KAFALAH, JAMINAN DALAM KONSEP FIKIH DAN
APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh: Isa Anshori
Abstrak:
Sebagai salah satu bentuk aktifitas ekonomi, kafalah atau jaminan menjadi hal yang amat sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai transaksi ekonomi demi memenuhi kebutuhan. Dalam Islam, kafalah, selain dilakukan oleh masyarakat secara ’urf, juga dapat ditemukan dasar-dasarnya secara syar’iyah sebagaimana ditemukan aktifitas kafalah yang direkam dan dijustifikasi oleh al-Qur’an, al-Hadis, dan juga telah menjadi ijma ulama’.
Seiring perkembangan zaman, kafalah pun mengalami perkembangan dan modifikasi sebagaimana terlihat dalam aktifitas ekonomi modern bersangkut paut dengan penerapannya dalam masyarakat secara langsung maupun melalui dunia perbankan dalam rangka memenuhi kebutuhan dengan tetap berada dalam bingkai syari’ah.
Pendahuluan
Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang penting. Modal tersebut dapat bersifat material, atau immaterial (skill, trust, dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti bank. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat, di antaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan (track record), dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam jaminan perorangan (personal guarantie) dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitor). Ia bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa pengetahuan si berutang tersebut. Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor dengan debitornya, tetapi juga dapat diadakan antara kreditor dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitor).[1] Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan).[2]
Pembahasan
A. Pengertian
Secara etimologis, kafalah berarti al-dhamma, artinya “menggabungkan”, yakni menggabungkan dua tanggung jawab dalam suatu hal.[3] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 37 yaitu “Allah menjadikan Zakaria sebagai penjaminnya (Maryam)”. Di samping itu, kafalah berarti hamalah (beban) dan Za’amah (tanggungan). Di sebut dhamman apabila penjaminan itu dikaitkan dengan harta, hamalah apabila dikaitkan dengan diyat (denda dalam hukum qishash), za 'amah jika berkaitan dengan harta (barang modal), dan kafalah apabila penjaminan itu dikaitkan dengan jiwa.
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.” Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful ‘anhu ashil)”[4]
Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang).[5]
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak.[6]
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.
Di dalam perundang-undangan Mesir misalnya, kafalah diartikan sebagai menggabungkan tanggung jawab orang yang berhutang dan orang yang menjamin. Misalnya, ada seseorang akan mengajukan kredit kepada bank, kemudian ada orang kedua yang bertindak dan turut menjamin hutang seseorang tersebut. Ini berarti bahwa hutang tersebut menjadi tanggung jawab orang pertama dan juga orang kedua.[7]
Semakna dengan itu, KUH Perdata Pasal 1820 menyebutkan, bahwa penanggungan adalah ”suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.”[8]
B. Landasan Syari'ah
Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur'an, al-Sunnah dan kesepakatan para ulama, sebagai berikut:
1. Al-Qur'an
Dalam al-Qur’an surat Yusuf (12): 66, Nabi Ya'kub berkata: "Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikun kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku..."
Selanjutnya pada ayat 72 surat yang sama Allah SWT. berfirman: "Penyeru-penyeru itu berkata "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
2. Al-Sunnah
Jabir r.a. menceritakan: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia dan kami telah memandikannya dengan bersih kemudian kami kafani, lalu kami bawa kepada Rasulullah SAW. Kami bertanya kepada beliau: "Apakah Rasulullah akan menshalatkannnya?". Rasulullah bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjuwab: "Ya, dua dinar." Rasulullah kemudian pergi dari situ. Berkatalah Abu Qatadah : "Dua dinar itu tanggung jawabku." Karenanya, Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menunaikan hak orang yang memberi hutang dan si mayit akan terlepas dari tanggung jawabnya." Rasulullah lalu menshalatkannya. Pada keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Qatadah tentang dua dinar itu dan dijelaskan, bahwa ia telah melunasinya. Rasulullah SAW. bersabda: "Sekarang kulitnya telah sejuk." (H.R. Bukhari).
Rasulullah SAW. bersabda: "Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus membayarnya." (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibnu Hibban).
3. Ijma' ulama
Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun.[9] Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang .[10]
C. Rukun Dan Syarat Kafalah
Adapun rukun kafalah sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa lileratur fikih terdiri atas:
1. Pihak penjamin/penanggung (kafil), dengan syarat baligh (dewasa), berakal sehat, berhak penuh melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya, dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2. Pihak yang berhutang (makful 'anhu 'ashil), dengan syarat sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin.|
3. Pihak yang berpiutang (makful lahu), dengan syarat diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa, dan berakal sehat.
4. Obyek jaminan (makful bih), merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang (ashil), baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan, bisa dilaksanakan oleh pejamin, harus merupakan piutang mengikat (luzim) yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan, harus jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya, tidak bertentangan dengan syari'ah (diharamkan).[11]
D. Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung
Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan, bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkan harta warisan. Menurut pendapat Imam Malik dan Syafi'i, hal yang demikian boleh ditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentang ketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang. Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungan tersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orang yang pailit.
Jumhur fuqaha' juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orang yang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifah tidak membolehkannya[12]
E. Masa Tanggungan
Masa tanggungan dengan harta, yakni masa penuntutan kepada penanggung adalah dimulai sejak tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan pengakuannya maupun saksi, demikian pendapat fuqaha'.
Kemudian fuqaha' bersilang pendapat tentang masa wajibnya tanggungan dengan badan, apakah tanggungan tersebut menjadi wajib sebelum tetapnya hak atau tidak?. Segolongan fuqaha' berpendapat, bahwa tanggungan itu tidak menjadi wajib sebelum tetapnya hak. Pandangan ini dipegangi oleh golongan Imam Malik, Syuraih al-Qadhi dan al-Sya'bi. Segolongan lainnya berpendapat, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harus ada konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia menjadi penanggung.
Selanjutnya, kapan pengambilan hak itu terjadi atau kapankah pengambilan hak itu menjadi wajib, dan sampai kapan waktunya?, Sebagian fuqaha' berpendapat bahwa apabila debitur dapat menyampaikan bukti-bukti yang kuat atau saksi misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan), sehingga terlihat haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberi penanggung. Apabila ia ingin juga mengambil penanggung dengan berupaya menghadirkan saksi, maka ia diberikan tempo selama 5 (lima) hari kerja untuk maksud tersebut, yakni masa penanggung memberikan tanggungan. Ini pendapat Ibn al-Qashim dari kalangan madzhab Maliki.
Fuqaha' Irak berpandangan, bahwa tidak dapat diambil penanggung atas debitur sebelum tetapnya hak. Sependapat dengan Ibn al-Qashim, mereka memberikan waktu hanya 3 (tiga) hari. la menambahkan, bahwa tidak boleh diambil penanggung atas seseorang kecuali dengan adanya saksi. Dengan demikian akan tampak jelas pengakuannya itu benar atau tidak benar.
Apabila keadilan antara kedua belah pihak dalam masalah ini akan ditegakkan, maka keberadaan saksi mutlak diperlukan, baik kesaksian atas beban (hutang) debitur maupun kesaksian atas diambilnya tanggungan oleh pihak penanggung. Ini memudahkan pihak Kreditur dalam melakukan tindakan-tindakan ke depan, apabila diperlukan. [13]
F. Kewajiban Penanggung
Apabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau "menghilang", bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung?. Dalam hal ini ada tiga pendapat, sebagai berikut:
Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang ditanggung, atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik beserta pengikutnya dan fuqaha' Madinah. Bahwa penanggung dipenjarakan, sehingga orang yang ditanggung telah datang, atau kalau dia wafat, telah diketahui kewafatannya. Ini pandangan Imam Abu Hanifah dan fuqaha' Irak.
Bahwa penanggung tidak terkena kewajiban apapun termasuk dipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia mengetahui tempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al-Qasim. Pendapat Imam Malik yang mengatakan, bahwa penanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia pergi, didasarkan pada Hadis Ibnu 'Abbas r.a. sebagai berikut: "Sesungguhnya seorang laki-laki meminta kepada debiturnya agar memberikan hartanya kepadanya, lalu ia memberikan penanggung kepadanya, tetapi ia tidak mampu, sehingga orang tersebut mengadukannya kepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW. pun menanggungnya, kemudian debitur memberikan harta kepadanya. "
Mereka mengatakan, bahwa Hadis ini menunjukkan adanya penggantian kerugian secara mutlak. Berbeda dengan fuqaha' Irak yang berpandangan bahwa, penanggung hanya berkewajiban menghadirkan apa yang ditanggungnya, yakni orang (yang ditanggungnya). Karenanya, penanggungan tersebut tidak harus menyertakan harta, kecuali apabila penanggungan tersebut memang disyaratkan demikian atas dirinya.
Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, apabila seseorang mensyaratkan tanggungan (badan) tanpa harta, sedangkan iapun menjelaskan syarat tersebut, maka harta tersebut tidak wajib atasnya. Karena apabila harta tersebut menjadi beban kewajibannya, berarti ia melakukan perbuatan yang melawan apa-apa yang disyaratkannya itu.
Berbeda dengan tanggungan harta, fuqaha' telah sepakat bahwa, apabila orang yang ditanggung tersebut meninggal atau pergi, maka penanggung harus mengganti kerugian.
Tentang pandangan yang membolehkan kreditur menuntut penanggung, baik yang ditanggung itu bepergian atau tidak, kaya atau miskin, maka mereka beralasan dengan Hadis Qubaishah Ibn al-Makhariqi r.a. sebagai berikut: "Aku membawa satu tanggungan, maka aku mendatangi Nabi SAW. kemudian aku bertanya kepada beliau tentang (tanggungan itu). Maka beliau bersabada: "Kami akan mengeluarkan tanggungan itu atas namamu dari onta sedekah. Hai Qubaishah! sesungguhnya perkara ini tidak halal, kecuali pada tiga hal". Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang laki-laki yang membawa suatu tanggungan dari laki-laki lain, sehingga ia melunasinya ".
Hadis tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa, Nabi SAW. membolehkan penuntutan terhadap penanggung, tanpa mempertimbangkan kondisi orang yang ditanggung.[14]
G. Obyek Tanggungan
Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta. Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggung kerugian.” Sehubungan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalah berupa harta, maka hal ini dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut:
1. Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak diketahui, maka dikhawatirkan akan terjadi gharar.
2. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentu yang berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti 'ariyah (pinjaman) atau wadi 'ah (titipan), maka kafalah tidak sah.
3. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan.[15]
H. Macam-macam Kafalah
M. Syafi'i Antonio memberikan penjelasan tentang pembagian kafalah sebagai berikut:[16]
1. Kafalah bi al-mal, adalah jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2. Kafalah bi al-nafs, adalah jaminan diri dari si penjamin. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
3. Kafalah bi al-taslim, adalah jaminan yang diberikan untuk menjamin pengembalian barang sewaan pada saat masa sewanya berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee kepada nasabah tersebut.
4. Kafalah al-munjazah, adalah jaminan yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu dan untuk tujuan/kepentingan tertentu. Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond (jaminan prestasi).
5. Kafalah al-mu’allaqah, Bentuk kafalah ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.
I. Upah Atas Jasa Kafalah
Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yang ia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambil upah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, seperti Mustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafi'i, berpadangan bahwa pemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalah kepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagai upah (ju'alah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya. Ulama lain, Abdu al-Sai' al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/penjamin haruslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin. Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yang dipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya.[17]
J. Akibat-akibat Hukum Kafalah
Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang), maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi beban 'ashil (orang yang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalam hal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya.
Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu.[18] Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidak mengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabila ia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikan waktu yang cukup untuk keperluan tersebut.[19]
K. Penerapan Kafalah Dalam Perbankan
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah[20] jaminan yang diberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lain apabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya.
Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan perorangan (termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.'
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan. pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansi terdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas permintaannya, dan penerima jaminan.[21]
Bank dalam pemberian garansi ini, bisaanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping itu, bank memungut biaya sebagai ju'alah dan biaya administrasi.
Secara umum, aplikasi kafalah dalam sistem perbankan syari'ah dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebaga berikut:
a. Kafalah adalah salah satu fasilitas perbankan syari'ah yang merupakan jaminan dari si penjamin, baik berupa jaminan diri maupun barang untuk membebaskan kewajiban yang ditanggung pihak lain.
b. Kebolehan kafalah sebagai salah satu produk perbankan syari'ah didasarkan pada nash al-Qur'an al-Karim, Hadis-Hadis Rasulullah SAW., dan beberapa pendapat jumhur fuqaha' sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan di atas, termasuk fatwa Dewan Syari'ah Nasional (DSN).
c. Kafil mempunyai kewajiban secara mutlak yang disebabkan penyertaan dirinya dalam akad kafalah ini.
d. Hak fasakh adalah berada pada makful lahu (bank), sejauh ia mau mempergunakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujieb, M., et. al., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Al-Khusaini, Taqiyyudin Abi Bakar, Kifayah al-Akhyar, Terjemahan, Surabaya: Bina Iman, 1995
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Sistem dan Prosedur Operational Bank Sayri'ah, Yogyakarta: UII Press, 2000
................................, Bank Syari'ah: Teori dan Praktek, Jakarta: Gema Insani, Jakarta, 2001. Asyur, Ahmad Isa, Al-Fikih al-Muyassar, Dar al Fikr, Beirut, Libanon, 1995
Himpunan Fatwa-fatwa Dewan Syari'ah Nasional, BI DSN, Jakarta: 2001
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut, Libanon: Dar al Fikr, t.th.
Sabiq, Sayid, Fikih al-Sunnah, Beirut, Libanon: Dar al Fikr, 1992
Siamat, Dahlan, Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, Jakarta: FE UI, 2001
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978
Surat Edaran BI, nomor : 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.
Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, 1989
[1] R. Subekti, Jaminan jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, h. 15
[2] Ahmad Isa Asyur, Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (terj), Solo: Pustaka Mantiq, 1995, h. 65
3 Sayyid Sabiq, Fikih al-Sunnah, vol. 3, Beirut Libanon: Dar al Fikr, h. 283
4M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Teori dan Praktek, Jakarta: Tazkia Cendekia, 2001, h.123
[5] M. Abdul Mudjieb, et. al., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 148
[6] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 106
[7] Adiwarman, Ibid., h. 107
[8] R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Internusa, 1991, h. 14
[9] Sayid Sabiq, Op. Cit., Vol. 3, h. 284
[10]Wahbah Zuhaili, Fikih al Islam wa Adillatuh, Vol.5, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, h. 131
[11]Ibid., h. 140-147. Lihat juga Dewan Syari'ah Nasional, Himpunan Fatwa DSN-MU1, BI dan DSN, Jakarta: 2001, h. 72-73
[12]Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, vol. 3, Beirut, Libanon: Dar al-Fikr, tth., h. 224
[13]Ibnu Rusyd, Ibid., h. 223
[14]Ibnu Rusyd, Op. Cit., h. 222 - 223
[15]Sayid Sabiq, Op. Cit., h. 286-287
[16]Muhammad Syafi’i Antonio, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari'ah, Yogyakarta: UII Press, 2001, h. 38
[17]Adiwarman A. karim, Op. Cit., h. 107
[18]Sayid Sabiq, Ibid., h. 287
[19]Taqiyyudin Abu Bakar al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Terjemahan, Surabaya: Bina Iman, 1995, h. 627
[20]Dahlan Siamat, Lembaga Manajemen Keuangan, Edisi III, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2001, h. 141
[21]Ibid..
No comments:
Post a Comment