Showing posts with label Pendidikan Islam. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan Islam. Show all posts

Friday, May 15, 2009

Download Perencanaan Pendidikan ppt



perencanaan pendidikan ini hadir dalam bentuk power point. mudah digunakan dalam presentasi pendidikan, baik baik dosen maupun mahasiswa yang jurusan pendidikan perencanaan pendidikan yang diramu dalam bentuk ppt ini merupakan hasil kuliah saya dulu di jurusan manajemen pendidikan Islam. mohon kerelaan bagi dosen yang memiliki file ini agar menjadi ilmu yang bermanfaat. silahkan download

Tuesday, May 5, 2009

Program Tahunan bahasa Arab MA/MAN



program tahunan biasanya disusun pada awal semester. di tengah kesibukan guru-guru bahasa khususnya bahasa Arab untuk menyusun program tahunannya maka kami berikan secara gratis. silahkandownload

Tuesday, February 24, 2009

Kebijakan pendidikan Nasional Tanpa Diskriminasi

Oleh: Bambang Sudibyo

A. PENDAHULUAN

Pada prinsipnya pendidikan merupakan bentuk kesadaran masyarakat yang ingin meningkatkan peradabannya, sehingga mereka menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai jati diri. Peran serta masyarakat di bidang pendidikan sejak semula sudah terlihat, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan. Seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Al-Khairat di Gorontalo dan Sulawesi Tengah, Al-Washliyah di Sumatera, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Taman Siswa, MKGR, Kosgoro dan masih banyak lagi yang kontribusinya sangat nyata terhadap pendidikan. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, maka tidak mungkin Pemerintah mampu mengemban tugasnya dengan baik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di sinilah dibutuhkan adanya dialektik akrab antara pemerintah dan masyarakat.

Saat ini kita telah memiliki perangkat perundang-undangan yang cukup baik, dan bisa dijadikan acuan dasar bagi peningkatan mutu pendidikan nasional, di antaranya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bahkan, kita juga sudah memiliki payung hukum untuk meningkatkan profesionalisme, kompetensi serta kesejahteraan para pendidik kita, yakni UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Untuk mewujudkan apa yang digariskan dan diamanatkan dalam berbagai perangkat peraturan tersebut, kita memerlukan strategi dan perencanaan yang matang dan didasarkan pada analisis yang benar-benar obyektif terhdap kondisi pendidikan kita saat ini. Salah satu yang diupayakan Pemerintah adalah dengan memperbarui Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan Nasional, yang diharapkan bisa menjadi rujukan pelaksanaan program-program pendidikan dalam beberapa tahun mendatang. Muaranya adalah pada pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan.

B.Garis Besar Renstra Pendidikan Nasional

Renstra Pendidikan Nasional Tahun 2006 dilandaskan pada visi: “terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Adapun misi yang dilakukan untuk merealisasikan visi tersebut adalah:

 

  • mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
  • membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
  • meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
  • meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
  • memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Dasar-dasar dari visi dan misi tersebut dimuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Bab I tentang Ketentuan Umum. Dari UU tersebut kita bisa melihat bahwa yang dimaksud dengan manusia berkualitas adalah manusia seutuhnya. Pengertian ini berbeda dengan paradigma klasik yang menganggap manusia sebagai tenaga kerja alat yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dan tuntutan-tuntutan akumulasi modal dalam sistem ekonomi kapitalis. Bukan semacam ini paradigma pendidikan yang kita kembangkan. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa output pendidikan kita jika kita menggunakan paradigma klasik tersebut.

Pendidikan yang kita kembangkan adalah pendidikan yang memiliki empat segi yaitu: olah kalbu, olah pikir, olah rasa dan olahraga. Olah kalbu adalah pendidikan akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, sehingga peserta dididik memiliki kepribadian yang unggul. Ini adalah aktualisasi dari potensi hati manusia dan merupakan bagian pendidikan yang paling mendasar dan paling penting. Dalam istilah pendidikan, hal itu termasuk merupakan aspek afeksi. Dalam keyakinan agama kita –berdasarkan sebuah riwayat hadits dari Imam Muslim– dijelaskan bahwa,  semua perbuatan (amal) berangkat dari kualitas niat. Pendidikan afeksi adalah bagaiamana membangun manusia berhati baik dan prakarsanya menjadi baik, karena didasarkan pada niat baik pula. Niat yang baik dan postif akan bisa menjadikan manusia bersifat produktif. Inilah yang dalam istilah populer saat ini disebut dengan kecerdasan spiritual.

Olah pikir berarti membangun manusia agar memiliki kemandirian serta menguasi ilmu pengetahun dan teknologi. Olah pikir berorientasi pada pembangunan manusia yang cerdas, kreatif dan inovatif. Olah rasa bertujuan menghasilkan manusia yang apresiatif, sensitif serta mampu mengekspresikan keindahan dan kehalusan. Ini sangat penting, karena tidak ada rasa syukur manakala kita tidak memiliki apresiasi terhadap keindahan dan kehalusan. Ini merupakan bagian terpenting dari potensi kehidupan manusia. Aspek ini pula yang selama ini kurang mendapatkan perhatian sehingga kita merasakan kegagalan dalam mendidik para pelajar kita. Salah satu dampaknya adalah bahwa kita tidak terbiasa untuk memberikan apresiasi kepada orang lain dan mudah dihasut serta berprilaku destruktif. Sedangkan olah raga merupakan proses pembangunan manusia sehingga bisa menjadikan dirinya sebagai penopang bagi berfungsinya hati, otak dan rasa.

Oleh sebab itu, orientasi pendidikan yang memiliki paradigma manusia seutuhnya sebagaimana disebutkan di atas adalah sejalan dengan konsep insan kamil. Pendidikan yang ingin kita bangun adalah pendidikan yang menciptakan manusia yang “arif” seperti para Nabi; “cerdas” seperti Einsten; dan “kuat” seperti Mike Tyson. Jadi, UU Nomor 20 tentang Sisdiknas itu pada dasarnya sangat islami.

Misi perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu sejalan dengan prinsip pendidikan UNESCO, “education for all”. Islam juga mengajarkan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Islam bahkan mengajarkan bahwa kewajiban belajar tidak hanya pada usia 7-15 tahun saja, tetapi sepanjang hayat. Hal ini sejalan dengan QS. Alu Imran, 3 : 191 yang berbunyi “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”. Itulah cermin manusia seutuhnya yang menggunakan hati dan pikirannya untuk selalu berdzikir kepada Allah, bertafakkur mengamati alam semesta, sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini bukan untuk main-main, tetapi dengan tujuan yang amat tinggi dan mulia yaitu tujuan kehidupan manusia yang tidak berhenti di dunia ini saja. Oleh sebab itu, ayat-ayat selanjutnya berisi do’a agar diberi petunjuk oleh Allah dan selalu ditempatkan pada jalan yang benar dan diridlai-Nya.

Alam semesta dan kehidupan di dalamnya merupakan lembaga pendidikan bagi manusia yang pada akhirnya mengelompokkan manusia ke dalam dua golongan. Ada yang sukses meraih kelulusan, sehingga menjadi manusia yang berbahagia mendapat surga dan ada yang tidak berhasil, sehingga menjadi penghuni neraka. Hidup adalah wahana pendidikan dari Tuhan yang di dalamnya terdapat proses pembelajaran dan pengujian. Di sinilah kita bisa memahami mengapa menuntut ilmu diwajibkan dalam Islam.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa sehingga mereka sendiri merubah apa yang ada di dalam dirinya. Termasuk yang ada di dalam diri manusia adalah hati, fikir, rasa dan raga. Maka, tepat sekali jika pada amandemen tahun 2000 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa, pendidikan adalah hak asasi manusia, dan pada amandemen tahun 2002 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa,  tanggung jawab negara dalam pendidikan diwujudkan dalam APBN sekurang-kurangnya 20%. Ini merupakan keputusan yang bisa disebut lompatan quantum, karena diambil pada saat negara sedang mengalami kesulitan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi memang itu harus dilakukan jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini. Amandemen UUD tersebut ini kemudian ditindaklanjuti dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang sangat islami. Meskipun hasilnya tidak bisa kita lihat sekaligus, akhir-akhir ini kita melihat geliat yang begitu tinggi di masyarakat untuk memajukan pendidikan. Akhir-akhir ini, misalnya, banyak pesantren yang membuka pendidikan formal, dan itu akan dapat dilihat hasilnya 10-15 tahun mendatang.

Oleh sebab itu, pendidikan nasional harus diarahkan pula untuk bagaimana membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa. Dengan cara inilah kita bisa melihat apa sesungguhnya yang kita miliki saat ini dan bagaimana melakukan upaya terus menerus untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak-anak bangsa kita. Pendidikan sendiri sebagaimana pengertiannya yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari peningkatan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan; profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendidikan; serta upaya untuk memberdayakan peran serta masyarakat dalam konteks otonomi dan negara kesatuan.

Dengan demikian, maka ada tiga pilar kebijakan dan prioritas untuk pencapaian sasaran dalam pendidikan nasional, yaitu: (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daua saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Inilah yang direncanakan dan akan dilakukan melalui kerjasama sinergis antara Depdiknas RI, Depag RI dan tentunya juga masyarakat.

Pemerataan dan perluasan akses terkait masalah-masalah pendidikan yang kita temukan di masyarakat saat ini. Pemerintah saat ini sedang menyusun program agar pemerintah daerah (Pemda)  ikut serta memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Keberadaan sekolah yang telah menerima dana BOS di kota-kota di daerah saat ini, memang sulit sekali untuk menggratiskan biaya pendidikan kepada peserta didiknya. Sebagai contoh,  SD Muhammadiyah di Suragaya mempunyai RAPBS tiap tahun sebesar Rp. 500.000.000,-, sedangkan dana BOS yang mereka terima hanya sebesar Rp. 250.000.000,-. Begitu juga madrasah-madrasah Maarif unggulan dengan siswa yang tinggal di asrama dan dengan pelayanan yang memadai, tentu akan kesulitan untuk menggratiskan biaya pendidikan. Tapi, dengan adanya dana BOS, paling tidak pungutan kepada siswa agak menurun, tidak sebesar sebelumnya. Akan tetapi, pernah juga ditemukan sekolah di sebuah desa terpencil yang memang betul-betul menggratiskan biaya pendidikan. Di Yogyakarta, dijumpai beberapa sekolah yang sudah dapat menggratiskan biaya. Bahkan di Jawa Timur, Pemda mampu memberikan tambahan biaya  sebesar Rp. 10.000,- persiswa, sehingga biaya pendidikan semakin ringan.

Berkaitan dengan sarana dan pra sarana, Depdiknas RI telah menandatangani MoU untuk rehabilitasi gedung sekolah dengan Pemda, dengan komposisi tanggungan 50% pusat dan 50 % daerah. Prioritas Pemerintah adalah daerah pedesaan.

Masalah lainnya juga berkaitan dengan angka buta aksara di Indonesia yang pada tahun 2006 ini mencapai 8,3 persen. Pada tahun 2004 tercatat 10,6. Pemerintah berencana menuntaskan pemberantasan buta aksara, sehinga pada tahun 2008 mencapai 5,0 persen. Daerah buta aksara terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Barat, dan Banten. Yogyakarta Bali, NTB dan NTT termasuk tinggi. Mengingat Jawa Timur merupakan basis Ma’arif yang cukup besar, maka Pemerintah benar-benar menginginkan adanya kerjasama yang kuat dengan NU untuk menuntaskan pemberantasan buta aksara dan penyukesesan wajar dikdas.

Angka buta aksara perempuan adalah dua kali lipat dari laki-laki. Namun ada fenomena menarik di sini. Di Madura, ada seorang perempuan cantik dan kaya,  tetapi buta aksara. Ironisnya, kalau disuruh membaca “duit”, dia mengerti. Biasanya, buta aksara identik dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Inilah yang harus kita berantas, sejalan dengan amanat QS. al-Ma’un, yakni memberdayakan orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, Menteri Pendidikan Nasional sudah menandatangani MoU dengan organisasi-organisasi perempuan termasuk Muslimat NU dan Aisyiyah untuk penanganan buta aksara. Khusus kedua organisasi tersebut, Depdiknas memberikan kesempatan untuk berdakwah di kalangan akar rumput.

Secara keseluruhan, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan meliputi:

 

  • Pendanaan satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar (wajar).
  • Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di sekolah/madrasah, termasuk di pesantren salafiyah, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya, serta satuan/program pendidikan nonformal
  • Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di SLB dan sekolah inklusif
  • Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil/kepulauan yang berpenduduk jarang dan terpencar
  • Penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan satuan pendidikan pelaksana program wajar
  • Penyediaan sarana dan prasarana satuan pendidikan pelaksana program wajar
  • Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia  di atas 15 tahun
  •  Perluasan akses pendidikan melalui  ICT dan TV Edukasi
  • Perluasan pendidikan kecakapan hidup, termasuk bagi santri Pondok Pesantren
  • Perluasan akses SMA/MA/SMK/MAK dan SM terpadu
  • Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/MA/MAK/SM Terpadu, SLB, dan PT
  • Peningkatan akses lulusan SMA/MA berprestasi/berbakat istimewa  ke pendidikan lanjutan di PT Unggulan di dalam dan luar negeri
  • Perluasan akses PT/PTA
  • Pelaksanaan advokasi pendidikan yang responsif gender
  • Perluasan akses PAUD, termasuk  TK, RA, BA, KB, TPA, TPQ

Kondisi saat ini dan target ke depan berkaitan dengan kebijakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1

Indokator Kunci dan Target Pilar

Kebijakan Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan

SASARAN

INDIKATOR KUNCI

KONDISI DAN TARGET

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Perluasan Akses PendidikanAPK Pra Sekolah

39,09%

42,34%

45,19%

48,07%

50,47%

53,90%

APM SD/Paket A/MI/SDLB

94.12%

94.30%

94.48%

94.66%

94.81%

95.00%

APK SMP/Paket B/MTs/SMPLB

81.22%

85.22%

88.50%

91.75%

95.00%

98.00%

APK SMA/SMK/Paket C/MA/SMALB

48.25%

52.20%

56.20%

60.20%

64.20%

68.20%

APK PT/PTA, termasuk UT

14.62%

15.00%

15.57%

16.38%

17.19%

18.00%

Prosentase Buta Aksara > 15 th

10.21%

9.55%

8.44%

7.33%

6.22%

5.00%

Pemerataan Akses PendidikanDisparitas APK PAUD antara kab dan kota

16.94

16.94

15.54

14.04

12.54

11.04

Disparitas APK SD/MI/SDLB antara kab dan kota

2.49

2.49

2.40

2.30

2.15

2.00

Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB antara kab dan kota

25.14

25.14

23.00

19.00

16.00

13.00

Disparitas APK SMA/MA/SMK/SMALB antara kab dan kota

33.13

33.13

31.00

29.00

27.00

25.00

Disparitas gender APK di jenjang pendidikan Menengah

6,16

6,07

5,98

5,89

5,80

5,71

Disparitas gender APK di jenjang pendidikan tinggi

9,90

9,62

9,33

9,05

8,76

8,48

Disparitas gender persentase buta aksara

7.32

6.59

5.86

5,13

4.40

3.65

 Adapun kebijakan untuk meningkatan mutu, relevansi dan daya saing dilakukan salah satunya dengan cara memberikan akses yang sama terhadap seluruh lembaga pendidikan untuk semua. Saat ini, telah ditandatangai Permendiknas RI yang menjangkau semua, bahkan pendidikan non formal dan informal untuk bisa ikut dalam perhelatan olimpiade. Target tahun depan dapat mengalahkan China sebagai juara umum dalam olimpiade fisika.

Selain itu, Depdiknas RI sementara ini tidak lagi membuka SMA tetapi SMK. Depag RI pun sebaiknya tidak membuka MA tetapi membuka MAK, kecuali di tempat-tempat tertentu yang memang masih sangat dibutuhkan. Sekolah dapat mengeluarkan sertifikat-sertifikat life skill, seperti komputer, bahasa Inggris, bahasa Arab, akuntansi dan lain-lain.

Secara keseluruhan, kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing ini meliputi:

 

  • Pengembangan sekolah/madrasah bertaraf internasional di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota
  • Pengembangan SMA/MA/SMK/MAK berbasis keunggulan lokal di setiap Kab/Kota
  • Pengembangan satuan pendidikan berwawasan multikultural dan budaya sekolah berbasis nilai-nilai keagamaan
  • Pengembangan MA Keagamaan
  • Peningkatan kualitas proses pembelajaran pendidikan agama, ahklak mulia, dan kepribadian
  • Perluasan dan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan perpustakaan termasuk taman bacaan masyarakat
  • Pengembangan guru sebagai profesi
  • Pengembangan kompetensi dan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan
  • Penjaminan mutu secara komprehensif dan  terprogram dengan mengacu kepada SNP
  • Implementasi dan penyempurnaan SNP oleh BSNP
  • Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi, termasuk pendidikan kedinasan
  • Peningkatan sarana dan prasarana satuan pendidikan
  • Pengembangan pembelajaran berbasis ICT dan TV, termasuk pada pendidikan nonformal serta pendidikan agama dan keagamaan
  • Akselerasi jumlah program studi vokasi, profesi, dan keagamaan
  • Peningkatan peran PT/PTA dalam pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kemiskinan, dan keterbelangkangan dalam rangka memecahkan masalah bangsa
  • Penyesuaian program pendidikan kedinasan dengan peraturan perundangan, serta peningkatan mutu dan relevansinya
  • Pengembangan kerjasama PT/ PTA dengan PT Unggulan Dalam dan Luar Negeri
  • Mendorong jumlah jurusan di PT/PTA agar masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar dunia atau berakreditasi OECD/Internasional
  • Peningkatan kepemimpinan dan enterpreneurship lulusan PT/PTA
  • Peningkatan mutu dan kompetensi lulusan PT/PTA, serta peningkatan akses lulusan ke lapangan kerja yang beragam
  • Peningkatan kompetensi dan profesionalisme dosen PT/PTA
  • Peningkatan intensitas dan kualitas penelitian di PT dan penyebarluasan hasilnya
  • Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI

Tabel 2

Indikator Kunci dan Target Pilar Kebijakan

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

SASARAN

INDIKATOR KUNCI

KONDISI DAN TARGET

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Mutu dan Daya Saing PendidikanRata-rata nilai UN SD/MI

-

-

-

-

5.00

5.50

Rata-rata nilai UN SMP/MTs

5.26

6.28

6.54

6.72

7.00

7.00

Rata-rata nilai UN SMA/SMK/MA

5.31

6.52

6.68

6.84

7.00

7.00

Guru yg memenuhi kualifikasi S1/DIV

30%

30%

32%

34%

37.5%

40%

Dosen yg memenuhi kualifikasi S2/S3

50%

50%

55%

60%

65%

70%

Pendidik yang memiliki sertifikat pendidik

-

-

-

5%

20%

40%

Jumlah Prodi masuk 100 besar Asia, 500 besar Dunia, atau akreditasi bertaraf OECD/Int.

-

1

3

4

5

10

Perolehan medali emas pd Olimpiade Internasional

13

15

17

19

20

20

Jumlah Paten yg diperoleh

5

10

20

30

40

50

Sekolah/Madrasah bertaraf Internasional

-

-

50

85

120

155

Sekolah/Madrasah berbasis keunggulan lokal

-

100

400

700

1.000

1.333

Kenaikan Publikasi Internasional

5.0%

7.5%

10%

20%

30%

40%

Relevansi Pendidikan

Rasio Jumlah Murid SMK : SMA

30:70

32:68

34:66

36:64

38:62

40:60

APK PT vokasi (D2/D3/D4/Politeknik)

1.47%

1.50%

1.70%

1.80%

1.90%

2.00%

Rasio Jumlah mahasiswa Profesi terhadap jumlah lulusan S1/D4

10%

10%

15%

17.5%

20%

20%

Persentase peserta pendidikan life skill terhadap lulusan SMP/MTs atau SMA/SMK/MA yang tidak melanjutkan.

5.0%

6.5%

8.6%

10.7%

12.8%

15.0%

Jumlah sertifikat Kompetensi yg diterbitkan
  • Jenjang Pendidikan Menengah
  • Jenjang Pendidikan Tinggi

 

 

 

 

75.000

40.000

 

100.000

50.000

 

125.000

60.000

Kebijakan penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik diarahkan agar proses pendidikan bisa berjalan dengan pengelolaan yang profesional, tepat guna, akuntabel dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap program-program pendidikan baik secara institusional maupun prosesnya. Kebijakan ini meliputi:

 

  • Penataan regulasi pengelolaan pendidikan
  • Peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundang-undangan
  • Pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN
  • Penyelesaian temuan-temuan pemeriksaan pengawas internal dan eksternal
  • Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh pengawas internal dan eksternal
  • Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh pengawas internal
  • Peningkatan SPI berkoordinasi dengan pengawas eksternal
  • Peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat pengawas internal
  • Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat
  • Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan
  • Peningkatan mutu manajemen dan layanan pendidikan
  • Peningkatan kualitas tata kelola melalui sistem ISO 9001:2000
  • Peningkatan kualitas tata kelola melalui aplikasi SIM
  • Peningkatan citra publik

Tabel 3

Indikator Kunci dan Target Pilar Kebijakan

Penguatan Tata Kelola dan Citra Publik

SASARAN

INDIKATOR KUNCI

KONDISI DAN TARGET

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Governance dan Pencitraan PublikOpini BPK atas Laporan Keuangan PemerintahDisclaimerDisclaimerWajar dg catatanWajar tnp syaratWajar tnp syaratWajar tnp syarat
Persentase temuan BPK ttg penyimpangan di Pemerintah terhadap obyek yang diperiksa1~0,5%1~0,5%1~0,5%<0.5%<0.5%<0.5%
Persentase temuan Itjen ttg penyimpangan di Pemerintah terhadap obyek yang diperiksa1~0,5%1~0,5%1~0,5%<0.5%<0.5%<0.5%
Aplikasi SIM--2 Aplikasi14 Aplikasi--
Sertifikat mutu layanan yg diraih Departemen Pendidikan Nasional  dan Departemen Agama-----80% unit utama memperoleh ISO 9001:2000
Sertifikat mutu layanan yg diraih LPMP/PPPG/BPPLSP-9 ISO 9001: 200025 ISO 9001: 200043 ISO 9001: 200047 ISO 9001: 2000-

 



Monday, November 3, 2008

Guru PAI : Antara Peran dan Kompetensi

Oleh: Dr. Muhammad idrus

Pengantar

Seandainya ada orang yang menyatakan bahwa permasalahan tentang pendidikan adalah masalah-masalah usang, dan basi, maka sebenarnya yang bersangkutan tidak mengerti esensi pendidikan bagi manusia. Hal tersebut lebih dikarenakan hadirnya pendidikan sama tuanya dengan kehadiran manusia di alam ini.

Dengan begitu pembicaraan tentang pendidikan, sebenarnya sama artinya dengan memperbincangkan tentang diri manusia sendiri, obsesi, serta harapan yang diinginkan manusia atas diri dan sekitarnya. Artinya dalam dunia pendidikan tidak ada istilah yang selesai, terlebih sifat pendidikan yang sui generis, akan menjadikannya mengikuti perubahan yang terjadi di sekitarnya (Idrus, 1997d).

Dalam konteks yang demikian, segala pembaharuan dalam bidang pendidikan harus dipahami sebagai upaya-upaya manusia untuk membebaskan dirinya dari segala keterbelakangan (backwardness) serta ketidak-tahuan yang dimilikinya. Selain itu, secara lebih normatif, pendidikan merupakan cara manusia untuk mengenal dirinya dalam konteks kemanusiannya, serta sebagai upaya mendekatkan dirinya kepada penciptanya (Allah Swt) melalui perspektif kemanusiaan yang dimilikinya.

Bagi kebanyakan negara yang sedang berkembang --bahkan negara maju sekalipun-- pendidikan berfungsi untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM). Secara normatif pendidikan diharapkan dapat memberi petunjuk bagi keberlangsungan kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa. Dengan begitu, proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan harus dapat memberi kesadaran kepada manusia akan potensi “kemanusian” yang dimilikinya, dan lebih dari itu pendidikan harus mampu merangsang manusia untuk mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusian. Selain itu, secara material pendidikan harusnya dapat memberikan pengetahuan yang memajukan dan mempertinggi kualitas hidup, baik dalam skala kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara.



Guru Pendidikan Islam, Antara Cita dan Realitas

Banyaknya gugatan atas pelbagai kegagalan dunia pendidikan dalam meyiapkan SDM yang memadai bagi pembangunan, pada akhirnya juga melanda dunia pendidikan Islam[1]. Meski seharusnyalah gugatan tersebut tidak hanya tertuju pada kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan semata, sebab pada dasarnya ada banyak faktor lain yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kontribusi atas persoalan tersebut.

Ada beberapa faktor yang diidentifikasi tampaknya akrab dengan nuansa buram pendidikan Islam. Dalam tulisannya Wahab (1997) mensinyalir bahwa lembaga pendidikan agama (mulai dari Raudzatul Athfal sampai dengan IAIN/PT ) secara obyektif dewasa ini belum menampilkan unjuk kualitas yang membanggakan. Hampir senada dengan tulisan Wahab, Ma’arif (1996) menyoroti kasus pendidikan Islam di Indonesia yang menurutnya masih menganut sistem pendidikan warisan abad pertengahan bagian akhir.

Dalam tulisannya yang lain Maarif (1997) menyatakan bahwa pendidikan Islam yang berkembang sesudah tragedi sejarah –runtuhnya Baghdad dan Andalusia sebagai pusat ilmu dan peradaban- tidak lagi pendidikan yang membuat manusia kreatif dan antisipatif menghadapi zaman yang sedang berubah dan mencair, tetapi semata-mata bagaimana agar orang dapat bertahan (defensive Educational System[2]). Buahnya adalah kultur defensif semata-mata untuk survival, yang tidak banyak maknanya bagi perkembangan peradaban manusia.

Secara tegas Wahab menuliskan kelemahan kualitas pendidikan Islam yang salah satunya lebih disebabkan rendahnya kemampuan profesional guru. Menurutnya dengan sebagian besar guru yang lulusan KPGA, PGA, dan IAIN, serta kualitas pendidikan agamanya yang juga tidak membanggakan, menjadikan pendidikan Islam dalam posisi dilematis.

Kekurang-mutuan pendidik[3] ini pada akhirnya berdampak pada banyak hal salah satunya terwujud dengan model belajar yang cenderung tradisional. Dalam proses pendidikan tradisional, pendidik selalu menganggap siswa sebagai objek yang tidak memiliki potensi apapun (impotensi akademik) (Idrus, 1997c). Hal ini menyebabkan anak tidak terbiasa menghadapi permasalahan yang muncul secara kritis. Pada tahapan selanjutnya akan dipastikan terjadinya kegagalan akademik pasca proses pendidikan.

Potret buram alumni pendidikan Islam menampakkan sisi gagal proses yang berlangsung di dalamnya. Tampaknya alumni pendidikan Islam banyak yang terperangkap dengan model sekolah "ambtenaar" yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja (pegawai klas rendahan –sebagaimana harapan penjajah Belanda dahulu) meski sekarang muncul dalam bentuk yang lebih terhormat. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya sang guru? Siapakah yang pantas menjadi guru?

Dalam salah satu tulisannya Tilaar (1991) mengungkap peran ideal seorang guru dalam era industrial. Menurut Tilaar, guru adalah seorang resi dalam arti modern. Resi dalam konteks kemodernan yang ia maksud adalah guru harus menguasai sains dan teknologi sesuai kondisi saat ini[4]. Hal tersebut dapat dipahami pada konteks kekinian, sebab dan hanya dengan itulah guru dapat membawa peserta didik untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia yang epat berubah ini.

Selain itu, salah satu hal yang juga mendapat tekanan lebih dari kehadiran guru adalah makna ontologisnya. Pada posisi ini guru merupakan sosok personifikasi dari moral dan keyakinan agama, serta budaya satu bangsa (Idrus, 1997b). Di sini tampak betapa strategisnya kehadiran guru yang bukan saja muncul pada satu situasi belajar-mengajar di kelas, tetapi melampauinya (beyond the phenomenon).

Sebab, selain harus membawa anak didik pada pemahaman akan kebermaknaan sains bagi diri dan lingkungannya, guru juga harus mampu menyampaikan pesan moral dan keyakinan agama atas sikap dan perilaku yang dilakukannya. Artinya dalam setiap performance individualnya, guru harus dapat membawa pesan kepada anak didik untuk menyadari akan adanya dimensi moral dan religius dalam dinamika kehidupan ini. Selanjutnya dengan bahasa tutur dan gerak tubuhnya, guru harus dapat meyakinkan siswanya tentang ajaran-ajaran kebenaran dan sisi keilmiahan materi yang disampaikannya. Kedua dimensi (baik moral dan religius) itu harus menjadi acuan dalam pola pikir, pola tindak serta laku yang dilakukan guru.

Lantas bagaimana dengan guru PAI itu sendiri? Justru peran guru PAI menjadi sangat penting dalam konsep ini. Sebab pada dasarnya seorang guru PAI bukan hanya sekadar mengajarkan nash-nash ayat, ataupun doktrin agama, tetapi lebih dari itu Ia juga harus mampu menjadikan dirinya contoh untuk mengamalkannya dalam kehidupan kesehariannya sebagaimana diungkap dalam pepatah Guru digugu dan ditiru[5].

Pada kenyataannya untuk mengemban amanah yang dibebankan kepadanya memang bukanlah hal yang mudah. Di tengah perjalanannya terkadang muncul pelbagai peristiwa yang dapat menghancurkan martabat serta kewibawaan guru. Tunjuklah peristiwa guru –tak terkecuali guru PAI- yang menghukum siswa hingga cidera, bahkan hingga menemui kematiannya[6]. Peristiwa tersebut merupakan sebagian cerita yang mencerminkan kegagalan guru dalam menjalan “tugas suci” yang diembannya.

Jika demikian, masih dapatkah dikukuhkan kedudukan guru sebagai penolong sebagaimana pernah diungkap J Menges –yang menyebut guru sebagai the helper-, ataupun yang digambarkan Tilaar? Apakah hal itu menengarai ketidak-profesionalan guru? Atau hal ini karena begitu mudahnya untuk menjadi guru[7].

Guru siapa dia?

Paulo Freire, tokoh pendidikan Brasil, pernah mengungkap every place is a school, every one is teacher. Ungkapan ini lebih menjelaskan bahwa guru itu bukan siapa-siapa, tetapi dia bisa siapa saja, dimana saja, serta hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan begitu, siapa saja dapat menjadi guru, serta mungkin menjadi guru untuk seseorang. Sebab orang jahat sekalipun, suatu saat pernah mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Persoalannya, siapa yang sebenarnya layak untuk jadi guru bagi anak-anak bangsa ini?

Persoalan ini terkait dengan kualifikasi yang dipersyaratkan bagi calon guru. Tentu saja kualifikasi ini bukan sekadar mau semata, tapi harus dibarengi dengan serangkaian kemampuan yang memenuhi persyaratan baik administratif ataupun keilmuan, serta memenuhi harapan anak bangsa.

Sebab masa depan yang akan dihadapi anak, tidak sama dengan pengalaman masa lalu orangtuanya, sehingga untuk mengajarkan ilmu masa depan bukan cupa sekadar pernah menjalani masa lalu. Artinya jika ada guru yang hanya berbekal pengetahuan dari para gurunya dahulu, maka yang bersangkutan sebenarnya belum layak jadi guru masa depan bagi anak bangsa ini.

Kerap ditemui secara empiris, guru yang hanya mengandalkan catatan semasa dia kuliah dahulu, tanpa ada keinginan untuk melakukan pembaharuan atau pelacakan informasi yang terbaru. Padahal bisa jadi saat dirinya kuliah dahulu, belum semua informasi yang disampaikan “sang guru sepuh” dapat dicatatnya, tentu saja keterputusan ini akan berdampak pada hilangnya rantai kognitif saat ilmu tersebut disampaikan pada anak didiknya yang sekarang.



Jika sudah demikian, jangan berharap banyak untuk mendapatkan lulusan yang berkualitas baik dari guru model tersebut. Sebab, ilmu yang diajarkannya hanya sekadar ilmu “copy paste”, tanpa tambahan informasi bahkan kemungkinan terjadinya reduksi informasi begitu jelas-jelas nyata. Tentunya kodisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut, sebab masyarakat bangsa ini membutuhkan generasi yang dapat mengakses perkembangan agar dapat tampil di percaturan internasioal.

Akreditasi Kompetensi Guru

Dalam kehidupan setiap orang, pasti pernah hadir orang lain yang disebutnya sebagai guru. Meski personifikasinya dapat bermacam-macam, namun yang utama adalah dari gurulah seseorang memperoleh pengetahuan yang kini dikuasainya. Harus diakui bahwa dalam komunitas masyarakat kita, guru menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang.

Mengingat peran strategisnya, Robert J Menges mengelarinya sebagai helper. Pada posisi tersebut tampak betapa mulianya guru sebagaimana digambarkan dalam tembang hymne guru. Jika demikian, tabukah kita untuk mempersoalkan kemampuan mengajarnya? Mengingat sekian jasa yang pernah ditanamkan kepada kita. Namun, dengan tidak bermaksud untuk menghilangkan citra baiknya, perlu rasanya memperbaiki praktek menyimpang yang terjadi di lingkungan pendidikan saat ini (Idrus, 1997a)

Secara empirik, banyak ditemui guru yang bukan berasal dari lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK[8]; IKIP, STIKIP, STIT, Fakultas Tarbiyah). Entah sadar ataupun karena bermaksud mengabaikannya, banyak lembaga pengguna jasa guru tersebut berkilah bahwa yang penting secara materi mereka menguasai, bahkan penguasaan ilmu murni mereka lebih baik dari mereka yang berasal dari LPTK. Sebenarnya letak persoalannya bukan hanya pada sisi tersebut, tetapi ada unsur lain yang juga lebih penting yaitu kewenangan mengajar.

Meski belum ada penelitian yang lebih mendalam, tampaknya harus pula diakui banyak lulusan LPTK mengalami kelemahan dari sisi penguasaan ilmu murni yang harus diajarkannya. Hal ini mungkin terjadi karena kurikulum yang mereka tempuh lebih banyak yang membicarakan bagaimana mengajarkan satu materi tertentu, dibandingkan dengan penguasaan materi ilmu murni. Setidaknya hal tersebut dapat menjadi penyadaran bagi LPTK untuk mengkaji ulang kurikulum serta melakukan telaah ulang dan kajian yang lebih mendalam tentang kompetensi output dalam ilmu atau bidang studi yang ditekuninya.

Terkait dengan kewenangan mengajar atau dalam bahasa pendidikan diistilahkan dengan kompetensi menjadi satu syarat mutlak bagi guru untuk mengajar di depan kelas formal. Kompetensi ini layaknya surat ijin mengemudi (SIM) bagi para sopir atau pengendara kendaraan bermotor. Jadi dengan menganalogi hal di atas, maka dapat dinyatakan bahwa semua orang (mungkin) bisa mengajar, tetapi ada yang lebih berhak secara formal diakui negara untuk mengajar.

Merujuk pada analogi tersebut, maka sebenarnya, tidak semua orang dapat menjadi guru di muka kelas-kelas formal, dan setiap orang yang hendak menjadi guru haruslah memiliki SIM yang diwujudkan dalam bentuk ijazah dan Akta Mengajar, yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan pendidikan sekolah.

Keharusan tersebut jelas terugkap dalam pasal 5 ayat (1) PP 38/1992 yang menyebut bahwa tenaga pendidik pada pendidikan prasekolah, jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah wajib memiliki kemampuan mengajar yang dinyatakan dengan ijazah yang diperoleh dari lembaga pendidikan tenaga keguruan.

Lazimnya, tanpa kewenangan tersebut, individu yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajar di sekolah manapun, meski yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik dalam satu bidang ilmu tertentu. Harus pula diakui terasa sulit untuk menghindari penyimpangan seperti di atas, mengingat situasi di lapangan berlaku hukum ekonomi ‘supply and demand”. Untuk menyiasatinya, Idrus (1997a) mengajukan perlunya untuk dilakukan uji ulang (akreditasi) kompetensi mengajar bagi para guru di sekolah[9].

Ide dasar yang menyemangati proses akreditasi ini adalah agar guru selalu berupaya meningkatkan kemampuan intelekualnya, sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan serta masa yang akan dihadapi anak didiknya. Dengan begitu proses pendidikan bukan sekadar transfer ilmu yang monologis otoriter serta “vacuum” dari pembaharuan. Atau apalagi sebagai proses penuangan ide-ide lama yang terkadang menjauhkan siswa dari persoalan kekinian yang sedang mereka hadapi.

Selain itu mengingat fluktuasi memori dan ilmu pengetahuan yang dimiliki individu, maka hendaklah dipahami bahwa kewenangan mengajar yang diperoleh guru bukanlah kewenangan seumur hidup pada diri guru. Artinya ijin mengajar bukan merupakan kewenangan abadi, tetapi perlu diperbaharui setiap kurun waktu tertentu. Selain demi penyempurnaan informasi sesuai dengan generasi yang akan diajarnya, secara lebih sederhana akreditasi dimaksudkan agar tidak terjadi kemandegan intelektual –stagnasi akademik- pada diri guru.

Setiap akhir proses akreditasi, kepada guru diberikan rekomendasi tentang kelayakan untuk mengajar pada bidang ilmu tertentu, untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu pula. Dengan rekomendasi ini seorang guru dapat mengajar sesuai dengan batas waktu akreditasi yang telah ditetapkan, yang pada batas waktu tertentu (jatuh tempo) guru tersebut juga harus siap diakreditasi kembali.

Sebaliknya bagi mereka yang dinyatakan tidak laik mengajar, maka diwajibkan utuk menempuh kegiatan yang disiapkan untuk meningkatkan kemampuan ataupun kompetensi dalam mengajar (remedial & enrichment programme) selama kurun waktu yang telah ditetapkan. Kegiatan ini merupakan syarat untuk kembali mengikuti uji kompetensi yang dimilikinya.

Sebagai konsekuensi selama megikuti kegiatan remedial dan pengayaan tersebut, guru yang bersangkutan tidak diperkenankan memberi pelajaran materi yang selama ini diampunya. Artinya, yang bersangkutan harus di-non-aktifkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Setelah menyelesaikan kegiatan remedial dan pengayaan, yang bersangkutan harus kembali mengikuti akreditasi ulang, dan begitu seterusnya hingga ada rekomendasi lulus atau laik untuk kembali mengajar. Tentu saja, perlu juga diberi pembatasan berapa kali seseorang diperkenankan untuk “gagal” dalam uji kompetensi. Selain itu, rekomendasi kewenangan mengajar hanya berlaku selama kurun waktu tertentu dan harus diuji ulang jika masa berlakunya habis.

Ada hal yang harus dicermati dalam proses akreditasi kompetensi mengajar ini, yaitu budaya ewuh pakewuh dan sikap senioritas negatif lainnya. Artinya jika suatu saat yang berposisi sebagai tim akreditasi adalah mantan siswa dari guru yang hendak diakreditasi, maka jangan karena pertimbangan yang bersangkutan adalah “guru”nya atau karena adanya “pressure”, dan tanpa memperhatikan kualifikasi yang senyatanya langsung saja meluluskan.

Dalam konteks yang demikian, seharusnyalah ditinggalkan segala atribut yang disandang seseorang, yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik ketidak-jujuran dalam proses akreditasi. Lembaga atau orang yang menangani proses akreditasi ini harus bebas dari persoalan yang sifatnya tradisional dan sifat negatif.

Juga pada proses pengayaan, hendaknya sikap bahwa dirinya senioritas dalam satu bidang ilmu tdak dimunculkan secara arogan. Hendaklah dipahami bahwa proses pengayaan merupakan cara mengup-grade informasi yang kini dimilikinya. Lazimnya karena kesibukan mengajar menjadikan kita lupa untuk melacak informasi yang terkini dalam ilmu yang kita tekuni, hingga tak-tersadarkan ada perkembangan terbaru dari ilmu tersebut.

Dengan model yang demikian, maka jelas tidak semua orang bisa menjadi guru. Model ini memungkinkan profesi guru menjadi elit dengan tingkat selektivitas yang tinggi, hingga bukan sekadar mau tetapi mampu dan juga berwenang. Pertanyaan kunci adalah, siapkah kita untuk menyiapkan segala infrastrukturnya? Atau siapkah mental kita saat berhadapan dengan siswa kita dahulu yang kini berposisi sebagai penguji diri kita? Jika jawabannya negatif, maka profesi guru akan tetap terpuruk dan sulit menjadi elegance di hadapan profesi lain.

Terlebih jika dihadapkan pada kondisi riil saat ini, pertanyaan pamungkasnya adalah siapa lagi yang mau jadi guru, jika syarat yang harus ditempuhnya begitu banyak? Atau justru sebaliknya kodisi ini akan menjadikan profesi guru naik daun dan banyak masyarakat berebut untuk menjadi guru, sebab ternyata tidak mudah untuk menjadi guru. Bukan begitu? Wallahu ‘alamu bi as showab. Demikian semoga bermanfaat buat semua. (©M.Idrus,27032005)





PUSTAKA





Idrus, M. 1994. UII Mengemban Amanah Sejarah. Dalam Setengah Abad UII. Yogyakarta: UII Press

Idrus, M. 1997a. Akreditasi Komptensi Mengajar Bagi Guru di Sekolah. Kedaulatan Rakyat, Rabu Pon 2 Juli 1997. halaman 8.

Idrus, M. 1997b. Guru Masa Depan, Masa Depan Guru. Surabaya Post, 24 November 1997. Halaman VI: 6-9

Idrus, M. 1997c. Karakteristik dan Dimensi Moral Anak Didik dalam Pendidikan. dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Yogyakarta: Aditya Media.

Idrus. M. 1997d. Perubahan Masyarakat dan Peran Pendidikan Islam: Kajian Pemberdayaan dan Pembebasan Keterbelakangan. dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Yogyakarta: Aditya Media.

Maarif, A. Syafii. 1996. Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat. dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 2. Th. I. Oktober 1996. Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UII.

Maarif, A. Syafii. 1997. Quo Vadis Pendidikan Islam? Makalah pada Bedah Buku Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Tanggal 18 Nopember 1997.

Tilaar, H.A.R., 1991. Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Jakarta: LIPI

Wahab, Rohmat. 1997. Masalah Mutu Pendidikan dan Penanggungjawabnya. dalam Tantangan Pembangunan di Indonesia: Beberapa Pandangan Kontemporer dari dunia Kampus. Yogyakarta: UII Press.





[1] Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi muncul sebagai potret buram pendidikan seperti tawuran antar pelajar, aksi graffiti, perilaku menyimpang –bahkan mulai muncul gaya hidup seks bebas di kalangan pelajar-, pelanggaran disiplin lalu lintas, dll. Sementara di kalangan guru terjadi kasus yang tidak kalah nggegirisi seperti perlakuan amoral terhadap siswa, pemberian hukuman yang keliwat batas, penyelewengan dana, dan banyak lagi kasus yang terasa tidak layak dilakukan oleh seorang pendidik.

[2] Fenomena ini tampak dari perilaku peserta didik yang hanya sekadar mengejar ijazah, atau bahkan dalam kasus yang lebih ekstrem adalah pember(L)ian gelar akademik yang diterima kalangan selebritis, pengusaha, penghusada, ataupun tokoh masyarakat dengan membayar sejumlah besar uang. Jadi buat apa sekolah? Gelar apapun dapat diperoleh, bahkan gelar Profesor sekalipun. Situasi ini menambah buruk carut marut dunia pendidikan.

[3] Banyak dijumpai indikasi kekurang mutuan ini seperti: model belajar yang cenderung otoriter, materi yang sekadar mengulang dari catatannya terdahulu, keenggenan untuk membahas tema agama secara aktual, ketidakmampuan untuk mengubah paradigma mengajar yang selama ini digunakan, keterpakuan pada kurikulum, dan banyak lagi. Hal itu pada akhirnya menimbulkan stagnasi akademik dan kemapanan intelektual --dalam artian negatif--di kalangan pendidik. Untuk memperbaiki serta menjaga mutu akademik pendidik salah satu di antaranya adalah dengan melakukan uji kompetensi atas para pendidik. Bahasan secara lengkap tentang ini pernah penulis lontarkan dalam tulisan UII Mengemban Amanah Sejarah, dalam buku Setengah Abad UII, Yogyakarta: UII Press. 1994.

[4] Ironinya kerap terjadi guru yang mengalami “gagap teknologi”. Jangankan untuk menguasai teknologi yang amat teramat canggih, mengetik dengan menggunakan komputer saja terpaksa harus “direntalkan”.

[5] Pepatah ini kerap diplesetkan menjadi idiom negatif, yang mestinya hilang dari perbendaharaan kosa kata bahasa budaya guru. Wagu tur Saru.

[6] Meski juga harus diakui bahwa masih banyak guru yang berperilaku luhur dalam mengabdi pada profesinya. Hanya saja terkadang masyarakat menutup mata atas kesuksesan misi yang diemban guru. Meski juga disadari bahwa keberhasilan anak didik bukanlah semata-mata jerih payah sang guru, namun gurulah yang pada awalnya menuntun siswa ke arah jalan yang semestinya.

[7] Pada banyak lembaga bimbingan belajar, untuk menjadi guru tidak dipersyaratkan lulusan dari LPTK (Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam, IKIP, STIKIP dan yang sejenis). Mereka-lembaga bimbingan belajar- lebih menyukai calon yag berasal dari jurusan ilmu murni dibanding dari jurusan keguruan.

[8] Istilah LPTK memeiliki banyak kepanjangan arti. Salah satunya adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan tapi bagi penulis istilah yang terbaik adalah Kependidikan, sehingga kepanjangannya adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

[9] Sulit rasanya membayangkan betapa banyak guru-guru kita yang stress menghadapi uji kompetensi ini. Model kenaikan dengan angka kredit saja sudah menjadi beban yang cukup menyulitkan. Apalagi ditambah dengan model uji kompetensi ini, tentunya banyak guru yang merasa tidak siap atau menolak dengan banyak dalih yang sebenarnya hanya sekadar untuk menghindari dirinya di tes ulang. Jika hal ini diterapkan, maka dipastikan terjadi pro dan kontra di antara guru.

by fai.uhamka.ac.id

KISAH-KISAH QUR’ANI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Maragustam

Abstract


On one hand, Qur’an is a guideline and a supreme direction for human in fighting over the word as well as preparing for the hereafter. There are three fundamental teachings in Qur’an, i.e. I’tiqadiyah (it deals with faith), Khuluqiyah (the virtue of the character) and amaliyah (it relates to what comes from words and deeds). On the other hand, Islam was descended upon Arabiah who were fettered by inner barreness, spiritual misery, intellectual upset, polytheistic worship (watsaniyah) and man castration. The teaching of heaven religion before Islam had been cut down. Yet the people of Kuffar Quraish gradually their new religion (Islam) pleasantly and very confidently in a relativelyb short time. It means that they made Qur’an as their guidelines in their lives. Even, they become the most prominent guard in preserving and extending Islam. Therefore it needs examining what the method used by Qur’an to build personality being glorious and consistent with the truth. Their soul were enlightened from the word of evil (syaithoniyah) to the word of Divine (Ilahiyah). One of the methods used by God to educate human is through Quranic Story.


Kata Kunci: Hakikat kisah Qur’ani; fungsi kisah; tujuan kisah, hikmah pengulangan kisah, Tarbiyah Qalbiyah-Imaniyah-Ruhiyah, Tarbiyah Fikriyah, dan Tarbiyah Khuluqiyah.



A. Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai sumber utama bagi umat Islam dalam mengatur segala aspek kehidupannya dan petunjuk bagi sikap dan prilaku baik menjalani kehidupan dunia maupun persiapan menuju akhirat. Karena di dalam Qur’an terdapat norma-norma dan isyarat untuk dapat dijadikan sebagai way of life (lentera kehidupan) dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Sewaktu Islam menghujamkan akarnya di persada tanah arab, manusia pada waktu itu dibelenggu oleh kegersangan batin, kemusyrikan (watsaniyah) dan pengkebiran rasa kemanusiaan. Seolah-olah Tuhan telah mati. Akhlak dan budi pekerti amat bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Sepertinya ajaran-ajaran agama samawi yang dibawa oleh para rasul sebelum kerasulan Muhammad saw telah terbabat habis. Sebagai wujud dari kesesatan mereka, sewaktu awal kedatangan Islam, mareka berlomba-lomba untuk menentang ajaran baru (Islam) karena ia sangat bertentangan dengan kesewenang-wenangan, perbudakan dan kemusyrikan (watsaniyah) yang di warisi dari moyang mereka.

Namun oleh karena Islam yang mukjizatnya bersiafat aqliyah-ma’nawiyah dan sesuai dengan fitrah (cinta kepada sesuatu yang agung melahirkan keberagamaan, cinta kesucian/keiklasan melahirkan estetika, cinta kebenaran melahirkan ilmu, dan cinta keindahan melahirkan seni), secara bertahap kuffar Quraish memeluk agama baru ini dengan senang hati dan penuh percaya diri. Bahkan karakter mereka menjadi terbalik yang dulu benci dan memerangi Islam sekarang menjadi cinta dan garda terdepan dalam mempertahankan Islam dibumi Saudi Arabia. Untuk itulah perlu dicermati bagaimana metode-metode Tuhan dalam Qur’an untuk membetuk kepribadian mereka menjadi pribadi yang mulia yang konsisten di jalan kebenaran, dan jiwa mereka tercerahkan kembali dari alam kedurjanaan (syaithoniyah) ke alam kebenaran (Ilahiyah). Salah satu metode-metode Qur’ani ialah mendidik mereka melalui kisah-kisah Qur’ani.

B. Hakikat Kisah Qur’ani

Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat. Dapat pula berarti mencari jejak (QS. Al-Kahfi:64); menceritakan kebenaran (QS. Al-An’am:57); menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi (QS. Yusuf:5); dan berarti berita berurutan (QS. Ali Imran:62). Sedangkan kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir.

Sedangkan menurut al-Majub, bahwa kisah al-Qur’an ialah segala jenis dan gayanya merupakan gambaran penjelmaan/pergumulan yang abadi antara nilai-nilai kebajikan yang ditegakkan dalam kepemimpinan para nabi untuk memperbaiki kebejatan yang dilancarkan tokoh-tokohnya. Dari definisi tersebut paling tidak unsur-unsur yang terkandung dalam kisah Qur’an mencakup (1) keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dan bukan pula tujuan dalam kisah bahkan sang tokoh kadang-kadang tidak disebutkan, (2) kisah mengandung unsur waktu, latar belakang lahirnya kisah (3) mengandung tujuan penggambaran dari suatu keadaan terutama tujuan-tujuan keagamaan, dan (4) peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara bertahap atau pengulangan sesuai dengan kronologis peristiwa dan sesuai pula titik tekan tujuan dari kisah. Kisah Qur’ani merupakan gambaran realitas dan logis bukan kisah fiktif. Menurut Mahmud, kisah Qur’ani selalu memberi makna imajinatif, kesejukan, kehalusan budi, bahkan renungan dan pemikiran, kesadaran dan ‘ibrah (pengajaran). Kesadaran dan ‘ibrah ini sebagai wujud derajat takwa dan takwa sebagai wujud martabat yang paling mulia dalam ibadah.

C. Fungsi dan macam-macam Kisah Qur’ani

Kisah Qur’an merupakan karya sastra yang agung, mempunyai tema-tema tertentu, tujuan-tujuan, materi, dan merefleksikan ajaran substansial agama. Kisah Qur’ani bukanlah karya sastra yang bebas, yang bertujuan cerita untuk cerita, seni untuk seni yang kadang-kadang kehilangan fungsi dan idealisme serta tujuan sehingga berimplikasi negatif bagi pendengar atau pembacanya. Sebagaimana jika seseorang membaca cerita novel yang membawa pembacanya ke dunia khayal, dan mimpi-mimpi indah yang bersifat negatif. Kisah Qur’ani berfungsi menggambarkan suatu peristiwa yang pada akhirnya kisah membawa implikasi makna posotif bagi pembaca atau pendengarnya baik makna itu menyentuh ruhani-imannya, intelektualnya, perasaannya ataupun prilaku perkataan, perbuatan dan sikap hidupnya yang pada akhirnya akan dijadikan way of life dalam hidupnya. Lebih rinci Sayyid Qutub menggambarkan bahwa kisah Qur’ani berfungsi sebagai lukisan tentang kedahsatan hari kiamat, kenikmatan surga, kesengsaraan neraka, dan juga berfungsi sebagai argumentasi untuk menghantarkan kepada keyakinan adanya kebangkitan, kekuasaan Allah, di samping sebagai penjelas syariat secara terperinci dan perumpamaan yang diungkapkan. Fungsi-fungsi itu semakin terpatri pada diri pembaca atau pendengar jika ia betul-betul penuh konsentrasi menghayati episode-episode kisah. Karena dalam kisah Qur’ani mengandung berbagai berbagai penalaran dan pergulatan antara kebenaran dan kebejatan, kesedihan dan kegembiraan, tantangan dan kemantapan pribadi, kesabaran dan kemarahan, keluhuran dan kebirahian, kegentingan dan kemudahan, menjadikan pembaca atau pendengar dapat mengambil pelajaran dari kisah, apakah pengajaran berkaitan dengan pendidikan iman-ruhani, pendidikan intelektual dan pendidikan akhlak al-karimah serta pendidikan jasmani.

Menurut Manna al-Qaththan, kisah Qur’an dibagi kepada tiga yaitu:

Pertama: Kisah Anbiya’ yakni kisah mengandang dakwah mereka kepada kaummnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan nabi-nabi serta rasul lainnya.

Kedua: Kissah yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Seperti kisah orang yang keluar dari kampung halaman, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah Thalut dan Jalut, Habil dan Qabil, dua orang putra Adam, Ashhab al-Kahfi, Zulkarnain, Karun, Ashab al-Sabti, Maryam, Ashab al-Ukhdud, Ashab al-Fil, dan lain-lain.

Ketiga: Kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rasulullah. Seperti Perang Badar dan Uhud pada surat Ali Imran, perang Hunain dan Tabuk pada surah Taubah, perang Ahzab dalam surah al-Ahzab, hijrah nabi, Isra Mi’raj dan lain-lain.

D. Tujuan-tujuan Edukatif Kisah Qur’ani

Kisah Qur’ani bukanlah karya seni yang tanpa tujuan, melainkan sarat dengan tujuan, merupakan salah satu di antara sekian banyak metode Qur’ani untuk menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan-ketuhanannya dan salah satu cara untuk menyampaikan dan mengokohkan dakwah Islamiyah.

Diantar tujuan kisah Qur’an ialah merealisasikan yang berkaitan dengan tujuan-tujuan keagamaan yang berkaitan dengan fungsi manusia hidup didunia baik sebagai Abdullah maupun sebagai Khalifatullah karena Qur’an merupakan wahyu Allah yang menjadi kitab petunjuk dan pedoman bagi umat manusia. Melalui metode dan alur kisah, dakwah Islamiyah lebih mudah dicerna, menarik dan dapat menggugah hati pendengar atau pembacanya. Menurut Syatibi, kisah Qur’ani tidak dimaksudkan untuk menambal sejarah bangsa-bangsa atau tokoh-tokoh, akan tetapi kisah itu merupakan ‘ibrah bagi manusia.

Lebih jelasnya Manna’ al-Qaththan menggambarkan tujuan edukatif kisah Qur’ani ialah (1) menjelaskan asas-asas dakwah menuju Allah dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang dibawah oleh para Nabi (QS. Al-Anbiya:25), (2) meneguhkan hati rasulullah atas agama Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan para pembelanya, QS. Hud: 120), (3) membenarkan para nabi terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya, (4) menampakkan kebenaran Muhammad saw dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi, (5) menyibak kebohongan ahli kitab dengan hujjah yang membeberkan keterangan dan petunjuk yang mereka sembunyikan, dan menantang mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah dan diganti, (QS. Ali Imran:93), (6) kisah merupakan salah bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar dan memantapkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya ke dalam jiwa. “Sesungguhnya pada kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal” (QS. Yusuf:111). Dengan bahasa yang berbeda dan hampir sama substansinya bahwa menurut Sayyid Qutub tujuan kisah Qur’ani ialah (1) untuk menegaskan bahwa Qur’an merupakan wahyu Allah dan Muhammad saw benar-benar utusanNya yang dalam keadaan tidak mengerti baca dan tulis, (2) untuk menerangkan bahwa semua agama yang dibawa para rasul dan nabi semenjak Nabi Nuh a.s. sampai Muhammad saw bersumber dari Allah swt dan semua orang mukmin adalah umat yang satu, dan Allah Yang Maha Esa adalah Tuhan semua umat (QS. Al-Anbiya’:48 dan 92), (3) untuk menerangkan bahwa dasar agama yang bersumber dari Allah swt, sama-sama memiliki asas yang sama. Oleh karena itu pengulangan dasar-dasar kepercayaan selalu diulang-ulang, yaitu mengungkapkan keimanan terhadap Allah Yang Maha Esa (QS. Al-A’raf:59, 65, dan 73), (4) untuk menunjukkan bahwa misi para nabi itu dalam berdakwah sama dan sambutan dari kaumnya hampir sama juga, dan agama yang dibawapun dari sumber yang sama yakni dari Allah swt (QS. Hud: 25, 50, 60 dan 62), untuk menjelaskan bahwa antara agama Nabi Muhammad saw dan nabi Ibrahim a.s. khususnya dan dengan agama Bani Israil pada umumnya terdapat kesamaan dasar serta memiliki kaitan yang kuat (QS. Al-A’la: 18, 19 dan an-Najm: 36 dan 37), (6) untuk menjelaskan bahwa Allah swt selalu bersama nabiNya, dan menghukum orang-orang yang mendustakan kenabianNya (QS. Al-Ankabut:14-16 dan 24), (7) untuk menguatkan adanya kabar gembira dan siksaan di hari akhir (QS. Al-Hijr: 49-50), (8) untuk menjelaskan nikmat Allah swt terhadap para nabi dan semua pilihannya (QS. An-Naml:15 tentang nabi Daud; Hud:69, Al-Hijr:51, Maryam:41, Syu’ara:69 menceritakan tentang nabi Ibrahim; Maryam:2 tentang nabi Zakariya a.s.; Yunus:98 tentang nabi Yunus Al-A’raf:103, Yunus:75, Hud:96, Al-Kahfi:60, Thoha:15, Syu’ara:10 tentang nabi Musa a.s.; Maryam: 16-40 tentang Maryam, (9) sebagai peringatan bagi manusia untuk waspada terhadap godaan-godoaan setan dan manusia semenjak nabi Adam a.s. selalu bermusuhan, dan menjadi musuh abadi bagi manusia, (10) untuk menerangkan akan kekuasaan Allah swt atas peristiwa-peristiwa yang luar biasa, yang tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia (QS. Al-Baqarah:258-259).

Maka pada garis besarnya tujuan kisah Qur’ani ada dua yakni tujuan yang sifatnya spesifik, seperti yang diuraikan oleh Manna al-Qathhan dan Syyaid Quthub, dan tujuan-tujuan secara umum yakni penggambaran kisah Qur’ani untuk dijadikan ‘ibrah (pengajaran) bagi pembaca atau pendengarnya apakah berkaitan dengan urusan-urusan keagamaan dalam arti sempit ataukah urusan-urusan keagamaan dalam arti luas yang mencakup ajaran bagi kehidupan dunia dan persiapan menuju akhirat.

E. Hikmah Edukatif Pengulangan Kisah-kisah Qur’ani

Pengulangan kisah Qur’ani pada tema sentral yang sama bukanlah dimaksudkan supaya para pendengar atau pembaca hafal isi kisah tetapi lebih jauh dari itu. Pengulangan kisah Qur’ani mempunyai karakteristik tertentu, yakni pengulangan mempunyai tekanan yang berbeda setiap episode kisah, pengulangan bervariasi dalam gaya dan tujuan kisah sekalipun batang tubuhnya sama sehingga tidak membosankan, dan disampaikan dengan bahasa yang lugas serta dalam kisah memberikan kesempatan untuk mengembangkan pola pikir kreatif.

Lebih jelasnya menurut Sayyid Qutub bahwa konsistensi tujuan kisah adalah demi tujuan-tujuan agamis. Konsistensi ini memberi pengaruh dalam penyajian kisah, bahkan kepada materinya, antara lain: Pertama: Pengaruh konsistensi ini terjadi pada pengulangan kisah dengan beberapa kali pada surat yang bervariasi. Pengulangan ini tidak mencakup seluruh kisah, tetapi pengulangan hanya pada bagian tertentu saja. Batang tubuh kisah utuh tidak diulang kecuali jarang untuk kasus-kasus tertentu. Orang yang membaca dan menelaah kisah Qurani dengan episode-episode yang diulangi dengan mengamati alur secara tepat, baik pemilihan episode yang muncul, ataupun cara pemunculan kisah. Kedua: Pengaruh konsistensi kisah Qur’ani demi maksud-maksud keagamaan. Pengulangan kisah Qur’ani dapat terjadi pada awal atau akhir dan kadang-kadang keseluruhan kisah. Ketidak seragaman ini disebabkan dimensi sejarah yang bukan dimensi yang paling pokok dari kisah-kisah Qur’ani.

Hikmah edukatif yang terkandung dalam kisah Qur’ani adalah menunjukkan kebalaghahan (kefasihan) Al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi, menampakkan kekuatan I’jaz (melemahkan), yang dengannya bahasa al-Qur’an tidak dapat ditandingi dan merupakan kebenaran firman Allah swt, disamping itu dengan adanya pengulangan sebutan adalah untuk ta’kid (penguatan) dan perhatian yang besar seperti keadaan kisah Nabi Musa dengan Firaun.

Menurut Abdurrahman Saleh bahwa pengulangan fakta yang sama lebih dari satu surah Al-Quran tidak sama dengan hanya berupa pengulangan, karena ternyata pengulangan tersebut berkumpul banyak variasi dalam fakta. Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan bagi pendidikan. Pada waktu peserta didik memerlukan pengulangan tentang sebagian pelajaran, maka guru tidak perlu menirukan atau mengulangi lagi dengan cara yang sama persis sebelumnya, karena akan menimbulkan kesan seolah-olah mengabaikan hal baru. Kenyataan menyebutkan, pelajaran yang belum dipahami dalam pertemuan pertama mengisyaratkan perlunya perubahan metode. Pengulangan yang dipadukan dengan ilustrasi-ilustrasi atau hal-hal baru adalah lebih produktif ketimbang hanya pengulangan yang akan membosankan. Untuk mengilustrasikan variasi fakta pengulangan kisah Qur’ani kita lihat umpamanya penolakan Iblis untuk sujud ta’dzim (penghormatan) kepada Adam yang terulang sebanyak tujuh surat al-Qur’an.

Sikap Iblis yang negatif kepada Adam dikatakan sampai tujuh surat. Tiga surat (Al-Kahfi, Al-A’raf dan Thaha) berbicara tentang penolakan Iblis sujud sebagai sujud ta’dzim kepada Adam karena kapabilitas keilmuan yang dimiliki Adam, tidak lebih dari itu. Dalam QS. Thaha:116, kata ‘aba (membangkang) juga dijelaskan dengan pengulangan pada QS. Al-Baqarah:34 dan Al-Kahfi:50. Kemudian kata istakbara (menyombongkan diri) dihimpun dalam pernyataan “aba” tersebut. Dalam empat surat lainnya (Al-A’raf, Bani Israil, Al-Hijr, dan Shad) merupakan alasan Iblis menolak sujud ta’dzim kepada Adam dengan satu variasi pengulangan. Dalam QS. Bani Israil:61 dijelaskan, penolakan sujud itu sehubungan dengan kenyataan, karena Adam diciptakan dari tanah lempung. Dalam Al-Hijr:28 dikatakan bahwa asal usul manusia itu dari tanah kering yang terbuat dari tanah hitam. Dalam QS. Al-A’raf:12 dan Shad: 76, kejadian Adam dari tanah ini dibandingkan kejadian Iblis dari api menjelaskan, bahwa bukti ini sebagai isyarat Adam mempunyai kedudukan lebih rendah ketimbang Iblis. “Kata Iblis: “Aku lebih baik ketimbang dia (Adam).” Karena Engkau menjadikan aku dari api dan Engkau jadikan dia dari tanah.” (QS. Shad:76).

F. Sasaran-sasaran Tarbiyah Islamiyah dalam Kisah-kisah Qur’ani

Semua kisah yang terkandung dalam Qur’an bukan sekedar menerangkan umat masa lalu, para nabi dan rasul, tetapi jangkauannya jauh lebih luas, jangkauannya tidak hanya urusan-urusan keakhiratan tetapi juga urusan-urusan keduniaan. Menurut Muhammad Quthb, bahwa pembaca atau pendengar sebuah kisah tidak dapat tidak bersikap kerjasama dengan jalan kisah dan orang-orang yang terdapat di dalamnya. Sadar atau tidak, ia telah menggiring dirinya untuk mengikuti jalan cerita, mengkhayalkan bahwa ia berada di pihak ini atau itu, dan sudah menimbang-nimbang posisinya dengan posisi tokoh cerita, yang mengakibatkan ia senang, benci, atau merasa kagum.

Maka sebagai sararan tarbiyah yang dibidik Murabbi (Allah) antara lain:

Pertama: Tarbiyah Qalbiyah-Imaniyah-Ruhiyah yakni melalui kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) membidik umat manusia agar selalu memantapkan hati dan jiwa yang penuh iman (iman letaknya dalam hati), menjaganya dan meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Ruhani manusia agar terus menerus dapat kontak dengan Rabbnya tanpa terputus dengan pergulatan, penderitaan, kenestapaan hidup, kemawahan dunia serta kekejaman dan tipudaya syetan-nafsu birahi.

Kisah yang baik dan cermat tentu digemari dan menembus relung jiwa manusia dengan mudah. Segenap perasaan mengikuti alur kisah tersebut tanpa merasa jemu atau kesal, serta unsur-unsurnya dapat dijelajahi akal sehingga ia dapat memetik ‘ibrah yang dijadikan way of life dalam hidupnya. Dalam kisah terkandung pembangkitkan berbagai perasaaan seperti khauf, ridha, dan cinta; mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpu pada suatu puncak, yaitu kesimpulan kisah; melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional. Bacalah kisah Ashhab al-Kahfi (QS. Al-Kahfi:9-26), para pemuda tersebut berada di gua selama 309 tahun menurut perhitungan Qomariah atau 300 tahun menurut perhitungan Syamsiah. Para pemuda tersebut keluar dari kampungnya demi menjaga iman mereka sebagai pengikut Isa a.s., agama Kristen. Menurut M. Quraish Shihab bahwa yang memerintah pada tahun 98 – 117 M dan pada sekitar tahun 112 M (pada masa Ashab al-Kahfi) menetapkan bahwa setiap orang yang menolak menyembah dewa-dewa dijatuhi hukuman sebagai pengkhianat. Para pemuda tersebut termasuk yang monolak mentaati menyembah dewa-dewa, maka sebagai akibatnya mereka harus mengembara ke gua demi mempertahankan iman yang berurat berakar dalam jiwa mereka. Dalam QS. Al-Kahfi:10) disebutkan: (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).” “Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi:13).

Baca pulalah kisah Nabi Ayyub a.s. misalnya (QS. Shaad:41-44 dan Al-Anbiya’:83-84) yang ruhaninya selalu kontak dengan Rabbnya dan tidak pernah putus dengan dua gelombang kehidupan yang dialaminya. Gelombang pertama ialah dengan bergelimpangan kemewahan hidup, dengan rezki yang luas, mengepalai keluarga besar dengan rukun dan damai, . Pada gelombang ini Nabi Ayyub s.a. tetap ruhaninya kontak dengan Rabbnya dengan cara ibadahnya tekun, sayang dan berinfaq kepada pakir miskin, mensyuruki nikmat-nikmat Allah, mengajari orang-orang bodoh, hari-harinya terisi penuh dengan ibadah, sujud kepada Allah, mulutnya berbasah-basah dan tidak pernah berhenti menyebut asma Allah berdzikir, bertasbih dan bertahmid sampai-sampai para malaikat berbincang-bincang di langit untuk memuji sifat-sifat positif Nabi Ayyub a.s. sekalipun diberikan ujian kesenangan dunia yang luar biasa. Gelombang kedua berupa ujian Tuhan yang bertubi-tubi ke Nabi Ayyub a.s. berupa penderitaan dan jeritan hidup yang sangat dahsyat. Rupa-rupanya pujian-pujian malaikat kepada Nabi Ayyub a.s. di dengar oleh Iblis, dan Iblis minta izin kepada Tuhan untuk menggoda dan mencoba Nabi Ayyub a.s. dan Tuhanpun mengizinkannya. Ringkas kisah, kekayaan yang dimiliki Nabi Ayyub a.s. ludes seketika, gedung-gedung pencakar langit runtuh berserakan, keluarga yang penuh damai dan bahagia telah menemui ajalnya, fisik Nabi Ayyub a.s. menderita kesakitan yang luar biasa yang sampai-sampai orang-orang sekampungnya mengasingkannya kerena takut terjangkit penyakit Nabi Ayyub a.s. dan isterinyapun telah meninggalkannya sekalipun karena diusir oleh Nabi Ayyub a.s. sendiri karena istirinya setengah protes kepada Nabi Ayyub a.s. agar Nabi Ayyub a.s. “memohon kepada Tuhannya untuk dibebaskan dari segala penderitaan dan musibah yang berkepanjangan”. Namun hati yang dipenuhi iman dan ruhani Ayyub a.s. tetap tanpa tergoda apapun. Diapun berseru, “Allah yang memberi dan Dia pulalah yang mengambil kembali. Segala puji bagi-Nya, Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut.” Setelah ditinggal isterinya yang diusirnya karena mengeluh, maka Nabi Ayyub bermunajat kepada Rabbnya, lalu berucap: “Wahai Tuhanku, aku telah diganggu oleh syaitan dengan kepayahan dan kesusahan serta siksaan, dan Engkaulah wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Allah menerima do’a Nabi Ayyub yang mencapai puncak kesabaran dan keteguhan iman serta berhasil memenangkan perjuangan melawan hasutan dan bujukan Iblis. Allah mewahyukan firman kepadanya: “Hantamkanlah kakimu ke tanah. Dari situ air akan mancur dan dengan air itu engkau akan sembuh dari semua penyakitmu dan akan pulih kembali kesehatan dan kekuatan badanmu jika engkau gunakan untuk minum dan mandimu”. Nabi Ayyaub a.s. berhasil memenangkan pertarungan hidup baik sewaktu dikalungkan dengan kesenangan hidup maupun sewaktu ditimpa jeritan hidup yang luar biasa itu. Tarbiyah hati yang dipenuhi dengan iman dan ruhiyah yang tidak pernah putus dengan Tuhan sangat terasa pada kisah ini.

Kedua: Tarbiyah ‘Aqliyah-Fikriyah yakni melalui kisah Qur’ani Murabbi (Tuhan) berkeinginan agar manusia mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh Murabbi dengan mendidik orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiri dalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya sehingga setelah mengikuti alur kisah peserta didik (pembaca/pendengar) dapat mengambil pengajaran yang bermanfaat.

Kisah Qur’ani memberikan kesempatan mengembangkan pola pikir sehingga terpuaskan, sebagaimana terlukiskan yaitu dengan jalan pengisyaratan, sugesti dan penerapan. Sekiranya tidak memiliki keimanan yang benar, tentu Yusuf tidak sabar mengamali keterasingannya di dalam sumur, tentu pula tidak akan tabah memerangi kekejian serta menjauhi ketergelinciran di dalam rumah isteri Al-Aziz. Dalam kisah Yusuf ini prinsip kebenaran yang dijadikan patokan tokoh kisah dan sekaligus untuk mencintai sifat-sifat tokoh yang mengagumkan itu serta kemenangannya dalam pertarungan antara yang hak dan yang batil berkat kesabarannya dalam waktu yang cukup lama. Untuk pengembangan pola pikir, kisah Qur’ani juga untuk mengajak berpikir dan merenung. Kisah-kisah Qur’ani tidak lepas dari dialog yang mengandung dan mengundang penalaran. Adapun tema pokoknya ialah bahwa yang hak menjadi pihak yang menang. Dalam dialog tersebut, yang menghasilkan kesimpulan, berupa pemantapan kebenaran dan keagungannya. Hal ini akan dapat mempengaruhi dan memperkokoh jiwanya dan berpengaruh pula terhadap jiwa masyarakat pada umumnya, berkat pertolongan Allah terhadapnya. Di dalam kisah Yusuf kita mendapatkan sebuah dialog antara dia dengan dua orang pemuda yang sama-sama menghuni penjara, lalu dia menyeru mereka supaya mentauhidkan Allah.

Nuansa tarbiyah fikriyah lebih terasa jika pembaca atau pendengar merenungkan kisah Ibrahim a.s. ketika ia menemukan Tuhan yang sebenarnya melalu proses berpikir dan perenungan. Dengan pola pikir induktif yang disertai dengan perenungan yang mendalam, Ibrahim akhirnya dapat menyimpulkan siapa sebenarnya Tuhan yang patut disembah itu. Mula-mula Ibrahim (QS. Al-An’am: 75-82) melihat bintang-bintang di malam gelap gulita. Ia berkata “Inilah Tuhanku. Lalu bintang-bintang itu tenggelam menjelang subuh. Ibrahim berpikir sambil merenung dan menyadari kesalahannya, lantas ia berkata, “saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kejadian serupa dialaminya ketika melihat bulan terbit, kemudian tenggelam, melihat matahari terbit, lalu terbenam. Dari berbagai kasus yang dialaminya disertai dengan perenungan dan mengkritisan kejadian pada akhirnya Ibrahim menemukan Tuhan yang sebenarnya.

Ketiga: Tarbiyah Khuluqiyah yakni sebuah pelatihan manusia untuk berakhlak mahmudah (mulia) dan memiliki kebiasaan sifat-sifat terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi karakter dan sifat tertanam kuat dalam diri manusia, yang dengannya ia mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dan terbebas dari akhlak madzmumah (tercela).

Kisah Qurani akan dapat melahirkan kehangatan perasaan dan vitalitas serta aktivitas di dalam jiwa, yang selanjutnya memotivasi manusia untuk mengubah prilakunya dan memperbaharui tekadnya sesuai dengan tuntunan, pengarahan dan akhir kisah itu, serta pengambilan pelajaran darinya. Menurut Nahlawi, kisah Qur’ani merupakan penyentuhan nurani manusia dalam keadaannya yang utuh menyeluruh, sebagaimana terjelma dalam tokoh-tokoh utama yang sengaja ditampilkan al-Qur’an kepada umat manusia. Masing-masing tokoh itu ditampilkan pada pusat perhatian selaras dengan konteksnya. Penampilan pelaku kisah itu disajikan secara sangat mengena, sesuai dengan tempatnya, fungsi dan upaya pencapaian tujuan edukatif dari penyajinya. Al-Qur’an menyajikan penampilan seluruh tokoh ini secara wajar dan objektif, tanpa dicampuri sikap keji atau terangsang untuk berbuat keji dan dosa. Karena tujuan terpenting kisah Qur’ani adalah tarbiyah khulukiyah melalui pelukisan watak manusia secara nyata serta menggugah untuk diresapi dan diteladani. Dalam QS. Yusuf: 87-111, Nabi Yusuf memberi contoh teladan akhlak mahmudah bagi kemurniaan jiwanya dan keteguhan hatinya tatakala menghadapi godaan Zulaikha, majikannya. Ia diajak berbuat mesum oleh Zulaikha yang masih muda belia, cantik dan berpengaruh, sedang ia sendiri berada dalam puncak birahi kemudaannya, di mana nafsu birahi seseorang masih berada di tingkat puncaknya. Akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dengan menolak ajakan majikannya itu, karena ia takut kepada Allah. Sebagai akibat dari penolakan itu ia rela dipinjarakan demi mempertahankan keluruhran akhlaknya dan keteguhan imannya. Jiwa kesatriaan juga ditunjukkan oleh Yusuf dengan keengganannya dikeluarkan dari pinjara sebelum persoalannya dengan Zulaikha dijernikan dengan seadil-adilnya. Ia tidak mau dikeluarkan dari pinjara karena memperoleh ampunan dari raja berarti pula benar-benar Yusuf di pihak yang salah, tetapi ia dikeluarkan sebagai seorang yang bersih, suci dan tidak berdosa dan terbebas dari tuduhan-tuduhan dan fitnah melalui proses pengadilan yang jujur dan terbuka. Hal itu terbukti di pengadilan, bahwa yang bersalah adalah dipihak Zulaikha. Keluhuran akhlak Nabi Yusuf menonjol ketika ia menerima saudara-saudaranya di Mesir untuk memperoleh jatah pembelian gandum dari gudang pemerintah kerajaan Mesir. Nabi Yusuf pada saati itu, sekiranya ia mau ia dapat melakukan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yang telah melamparkannya ke dalam sumur dan memisahkannya dari ayah tercinta. Namun sebaliknya ia bahkan menerima mereka dengan ramah dan melayani kebutuhan mereka dengan penuh kasihsayang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa yang ia alami akibat tindakan saudara-saudaranya yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Menurut Nahlawi, kisah yang memikat dan menarik perhatian pembaca; tanpa memakan waktu lama. Kisah seperti ini mengundang si pembaca untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, serta terkesan oleh watak pribadi pelaku kisah itu. Pada biasanya kisah dalam bentuknya yang paling sempurna dimulai dengan mengemukakan tuntutan, ancaman, peringatan akan bahaya, atau lain sebagainya yang dijalin dalam ikatan cerita. Menurut Manna’ al-Qaththan pada umumnya manusia suka mendengarkan cerita-cerita, memperhatikan riwayat kisah, dan ingatannya segera menampung apa yang diriwayatkan kepadanya, kemudia ia menirukan dan mengisahkannya.

Biasanya kisah Qur’an, identitas pahlawan dalam peristiwa yang terjadi tidak selalu diungkapkan, maka pemujaan kepada suatu pribadi manusia itu bukan merupakan tema sentral. Menurut Abdurrahman Saleh bahwa peristiwa-peristiwa sejarah bangsa-bangsa terdahulu berkaitan dengan tema umum, yakni perjuangan antara yang baik dan yang buruk yang menimbulkan kehancuran bagi bangsa-bangsa terkemudian.

Kisah Qurani ditampilkan dengan penuh makna, tampilannya tidaklah menjauhkan diri dari sifat-sifat manusia, tidak pula membumbung tinggi ke dalam khayali, karena kisah itu disajikan sebagai terapi edukatif bagi manusia. Terapi tepat apabila membentangkan berbagai kelemahan dan kekeliruan tabiat manusia. Kemudian aspek-aspek yang lemah dan keliru dari watak manusia ini ditampilkan sebagai kontras terhadap aspek lain yang sungguh dan agung, sebagaimana direalisasikan oleh para rasul dan kaum muslimin. Keagungan, kebenaran dan kemuliaan ini dituangkan di akhir kisah, setelah melalui berbagai percobaan, kesabaran dan perjuangan. Inilah realisasi terapi yang menggambarkan kemenangan dakwah Ilahiyah dan kerugian bagi kaum musyrikin dan kaum yang tidak benar.

F. Simpulan

Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk dan pedoman bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman, maka manusia harus selalu mempelajari, meneliti, memperinci sehingga dapat dijadikan norma-norma konkrit dalam mengarahkan prilaku manusia. Agar ajaran Al-Qur’an dapat diserap dan diinternalisasi manusia, maka Tuhan memberi macam cara edukatif yang sesuai dengan fitrah manusia. Salah satunya ialah dengan metode kisah. Kisan Qur’ani mencakup keadaan atau subyek atau tokoh yang dipaparkan, sekalipun tokoh dimaksud bukan sebagai titik sentral dalam kisah; setiap kisah Qur’ani menggambarkan suatu keadaan yang mengandung tujuan-tujuan tertentu yang pada umumnya bersifat keagamaan dan peristiwa tidak selamanya diceritakan sekaligus tetapi secara berulang-ulang sesuai dengan kronologis peristiwa dan aksentuasi tujuan-tujuannya.

Banyak nilai-nilai yang bermakna dan edukatif dari kisah qur’ani, seperti memikat pembaca atau pendengar karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya, yang selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan mendalam dalam hati pembaca atau pendengar tersebut; mendidik perasaan keimanan; menyentuh hati karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Kisah yang tertuang dalam Quran membawa pengaruh yang dalam terhadap Tarbiyah Qalbiyah-Ruhiyah-Imaniyah, Tarbiyah Fikriyah dan Tarbiyah Khulukiyah. Karena kisah Qur’ani tersebut merupakan gambaran yang realistis, logis, agung, teologis, bukan kisah khayali, dan bukan pula kisah yang menjijikkan.

Pengulangan kisah Qurani pada subyek yang satu, kisah Adam misalnya adalah banyak variasi dalam fakta. Pengulangan kisah tidak sama tetapi berbeda dalam episode, substansi materi dan tujuan penggambaran kisah. Fakta seperti ini mempunyai signifikansi yang relevan dengan nilai-nilai pendidikan terutama sebagai penguatan dan penambahan wawasan pendengar atau pembaca terhadap alur kisah. Demikan, Wallahu a’lam bishshawab.



DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Arifin dan Zainuddian (penterjemah), Jakarta: Rineka Cipta, 1990.


Ahmad Syarbasyi, Qashash al-Qur’an, Kairo: al-Maktaba ash-Saqofiyah, 1962.


Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Rosdakarya, 1992.


Nahlawi an, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Herry Noer Ali (penerjemah), Bandung: Diponegoro, 1989.


Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamur Arab Indonesia, Yogyakarta: Al-Munawwir, 1984.


Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.


Mahmud Zahron, Qashash min al-Qur’an, Mesir: Dar al-Kutub, 1956.


Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Riyad: Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.


Muhammad al-Majub, Nadzariyat Yahliliyat fi al-Qishas al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1971.


Muhammad Kamil Hasan, Al-Qur’an wa Al-Qashas al-Haditsah, Beirut: Dar al-Buhuts al-Ilmiyah, 1970.


Muhammad Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1997.


Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Salman Harun (penterjemah), Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993.


Sayyid Quthub, At-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1975.

MENGKRITISI RUU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Oleh Ki Gunawan

Tanpa banyak terliput oleh media massa dan agak luput dari perhatian kalangan pendidikan, Komisi VI DPR RI saat ini tengah membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional. RUU ini naskah awalnya digarap oleh Komite Reformasi Pendidikan Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional (KRP Balitbang Depdiknas).

Dengan pemikiran UU Sisdiknas mempunyai arti sangat penting dalam memberi landasan yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional di samping fungsinya sebagai pemberi kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, senyampang RUU tersebut masih dalam proses pembahasan, penulis mencoba untuk mengangkat beberapa hal penting sebagai masukan bagi DPR.

Pendidikan Dasar
Sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No. 2/1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai Sekolah Dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan. Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2/1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.

Anehnya, dalam naskah RUU yang dibahas pada 5 Desember 2001 Komisi VI menyebut ‘Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat’ (pasal 17 ayat 2), kemudian ‘Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat’ dan ‘Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat’ (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)’, dan pada ayat 4 ‘Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)’.

Di samping sistem tata nama yang kacau, terdapat kekacauan dan kemunduran berpikir yang sangat mendasar para wakil rakyat di Komisi VI yaitu dengan mengembalikan jenjang pendidikan sekolah setelah SD ke dalam jenjang pendidikan menengah yang disebut sebagai pendidikan menengah tingkat pertama. Apalagi dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah tingkat pertama bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja atau untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut’ (kursif dari penulis). Pasal ini jelas-jelas memberikan legalitas formal dan pengakuan kepada dunia bahwa Indonesia mengizinkan dunia usaha mempekerjakan anak-anak berusia muda sebagai buruh karena usia lulusan jenjang pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal, keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan.

Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni 2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.

Pendidikan Keagamaan
Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).

Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu.

Peguruan Swassta
Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47 dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut ‘perguruan swasta’. Tentang bantuan pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang. UU No. 2/1989 menyebut ‘Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku’ dan naskah pembahasan Komisi VI menyebut ‘Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku’ (kursif dari penulis).

Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.

Anggaran Pendidikan
Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi, dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian membaik.

Di samping hal-hal yang penulis kemukakan di atas, masih banyak hal yang perlu pembahasan dan masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat memenuhi keinginan kita semua dalam membangun sebuah sistem pendidikan nasional yang kuat. Untuk itu, Komisi VI seyogyanya rajin mencari masukan dari masyarakat dan berbagai kalangan yang memiliki perhatian kepada perkembangan dunia pendidikan melalui semacam public hearing dan sebagainya

by fai.uhamka.ac.id