini. Maka mereka pun tak segan-segan dalam upaya menghancurkan dan merobohkannya. Mereka mengerahkan segala usaha ntuk mencapai tujuan itu. Sarana yang mereka pergunakan antara lain:
1. Merusak wanita muslimah dan mempropagandakan kepadanya agar meninggallkan tugasnya yang utama dalam menjaga keluarga dan mempersiapkan generasi.
2. Merusak generasi muda dengan upaya mendidik mereka di tempat-tempat pengasuhan yang jauh dari keluarga, agar mudah dirusak nantinya.
3. Merusak masyarakat dengan menyebarkan kerusakan dan kehancuran, sehingga keluarga, individu dan masyarakat seluruhnya dapat dihancurkan.
Sebelum ini, para ulama umat Islam telah menyadari pentingya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh penguru dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila dewasa.”
TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Banyak penulis dan peneliti membicarakan tentang tujuan pendidikan individu muslim. Mereka berbicara panjang lebar dan terinci dalam bidang ini, hal yang tentu saja bermanfaat. Apa yang mereka katakan kami ringkaskan sebagai berikut:
” Nyatalah bahwa pendidikan individu dalam islam mempunyai tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.” (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Mu’atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at Thiflil Muslim wa Thuruq ‘Ilajiha, hal. 76.
MEMPERHATIKAN ANAK SEBELUM LAHIR
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalelhah, Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda :
” Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda :
“Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar”
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita:
“Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: “Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya”.
MEMPERHATIKAN ANAK KETIKA DALAM KANDUNGAN
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam. Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil” (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: “Isnad hadits inijayyid’ )
Sang ibu hendaklah berdo’a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do’a yang dikabulkan adalah do’a orangtua untuk anaknya.
MEMPERHATIKAN ANAK SETELAH LAHIR
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:
1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini. Firman Allah ‘Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bersama malaikat:
“Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari lshaq (akan lahir puteranya) Ya ‘qub. ” (Surah Hud : 71).
Dan firman Allah tentang kisah Nabi Zakariya ‘Alaihissalam:
“Kemudian malaikat Jibril memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu ) Yahya ” (Ali Imran: 39).
Adapun tahni’ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam apabila dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi, maka beliau mendo’akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit mulutnya (dengan korma atau madu )” ( Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud).
Abu Bakar bin Al Mundzir menuturkan: Diriwayatkan kepada kami dari Hasan Basri, bahwa seorang laki-laki datang kepadanya sedang ketika itu ada orang yang baru saja mendapat kelahiran anaknya. Orang tadi berkata: Penunggang kuda menyampaikan selamat kepadamu. Hasan pun berkata: Dari mana kau tahu apakah dia penunggang kuda atau himar? Maka orang itu bertanya: Lain apa yang mesti kita ucapkan. Katanya: Ucapkanlah:
“Semoga berkah bagimu dalam anak, yang diberikan kepadamu, Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dikaruniai kebaikannya, dan dia mencapai kedewasaannya” ( Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Tuhfatul fi Ahkamil Maulud.)
2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan:
“Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah” ( Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi.
Hikmahnya, Wallahu A’lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Allah dan dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga bayi. Juga sebagai perisai bagi anak, karena adzan berpengaruh untuk mengusir dan menjauhkan syaitan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan pemyataan hadits:
” Jika diserukan adzan untuk shalat, syaitan lari terbirit-birit dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan” (Ibid)
3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).
Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit mulut bayi. Caranya,dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis (seperti madu atau gula). Abu Musa menuturkan:
“Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang kepada Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan mendo’akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku”.
Tahnik mempunyai pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr. Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar, edisi 50, menyebutkan: “Tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu’jizat Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia mengenal tujuan dan hikmah di baliknya. Para dokter telah membuktikan bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:
a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).
b. Jika suhu badannya menurun ketika kena udara dingin di sekelilingnya.”‘
4. Memberi nama.
Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik. Diriwayatkan dari Wahb Al Khats’ami bahwa Rasulullah bersabda:
” Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta’ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah” ( HR.Abu Daud An Nasa’i)
Pemberian nama merupakan hak bapak.Tetapi boleh baginya menyerahkan hal itu kepada ibu. Boleh juga diserahkan kepada kakek, nenek,atau selain mereka.
Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: “Semoga mudah urusanmu”
Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya.( Ibnu Qayim Al Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41.)
Termasuk tuntunan Nabi mengganti nama yang jelek dengan nama yang baik. Beliau pernah mengganti nama seseorang ‘Ashiyah dengan Jamilah, Ashram dengan Zur’ah. Disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan :”Nabi mengganti nama ‘Ashi, ‘Aziz, Ghaflah, Syaithan, Al Hakam dan Ghurab. Beliau mengganti nama Syihab dengan Hisyam, Harb dengan Aslam, Al Mudhtaji’ dengan Al Munba’its, Tanah Qafrah (Tandus) dengan Khudrah (Hijau), Kampung Dhalalah (Kesesatan) dengan Kampung Hidayah (Petunjuk), dan Banu Zanyah (Anak keturunan haram) dengan Banu Rasydah (Anak keturunan balk).” (Ibid)
5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda:
“Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya” (HR. Al Bukhari.)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,bahwaRasulullah bersabda:
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing” (HR. Ahmad dan Turmudzi).
Aqiqah merupakah sunnah yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama. Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh boleh dilaksanakan kapan saja, Wallahu A’lam.
Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6 bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun, dan harus bebas dari cacat.
6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
Hal ini mempunyai banyak faedah, antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun mempunyai faedah yang jelas.
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, katanya:
“Fatimah Radhiyalllahu ‘anha menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa’)
7. Khitan.
Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah bersabda:
“Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak” (HR. Al-bukhari, Muslim)
Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab (dianjurkar) bagi kaum wanita.WallahuA’lam.
Inilah beberapa etika terpenting yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat pertama dari kelahiran anak.
Namun, di sana ada beberapa kesalahan yang terjadi pada saat menunggu kedatangannya Secara singkat, antara lain:
A. Membacakan ayat tertentu dari Al Qur’an untuk wanita yang akan melahirkan; atau menulisnya lalu dikalungkan pada wanita, atau menulisnya lalu dihapus dengan air dan diminumkan kepada wanita itu atau dibasuhkan pada perut danfarji (kemaluan)nya agar dimudahkan dalam melahirkan. ltu semua adalah batil, tidak ada dasamya yang shahih dari Rasulullah, Akan tetapi bagi wanita yang sedang menahan rasa sakit karena melahirkan wajib berserah diri kepada Allah agar diringankan dari rasa sakit dan dibebaskan dari kesulitannya Dan ini tidak bertentangan dengan ruqyah yang disyariatkan.
B. Menyambut gembira dan merasa senang dengan kelahiran anak laki-laki, bukan anak perempuan.
Hal ini termasuk adat Jahiliyah yang dimusuhi Islam. Firman Allah yang berkenaan dengan mereka:
“Apabila seseorang dari merea diberi kabar dengan (kelahiran) anak, perempuan, hitamlah (merah padamlah) matanya, dan dia sangat marah; ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan padanya. Apakah dia akan memeliharannya dengan menanggumg kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang telah mereka lakukan itu”(Surah An Nahl : 58-59).
Mungkin ada sebagian orang bodoh yang bersikap berlebihan dalam hal ini dan memarahi isterinya karena tidak melahirkan kecuali anak perempuan. Mungkin pula menceraikan isterinya karena hal itu, padahal kalau dia menggunakan akalnya, semuanya berada di tangan Allah ‘Azza wa lalla. Dialah yang memberi dan menolak. Firman-Nya:
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki atau Dia menganugerahkan kepada siapa yang dia kehendaki-Nya, dan dia menjadikan Mandul siapa yang Dia kehendaki…” (Surah Asy Syura :49-50).
Semoga Allah memberikan petunjukkepada seluruh kaum Muslimin.
C. Menamai anak dengan nama yang tidak pantas.Misalnya, nama yang bermakna jelek, atau nama orang-orang yang menyimpang seperti penyanyi atau tokoh kafir. Padahal menamai anak dengan nama yang baik merupakan hak anak yang wajib atas walinya.
Termasuk kesalahan yang berkaitan dengan pemberian nama, yaitu ditangguhkan sampai setelah seminggu.
D. Tidak menyembelih aqiqah untuk anak padahal mampu melakukannya. Aqiqah merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam, dan mengikuti tuntunan beliau adalah sumber segala kebaikan.
E. Tidak menetapi jumlah bilangan yang ditentukan untuk aqiqah. Ada yang mengundang untuk acara aqiqah semua kenalannya dengan menyembelih 20 ekor kambing, ini merupakan tindakan berlebihan yang tidak disyariatkan. Ada pula yang kurang dari jumlah bilangan yang ditentukan, dengan menyembelih hanya seekor kambing untuk anak iaki-laki, inipun menyalahi yang disyariatkan. Maka hendaklah kita menetapi sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wasalam tanpa menambah ataupun mengurangi.
F. Menunda khitan setelah akil baligh.Tradisi ini dulu terjadi pada beberapa suku, seorang anak dikhitan sebelum kawin dengan cara yang biadab di hadapan orang banyak.
Itulah sebagian kesalahan, dan masih banyak lainnya. Semoga cukup bagi kita dengan menyebutkan etika dan tata cara yang dituntunkan ketika menerima kelahiran anak. Karena apapun yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, termasuk kesalahan yang tidak disyariatkan. (Disarikan dari kitab Adab Istiqbal al Maulud fil Islam, oleh ustadz Yusuf Abdullah al Arifi)
MEMPERHATIKAN ANAK PADA USIA ENAM TAHUN PERTAMA
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.)
Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:
1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. “Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak.” (Muhammad Quthub,Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.)
Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.
2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
Kami kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini.
Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang.
3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. “Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak.
Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya.” (Ibid.)
4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.
Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)
” Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.
” Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.
” Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan ·tidur dengan miring ke kanan.
” Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.
” Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.
” Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.
” Dilarang bermain dengan hidungnya.
” Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.
” Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.
” Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.
” Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.
” Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.
” Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.
” Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.
” Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.
” Dibiasakan membaca “AZhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan
“Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.
” Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.
” Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.
” Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).
” Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.
” Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.
” Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.
” Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.
” Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.
” Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.
” Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.
” Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.
” Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.
” Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.
” Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri
Subscribe to:
Posts (Atom)