Monday, April 28, 2008

Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU

Post-Tradisionalisme Islam:
Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU

oleh Rumadi


Abstract

This research concentrates on articulating intellectual dynamism taking place within NU community till the rising of Post-Traditional Islam pattern of thought, tracking down factors having an effect on the pattern of such thought, and discovering patterns of liberalism developing within the community exercising the paradigm of the Post Traditional Islam. This research is of note. This is due to the fact that such thought pattern of Post-Traditional Islam has occurred with the traditionalist community, well known as community anti-modernity, stagnant, static and the like. To deal with subject, data is gathered from library research and interview. The data is, furthermore, described and analyzed employing historical and descriptive methods. The analysis model exercised in this research is discourse analysis and archeology of thought. To confirm such analysis, comparative method, pattern of reflective thought and hermeneutic approach are in use. Having done research on the subject, it can be stated that the rising of young generation of the community with new progressive vision is unique and remarkable trend. This change of vision can not be separated from the role of Achmad Siddiq and Abdurrahman Wahid. The progressive pattern of thought nowadays has been institutionalized among non-governments organizations of the Traditionalist community young generation, called themselves Post-Traditionalist Islam community.


Keywords : Islam, Traditionalist, Nahdlatul Ulama, Post-traditionalism.
A. Pendahuluan

MELAKUKAN kajian tentang perkembangan pemikiran di lingkungan komunitas Nahdlatul Ulama (NU) bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun NU dikenal sebagai organisasi tradisional, namun untuk melacak dinamika intelektualismenya harus melibatkan banyak elemen dan variabel-variabel. Hal ini disebabkan, meski akar-akar tradisi intelektualisme NU relatif sama, namun ekspresi yang ditampilkan oleh pemikir-pemikir NU ternyata sangat beragam. Kesulitan itu juga berkaitan dengan kenyataan bahwa kajian tentang intelektualisme NU termasuk bidang kajian yang agak terlantar. Para peneliti NU baik asing maupun pribumi mempunyai kecenderungan umum mengkaji NU semata-mata dari aspek politik dan kekuasaan dibanding kajian dari aspek sosial-intelektual.
Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”.[1] Tradisionalisme tersebut di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, namun di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apapun upaya yang dilakukan untuk “merubah wajah NU” harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri, yang mencakup beberapa aspek: pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meskipun belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elit pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar. Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual luar biasa yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Karena kekayaan tersebut sehingga menjadikan NU sangat apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran lama meskipun oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan khurafat.[2] Namun sayangnya, dalam waktu yang cukup lama, kekayaan intelektual yang dimiliki NU tersebut tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Akibatnya, NU dengan berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam “dapur pengawet” ilmu-ilmu keislaman. Tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khasanah tersebut.[3]
Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuannya, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meskipun banyak kritik yang ditujukan ke lembaga pendidikan tradisional ini seperti kepemimpinan kyai yang sangat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya, namun pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa “nilai” yang tidak dimiliki oleh lembaga lain.
Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang oleh kader-kader mudanya. Munculnya gairah baru intelektualisme NU tersebut mempunyai latar belakang yang cukup panjang dan dipengaruhi banyak hal. Keberhasilan kalangan “modernis” dalam mengembangkan institusi pendidikan turut mendorong semangat para kiai untuk melakukan reformasi pendidikan dengan mengadopsi sistem pendidikan sekuler, tanpa meninggalkan sistem pesantren yang sudah dikenal selama ini. Pada perkembangan lebih jauh, munculnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang keagamaan mempunyai pengaruh besar kepada anak muda NU. LSM-LSM tersebut tidak saja menggiatkan kehidupan keagamaan, tapi turut berperan dalam membangun wacana keagamaan progresif. Sebagai contoh, sejak tahun 1970-an mulai muncul kader NU yang aktif di LSM untuk mengembangkan masyarakat (community development) pedesaan.
Masalah utama yang ingin dijawab penelitian ini adalah 1) apa sebenarnya post tradisionalisme Islam Indonesia yang dikarakterisasi sebagai wacana keagamaan kontemporer dalam komunitas NU?, dan 2) bagaimana pergulatan lahirnya lapisan baru tersebut, dan isu-isu pemikiran apa yang dikembangkan?
B. Pembentukan Tradisi Intelektualisme Islam Nusantara
SEBELUM membicarakan lebih jauh mengenai dasar-dasar pembentukan intelektualisme NU, penulis merasa perlu untuk melakukan penelusuran terhadap proses awal pembentukan tradisi intelektual di nusantara. Hal ini penting, paling tidak, karena dua alasan: pertama, penelusuran terhadap dinamika intelektual ulama nusantara merupakan bidang kajian yang agak terlantar. Para penulis sejarah lebih tertarik pada sejarah raja-raja (sejarah struktural, sejarah penguasa) daripada “sejarah kultural”, sejarah rakyat. Dalam konteks yang terakhir ini, bisa dipahami jika kajian sejarah yang berkaitan dengan perkembangan intelektualisme menjadi agak terlantar. Kedua, pembentukan intelektualisme NU bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Dalam proses itu terdapat keterkaitan dan kesinambungan dengan perkembangan pemikiran yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam, terutama Mekah dan Madinah sebagai pusat perkembangan Islam. Namun harus segera dicatat, di samping ada kontinuitas, di sana juga terjadi perubahan-perubahan secara dinamis atas tradisi sebelumnya. Keterkaitan NU dengan tradisi intelektual masa lalu inilah yang kemudian menjadikan NU tidak terputus dengan tradisi intelektual klasik, sehingga ia sering disebut organisasi “tradisional”.[4]
NU dan Tradisionalisme Islam di Indonesia
Ada beberapa ciri yang biasa melekat pada kelompok tradisional. Pertama, pemikiran-pemikiran ke-Islaman mereka masih terikat kuat dengan ulama-ulama sebelumnya yang hidup antara abad ke 7 hingga 13 M, baik dalam tasawuf, hadis, fiqih, tafsir, maupun teologi.[5] Kedua, pendukung utama tradisionalisme Islam adalah para kiai dan tokoh-tokoh lokal yang berbasis pendidikan pesantren. Atas dasar itu, pesantren secara simplistis sering dipandang sebagai agen pendukung tradisionalisme yang melestarikan ajaran-ajaran-ajaran ulama masa lampau. Islam tradisional yang kelihatannya statis dan terbelenggu oleh pemikiran ulama abad pertengahan, sebenarnya mengalami perubahan-perubahan fundamental, meskipun perubahan itu sangat rumit dan sulit diamati. Perubahan itu tidak hanya terjadi pada kehidupan sosial kelompok ini seperti diduga oleh Fachry Ali dan Bahtiar Affendy,[6] tapi juga menyangkut aspek-aspek ajaran dan pemikiran fundamental lainnya.
Ketiga, mayoritas pendukung tradisionalisme tinggal di pedesaan, atau meskipun tinggal di kota namun social origin-nya adalah pedesaan. Hal ini terjadi karena adanya mobilitas baru anak-anak “kaum tradisional” yang semakin baik tingkat pendidikannya dan melakukan perantauan ke kota. Keempat, ciri yang lebih ideologis adalah keterikatan mereka kepada paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang dipahami secara spesifik. Pada tingkat tertentu, menguatnya kelompok tradisional secara terorganisir juga karena upaya mereka untuk melindungi paham dan ideologi tersebut yang merasa terancam dengan munculnya kelompok modernis yang mengkampanyekan agar umat Islam tidak terbelenggu dalam tradisi.
Akar-akar pembentukan intelektualisme NU dapat dilacak jauh ke belakang sejak abad 17 dan 18.[7] Penelitian yang dilakukan Azra menunjukkan bahwa pada masa ini Islam di nusantara sudah menampakkan dinamika intelektual yang cukup mengesankan, meskipun jika dibandingkan dengan dinamika intelektual di belahan dunia yang lain dapat dikatakan masih tertinggal.[8] Dinamika itu antara lain nampak dari keterlibatan ulama-ulama nusantara pada –pinjam istilah Azyumardi Azra—jaringan ulama yang berpusat di Haramain (Makkah dan Madinah). Perintis keterlibatan ulama “Jawi” itu antara lain diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Abd al-Rauf al-Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Maqassari (1030-1111 H/1629-1699 M), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) dan sebagainya.[9]
Jaringan intelektual tersebut terus berlanjut hingga abad 19 dan 20, saat di mana –pinjam istilah Zamakhsyari Dhofier—geneologi intelektual ulama NU mulai kelihatan jelas. Dengan demikian, dalam rentang waktu yang cukup panjang sebelum ulama-ulama NU periode awal menjalin jaringan intelektual dengan Makkah dan Madinah, para ulama Jawi telah menyerap tradisi Timur Tengah sekaligus mengembangkan wacana keagamaan, baik pada aspek teologi, fikih maupun tasauf yang pada gilirannya akan dijadikan standar keislaman ulama nusantara.
Pada paroh kedua abad 19, wacana keagamaan nusantara antara lain ditandai dengan semakin mapannya jaringan tersebut. Namun pada masa ini ada perubahan-perubahan signifikan mengenai posisi ulama nusantara di Haramain. Jika pada masa-masa sebelumnya ulama “Jawi”[10] lebih sebagai murid dari ulama Haramain, pada abad 19 mulai muncul ulama-ulama nusantara bertaraf internasional yang menjadi “guru besar” di pusat Islam tersebut. Guru-guru tersebut pada gilirannya akan melahirkan apa yang disebut koneksi jaringan di Asia Tenggara). Nama-nama yang paling menonjol mengenai hal ini antara lain Nawawi al-Bantani (1230-1314 H/1813-1879 M), Ahmad Khatib al-Sambasi (w. 1875 M), Abd al-Karim al-Bantani, Ahmad Rifa’i Kalisalak (1200-1286 H/1786-1870), Ismail al-Khalidi al-Minangkabawi, Daud Ibnu Abdullah al-Fatani, Junaid al-Batawi, Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1276-1334 H/1816-1916 M), Syaikh Ahmad Nahrawi al-Banyumasi (w. 1346 H/1928 M), Muhammad Mahfuz al-Tirmasi (1285-1338 H/1842-1929 M), Hasan Musthafa al-Garuti (1268-1348 H/1852-1930 M), Sayyed Muhsin al-Falimbani, Muhammad Yasin al-Padani (1335-1410 H/1917-1990), Abd al-Karim al-Banjari, Ahmad Damanhuri al-Bantani dan sebagainya.[11]
Jaringan intelektual ulama NU pada periode awal tidak terlepas dari tokoh-tokoh tersebut. Jika Hasyim Asyari (w. 1948) dijadikan sebagai tokoh sentral intelektualisme NU, maka ada beberapa ulama yang dapat disebut sebagai pusat jaringan intelektual ulama NU, yaitu Mahfuz al-Tirmasi, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Khalil Bangkalan. Generasi NU pertama[12] yang seangkatan (atau sedikit di bawah) Hasyim Asy’ari seperti Bisri Syamsuri (1886-1990) dan Wahab Hasbullah (1888-1971) jaringan intelektualnya tidak terlepas dari nama-nama tersebut.
Di samping jaringan “domestik”, geneologi intelektual ulama NU, sebagaimana ulama-ulama sebelumnya, juga menjadikan Makkah dan Madinah sebagai pusat orientasi intelektualnya. Semua ulama-ulama NU pada periode awal ini semuanya pernah belajar di Makkah.[13] Hasyim Asyari sebagai lokomotif NU misalnya, selama 8 tahun tinggal di Makkah sejak berusi 20 tahun dan berguru pada Ahmad Khatib Minangkabawi, Mahfuz al-Tirmasi dan Nawawi al-Bantani.
Mereka adalah ulama-ulama dengan reputasi internasional yang mempunyai pengaruh besar terhadap wacana intelektualisme Islam di nusantara. Nawawi al-Bantani yang dipuji Snouck Hurgronje sebagai orang Indonesia yang paling alim pada masanya di samping juga sangat rendah hati, adalah ulama yang sangat produktif menulis berbagai kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren.[14] Nawawi al-Bantani agaknya tepat jika dikatakan sebagai poros pembentukan intelektualisme NU.
Sebagaimana Hasyim Asy’ari, ulama-ulama seperti Wahab Hasbullah juga mempunyai jalur transmisi intelektual yang tidak jauh berbeda. Setelah berkelana di berbagai tempat (pesantren) mulai dari Tambak Beras Jombang (tempat orang tuanya), Langitan Tuban, Mojosari Nganjuk, Tawangsari Surabaya, Kademangan Bangkalan (tempat Kiai Khalil) sampai ke Tebu Ireng Jombang, Wahab kemudian melanjutkan pengembaraannya ke Saudi Arabia. Di sana ia belajar dengan ulama-ulama yang diantaranya pernah mengasuh hasyim Asyari, seperti Mahfuz al-Tirmasi, Kiai Muhtaram, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Bakir, Kiai Asyari dan Syaikh Abdul Hamid.[15] Tipe santri kelana demikian juga dilakukan tokoh-tokoh seperti Bisri Syamsuri, Wahid hasyim, Kiai Munawir,[16] Kiai Ma’shum,[17] As’ad Syamsul Arifin, Ahmad Siddiq[18] dan sebagainya.
Peneguhan tradisi intelektual di kalangan ulama NU tak dapat dilepaskan dari jaringan tersebut. Dengan kaidah al-muhâfazah ‘alâ al-qadîm al-sâlih wa al-akhžu bi al-jadîd al-aslâh (memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik), kekayaan intelektualisme NU terbentang mulai zaman Nabi Muhammad saw, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern.[19] Hazanah ini merupakan modal kultural-intelektual yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.
C. Modal Sosial-Intelektual dan Munculnya Tradisi Baru Intelektualisme
Modal sosial bisa menampakkan dalam berbagai saluran, antara lain: pertama, saluran-saluran informasi yang ada dalam masyarakat sebagai sarana untuk melakukan penyebaran gagasan. Kedua, norma-norma resiprositas, yang keberlangsungannya tergantung pada jaringan sosial (social networks) yang mempertemukan berbagai individu. Ketiga, tindakan kolektif yang dilakukan oleh jaringan sosial yang dimiliki. Keempat, identitas dan solidaritas yang lebih luas muncul sebagai hasil dari jaringan sosial yang telah dibangun.[20]
Tradisionalisme NU di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, namun di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apapun upaya yang dilakukan untuk “merubah wajah NU” harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri. Hal ini mencakup beberapa aspek: pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meskipun belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elit pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan tapi mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas.
Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual luar bisa yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Pesantren, meskipun seringkali mendapat kritik baik dari segi kultur, sistem pengajaran dan sebagainya, namun harus diakui lembaga ini mempuyai peran yang tidak kecil dalam konteks konservasi keilmuan Islam. Karena kekayaan tersebut sehingga menjadikan NU sangat apresiatif terhadap terhadap pemikiran-pemikiran lama meskipun oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan khurafat.[21] Melalui geneologi intelektual (intellectual geneology) yang cukup panjang dan rumit, peneguhan tradisi intelektual di kalangan ulama NU tak dapat dilepaskan dari jaringan yang dibentuk ulama-ulama perintisnya, terutama KH. Hasyim Asy’ari.[22] Dengan kaidah al-muhâfazah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhzu bi al-jadîd al-ashlâh (memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik), kekayaan intelektualisme NU terbentang mulai zaman Nabi Muhammad saw, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah ini merupakan modal kultural-intelektual yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.
Namun sayangnya, dalam waktu yang cukup lama, kekayaan intelektual yang dimiliki NU tersebut tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Akibatnya, NU dengan berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam “dapur pengawet” ilmu-ilmu keislaman. Tidak upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khasanah tersebut.[23] Hal ini bisa dipahami karena ulama NU pada umunya mempunyai pengetahun keagamaan yang hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf maupun fikih. Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti geneologi intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama, sehingga belum terjadi apa yang disebut “diversifikasi pengetahuan”. Dalam situasi demikian bisa dipahami jika pada masa-masa ini para pengamat tidak begitu tertarik dengan NU, akibatnya, hingga awal 90-an kita masih sulit untuk menemukan karya-karya berbobot mengenai NU. Kalau toh orang melihat NU paling-paling hanya gemuruh politiknya yang nampak di permukaan, sedang hasil pemikirannya hampir-hampir tidak dilirik orang. Singkatnya, hingga paroh ke dua 80-an NU tidak mempunyai pesona. Hal demikian diakui pengamat seperti Mitsuo Nakamura yang merasa mempunyai bias tidak hanya dari pengalamannya ketika melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di Kotagede, tetapi juga pada intellectual bias yang menganggap bahwa NU semata-mata organisasi ulamayang ketinggalan zaman di pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih, secara politik oportunis dan secara kultural sinkretik.[24]
Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuannya, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meskipun banyak kritik yang ditujukan ke lembaga pendidikan tradisional ini seperti kepemimpinan kyai yang sangat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya, namun pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa “nilai” yang tidak dimiliki oleh lembaga lain.
Tradisionalisme tersebut di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, namun di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apapun upaya yang dilakukan untuk “merubah wajah NU” harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri. Hal ini mencakup beberapa aspek: pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meskipun belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elit pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan tapi mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas.
Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual luar bisa yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Pesantren, meskipun seringkali mendapat kritik baik dari segi kultur, sistem pengajaran dan sebagainya, namun harus diakui lembaga ini mempuyai peran yang tidak kecil dalam konteks konservasi keilmuan Islam. Karena kekayaan tersebut sehingga menjadikan NU sangat apresiatif terhadap terhadap pemikiran-pemikiran lama meskipun oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan khurafat.[25] Melalui geneologi intelektual (intellectual geneology) yang cukup panjang dan rumit, peneguhan tradisi intelektual di kalangan ulama NU tak dapat dilepaskan dari jaringan yang dibentuk ulama-ulama perintisnya, terutama KH. Hasyim Asy’ari.[26] Dengan kaidah al-muhâfazah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhzu bi al-jadîd al-ashlâh (memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik), kekayaan intelektualisme NU terbentang mulai zaman Nabi Muhammad saw, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah ini merupakan modal kultural-intelektual yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.
Namun sayangnya, dalam waktu yang cukup lama, kekayaan intelektual yang dimiliki NU tersebut tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Akibatnya, NU dengan berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam “dapur pengawet” ilmu-ilmu keislaman. Tidak upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khasanah tersebut.[27] Hal ini bisa dipahami karena ulama NU pada umunya mempunyai pengetahun keagamaan yang hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf maupun fikih. Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti geneologi intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama, sehingga belum terjadi apa yang disebut “diversifikasi pengetahuan”. Dalam situasi demikian bisa dipahami jika pada masa-masa ini para pengamat tidak begitu tertarik dengan NU, akibatnya, hingga awal 90-an kita masih sulit untuk menemukan karya-karya berbobot mengenai NU. Kalau toh orang melihat NU paling-paling hanya gemuruh politiknya yang nampak di permukaan, sedang hasil pemikirannya hampir-hampir tidak dilirik orang. Singkatnya, hingga paroh ke dua 80-an NU tidak mempunyai pesona. Hal demikian diakui pengamat seperti Mitsuo Nakamura yang merasa mempunyai bias tidak hanya dari pengalamannya ketika melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di Kotagede, tetapi juga pada intellectual bias yang menganggap bahwa NU semata-mata organisasi ulamayang ketinggalan zaman di pedesaan Jawa, yang secara intelektual tidak canggih, secara politik oportunis dan secara kultural sinkretik.[28]
Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuannya, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meskipun banyak kritik yang ditujukan ke lembaga pendidikan tradisional ini seperti kepemimpinan kyai yang sangat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya, namun pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa “nilai” yang tidak dimiliki oleh lembaga lain.
NU mempunyai modal sosial-intelektual yang bagus, pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa dalam waktu yang cukup panjang (sejak tahun kelahiran NU sampai paroh kedua 80-an) perkembangan intelektualisme NU hampir-hampir tidak bergerak, bahkan mereka menjadi “palang pintu” penjaga ortodoksi? Pertanyaan ini dapat dijawab dari berbagai perspektif. Pertama, dalam waktu yang panjang tersebut di kalangan NU belum terjadi mobilisasi intelektual dalam arti belum banyak warga NU terpelajar yang menempuh pendidikan tinggi. Hal ini bukan saja terjadi di kalangan NU tapi umat Islam Indonesia pada umumnya, meskipun harus diakui dibanding komunitas lain seperti Muhammadiyah, NU memang cukup tertinggal.
Kedua, akibat dari hal pertama maka geneologi intelektual ulama NU juga hampir seragam, belum terjadi variasi dan diversifikasi sumber keilmuan. Hal ini bukan berarti ulama NU selalu mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu masalah. Meskipun geneologi intelektualnya relatif sama, tapi ekspresi di tingkat personal seringkali berbeda, bahkan bertentaangan antara satu dengan yang lain. Ketiga, belum terjadi diversifikasi pengetahuan di antara warga NU. Mereka belum bersentuhan (kalau toh bersentuhan mereka mengambil posisi defensif) dengan “ilmu-ilmu sekuler” yang datangnya dari Barat sebagai “alat pembacaan” baru terhadap agamanya. Bahkan sebagian besar ulama NU pada masa-masa 70-an dan awal 80-an cenderung menaruh kecurigaan terhadap apa yang mereka definisikan sebagai Barat dan mereka mengambil sikap apologetik.[29]
Pada masa-masa ini (tahun 70-an) orientasi intelektual mahasiswa Islam Indonesia, termasuk yang berlatar kultural NU, masih menjadikan Timur Tengah sebagai pusat orientasi intelektualnya sebagaimana ulama-ulama Indonesia pada pada abad-abad sebelumnya. Mengikuti tradisi ini, hampir semua ulama besar NU, KH. Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Bisri Syansuri, Achmad Siddiq, Ali Ma’shum sampai generasi baru seperti Abdurrahman Wahid, Said Aqiel Siradj dan masih banyak lagi generasi baru NU yang pernah belajar di Timur Tengah. Pada akhir 80-an tradisi tersebut mulai bergeser tidak hanya Timur Tengah, tapi juga mulai banyak anak-anak NU yang belajar ke Barat seiring dengan berbagai kebijakan pemerintah mengirimkan pemuda-pemuda muslim belajar ke luar negeri.[30] Di samping jalur luar negeri, banyak juga anak-anak NU yang masuk ke program pascasarjana baik di IAIN maupun perguruan-perguruan tinggi yang lain.[31]
Anak-anak muda NU yang memasuki perguruan tinggi (terutama IAIN) untuk melanjutkan pendidikan pesantren, lebih memungkinkan untuk melakukan refleksi kritis atas tradisi keberagamannya. Mereka berani mendiskusikan hal-hal yang selama mereka belajar di pesantren dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Kalau toh tidak dianggap tabu, mereka belum mempunyai kesadaran kritis atas sejumlah tradisi dan pemikiran yang mereka warisi begitu saja secara turun-temurun. Ajaran-ajaran yang diterima dari pesantren, dengan demikian, dibandingkan dan diperkaya dengan pengetahuan dan metodologi baru yang diperoleh di perguruan tinggi.
Dari dua arus besar intelektualisme (Timur Tengah dan Barat/IAIN) tersebut pada gilirannya akan membentuk dua corak pemikiran dalam NU. Secara umum, generasi NU yang tamatan Timur Tengah akan menampakkan karakter konservatif; sedangkan tamatan Barat lebih liberal.[32] Sedangkan tamatan IAIN dan PTAI yang lain kecenderungannya terbagi dalam dua arus tersebut, ada yang konservatif damun tidak sedikit juga yang liberal.
Namun harus segera digarisbawahi bahwa liberalisme Barat dan konservatifisme Timur Tengah bukanlah sesuatu yang pasti, bahkan kategori demikian pada tingkat tertentu tidak dapat dipertahankan lagi karena ternyata ada beberapa tokoh NU alumni Timur Tengah yang justru sangat liberal. Orang seperti Gus Dur (pernah belajar di Baghdad Irak) dan Said Aqiel Siradj (alumni Umm al- Qura Mekkah) merupakan pengecualian dari arus tersebut. Belakangan anak-anak muda NU yang belajar ke Timur Tengah, terutama al-Azhar Mesir, justru menampakkan gejala liberalisme yang luar biasa. Meski demikian, mainstream umumnya masih belum berubah. Belakangan, liberalisme beberapa anak muda NU yang belajar ke Timur Tengah bukan semata-mata karena tempat dimana dia studi tapi juga adanya faktor lain yang harus diperhitungkan, yaitu arus liberalisme dalam “negeri NU” sendiri yang juga ditangkap oleh mereka yang belajar ke Timur Tengah.[33]
Pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana peran mereka dalam pembentukan wacana liberalisme NU? Dalam kaitan ini saya ingin membuat pemisahan (atau lebih tepatnya pembedaan) liberalisme NU antara wilayah kampus dan luar kampus.[34] Ini yang agak mengherankan, wacana liberalisme NU justru di munculkan oleh orang-orang NU yang kesehariannya berada di luar kampus, baik itu di pesantren maupun pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Padahal asumsinya, kampus merupakan lahan akademik yang paling memungkinkan untuk menumbuhkan pikiran-pikiran liberal. Dugaan ini memang masih perlu diuji lebih jauh.
Beberapa eksponen NU yang sering diidentifikasi mempunyai pemikiran-pemikiran liberal (nama-nama berikut pemikirannya masih perlu diuji) seperti Masdar F. Mas’udi, KH. Mustafa Bisri, KH. Sahal Mahfuz, bahkan Gus Dur sendiri adalah tokoh-tokoh yang kesehariannya hidup “di luar kampus”. Boleh jadi penilaian semacam ini (membedakan “kader kampus” dan “kader LSM”) mengandung bias karena apresiasi yang berlebihan terhadap orang yang selama ini dipandang secara under-estimate. Sedangkan di pihak lain kampus sudah terlanjur sebagai lembaga akademik yang menjamin kebebasan mimbar akademik, sehingga orang berfikir se-nyleneh apapun di kampus dianggap biasa-biasa saja. Memang beberapa kader NU di kampus seperti Alwi Shihab (Jakarta), Ali Haidar (Surabaya), Qodri A Azizy (Semarang), Masykuri Abdillah (Jakarta) dan sebagainya mempunyai beberapa karya, namun karya-karya mereka tidak mempunyai signifikansi terhadap pembentukan pemikiran progresif dalam NU. Karya-karya mereka terkesan “datar” dan tidak mempertanyakan aspek-aspek mendasar yang dianggap membelenggu. Namun demikian bukan berarti karya mereka tidak mempunyai arti, tapi cukup dijadikan sebagai indikator munculnya gairah intelektual di kalangan NU.
Atas dasar itu, arus liberalisme NU dalam banyak hal diwakili oleh eksponen yang melakukan gerakan-gerakan kultural di luar kampus, meskipun support orang-orang kampus terhadap gerakan kultural tersebut tak dapat diabaikan begitu saja. Arus yang begitu menonjol dari semua itu, katakanlah “gerbong kedua” di belakang “lokomotif” Gus Dur adalah kelompok-kelompok studi anak muda NU yang mengembangkan ide-ide progresif-liberal.
Gerakan intelektualisme NU memang semakin menampakkan gairahnya sejak pertengahan 1980-an ketika dalam komunitas NU (atau anak-anak muda NU) mulai muncul LSM-LSM. LSM tersebut bukan sekedar melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, tapi juga mengusung gagasan dan pemikiran-pemikiran ke-Islaman yang lebih segar dan progresif. Kelompok muda ini mulai berani mendobrak dan mempertanyakan beberapa segi tradisi, bahkan doktrin, yang selama ini diterima begitu saja nyaris tanpa reserve.
Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya bahwa hal tersebut tidak terlepas dari mulai munculnya mobilitas vertikal dan horizontal sebagian orang-orang NU, terutama kaum mudanya, yang memasuki dunia pendidikan tinggi modern. Seiring dengan itu, banyak anak-anak NU yang tinggal di perkotaan dan melakukan gesekan dengan ilmu-ilmu modern yang tidak pernah diperoleh ketika masih tinggak dan belajar di “desa”. Konsekuensi dari perkembangan itu adalah adanya perubahan dan variasi pemikiran, bukan saja berupaya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran dan tradisi ke-NU-an dengan realitas yang terjadi di luar, tapi juga mengembangkan pemikiran kritis atas sejumlah doktrin agama yang diyakini selama ini.
Kenyataan tersebut tentu saja menimbulkan respon yang beragam di kalangan NU, terutama para kiai senior. NU sebagai sebuah jamâ’ah dan jam’iyyah kemudian terbelah dalam dua arus besar, yaitu arus konservatif yang begitu setia dengan tradisi dengan wataknya yang eksklusif dan defensif di satu pihak, dan komunitas kritis yang terus mempertanyakan doktrin dan tradisinya di pihak yang lain. Dari segi kuantitas dan otoritas tradisional, kelompok pertama jauh lebih besar, meskipun kelompok kedua mempunyai kualitas pemikiran yang lebih terstruktur dan dokumentatif.
D. NU dan Wacana Post Tradisionalisme Islam
1. Latar Munculnya Komunitas Post Tradisionalisme Islam Istilah postra kali pertama muncul ketika ISIS (Institute for Social and Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola anak-anak muda NU di Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi untuk mengamati munculnya gairah baru intelektual di kalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta. Gema dari wacana ini terus meluas terutama setelah LKIS menjadikan “postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategis planning pada Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang kemudian menjadi judul buku terjemahan Ahmad Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed al-Jabiri. Sampai di sini, meskipun kata postra sudah tersebar, namun belum ada tanggung jawab ilmiah sama sekali mengenai basis epistimologis istilah tersebut. Buku terjemahan Ahmad Baso, meskipun memakai kata “Post-Tradisionalisme Islam” namun di dalamnya tidak menjelaskan sama sekali apa sebenarnya makna dari postra itu sendiri. Beberapa bulan kemudian, dua aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku berjudul Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberi nama “Postra”. Wacana postra semakin matang ketika Lakpesdam NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam Jurnal Taswirul Afkar No. 9 tahun 2000. Setelah itu, postra telah benar-benar menjadi wacana publik dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi, seminar dan juga liputan media massa.[35]
Penulis dapat menyebutkan beberapa faktor yang turut berperan dalam mendorong gerakan intelektual anak muda NU yang kemudian mengkristal dalam komunitas postra. Pertama, faktor perkembangan politik. Faktor ini menjadi penting karena dinamika sejarah NU, baik secara struktural maupun kultural banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor perkembangan politik. Keputusan kembali ke khittah 26 pada 1984 yang sangat dipengaruhi oleh proyek restrukturisasi politik orde baru ternyata mempunyai makna signifikan bagi gerakan sosial-intelektual NU (social-intellectual movement) di lingkungan NU. Perubahan peta politik nasional yang terjadi pada 1998 juga mempunyai imbas pada komunitas NU. Di satu pihak ada gerakan politik demikian kuat yang antara lain ditandai dengan berdirinya PKB dan beberapa parpol yang berbasis massa NU, namun di pihak lain sebagian kecil anak muda, terutama yang menjadi aktifis LSM, tetap menjaga jarak dengan kekuatan politik sembari tetap melakukan gerakan sosial-intelektual.
Kedua, persaingan antara kelompok yang diidentifikasi sebagai “modernis” dan “tradisionalis” meskipun tidak “terucap” tetap bergerak dalam ruang psikologis anak-anak muda NU. Namun harus segera ditegaskan bahwa persaingan tersebut sudah berbeda sama sekali dengan pola persaingan generasi awal. Bila persaingan generasi awal lebih bernuansa teologis yang kemudian berimbas ke persaingan politis, persaingan generasi berikutnya lebih berwarna sosiologis. Ketiga, munculnya arus intelektualisme progresif di belahan dunia Arab turut mendorong dan memberi inspirasi semangat intelektualisme postra. Bahkan wacana yang dikembangkan sedikit banyak merupakan tema-tema yang diangkat dan menjadi perbincangan intelektual di kalangan mereka adalah tema-tema sebagaimana terdapat dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Muhammad ‘Abed al-Jabiri, dan sebagainya.
Post-tradisionalisme Islam dalam komunitas NU dapat dipahami sebagai gerakan “lompat tradisi”. Gerakan ini berangkat dari tradisi yang diasah secara terus menerus, diperbarui dan mendialogkannya dengan modernitas. Dari sini kemudian lahir “loncatan tradisi” menuju pada sebuah tradisi baru (new tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Dari satu sisi memang terjadi kontinuitas, namun di sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru ini biasanya diikuti dengan “liberalisasi pemikiran” yang seringkali berisi gugatan terhadap tradisinya sendiri (ego, al-âna) maupun tradisinya orang lain (the others, al-âkhar).
2 . Post-Tradisionalisme Islam: Tradisi sebagai Basis Transformasi
Spirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktifitas intelektual komunitas postra adalah semangat untuk terus menerus mempertanyakan kemapanan doktrin dan tradisi, berdasar nilai-nilai etis yang mereka peroleh setelah bergumul dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui kajian, penelitian, maupun penerbitan buku dan jurnal. Berbagai bentuk penafsiran atas teks suci, tradisi, dan ideologi yang tidak mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan, apalagi menistakan kemanusiaan, mereka gugat keabsahannya, baik pada tingkat relevansi maupun kemungkinan adanya manipulasi dan politisasi.[36]
Satu hal yang perlu dicatat, gerakan intelektual yang dilakukan anak-anak muda NU tersebut berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya untuk menjadikan tradisi (turâst) sebagai basis untuk melakukan transformasi. Dari sinilah komunitas postra bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi.
Dengan demikian, post-tradisionalisme Islam menjadikan tradisi sebagai basis epistimologinya, yang ditransformasikan secara meloncat, yakni pembentukan tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.[37] Tradisi di sini adalah segala sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu, baik itu masa lalu kita (muslim) maupun masa lalu orang lain (non-muslim). Tradisi ini mencakup: 1) tradisi maknawi (al-turats al-maknawi), yang berupa tradisi pemikiran dan budaya; 2) tradisi material (al-turats al-madî), seperti monumen dan benda-benda masa lalu; 3) tradisi kebudayaan, yaitu segala sesuatu yang kita miliki dari masa lalu kita; 4) tradisi kemanusiaan universal, yakni segala sesuatu yang hadir di tengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.[38]
Sikap kritis terhadap tradisi menjadi sangat penting agar terhindar dari keterbelengguan dalam kekangan otoritas tradisi. Hal itu dilakukan dengan “mengobyektivisme” (maudhû’iyyah) dan “merasionalisasi” (ma’qûliyyah) atas tradisi. “Obyektivisme” berarti menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan dirinya sendiri. Sedangkan merasionalisasi berarti menjadikan tradisi lebih kotekstual dengan kondisi kekinian.[39] Dengan dua pendekatan tersebut, tradisi tidak lagi bertindak sebagai sesuatu yang hadir sebagai bagian dari keberadaan kita, yang mewujud sebagai subyek, tapi sebagai obyek yang berada di luar kita yang patut dikaji secara rasional dan obyektif.
Obyektivisme dan rasionalisme tersebut dilakukan dengan menggunakan analisis struktural dengan asumsi bahwa tradisi bukanlah sebuah komposisi mati, tapi lebih merupakan sistem dan struktur yang terbentuk. Analisis struktural berupaya untuk merombak struktur dengan menjadikan sistem bakunya sebagai variabel yang selalu berubah-ubah. Hal itu berarti juga sebagai pembebasan dari segenap otoritas yang melekat pada dirinya, dan pada gilirannya akan membuka kesempatan untuk menanamkan otoritas kita sendiri. Analisis tradisi semacam ini juga disebut sebagai dekonstruksi (tafkik), yakni merombak tradisi yang baku dan beku, menjadikannya sebagai “bukan struktur”, tapi bisa beubah-ubah, sehingga tradisi tidak bisa dimaknai secara absolut, mutlak, ahistoris, tapi lebih “cair”, relatif, temporal dan historis.[40]
Pembacaan secara rasional, kritis, dan obyektif atas tradisi meniscayakan adanya kemampuan untuk membuat distansiasi (mengambil jarak) antara “kita” sebagai subyek dengan “tradisi” sebagai obyek yang oleh al-Jabiri disebut fashl al- maqrû’ ‘an al- qâri’ (memisahkan [obyek] yang dibaca dengan [subyek] yang membaca)[41]. Sikap demikian akan melahirkan “obyektifitas” (maudhû’iyyah) dan cara pandang yang lebih historis (târîkhiyyah) dalam melihat sebuah tradisi. Namun di pihak lain, al-Jabiri juga memandang perlu adanya “kontinuitas” (istimrâriyah) dalam melihat tradisi, sehingga dia juga mensyaratkan adanya washl al- qâri’ bi al-maqrû’ (mempertautkan pembaca [subyek] dengan [subyek] yang dibaca).[42] “Obyektivisme” dalam konteks ini berarti pemisahan sebuah obyek kajian dari sang subyek. Tataran kedua, relasi yang berangkat dari obyek menuju sang subyek, dan ini digerakkan oleh faktor-faktor onyektif di atas. Kedua model tersebut saling terkait dan berinteraksi secara internal seperti ikatan jaringan yang jalin menjalin, meskipun keduanya harus dipisahkan secara metodologis.
Komunitas postra mencoba untuk melihat tradisi secara kritis, historis, dan obyektif. Mereka tidak segan-segan mengkritik tradisinya, bahkan doktrin keagamaan yang selama ini diterima secara taken for granted. Doktrin teologi aswaja yang bertahun-tahun mulai mereka pertanyakan, baik doktrinnya itu sendiri maupun kemampuan dan relevansinya dengan perkembangan zaman, sehingga digagas teologi kemanusiaan yang lebih transformatif. Di bidang fiqih mereka juga menggagas kontekstualisasi fiqih dan kitab kuning, sehingga melahirkan fiqih rakyat, fiqih perburuan, fiqih ijtimâ’iyyah (sosial), fiqih politik yang berorientasi rakyat, dan sebagainya.
Wacana postra yang dikembangkan komunitas anak muda NU sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran Arab modern yang diadopsi sebagai optik untuk membaca tradisi NU dan pemikiran Islam. Semangat yang diusung adalah kesadaran kritis untuk mempertanyakan tradisi dan pengetahuan. Semangat seperti ini akan dengan mudah dicarikan referensi historisnya, seperti Ibnu Khaldun melalui al-Muqaddimah yang merasa prihatin dengan penulisan sejarah yang telah kehilangan obyektivitas, bahkan sejarah ditulis secara kronologis sehingga kehilangan aspek sosiologisnya. Demikian juga yang dilakukan Imam al-Ghazali ketika mengkritik filsafat Ibnu Sina dalam karyanya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan [pikiran] para Filosof), Ibnu Rusyd ketika megkritik karya al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan [buku] Kerancuan para Filosof), dan seterusnya.
Dengan menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka problem postra sebenarnya adalah bagaimana melakukan pembaharuan pemikiran keagamaan yang tentu saja harus mengkritik tradisi di satu pihak, namun di pihak lain ada kebutuhan untuk “tergantung” pada tradisi sebagai basis transformasi. Memang para ulama zaman dulu telah merumuskan kaidah yang sangat baik: al-muhâfadzah ‘alâ al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlâh (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik), namun problemnya ternyata tidak sesederhana rumusan kaidah tersebut. Kerumitan problem itu terjadi karena adanya tarik menarik yang terkadang sangat kuat antara “modernisme” dan “tradisionalisme” yang secara natural memang sulit disandingkan.
Pertentangan itu juga tercermin dalam menyikapi modernitas yang masing-masing dianggap sebagai pilihan, yakni pilihan antara menerima model paradigma Barat dalam politik, ekonomi, budaya, dan juga science; atau memilih tetap mempertahankan tradisi yang dianggap sebagai model alternatif, orisinil, dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Kelompok pertama merupakan sikap kelompok “modernis” (ashraniyyûn, hadatsiyyûn), sedang kelompok kedua disebut “tradisionalis” (salafiyyûn). Dari asumsi “pilihan” yang bersifat ekstrim tersebut kemudian muncul kelompok ketiga yang lebih “eklektik” (intiqa’i, taufiqiyyûn) dalam mengambil sikap. Sikap ini berupaya untuk mengambil unsur-unsur “yang terbaik”, baik yang terdapat dalam model Barat modern maupun yang berasal dari tradisi dan masa lalu Islam, serta berupaya menyatukan keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model sebelumnya.
3. Post-Tradisionalisme Islam dalam Konstelasi Pemikiran Islam Indonesia
Para peneliti gerakan pemikiran Islam di Indonesia, baik peneliti “pribumi” seperti Bahtiar Effendy dan Fachry Ali,[43] Syafi’i Anwar,[44] Deliar Noer,[45] maupun peneliti asing seperti Howard M. Federspiel,[46] Greg Barton,[47] Kamal Hassan,[48] dan sebagainya senantiasa bertitik tolak dari kategori dasar “tradisionalis” dan “modernis” dalam memetakan gerakan pemikiran Islam, meskipun dengan penjelasan yang bervariasi.[49] Dua tipologi dasar tersebut kemudian berkembang varian-varian baru. Dari tipologi tradisionalis kemudian berkembang menjadi neo-tradisionalis yang mencoba melakukan melakukan pembaruan atas tradisi seperti dilakukan Abdurrahman Wahid, dan post-tradisionalis yang melakukan kritisisme atas tradisi, mengadopsi metode pemikiran modern dengan tetap menggunakan tradisi sebagai basis transformasi. Sementara dari kelompok modernis lahir neo-modernisme yang diwakili tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Syafi’i Ma’arif yang kemudian bermetamorfosis menjadi gerakan Islam liberal. Namun kelompok ini juga memunculkan varian fundamentalis dan neo-fundamentalis yang cenderung memahami ajaran Islam secara tekstual. Secara lebih jelas corak-corak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:





4. Geneologi Intelektual Post-Tradisionalisme Islam
Komunitas NU sangat mengapresiasi khazanah intelektual pada “periode taklid” yang terbentang sekitar abad 10 M – awal abad 18 M. Pada periode ini justru banyak muncul karya-karya besar di kalangan para ulama meskipun karya-karya tersebut lebih merupakan syarah (komentar) atas matan, membuat hasyiyah atas syarah dan seterusnya.[50] Periode ini oleh kalangan modernis dianggap sebagai “periode gelap”, periode bid’ah yang penuh dengan praktik-praktik khurafat. Bahkan, pusat orientasi gerakan kaum modernis memang digelar untuk melawan praktik-praktik yang dianggap menyimpang, menolak taklid sambil bersuara keras untuk melakukan ijtihad.
Sebaliknya, kalangan NU justru “bersikap dingin” terhadap hasil karya dan pemikiran para pembaharu seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan sebagainya. Dalam berbagai perbincangan, terutama Bahts al-Masâil, pemikiran tokoh-tokoh tersebut hampir tidak pernah menjadi rujukan. Oleh karena itu, khazanah intelektualisme NU sebenarnya juga mengalami keterputusan. Jika Muhammadiyah “memutus” pada periode taklid, NU justru “memutus” pada “periode pembaruan” sekitar abad 18-awal abad 20. Tidak jelas, apa yang menyebabkan hal ini, namun bila ditelurusi lebih jauh, sikap demikian "sentimen" ini tidak terlepas dari ketegangan kelompok "tradisionalis" dan "modernis" pada awal abad ke-20. Pada saat itu, tokoh-tokoh tersebut merupakan rujukan utama kaum "modernis" yang dijadikan "amunisi" untuk menyerang cara pandang kaum "tradisionalis".
Pada level isu, sebenarnya banyak kesamaan antara postra dengan pemikiran yang berkembang dalam Islam liberal, meskipun di sana sini ada perbedaan-perbedaan strategi dan cara pandang atas suatu masalah. Beberapa agenda yang menjadi perhatian Islam liberal, juga menjadi concern kalangan postra. Dalam melakukan pelacakan geneologi postra, Ahmad Baso, melalui “manifesto” postra yang diterbitkan Jurnal Taswirul Afkar edisi no. 10 tahun 2001, telah memberikan dasar-dasar, visi, dan orientasi intelektual postra yang dibedakan dengan langgam Islam liberal dan neo-modernisme. Ahmad Baso menyebutkan:
Kemunculan karya-karya Muhammad Abid al-Jabiri di Indonesia menandai fase berikutnya dari fase awal yang dirintis oleh Abdurrahman Wahid. Kalau pemikiran Abdurrahman Wahid memulai gerakan post-tradisionalismenya dengan sejumlah gagasan dan ide-ide, maka di tangan al-Jabiri fase berikutnya ditandai dengan proses pengisian proyeksi metodologi dan epistimologinya. Dan itulah yang diapresiasi teman-teman dari kultur NU. Karena fase Abdurrahman Wahid ini, termasuk di antaranya Hassan Hanafi dan Fatima Mernissi, adalah pengkayaan ide-ide dalam pemikiran dan aksi politik, seperti nasionalisme, pribumisasi, sekularisasi, dan feminisme. Sementara fase yang dikenal kini dari al-Jabiri, dan juga Mohammaed Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zayd, adalah fase metodologis dari post-tradisionalisme Islam.[51]
Postra merupakan konstruk intelektualisme yang berpijak pada (dan dari) kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (proyek “asing”) yang berinterakasi secara terbuka dengan berbagai jenis kelompok masyarakat, mulai dari kalangan buruh, mahasiswa, petani, LSM, pesantren, dan sebagainya. Postra tidak hanya mengakomodasi pemikiran liberal dan radikal seperti Hassan Hanafi, Mahmoud Mohammed Thaha, al-Na’im, Arkoun, Abu Zayd, Syahrour, Khalil Abd al-Karim, tapi juga tradisi pemikiran sosialis-Marxis, Post-struktualis, Post-modernis, gerakan feminisme, dan juga civil society.
Secara khusus disebutkan bahwa metodologi pemikiran dan politik postra dikonstruksi melalui pemikiran al-Jabiri. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran al-Jabiri melalui proyek “Kritik Nalar Arab” (Naqd al’Aql al-‘Arabi) mempunyai posisi yang sangat penting, di samping tokoh-tokoh yang telah disebutkan. Ada argumen yang digunakan untuk mempertanggungjawabkan hal ini:
Pertama-tama Muhammad Abid al-Jabiri dikenal dengan proyek metodologis “Kritik Nalar Arab”-nya. Ada dua hal yang ditawarkan proyek kritik tersebut: kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik nalar epistemologis disebut juga “nalar spekulatif”, mengambil bentuk arkeologi yang meneliti persoalan cara-cara dan mekanisme reproduksi pengetahuan yang berlaku di kalangan umat Islam hingga kini. Yang ditelaah misalnya bagaimana ushul fiqh membentuk pola pikir umat Islam dengan metodologi qiyas-nya (analogi) yang cenderung mengarah pada sakralisasi, bukan hanya pada soal hukum-hukum agama, tapi juga dalam segenap spektrum kebudayaan manusia, mulai dari bahasa, sastra, teologi, filsafat, hingga politik (misalnya kalau berbicara tentang sosialisme yang “Islami”). Sementara kritik nalar politik, yang dikenal dalam kategori “nalar praktis”, menekankan sebuah praksis, dengan fokus kritik kepada cara-cara berkuasa dan menguasai. Yang dibedah misalnya adalah persoalan keterkaitan munculnya disiplin siyâsah syar’iyyah atau fiqh al-siyâsah dengan strategi militeristik kekuasaan khalifah untuk menundukkan masyarakatnya”.[52]
Dilihat dari segi jaringan, sebenarnya anak-anak muda NU yang terlibat intensif dalam pergulatan wacana postra tidak mempunyai jaringan khusus dengan tokoh-tokoh tersebut, meskipun hal itu tidak berarti tidak pernah melakukan komunikasi. Kecuali Sa’id Agil Siradj yang menyelesaikan studinya di Umm al-Qura’ Mekah, apresiasi terhadap pemikir-pemikir tersebut yang kemudian membentuk gugusan geneologi postra, lebih banyak didapatkan dari hasil bacaan. Sebagian besar komunitas ini, sebagaimana telah dijelaskan di bab sebelumnya, adalah alumni IAIN. Hal ini cukup menarik karena gelombang postra tidak diusung oleh beberapa kader NU yang pernah mengenyam studi di Barat seperti Qadri Azizy, Masykuri Abdillah, Faisal Ismail, dan sebagainya.
Dalam kaitan ini figur Said Aqiel Siradj cukup menarik untuk dicermati lebih jauh, karena kritisisme yang dia peroleh, paling tidak menurut pengakuannya, bukan diinspirasi oleh gagasan-gagasan liberal yang berkembang di Barat, tapi dari hasil bacaannya terhadap tradisi Islam. Dalam kaitan ini Said Agil melakukan apa yang oleh al-Jabiri disebut sebagai al-tajdîd min al-dâkhil[53] (pembaruan dari dalam). Dalam sebuah wawancara Taswirul Afkar dia mengatakan:
“Saya ini didikan Timur Tengah yang saya baca dan saya kuasai sekitar mazahib Islamiyah; Khawarij, Syi’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Murji’ah sampai ahlussunah, tasawuf, filsafat Islam Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan sebagainya. Sehingga pola pikir saya terbentuk dari pengaruh itu semua, mazahib yang ada di sekitar mazahib Islamiyah……Terus terang pola pikir saya tidak terpengaruh Barat. Salah kalau orang bilang pola pikir saya Barat. Bacaan saya hanya seputar ‘alam fikr al-Islâmi. Lahirlah pola pikir seperti saya ini”.[54]
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari geneologi intelektual komunitas postra. Pertama, komunitas postra masih menjadikan Timur Tengah sebagai pusat orientasi intelektualnya, sebagaimana generasi NU sebelumnya seperti KH. Hasyim Asy’ari, Bisri Syamsuri, Wahab Chasbullah dan sebagainya. Hanya saja, generasi postra mengambil jalur intelektual dari dari pemikir-pemikir yang berwawasan kritis sebagaimana telah diuraikan di atas. Kedua, di samping Timur Tengah, mereka juga terbuka dengan khazanah pemikiran lain untuk memperkaya khazanah tradisionalnya seperti tradisi marxis, post-strukturalis, post-modernisme, tradisi filsafat kritis yang berkembang di Barat seperti Perancis, Jerman, dan sebagainya.[55] Khazanah lain ini menjadi sangat penting, karena dari situlah mereka bisa mendialogkan pengetahuan tradisional yang mereka peroleh dari pesantren dengan model-model pembacaan baru yang berkembang di belahan dunia lain. Dari sinilah muncul watak kosmopolitanisme generasi postra. Ketiga, geneologi intelektual generasi postra sebagian besar tidak dibentuk melalui hubungan “guru-murid” sebagaimana generasi sebelumnya, tetapi dibentuk melalui gesekan intelektual dan hasil bacaan atas karya-karya tokoh. Berbeda dengan geneologi intelektual ulama nusantara zaman lampau yang lebih mementingkan pertemuan fisik dalam relasi “guru-murid”, perkembangan modern ternyata menggeser pola tersebut meskipun tidak menghilangkan pola lama sama sekali.
Dalam rangka memperjuangkan agenda-agenda tersebut, ada beberapa karakteristik yang menandai postra. Pertama, melepaskan diri dari kungkungan tradisi. Bagi kalangan postra, pembaruan harus berangkat dari tradisi, namun tradisi hanya dijadikan sebagai dasar pijak untuk melakukan transformasi. Dengan demikian, postra tidak menolak tradisi dan juga tidak menerima apa adanya, namun mengolahnya secara kreatif dan proporsional. Tradisi di sini bisa berarti praktek keberagamaan dan yang lebih penting adalah tradisi pemikiran. Kedua, melepaskan beban sejarah dimana umat Islam tidak merasa menjadi bagian dari sejarah kemanusiaan univeral, tapi umat yang mempunyai sejarahnya sendiri, yang harus mengelompok dan punya tradisi sendiri yang berbeda dengan umat lain. Dari sini mereka kemudian ingin mengembangkan kebudayaan Islam sebagaimana dicontohkan Nabi saw yang ujung-ujungnya adalah mendirikan negara Islam. Beban demikian harus dilepas, karena yang menjadi tuntutan bukan masyarakat yang hegemonik dimana yang satu menguasai yang lain, tapi masyarakat plural yang egaliter, demokratis, dan berkeadilan. Ketiga, melepaskan diri dari ikatan harfiyah teks dalam menggali pesan-pesan keagamaan.[56] Ikatan berlebihan terhadap teks ini yang sekian lama telah mengungkung pemikiran umat Islam.
5. Kritik Nalar sebagai Proyek Pemikiran Post-Tradisionalisme Islam
Paling tidak ada dua istilah yang biasa dirangkaikan dengan kata kritik nalar, yaitu “kritik nalar Islam” , sebuah istilah yang dipakai Mohammed arkoun, seorang intelektual Islam asal Aljazair; dan “kritik nalar Arab”, istilah yang digunakan Mohammed Abed al-Jabiri. Kita tidak tahu persis apakah dibalik perbedaan istilah itu ada semacam perbedaan “kekuatan ideologi” yang menggerakkannya; ataukah itu hanya perbedaan istilah yang sebenarnya mempunyai basis ontologis yang sama. Dalam kaitan ini, penjelasan Ahmad Baso yang melihat dari sudut tradisi kebahasaan cukup membantu untuk mengklarifikasi masalah tersebut meskipun belum cukup memuaskan. Menurutnya, Arkoun menggunakan istilah “kritik nalar Islam” untuk memperluas cakupan kritiknya hingga sampai ke tradisi pemikiran non-bahasa Arab. Sedangkan “kritik nalar Arab”-nya al-Jabiri untuk membatasi jangkauan kritiknya pada tradisi pemikiran yang menggunakan bahasa Arab dalam geografis kultur tertentu. Kritik nalar Arab tidak diproyeksikan untuk membangun sebuah “ilmu baru” seperti membangun ilmu kalam atau teologi baru. Kritik al-Jabiri tidak menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan ke-Tuhan-an, wahyu, ortodoksi dan aliran-aliran kalam, tapi lebih dititikberatkan pada kerangka dan mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan kritik arkoun lebih ditujukan pada konsep-konsep seperti ortodoksi, wahyu, mitos, imaginasi, simbol dan seterusnya. [57]
Dua model pendekatan konvensional terhadap Islam (insider dan outsider) tersebut berangkat dari asumsi dan titik tolak yang berbeda. Kalangan insider melihat Islam berangkat dari keyakinan bahwa Islam itu agama wahyu, kebenarannya bersifat mutlak, mempunyai nilai universal dan sâlih li kulli zamân wa makân (sesuai di setiap waktu dan tenpat). Karena itu, mereka tidak mungkin mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan dengan “nilai dasar” yang “sudah disepakati”. Jadi kesimpulan yang diambil seringkali bukan berdasar fakta, tapi berdasar keyakinan teologis, karena kebenaran bagi mereka adalah sejauhmana fakta sesuai dengan wahyu, atau lebih tepatnya teks wahyu. Dengan demikian, realitas harus ditundukkan dan disubordinasikan di bawah teks wahyu.
Sedangkan outsider mendekati Islam sebagai fenomena historis, yaitu agama yang sudah dipraktekkan oleh umatnya dalam sejarah. Demikian halnya, dengan wahyu yang oleh umat Islam dianggap sebagai sesuatu yang harus dihormati dan disucikan sebagai bagian dari kesucian agama, outsider melihat itu semua sebagai sesuatu yang sudah menyejarah. Ketika wahyu sudah ditangkap oleh “bumi”, maka pada saat yang sama ia telah menjadi sejarah. Dengan demikian, teks wahyu, meskipun ia diyakini sebagai sabda Tuhan dan menjadi “kata putus yang suci”, tetap saja ia mempunyai nilai historis karena wahyu (teks) selalu mempunyai keterkaitan dengan realitas.[58]
Bila jalan berpikir terakhir ini disepakati, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah merumuskan sebuah metodologi ilmiah untuk melakukan kritik nalar atas struktur nalar yang menjadi mainstream cara berpikir umat Islam. Dalam kerangka itu, agar tidak terjadi salah pengertian, penulis memandang perlu untuk menjelaskan kata “kritik (nalar) Islam”. Kata “kritik Islam” dalam konteks ini paling tidak dapat ditafsirkan dari dua perspektif. Pertama, kritik Islam berarti menempatkan Islam sebagai instrumen dan subyek kritik terhadap realitas kehidupan yang melingkupinya. Kritik Islam dalam pengertian demikian diinspirasi oleh misi Islam sendiri sejak awal kemunculannya, yaitu sebagai kritik terhadap masyarakat jahiliyah Mekah pada saat itu. Kritik tersebut berujung pada semangat pembebasan terhadap semua bentuk keterbelengguan, baik belenggu fisik maupun psikis.[59] Kritik Islam (dan semua agama) dalam pengertian demikian diuraikan secara baik oleh Robert John Ackermann dalam bukunya berjudul Religion as Critique (1985).
Kedua, kritik Islam juga dapat berarti menempatkan Islam sebagai obyek kritik Dalam konteks ini, kritik terhadap Islam lebih dititikberatkan pada sejumlah tradisi yang sudah terortodoksi hampir dalam seluruh dimensi kehidupan umat Islam. Proses ortodoksi tersebut telah mengantarkan Islam kehilangan elan vital kritisismenya seiring dengan hilangnya semangat pembebasan yang ada dalam Islam. Karena proses ortodoksi tersebut, agama yang semula membebaskan pada perkembangannya justru menjadi berhala yang memperbudak manusia. Agama yang pada awalnya diturunkan untuk ketinggian derajat manusia, pada akhirnya berbalik menempatkan manusia untuk meninggikan derajat agama. Agama yang semula untuk manusia, berbalik menjadi manusia untuk agama dan seterusnya. Karenanya, wajah Islam menjadi berubah, dari pendobrak ke status quo; dari pembebasan ke pembelengguan; dari keadilan ke kesewenang-wenangan dan seterusnya.
Selama ini ada cara pandang yang keliru terhadap teks keagamaan, dimana teks menjadi tujuan akhir dan dapat menundukkan semua realitas. Problem ini semakin rumit jika dikaitkan dengan kenyataan lain bahwa telah terjadi pembungkaman terhadap berbagai kemungkinan tafsir terhadap sebuah teks sehingga melahirkan penafsiran tunggalmelalui otoritas. Akibatnya, teks keagamaan (terutama Alquran) yang semula “corpus terbuka” berubah menjadi “corpus tertutup”. Teks keagamaan harus dilihat sebagai produk sejarah, karenanya tidak terlepas dari hukum-hukum sejarah.
Teriakan Hassan Hanafi cukup menarik untuk menembus ironi kesejarahan agama. Ilmu ketuhanan, baik teologi, fikih, politik, maupun tasawuf tak lebih merupakan ilmu tentang manusia. Karenanya, ilmu-ilmu tersebut bukan merupakan ilmu suci, melainkan merupakan ilmu sosial yang dikonstruksi dari nilai-nilai kemanusiaan dan merefleksikan berbagai peristiwa dan konflik dalam masyarakat. Dengan demikian, Tuhan tidak tunduk pada ilmu yang dikonstruksi oleh manusia. Oleh karena itu, kritik terhadap ilmu-ilmu keislaman tidak selalu berarti mengkritik Tuhan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kalangan postra menjadikan “kritik nalar” sebagai metodologi kajian Islam? Pertanyaan ini niscaya muncul karena “kritik nalar” selama ini belum dipandang sebagai motode kajian Islam karena ia memang belum mempunyai struktur standar yang bisa dijadikan pegangan. Postra sebenarnya tidak bepretensi untuk membangun sebuah metodologi baru dalam memahami Islam, tapi lebih pada pemberian bingkai kritisisme dalam memandang bangunan ortodoksi tanpa pernah ada upaya mempertanyakan. Dalam kaitan ini, kritik nalar merupakan bagian dari kritisisme tersebut.
Kritisisme tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting kalau melihat bagaimana mainstream kajian Islam dalam rentang waktu yang cukup panjang. Fazlur Rahman mempunyai ilustrasi bagus dalam mereview kecenderungan umum kajian Islam. Menurutnya:
…with the habit of writing commentaries for their own sake and the steady dwindling of original thought, the muslim world witnessed the rise of type of scholar who was truly encyclopedic in the scope of his learning but had little new to say on anything. This category of scholar-cum-commentator must be distinguished on the one hand from a very different type of comprehensive thinker like Aristotle or even lesser figure like Ibnu Sina, who welded a variety of fields of inquiry into unified system and coherent world view, and on other hand from modern type of specialist whose knowledge has extremely narrow confines. The later day medieval Muslim scholar I am talking about “studied” all the fields of knowledge avilable, but he did this mainly through commentaries and was himself a commentator and compiler. …One important but implicit assumption of this is that scholarship is not regarded as an active pursuit, a creative “reaching out” of the mind of the unknown –as is the case today—but rather as a more or less passive acquisition of already established knowledge.[60]
Secara lebih lugas Arkoun juga mempunyai kritik terhadap konstruksi dan content dari pemikiran Islam:
Research on Islam as a religion is blocked because Muslims are becoming increasingly subject to the growing political, cultural and psychological constrains in their societies, while Islamologist, fascinated by the political effectiveness of “fundamentalist” give precedence to a combination of political science and political sociology in describing what they see as short-term trends, rather then have resource to the vitally necessary criical reappraisal of the epistemic framework of the Islamic cognitive system regarded long-term point of view.[61]
Mohammed Abed al-Jabiri[62] mengatakan, paling tidak ada dua bentuk pengetahuan (metodologis) mengenai tradisi yang menjadikannya sebagai korpus pengetahuan dalam pemikiran Islam. Pertama, bentuk “tradisional”. Bentuk pengetahuan tentang tradisi ini dengan segala aspeknya mulai dari agama, bahasa hingga sastra berpegang pada model “pemahaman literal atas tradisi” (al-fahm al-turâtsi li al-turâts), yaitu suatu bentuk pemahaman yang merujuk pada pandangan ulama masa lampau. Ciri umum yang melekat pada pendekatan semacam ini dalam persoalan-persoalan masa lalu yang dihadapi tradisi, serta bersikap menyerah terhadapnya. Pendekatan ini, menurut al-Jabiri mengandung dua kelemahan, yaitu hilangnya semangat kritis karena sikap tunduk itu, dan minimnya kesadaran historis.
Kedua, “pendekatan orientalis”. Dalam pendekatan ini ada dua aspek yang perlu dibaca: 1) korelasi antara orientalisme dan imperialisme yang biasanya berujung pada konflik Islam dan Kristen di abad pertengahan. Hal ini belakangan sangat mempengaruhi suasana psikologis umat Islam yang merasa “inferior” di hadapan “superioritas” Barat. 2) Aspek yang berkaitan dengan kondisi-kondisi obyektif, baik historis maupun metodologis, yang menggerakkan secara internal kecenderungan sarjana Eropa yang kemudian melahirkan apa yang disebur Hassan Hanafi sebagai eurosentrisme.[63] Kedua model pendekatan tersebut telah melahirkan citra dan karakteristik Islam yang berbeda satu dengan yang lain.
Al-Jabiri menawarkan tiga jenis pendekatan yang memungkinkan tumbuhnya tingkat objektivisme dalam kajian tradisi. Pertama, metode strukturalis. Mengkaji tradisi melalui metode ini berarti berangkat dari teks-teks yang dilihat sebagaimana adanya dan meletakkannya sebagai sebuah korpus, satu kesatuan sebuah sistem. Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah melokalisir pemikiran produsen teks (penulis, sekte atau aliran pemikiran tertentu) pada satu fokus. Dalam kerangka problematika ini tercakup berbagai perubahan yang menggerakkan dan membatasi pemikiran produsen teks. Oleh karena itu, makna tidak bisa ditangkap sebelum membaca ungkapan yang merepresentasikan sebuah makna, dan itu hanya dapat ditangkap melalui pembacaan terhadap teks.
Kedua, analisis sejarah. Pendekatan ini berupaya untuk menghubungkan pemikiran pemilik teks dalam lingkup sejarahnya, ruang lingkup budaya, politik dan seterusnya. Hal ini penting paling tidak karena dua hal: keharusan memahami hostorisitas dan geneologi pemikiran; keharusan menguji validitas dan kebenaran logis konklusi pendekatan strukturalis. “Validitas” di sini bukan berarti kebenaran logis karena hal ini telah menjadi tujuan strukturalisme, tapi lebih sebagai “kemungkinan historis” (imkân al-târikhi), yaitu kemungkinan-kemungkinan yang mendorong kita untuk mengetahui apa yang terungkap dalam teks (said), apa yang tidak terkatakan (not-said), apa saja yang dikatakan namun tidak pernah terungkap (never said).
Ketiga, kritik ideologi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial politik yang dikandung sebuah teks, atau yang sengaja dibebankan kepada sebuah teks dalam sebuah sistem pemikiran (episteme) tertentu. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakan jalan untuk menjadikan teks itu kontekstual dan dapat secara clear diposisikan dalam konteks sejarah tertentu.
Dengan menggunakan metode kritik nalar, maka "mencurigai" setiap produk pemikiran serta menelisik kepentingan-kepentingan di balik sebuah pemikiran merupakan sesuatu yang lumrah, bahkan harus. Oleh karena itu, kritik nalar pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap kuasa pengetahuan yang menyelinap di alam bawah sadar dan menghilangkan kesadaran bahwa setiap pengetahuan yang seolah netral, esensialis, dan substansialis sebenarnya mengandung kepentingan-kepentingan. Dalam konteks ini, tradisi pada satu sisi bisa menjadi "obyek" kritisisme, namun pada saat yang lain bisa menjadi "subyek" dan "alat" kritisisme. Kritisisme mengandaikan dua hal sekaligus, 1) dekonstruksi (tafkik), yaitu melakukan "pemutusan epistimologis" (al-qathî'ah al-afistimalajiyah) terhadap segala otoritas yang membentuk (tradisi) pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan merombak sistem relasi yang baku dan beku, menjadi sesuatu yang "cair" dan berubah-ubah, dari yang "mutlak" menjadi "relatif", dari "ahistoris" menjadi "historis". Dalam konteks pemikiran Islam, otoritas pengetahuan mempunyai makna luas, bisa dalam bentuk kultur, politik, sejarah, status sosial, dan sebagainya. 2) rekonstruksi, yaitu sebuah pertanggungjawaban untuk memberi memberi sisi-sisi masuk akal (reasonable) dalam segenap persoalan.
6. Islam dan Politik Kewarganegaraan
Tema mengenai Islam dan politik kewarganegaraan menjadi salah satu fokus komunitas post-tradisionalisme. Dalam konteks ini, tema mengenai civil society menjadi fokus untuk mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Halaqah-halaqah yang dilakukan P3M dengan tema seperti “Fiqh Siyâsah li Mashâlih al-Ra’iyyah” atau “Pelatihan Fiqh Siyasah untuk Penguatan Hak-Hak Rakyat” merupakan upaya untuk menumbuhkan kesadaran hak-hak rakyat sebagai warga negara. Dalam rentang 1996-2000, P3M melakukan serangkaian pelatihan fiqh siyâsah dengan berbagai variasi, baik dari segi materi maupun nama kegiatannya.
Di samping P3M, LKiS juga melakukan program yang kurang lebih sama, yang diberi nama "Pelatihan Islam dan Penegakan al-Dharûriyyât al-Khamsah". Kegiatan yang digelar pada tahun 2001 di beberapa tempat seperti Aceh, Makassar, dan Jawa ini merupakan model pendidikan politik, bukan saja untuk masyarakat NU tapi juga masyarakat secara umum.
Secara tegas, anak-anak muda NU memilih civil society yang diterjemahkan menjadi "masyarakat berdaya", "masyarakat warga" sebagai suatu gerakan yang mesti diwujudkan di Indonesia. Kalau tidak diterjemahkan, mereka lebih senang tetap menggunakan kata civil society. Mereka tidak suka dengan istilah "masyarakat madani" yang diintrodusir kalangan "modernis" terutama Nurcholish Madjid. Penolakan ini bukan semata-mata karena adanya rivalitas baru antara "tradisonalis" dan "modernis", tapi keduanya memang mengandaikan konsep dan rujukan historis yang berbeda.
Penolakan mereka terletak pada pemahaman bahwa masyarakat madani menempatkan agama sebagai pusat dari perubahan sosial, sementara civil society ingin menempatkan agama setara dengan institusi sosial lainnya. Pilihan terhadap civil society dianggap tepat karena dipandang bisa menjadi wadah yang paling adaptif terhadap pluralitas budaya dan agama di Indonesia. Pandangan paling provokatif mengenai hal ini dikemukakan Ahmad Baso melalui karyanya Civil Society versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999). Secara umum Baso menyimpulkan bahwa persoalan politik yang diajukan cendikiawan muslim Indonesia dalam wacana Islam dan civil society tidaklah konkrit . Akibatnya, problem politik kekinian seperti masalah legitimasi politik, sentralitas kekuasaan serta perimbangan kekuasaan antara masyarakat dan negara seakan tertutupi dalam konteks pengajuan konsep “masyarakat madani” sebagai civil society. Dengan penemuan konsep “masyarakat madani”, telah terjadi pengalihan konsep politik ke konsep agama.[64]
Sebagai konsep politik civil society adalah kelompok non-negara yang berkepentingan untuk membentuk “blok sejarah” guna menghadapi hegemoni negara yang secara umum memuat beberapa ciri sebagai berikut: pertama, civil society merupakan suatu bentuk dari societal sefl organization yang memungkinkan setiap individu mengaktualisasikan aspirasi politiknya tanpa ada intervensi dari pihak luar. Kedua, bebas dari kontrol berlebihan terhadap individu serta pembatasan otonomi moral. Dengan kata lain, civil society tidak memberi toleransi terhadap otoritarianisme, anarkisme, tirani dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Ketiga, selalu mengijinkan dan menerima pluralitas. Keempat, sebagai konsekuensi dari ke-swakarsa-an individu, keanggotaan seseorang dalam kelompok-kelompok sosial menjadi sukarela (voluntary). Artinya, individu tidak bisa dipaksa-paksa untuk melakukan untuk melakukan sesuatu jika tidak sesuai dengan aspirasinya. Kelima, civil society bukanlah civil government sebagaimana diyakini John Locke.
Civil society merupakan sebuah konsep untuk merespon real politics dimana negara menjadi “monster” yang menakutkan, sedemikian perkasa sehingga mampu menghegemoni seluruh aspek kehidupan manusia. Meski berasal dari konteks masyarakat Barat dalam masa peralihan ke kapitalisme dan ditegakkannya demokrasi borjuasi, teori ini berkembang sebagai anti dominasi dan anti hegemoni negara. Konsep civil society merupakan formulasi dari masyarakat politik Barat yang mengalami perkembangan dari masyarakat alamiah (natural society) ke masyarakat politik (political society). Masyarakat alamiah adalah masyarakat yang belum mengenal sistem maupun hukum sehingga merupakan masyarakat anarkhi (seperti adanya perbudakan dan kesewenang-wenangan). Sementara masyarakat politik adalah masyarakat yang sudah mengenal politik sebagai otoritas sehingga tercipta law order (aturan hukum). Sedangkan civil society adalah masyarakat yang sudah mengenal, menghormati dan melindungi hak asasi manusia warganya. Hal ini yang kemudian dikenal hak-hak sipil. Sementara itu, masyarakat madani adalah konsep baru yang diperkenalkan cendikiawan muslim, di Indonesia terutama diperkenalkan Nurcholish Madjid, sebagai padanan dari civil society. Kata “madani” dalam konteks ini diilhami oleh beberapa hal. Pertama, diambil dari konsep al-Farabi (w. 339 H/950 M) yang menulis buku berjudul Al-Siyâsah al-Madâniyah. Dari sini civil society diterjemahkan dalam Bahasa Arab menjadi al-mujtama’ al-madani, yang diindonesiakan menjadi “masyarakat madani”. Kedua, mengacu kepada kehidupan Nabi saw. di Madinah yang menurut Robert N Bellah dianggap sebagai terlalu modern. Periode ini dianggap masa yang paling ideal dalam sejarah Islam, karena keberhasilan Nabi saw membangun dan membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati berlandaskan hukum, hak, dan tanggung jawab bersama. Ketiga, “madani” dianggap ideal dalam konteks sosiologis dunia Arab dimana kota (Madinah) dianggap lebih utama daripada daerah-daerah pinggiran. Karena itulah, kata “Madinah” dimaknai sebagai masyarakat perkotaan yang memahami hukum, kualitas kehidupan yang tinggi, pola pikir, serta wawasan yang maju.
7. Islam dan Feminisme
Di lingkungan NU, wacana tentang perempuan memang berkembang cukup subur. Badan-badan otonom NU seperti IPPNU, Fatayat, dan muslimat hampir seluruhnya menjadikan isu-isu perempuan sebagai program utamanya. Beberapa LSM di lingkungan NU, atau yang dikelola anak-anak muda NU, juga mempunyai perhatian terhadap isu perempuan meskipun kadarnya berbeda-beda. P3M misalnya sepanjang tahun 90-an mempunyai program fiqih perempuan (fiqh al-nisâ’), yang kemudian dilanjutkan oleh Rahima, sebuah LSM ‘pecahan’ P3M dari divisi fiqh al-nisâ’. LKiS dalam program ‘Belajar Bersama’-nya menjadikan problem gender sebagai salah satu bahasannya. Demikian juga Desantara menjadikan ‘Kritik Wacana Gender’ menjadi bagian dari ‘Madrasah Emansipatoris’. Di luar itu, beberapa anak muda NU seperti Syafiq Hasyim, Husein Muhammad, Badriyah Fayumi, dan sebagainya juga mempunyai perhatian khusus terhadap isu-isu perempuan, di samping para aktifis yang lain.
Robin L Bush mempunyai argumen mengapa dalam lingkungan NU wacana mengenai gender tumbuh subur. Menurutnya, hal itu disebabkan karena perempuan masih dilihat sebagai lambang identitas, pembawa kemurnian agama, dan nasionalisme, di samping manifestasi dari usaha untuk menghadapi modernisme sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip tradisional.[65]
Meski demikian, wacana pemikiran gender di lingkungan NU tidaklah tunggal. Secara umum, isu-isu pemikiran gender yang berkembang adalah bagaimana mengangkat ketertindasan perempuan, merebut ruang publik yang dikuasai laki-laki (paling tidak mengimbangi dominasi laki-laki), melawan diskriminasi dalam segala dimensi kehidupan dan sebagainya. Bukan semata-mata isu sosial, tapi juga isu-isu yang terkait dengan agama seperti poligami, warisan, kesaksian, imam shalat, dan sebagainya. Di kalangan feminis Islam, termasuk aktifis gerakan perempuan di lingkungan NU, yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana menafsir kembali doktrin dan praktik keagamaan yang dianggap merugikan perempuan.
Di luar mainstream tersebut, muncul pula arus baru meskipun dengan suara yang masih ‘lirih’, yaitu feminisme post-kolonial. Asumsi dasar feminisme post-kolonial adalah bahwa para pejuang feminis selama ini masih berada dalam bingkai kolonialisme. Ruang publik yang berusaha direbut kalangan feminis adalah dunia kolonial. Dalam konteks post-tradisinalisme Islam di kalangan NU, pemikiran demikian dikampanyekan oleh Ahmad Baso dengan gerbong Desantara, yang menyelinap di tengah kuatnya kalangan aktifis perempuan yang sedang berjuang menuntut ruang publik yang lebih besar bagi perempuan agar tidak terkungkung dalam ruang domestik. Dengan mengutip intelektual post-kolonial Franz Fanon, Baso menyebutkan, sudah saatnya kaum perempuan dunia ketiga untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman ruang publik dengan melakukan resistensi dari dalam ruang privat, dari ruang domestik, terhadap kolonialisme. Hal ini perlu dilakukan karena ruang publik sudah dikuasai kekuatan kolonialisme, dan satu-satunya medium bagi perempuan untuk melakukan resistensi justru di ruang privat.[66]
Tentu saja seruan feminis post-kolonial tersebut mempunyai implikasi yang kontras dengan gerakan feminis Islam konvensional. Hal-hal yang dulunya dikecam karena dipandang sebagai simbol pemasungan kebebasan perempuan seperti jilbab, burqa, poligami, urusan domestik, dan sebagainya diangkat kembali sebagai arena kontestasi di mana perempuan menunjukkan kemampuannya melakukan perlawanan dan pensiasatan untuk melawan hegemoni kekuatan kolonialisme.
Feminis post-kolonial dengan agenda-agenda multikultural mempermasalahkan gerakan perempuan atau feminisme di Indonesia yang senantiasa berada dalam ketegangan antara tradisi dan modernitas, antara identitas universal perempuan dan perjuangan resistensif lokal. Pertanyaan yang diangkat adalah sejauhmana aktifis feminis merumuskan gerakannya untuk mencapai arah yang diidealkan, termasuk rumusannya tentang identitas subyek perempuan, serta ke mana arah yang ingin dituju? Dari sini feminisme post-kolonial mengangkat suara lokalitas sebagai gugatan atas agenda feminisme yang selama ini banyak didominasi agenda kalangan kelas menengah urban dengan fokus seperti persoalan kuota dalam partai, parleman, birokrasi, dan perlindungan perempuan di level negara. Dari gugatan atas agenda feminis Indonesia ini, perhatian feminis post-kolonial diarahkan pada gugatan atas agenda teoritis dalam mainsteam feminisisme yang lebih berorientasi pada feminisme Barat, untuk selanjutnya menawarkan agenda baru yang lebih relevan dengan suara lokalitas, yakni agenda yang bersifat multikultural.[67]
Dalam kaitan ini, feminisme post-tradisional diletakkan sebagai identitas perempuan post-kolonial. Tema-tema yang menjadi fokus pembicaraan bukan lagi proses naturalisasi subyek keperempuanan, bukan viktimisasi kondisi perempuan yang akan membenarkan proyek pemberdayaan, tapi lebih pada identitas keperempuanan sebagai sesuatu yang berbeda, sebagai kontradiksi, sebagai pengalaman lain yang terkait dan sensitif dengan pola asimetris antara gender, kelas, ras, dan etnisitas. Secara lebih jelas, yang diangkat adalah suara perempuan subaltern, perempuan pinggiran yang berada di luar konstruk dari feminis “resmi”.[68] Dengan fokus tersebut, maka feminisme post-tradisional ingin mengangkat suara-suara pinggiran yang selama ini menjadi simbol ketertinggalam di kalangan feminis “borjuis”.
8. Dialog Agama
Setiap pemeluk agama meyakini bahwa agama adalah jalan keselamatan untuk kebahagiaan eskatologis. Ia tidak hanya berfungsi untuk integrasi masyarakat, tapi juga, secara sosiologis, berpran dalam memicu disintegrasi dan konflik sosial. Di akui atau tidak, baik langsung maupun tidak langsung, agama mempunyai peran dalam menylut berbagai konflik di tanah air.
Hal itu terjadi karena adanya kecurigaan dan kesalahpahaman antara satu kelmpok agama dengan kelompok agama yang lain. Relasi ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ masih diwarnai saling ketidakpercayaan. Ada beberapa persoalan yang bisa dikemukakan di sini: Pertama, masing-masing kelompok agama banyak berprasangka negatif (curiga) dan memberi stereotype karena kecemburuan-kecemburuan. Kedua, kelompok minoritas berperasaan bahwa dalam birokrasi negara dan swasta dipinggirka, meskipun menurut mayoritas mereka sudah mendapatkan kedudukan birokrasi yang berlebihan jika dibandingkan dengan jumlah pemeluknya. Ketiga, diskriminasi dalam kehidupan sosial, misalnya dalam penerimaan kos dan pekerjaan seringkali ada terpampang dengan jelas persyaratan agama. Keempat, kebijakan hukum publik yang berpihak kepada mayoritas muslim. Hal ini berlaku bukan hanya dalam kebijakan yang dirumuskan negara, melainkan juga kebijakan bersama di tingkat kecil perumahan, pendirian tempat ibadah dan sebagainya.
Kesenjangan hubungan antara muslim dan non-muslim disebabkan oleh banyak hal, antara lain: pertama, pemahaman agama yang tidak toleran. Hal ini disebabkan karena doktrin teologi yang ditanamkan kepada masyarakat adalah teologi yang lebih mengedepankan eksklusifisme yang tertutup. Teologi demikian akan lebih mengedepankan klaim kebenaran (truth claim) dan sulit menerima kebenaran lain di luar agamanya. Kedua, tidak adanya hubungan yang terbuka lintas agama. Meskipun dialog antar agama sudah sering dilakukan, namun jangkauannya masih sangat terbatas, kalau tidak dikatakan elitis. Ketiga, kebijakan politik dan produk hukum yang diskriminatif. Keempat, adanya kelompok yang memang mempunyai kepentingan dengan suasana ketegangan antar pemeluk agama. Dua faktor yang pertama lebih merupakan akibat dari praktik diskursif keagamaan, sedangkan dua yang terakhir merupakan akibat campur tangan kekuasaan dan kepentingan pelakunya.
Untuk mengatasi persoalan di atas, ada beberapa bebrapa agenda penting yang harus dilakukan. Pertama, perlu adanya reinterpretasi ajaran agama menuju sebuah ajaran teologi yang lebih toleran dan terbuka. Hal ini penting dilakukan karena pemahaman teologis mempunyai andil yang cukup besar untuk menentukan corak keberagamaan seseorang. Kedua, perlu membuka forum-forum dialog antar muslim dan non-muslim dengan mengdepankan kejujuran. Hal itu penting karena seringkali dialog agama dilakukan hanya sebatas tuntutan 'formalitas' tanpa diikuti dengan kejujuran dan kesediaan masing-masing pihak untuk saling menerima dan memberi. Ketiga, penting ada kerjasama riil yang intens antara muslim dan non-muslim dalam kerja-kerja pelayanan publik. Hal itu dilakukan untuk me-landing-kan gagasan-gagasan yang telah dibangun pada tingkat wacana. Keempat, sistem politik dan produk hukum yang diksrimanif harus diubah menjadi toleran dan terbuka.[69]
Di Indonesia pendefinisian terhadap agama telah dilakukan oleh pemerintah lewat beberapa kebijakan, misalnya Ketetapan Presiden RI No 1 Th. 65 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, Instruksi Menteri Agama No.4/Th 78 tentang aliran kepercayaan bukan agama dan Keputusan Menteri Agama No 70/Th 78 tentang pedoman penyiaran agama (pengawasan terhadap "juru dakwah". Khusus berkaitan dengan Instruksi Menteri Agama No.4/Th 78, akibat dari kebijakan ini adalah banyaknya penganut aliran kepercayaan yang harus mengikuti (memeluk) agama yang telah “diresmikan” dan diakui oleh negara.
Mencermati fenomena tersebut, dalam konteks relasi antar-agama di Indonesia, ada beberapa problem yang tidak mudah dijawab karena masih hidup dan menjadi energi sebagaimana berikut:





Bagan tersebut menunjukkan keruwetan dan kerumitan kehidupan beragama di Indonesia. Keruwetan tersebut bukan semata-mata terkait dengan umat beragama itu sendiri, namun terkait juga dengan intervensi negara. Memang, intervensi ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan, karena umat beragama sendiri yang sebenarnya mengundang negara, karena ketidakmampuannya untuk menyelesaikan problemnya sendiri. Pada tingkat tertentu, intervensi tersebut berbahaya, karena negara memang mempunyai watak intervensinis, akibatnya agama menjadi subordinat negara dan kehilangan independensinya. Agama yang seharusnya menjadi kontrol moral terhadap para penyelenggara negara, berubah menjadi sebaliknya “dikontrol” oleh negara. Lebih dari itu, agama bisa “dipermainkan” oleh penguasa negara untuk kepentingan politiknya.
9. Islam dan Budaya Lokal
Banyak kalangan komunitas NU yang memberikan keprihatinan mendalam terhadap keberadaan budaya lokal dalam konteks keberagamaan,[70] seperti dilakukan oleh Desantara dengan proyek Islam dan Kebudayaan lokal dan "pribumisasi Islam", dan belakangan komunitas LAKPESDAM NU juga menggagas "Islam Pribumi".[71] Terlepas dari perbedaan aksentuasi kedua istilah tersebut, gagasan demikian pernah dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid pada akhir 1980-an melalui gagasan "pribumisasi Islam" yang kemudian disimplifikasi dengan merubah assalamu'alaikum menjadi "selamat pagi, siang, atau sore".
Apakah Islam a-la NU bisa mentolerir kultur pribumi untuk mengapropriasi bentuk-bentuk ritual Islam dan diisi dengan semangat dan wawasan ketuhanan a la penduduk pribumi? Tidak ada jawaban pasti mengenai hal ini, karena dalam lingkungan NU juga terdapat kelompok yang sangat kritis dengan praktik keberagamaan lokal. Abdul Mun’im DZ, redaktur Jurnal Taswirul Afkar, dalam diskusi “Islam pribumi” di Lakpesdam menyebutkan bahwa masalah pokoknya adalah mentalitas “triumfalistik” atau cara pandang yang “agak sombong” dari agama-agama samawi yang menganggap dirinya sebagai agama yang diturunkan Tuhan, dan menganggap “agama ardhi” sebagai ciptaan budaya manusia. Apakah dengan klaim rahmatan li al-‘âlamîn, Islam berhak dan bisa seenaknya menaklukkan kepercayaan-kepercayaan lain ke dalam pangkuannya?
Gagasan-gagasan tersebut pada ujungnya ingin menghindari klaim otentisitas sehingga akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya. Penghargaan atas lokalitas diikuti dengan pengakuan keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
E. KESIMPULAN
Jika pra khittah keberhasilan perjuangan NU selalu diukur dengan sejauh mana NU mampu meletakkan kader-kadernya dalam posisi strategis pemerintahan, pasca khittah ukurannya adalah sejauh mana NU berperan dalam memberi kontribusi pemikiran-pemikiran alternatif-progresif dan melakukan pemberdayaan rakyat di tengan otoritarianisme orde baru. Perubahan orientasi tersebut tidak dapat dilepaskan dari dua figur yang sangat berpengaruh, yaitu Kiai Achmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid. Mereka berdua merupakan figur penting yang merepresentasikan seorang pemimpin NU yang peduli dengan perkembangan sosial budaya dan intelektual daripada sosial-politik. Keberadaan dua tokoh ini memberi spirit intelektual di antara generasi muda NU.
Tradisi pemikiran progresif di kalangan kaum muda NU tersebut belakangan melembaga dalam LSM-LSM yang dikelola anak-anak muda NU. Munculnya tradisi LSM yang mengembangkan program-program dan berorientasi pada pengembangan masyarakat, terutama masyarakat pesantren dengan segala khasanah dan tradisi pemikiran yang dimiliki, mempunyai dampak signifikan berkembanganya wawasan pemikiran progresif di kalangan pesantren. Kelompok-kelompok kecil inilah yang menyebut dirinya sebagai post-tradisionalisme Islam, yaitu sekelompok anak-anak muda NU yang dengan modal tradisinya melakukan revitalisasi dan tranformasi. Dalam proses revitalisasi dan transformasi tersebut dilakukan dengan melakukan kritisisme atas tradisi, bukan hanya tradisi “orang lain”, tapi juga terhadap tradisinya sendiri. Akibat bersentuhan dengan khasanah keilmuan baru yang selama ini tidak didapatkan di pesantren, mereka menjadikan “ilmu baru” tersebut untuk melakukan pembacaan terhadap khasanah dan tradisi keislaman, terutama yang berkembang di lingkungan NU.
Sebenarnya banyak sekali spektrum pemikiran yang diangkat dan menjadi concern post-tradisionalisme Islam di kalangan anak-anak muda NU. Namun, beberapa tema yang senantiasa menjadi perbincangan, baik melalui penerbitan jurnal, buku, tulisan di media massa, maupun program-program Halaqah (Belajar Bersama) dapat diagendakan hal-hal sebagai berikut: 1) Kritik wacana agama sebagai perspektif pembacaan terhadap realitas dan wacana agama. Hal ini dilakukan karena wacan agama dalam bentuk apapun bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba, tapi dibentuk melalui proses-proses kekuasaan dan kepentingan. Kritik wacana tersebut bukan saja ditujukan kepada tradisi-tradisi besar, tapi juga kepada tradisi NU sendiri seperti doktrin tentang Aswaja. 2) Problem di sekitar politik kewarganegaraan (civil society) dan juga implikasi politiknya. Di samping itu, masalah relasi agama dan negara berserta implikasi dan isu ikutannya seperti formalisasi syariat Islam juga mendapat perhatian serius komunitas post-tradisionalisme Islam. 3) Isu di sekitar feminisme juga mendapat perhatian yang diterjemahkan dalam program Belajar Bersama. 4) Wacana tentang pluralisme dan dialog antar agama. 5) Islam dan kebudayaan lokal. Isu-isu tersebut diangkat dan didekati menggunakan kerangka kritik nalar (naqd al-'aql) dengan membongkar kepentingan-kepentingan di balik wacana dominan. Implikasi dari model pendekatan semacam ini adalah terjadinya 'relativisasi' atas segala tafsir atas agama.
Atas dasar itu, penulis berpendapat bahwa wacana post-tradisionalisme Islam yang berkembang dalam komunitas anak-anak muda NU tidak bisa semata-mata dibaca dari kaca mata politis sebagai kelanjutan dari konflik 'modernis' vs 'tradisionalis' yang dibungkus dengan 'baju baru' dan teori-teori yang lebih canggih. Post-tradisionalisme Islam dapat dilihat sebagai sebuah alternatif dan model pemikiran Islam yang dibentuk melalui proses dialektika yang cukup panjang antara khazanah keilmuan Islam tradisional dengan 'khazanah lain'. Model pemikiran alternatif seperti yang dikembangkan anak-anak muda NU sebenarnya bisa tumbuh dan muncul dalam komunitas lain, meskipun dalam beberapa aspeknya bisa berbeda. Namun, karena NU yang selama ini mempunyai kekayaan khazanah tradisi, maka tidak heran jika post-tradisionalisme Islam muncul dalam komunitas NU, karena pemikiran alternatif tersebut tidak akan mempunyai makna jika tidak ditopang dengan basis kekayaan tradisi yang cukup.
--------------------------------------------------------------------------------
[1]Greg Fealy menjelaskan bahwa istilah “tradisional, tradisionalis dan tradisionalisme” biasanya dipakai untuk merujuk kepada komunitas muslim yang menganut salah satu dari empat mazhab hukum sunni dan cenderung pada praktek-praktek ibadah sinkretis. Sebaliknya, kelompok “modernis” tidak mengakui secara a priori otoritas mazhab apapun dan hanya menganggap Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum utama. Mereka juga “sangat kritis” terhadap ritual-ritual keagamaan yang dianggap sebagai “tradisi asing”, bukan dari Islam. Greg Fealy, Wagab Chasballah, Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton, Tradisionalisme Radikal: Persainggungan Nahdlatul Ulama-Negara, terjemahan dari Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, (Yogyakarta: LKIS, 1997), h.1.
[2]Bandingkan dengan Muhammadiyah yang mengalami keterputusan (diskontinuitas) jalur intelektualnya karena mengenyampingkan khazanah intelektual pada periode pertengahan karena dianggap bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Karena tradisi intelektual Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salâf al-sâlih), sedikit Ibnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Kompas, 9 November 1990.
[3]Fenomena semacam ini sebenarnya bukan khas NU. Harus diakui tradisi keilmuan Islam sudah lama mengalami pembekuan dan pembakuan melalui proses ortodoksi sejak abad III H. Bahkan, Islam yang datang ke Indonesia dan mengalami proses massifikasi pada abah XII/XIII M adalah Islam yang sudah “turun” dari puncak kejayaannya. Dengan demikian, perkembangan keilmuan NU pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tradisi intelektual dalam dunia Islam pada umunya.
[4]Deliar Noer membuat kategori “tradisional” sebagai lawan dari “modernis”. Kategori pertama diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), 1929, sedang yang kedua diwakili oleh Sarekat Islam (SI), 1911 dan Muhammadiyah, 1912. Jika yang pertama dikesankan kolod, sulit menerima pembaruan, kurang murni dalam menjalankan ajaran agamanya karena dianggap memelihara bid’ah dan khurafat, sedang yang kedua dikesankan responsif terhadap modernitas, mudah menerima pembaruan dan Islamnya lebih “murni”. Lebih jauh lihat Deliat Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980). Hingga kini, banyak sekali orang yang melakukan kritik terhadap tipologi Deliar ini yang dianggap sudah tidak relevan untuk dipertahankan. Kalau toh tetap dipertahankan, paling tidak perlu kualifikasi-kualifikasi agar tidak menyesatkan. Meski demikian harus diakui, sebagai sebuah teori, kategori tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa baik dalam dunia akademik, maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Belakangan, kategori tersebut tidak lagi menjadi standar akademik semata-mata, tapi sudah menjadi klaim “identitas kelompok”, bahkan di dalamnya ada muatan “ideologi-ideologi” tertentu untuk mengecilkan arti dan peran kelompok satu di atas yang lain. Kecenderungan demikian memang tidak cukup sehat baik dalam konteks akademis maupun kehidupan masyarakat secara umum.
[5]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. keenam, h. 1.
[6]Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Jakarta: Mizan, 1990), cet. kedua, h. 50.
[7]Penelitian yang cukup komprehensip mengenai hal ini, lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pembaruan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992). Lihat pula Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1990).
[8]Nurcholish Madjid menjelaskan ketertinggalan ini dengan membuat ilustrasi yang cukup menarik sebagai berikut: ketika al-Ghazali (w. 1111 M) sibuk berpolemik mengenai masalah-masalah ke-filsafat-an dengan Ibnu Rusyd (w. 595 H/1198 M), di nusantara berada dalam puncak kejayaan kerajaan Kediri yang dipimpin Jayabaya. Jika al-Ghazali menulis karya-karya kefilsafatan seperti Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Tahâfut al-Falâsifah, al-Munqiz min al-Dhalâl dan sebagainya Jayabaya, menghasilkan karya Jangka Jayabaya yang lebih merupakan khayalan, kalau tidak dikatakan sebagai karya mistik. Padahal, masa hidup al-Ghazali berada di ujung masa kebesaran Islam, bahkan ketika masa keemasan Islam (al-‘ashr al-zahabi) sudah berada pada grafik yang menurun. Kenyataan demikian, menurut Cak Nur, mengakibatkan adanya kesenjangan intelektual dan kultural antara Islam Indonesia dengan dunia Islam yang lain. Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 3-11, 43-46. Selanjutnya di sebut Tradisi Islam. Dari perspektif ini bisa dipahami jika atmosfir intelektualisme di nusantara masih tertinggal dengan belahan dunia Islam yang lain, baik pada tingkat wacana maupun produktifitasnya.
[9]Ahmad Baso dalam tulisannya berjudul “Kritik atas “Nalar melayu”: Telaah atas Tradisi Intelektual Islam Indonesia dan Problem Rasionalitas” tashwirul Afkar edisi No. 2 tahun 1998 mengkritik terhadap teori ini. Menurutnya, teori jaringan ulama yang dibangun Azra mengabaikan peran tokoh-tokoh seperti Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar dan juga tokoh-tokoh Walisongo di Jawa. Kritik semacam ini memang ada benarnya, meski tidak seluruhnya benar. Kurang tepat jika dikatakan peran Hamzah Fansuri dan Syams al-Din Sumatrani terabaikan dalam teori Azra, karena dia juga memberi porsi yang yang cukup kepada dua tokoh tersebut ketika membahas Nur al-Din al-Raniri karena mereka terlibat dalam polemik mengenai paham wujûdiah. Sedangkan gugatan Ahmad Baso terhadap peran Syekh Siti Jenar dan Walisongo yang hidup pada abad 15 M memang ada benarnya. Menurut para ahli sejarah, Waisongo mempunyai peran besar dalam mengislamkan tanah Jawa pada abad 15, dan sebagian besar mereka adalah keturunan Arab. Jika hal ini benar, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah pada masa ini telah terjadi jaringan intelektual dengan pusat-pusat peradaban Islam. Pertanyaan ini memang masih “gelap” karena data tentang Islam di Indonesia sebelum abad 17 sangat sedikit. Kalau toh ada sudah bercampur dengan mitos-mitos yang sulit untuk dibuktikan secara empirik. Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995). Lihat pula M.C. Riflecks, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h. 13-14. Lihat pula Abdurrahman, The Pesantren Architects and Their Sosio-Religious Teachings (1850-1950), (Los Angeles: Disertasi UCLA, 1997), h. 45-58.
[10]Kata “ulama Jawi” sebenarnya tidak selalu merujuk pada Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata “Jawi” memang bentuk lain dari dari kata “Jawa”. Namun dalam konteks ini, kata tersebut merujuk kepada ulama nusantara yang hidup dan bermukim di Haramain. Makna demikian juga tercermin dalam buku yang ditulis oleh Mohd. Bin Nor Ngah, Kitab Jawi: Islamic Thought of the MalayMuslim Scolars, (Singapore: ISEAS: 1983).
[11]Lihat Azyumardi Azra, “Ulama Indonesia di Haramain: Pasang Surut Sebuah Wacana Keagamaan” dalam Jurnal Ulumul Quran, volume III no. 3 tahun 1992, h. 76-85. Tulisan tersebut belakangan diterbitkan dalam, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 143-161..
[12]Sebagai acuan analisis, generasi NU hingga sekarang secara sederhana dapat dikelompokkan dalam beberapa generasi. Generasi pertama adalah tokoh-tokoh yang ikut membidani kelahiran NU yang diwakili oleh tokoh seperti Hasyim Asyari, Wahab Hasbullah, Bisri Syansuri. Generasi kedua diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Wahid Hasyim, Saefuddin Zuhri, Ahmad Siddiq, As’ad Syamsul Arifin dan sebagainya. Sedangkan generasi ketiga diwakili oleh tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Fahmi Saefuddin, Mustafa Bisri dan sebagainya. Kategorisasi tersebut memang tak bisa dipegang secara kaku karena orang seperti Ahmad Siddiq misalnya bisa saja masuk generasi kedua atau ketiga. Meski demikian, kategorisasi berdasar generasi tersebut dianggap perlu sekedar untuk kebutuhan analisis.
[13]Mengenai geneologi intelektual ulama NU lebih lanjut lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandang Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. Ke enam, h. 85-96. Lihat pula Abdurrahman, The Pesantren Architects., h. 91.
[14]Lebih jauh lihat Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 117-127. Menurut catatan Martin tidak kurang dari 40 karya Nawawi dan sekitar 22 yang hingga sekarang masih beredar di pesantren. Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, h. 38.
[15]Lihat Zanakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 26-27.
[16]Ali As’ad, K.H.M. Munawir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, (Yohyakarta : tanpa penerbit, 1975).
[17]Chaidar, Manaqib Mbah Maksum, (Kudus: Menara Kudus, 1972)
[18]Ulama-ulama NU yang berada dalam keluarga Siddiq sebagian besar juga pernah belajar di Makkah. Lebih jauh lihat Affan Ilman Huda, Biografi Mbah Siddiq, (Jember: Pon-pes al-Fatah, tt).
[19]Bandingkan dengan Muhammadiyah yang mengalami keterputusan (diskontinuitas) jalur intelektualnya karena mengenyampingkan hazanah intelektual pada periode pertengahan karena dianggap bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Karena tradisi intelektual Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salâf al-sâlih), sedikit Ibnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Kompas, 9 November 1990.
[20]Periksa lebih jauh Fawaizul Umam, “Modal Sosial NU, Ekonomi Pemberdayaan Warga Nahdliyyin”, Gerbang, No. 12, Vol. V tahun 2002.
[21]Bandingkan dengan Muhammadiyah yang mengalami keterputusan (diskontinuitas) jalur intelektualnya karena mengenyampingkan khazanah intelektual pada periode pertengahan karena dianggap bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Karena tradisi intelektual Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salâf al-sâlih), sedikit Ibnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Kompas, 9 November 1990.
[22]Geneologi intelektual ulama NU, terutama generasi NU awal seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri dan sebagainya, sebagaimana ulama-ulama Islam pada umumnya menjadikan Haramain (Mekah dan Madinah) sebagai pusat orientasi intelektualnya. Hampir semua ulama NU pernah belajar di Mekah. Sebuah penelitian yang membuktikan mengenai hal ini lihat misalnya Abd. Rachman, The Pesantren Architects And Their Socio Religious Teachings (1850-1950), (Los Angeles: Disertasi UCLA, 1997 (tidak diterbitkan). Dalam disertasi ini Abd. Rachman melakukan penelusuran geneologi intelektual lima ulama besar yang bisa dikatakan sebagai peletak dasar intelektualisme NU. Masing-masing adalah Nawawi al-Bantani (w.1897), Mahfuz al-Tirmasi (w.1919), Khalil Bangkalan (w. 1925), Asnawi Kudus (w. 1959) dan Hasyim Asy’ari (w. 1947). Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[23]Fenomena semacam ini sebenarnya bukan khas NU. Harus diakui tradisi keilmuan Islam sudah lama mengalami pembekuan dan pembakuan melalui proses ortodoksi sejak abad III H. Bahkan, Islam yang datang ke Indonesia dan mengalami proses massifikasi pada abah XII/XIII M adalah Islam yang sudah “turun” dari puncak kejayaannya. Dengan demikian, perkembangan keilmuan NU pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tradisi intelektual dalam dunia Islam pada umunya.
[24]Mitsuo Nakamura, “Tradisionalisme Radikal, Catatan Muktamar Semarang 1979”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, h. 59. Akibat dari bias intelektual tersebut, muncul kecenderungan kuat di antara para ahli dan pengamat tentang Islam di Indonesia, untuk lebih memberi perhatian pada organisasi-organisasi “modernis”. Karena itu, tidak heran kalau organisasi seperti Muhammadiyah dianggap lebih mempunyai pesona untuk dijadikan sebagai obyek studi.
[25]Bandingkan dengan Muhammadiyah yang mengalami keterputusan (diskontinuitas) jalur intelektualnya karena mengenyampingkan khazanah intelektual pada periode pertengahan karena dianggap bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Karena tradisi intelektual Muhammadiyah terbatas pada generasi sahabat (salâf al-sâlih), sedikit Ibnu Taimiyah, kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya. Kenyataan demikian telah menimbulkan kritik bahkan oleh orang yang sering diidentifikasi sebagai kader Muhammadiyah seperti Azyumardi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Kompas, 9 November 1990.
[26]Geneologi intelektual ulama NU, terutama generasi NU awal seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri dan sebagainya, sebagaimana ulama-ulama Islam pada umumnya menjadikan Haramain (Mekah dan Madinah) sebagai pusat orientasi intelektualnya. Hampir semua ulama NU pernah belajar di Mekah. Sebuah penelitian yang membuktikan mengenai hal ini lihat misalnya Abd. Rachman, The Pesantren Architects And Their Socio Religious Teachings (1850-1950), (Los Angeles: Disertasi UCLA, 1997 (tidak diterbitkan). Dalam disertasi ini Abd. Rachman melakukan penelusuran geneologi intelektual lima ulama besar yang bisa dikatakan sebagai peletak dasar intelektualisme NU. Masing-masing adalah Nawawi al-Bantani (w.1897), Mahfuz al-Tirmasi (w.1919), Khalil Bangkalan (w. 1925), Asnawi Kudus (w. 1959) dan Hasyim Asy’ari (w. 1947). Lihat pula Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[27]Fenomena semacam ini sebenarnya bukan khas NU. Harus diakui tradisi keilmuan Islam sudah lama mengalami pembekuan dan pembakuan melalui proses ortodoksi sejak abad III H. Bahkan, Islam yang datang ke Indonesia dan mengalami proses massifikasi pada abah XII/XIII M adalah Islam yang sudah “turun” dari puncak kejayaannya. Dengan demikian, perkembangan keilmuan NU pada dasarnya merupakan kelanjutan dari tradisi intelektual dalam dunia Islam pada umunya.
[28]Mitsuo Nakamura, “Tradisionalisme Radikal, Catatan Muktamar Semarang 1979”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed.), Tradisionalisme Radikal, h. 59. Akibat dari bias intelektual tersebut, muncul kecenderungan kuat di antara para ahli dan pengamat tentang Islam di Indonesia, untuk lebih memberi perhatian pada organisasi-organisasi “modernis”. Karena itu, tidak heran kalau organisasi seperti Muhammadiyah dianggap lebih mempunyai pesona untuk dijadikan sebagai obyek studi.
[29]Sikap demikian agaknya belum sepenuhnya hilang. Ada sebagian ulama NU konservatif yang tetap mencibir apa saja yang berbau Barat termasuk pengiriman mahasiswa (Islam) studi keislaman (Islamic Studies) di berbagai universitas Barat. Dengan memperhadapkan antara “Timur” dan “Barat” mereka memandang Barat sebagai musuh Timur. Namun ini bukan khas NU. Di dunia Islam pada umumnya, sikap yang sama juga dapat kita temukan. Dalam kaitan ini, paling tidak ada tiga sikap kaum muslimin ketika mereka berhadapan dengan Barat, yaitu apologetik, identifikatif dan affirmatif. Pertama, sikap apologetik (pembelaan diri) biasanya dilakukan sebagian kaum muslimin dengan mengemukakan kelebihan-kelebihan Islam, disamping untuk menjawab hegemoni politik Barat juga tantangan itelektual Barat yang mempertanyakan beberapa aspek dari “ajaran” Islam seperti jihad, poligami, kedudukan wanita, perbudakan dan sebagainya. Respon demikian bisanya cenderung normatif dan idealistik sehingga cenderung mengabaikan realitas. Sikap ini pada dasarnya merupakan mekanisme pembelaan diri (defense mechanism) terhadap ancaman, tantangan dan kritik dari luar. Kedua, sikap identifikatif diambil untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi untuk merumuskan respon dan sekaligus identitas Islam di masa modern. Ketiga, pendekatan afirmatif dilakukan untuk menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam dan sekaligus menguatkan eksistensi masyarakat muslim sendiri. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. iii-vi.
[30]Arus pendidikan mahasiswa Islam ke Barat tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Departemen Agama RI yang mulai melakukan kerjasama-kerjasama dengan perguruan tinggi Barat. Kebijakan ini sebenarnya pernah dirintis oleh H.A. Mukti Ali ketika menjadi Menteri Agama meskipun belum menampakkan hasil yang memuaskan. Ketika Munawir Sjadzali menjabat Menteri agama selama dua periode (1983-1993) dia banyak membuat kerja sama dengan universitas-universitas seperti McGill University Canada, Universitas Leiden Belanda, UCLA, Columbia, Chicago Harvard di AS, Hanburg Jerman, Monash University, Flinders di Australia dan sebagainya. Dengan kerjasama ini, banyak sekali dosen-dosen muda IAIN dari berbagai latar belakang yang belajar di berbagai negara Barat. Selengkapnya lihat “An Intellectual Engineering in IAIN,” dalam Studia Islamika, Volume 2, Number 1 tahun 19995. Lihat pula Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadzali: Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Ed.), Menteri-Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, (Jakarta: INIS, 1998), h. 369-412. Kebijakan tersebut terus berlanjut hingga masa Tarmizi Taher, Malik Fadjar meskipun setelah Indonesia dilanda krisis moneter sejak 1998 program ini agak terhambat.
[31]Saya tidak berhasil untuk melacak sebaran anak-anak muda NU yang belajar ke pusat-pusat belajar sebagaimana disebutkan di atas, sehingga angka pasti mengenai jumlah mereka tidak dapat tersaji dalam tulisan ini. Di samping tidak ada data yang pasti mengenai hal tersebut, juga terdapat kesulitan-kesulitan metodologis untuk mendefinisikan yang disebut “komunitas NU”. Siapa yang dimaksud komunitas NU? Pertanyaan demikian saya kira wajar karena di lapangan ternyata terdapat sejumlah nama yang berlatar belakang keluarga NU tapi sulit dikatakan sebagai gerbong intelektualisme NU. Nama-nama seperti Nurcholish Madjid, Bahtiar Effendi dan sebagainya termasuk tokoh dalam kategori ini. Saya ingin membatasi maksud komunitas NU dalam riset ini, yaitu orang-orang yang menggunakan NU dan berbagai organisasi neven-nya sebagai wahana kulturalnya dalam melakukan pergumulan. Oleh karena itu, orang seperti Cak Nur meskipun secara kultural dia lebih dekat dengan NU namun ia mempunyai gerbong intelektualnya sendiri yang berbeda dengan gerbong NU.
[32]Fenomena dan kecenderungan demikian sebenarnya bukan khas NU tapi gejala umum studi Islam di Indonesia. Mengenai dua orientasi studi Islam ini, lebih jauh lihat laporan dan beberapa artikel dalam Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3 Vol V Tahun 1994.
[33]Dinamika intelektual anak-anak muda NU di Mesir yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) cukup mengesankan dimana mereka lebih menggandrungi pemikiran-pemikiran liberal Hassan Hanafi, Al-Jabiri, Jamal Banna dan sebagainya daripada Sayyid Qutub, Yusuf Qardhawi, Fathi Yakan dan sebagainya. Tulisan yang menggambarkan dinamika ini lihat misalnya Arsyad Hidayat, “Mencari Islam Alternatif: Perjalanan Seorang Mahasiswa al-Azhar” dalam taswirul Afkar edisi no. 8 tahun 2000. lihat pula M. Arif Hidayat, “KMNU, Al-Azhar, dan Generasi Baru” dalam taswirul Afkar edisi no. 6 tahun 1999. Semangat liberalisme ini belakangan tidak hanya menyebar kepada yang mengenyam pendidikan tinggi (mahasiswa) tapi juga dalam dunia pesantren yang sering dilihat sebagai basis konservatisme NU. Di pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon misalnya, sekelompok santri senior dan beberapa putra kiai setempat yang pernah nyantri di berbagai tempat membuat “kelompok studi” yang membahas berbagai kitab. Mereka bukan sekedar “membaca” sebagaimana tradisi pesantren tapi juga berani mempertanyakan beberapa hal di dalamnya. Saya menduga kuat, tradisi demikian mulai menjamur di berbagai pesantren.
[34]Pembedaan ini mungkin tidak terlalu tepat jika kedua komunitas tersebut dipisahkan dipisahkan secara diametral. Bagaimanapun harus diakui bahwa sebagian besar orang-orang yang menjadi lokomotif gerakan intelektualisme NU adalah orang-orang yang pernah hidup di kampus. Pembedaan ini diperlukan semata-mata sebagai alat analisis untuk melihat kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di lapangan.
[35]Lihat misalnya Majalah Tempo, edisi 19-25 November 2001 dalam rubrik agama.
[36]Atas dasar itu mereka selalu menaruh curiga atas berbagai narari besar, baik yang diproduksi melalui tradisi, ideologi, maupun teks suci. Bagi komunitas ini, narasi besar hanya ingin melakukan monopoli atas kebenaran. Ideologi-ideologi besar dunia, bahkam juga tafsir dominan atas agama sebenarnya juga ingin memonopoli kebenaran. Atas dasar itu, mereka menolak segala bentuk penunggalan itu, karena “penunggalan” tidak akan mampu menyelesaikan persoalan. Sampai di sini, catatan Marzuki Wahid atas “Manifesto Perang Kebudayaan” Kaum Muda NU 2015 di Malang 2001, sangat menarik untuk disimak. Dalam dokumen tersebut, disebutkan target gerakan kaum muda NU antara lain: 1) rebut kepemimpinan moral dan intelektual di segala lini gerakan kemasyarakatan, 2) konsisten di jalur politik ekstra parlementer berbasis multikulturalisme dengan tetap menghormati “orang lain” sebagai warga negara, lengkap dengan tradisi dan kebudayaannya sendiri, dan 3) menyiapkan secara serius paradigma economical society, membangun basis ekonomi mandiri demi penciptaan civil society. Lihat Marzuki Wahid, Post-Tradisionalisme Islam, h. 17.
[37]Zaini Rahman, "Post-Tradisionalisme Islam: Epistimologi Peloncat Tangga" dalam Bulletin Wacana Postra, edisi Perkenalan, Nopember, 2001, h. 59.
[38]Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 24-25. Lihat pula Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâts, Qirâ’ât Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafî, (Casablanca: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1986), cet. v, h. 11-19.
[39]Muhammad Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam, h. 28.
[40]Ibid, h. 29-30. Tradisi dalam konteks ini bersifat umum yang mencakup: 1) tradisi maknawi, berupa tradisi pemikiran dan budaya; 2) tradisi material, seperti monumen atau benda-benda masa lalu; 3) tradisi kebudayaan nasional, yakni segala yang kita miliki dari masa lalu; 4) tradisi kemanusiaan universal, yakni yang hadir di tengah kita.
[41]Keterangan lebih jauh mengenai hal ini, periksa Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâts, h. 21-24.
[42]Muhammad Abed al-Jabiri, Nahnu wa al-Turâts, h. 25-26.
[43]Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986).
[44]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, sebuah Kajian tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995).
[45]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996). Buku ini dicetak kali pertama tahun 1980, hingga 1996 sudah dicetak ulang delapan kali.
[46]Howar M. Fiderspiel, Persatuan Islam, Pembaruan Islam Indonesia Abad XX, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996).
[47]Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia.
[48]Kamal Hassan, Muslim Intellectual Response to New Order Modernization in Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa, 1980)
[49]Mengenai ciri-ciri umum kedua kelompok ini, lihat Bab II sub A.
[50]Lihat Manna’ al-Qaththan, Târikh Tasyrî’ al-Islâmî, (Mesir: Muassasah al-Risalah, 1992), h. 331-332. Dalam karya yang lain, penulis sudah membuat periodisasi yang lebih komprehensif mengenai perjalanan pemikiran Islam, terutama dalam bidang fiqih. Lebih jauh lihat, Rumadi, al-Maslahat al-Mursalah dalam Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Padang: Tesis S2), h. 86-132.
[51]Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme Islam” dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 10 tahun 2001, h. 32.
[52]Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme Islam”, h. 33.
[53]Muhammad Abid al-Jabiri, al-Mas’alah al-Tsaqâfiyah, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1994).
[54]lihat Taswirul Afkar edisi no. 6 tahun 1999, terutama h. 96-97.
[55]Mengenai hal ini, lihat wawancara dengan KH. Mustafa Bisri, “Berpijak Tradisi, Mengkaji Hasanah Lain”, dalam Taswirul Afkar edisi no. 9 tahun 2000, h. 123-128.
[56]Abdul Mun’im DZ, “Gerakan Liberalisme dalam NU” Makalah disampaikan pada sebuah diskusi di Institute for Social Institutions Studies (ISIS) pada bulan Maret 2000 di Hotel Mega Matra Jakarta.
[57]Lebih jauh lihat Ahmad Baso, “Pengantar Penerjemah: Posmodernisme sebagai Kritik Islam, Kontribusi Metodologis “Kritik Nalar” Muhammed Abed al-Jabiri”, dalam Muhammaed Abed al-Jabiri, Postradisionalisme Islam, (Yoryakarta: LKIS, 2000), h. xxix-xxx.
[58]Kajian yang sangat bagus mengenai keterkaitan antara teks dan realitas serta mewartakan bahwa Alquran dapat ditafsirkan secara terbuka, lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Mafûm al-Nâsh. Dalam kajian tersebut disimpulkan bahwa Alquran lebih merupakan produk kebudayaan, meskipun ide dan gagasannya bisa sebagai wahyu. Namun elemen-elemen yang membentuk wahyu sepeti bahasa, teks dan proses kesejarahannya yang lain merupakan hasil dari dialektika kebudayaan umat Islam.
[59]Mengenai elemen-elemen pembebasan dalam Islam, lihat Farid Essack, Qur’an, Liberation and Pluralism, (Oxford: Oneworld Oxford, 1997). Lihat pula Ali Asghar Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[60]Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellecual Tradition, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), h. 38.
[61]Mohammed Arkoun, “Topicality of the Problem of the Person in Islamic Thought” dalam International Social Science Journal, August 1988, 420-421. Lihat pula Robert D Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, judul asli Overcoming Tradition and Modernity: The Search of Islamic Authenticity, Penerjemah Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 2000), h. 165-198.
[62]Mohammed Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, h. 9-11.
[63]Kondisi eurosentrisme eropa melalui proyek orientalisme ini yang memberi inspirasi kepada Hassan Hanafi mengusung proyek tandingan oksidentalisme. Meskipun banyak hal yang bisa dipermasalahkan dari proyek ini, namun hal tersebut paling tidak mampu membangkitkan kesadaran baru akan ketertinggalan umat Islam dengan peradaban lain. Mengenai proyek oksidentalisme ini, lebih jauh lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, judul asli “Muqaddimah fî ‘Imi al-Istighrâb”, penerjemah M. Najib Bukhori, (Jakarta: paramadina, 2000). Sebagai bahan bandingan, lihat pula Asaf Husein, Robert Olson dan Jamil Qureshi (ed.), Orientalism, Islam and Islamist, (Amana Books, 1984). Lihat pula Mohammed Abed al-Jabiri, “al-Istisyraq fi al-Falsafah: Manhaj wa Ru’yah” dalam Mohammed Abed al-Jabiri, al-Turats wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munâqasah, (Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), h. 63-94.
[64]Lihat Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani, Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), terutama bagian penutup, h. 319-330.
[65]Robin L Bush, “Wacana Perempuan di Lingkungan NU, Sebuah Perdebatan Mencari Bentuk”, dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 5 tahun 1999, h. 25.
[66]Ahmad Baso, “Ke Arah Feminisme Post-Tradisional”, dalam Srinthil edisi No. 1/Mei/2002, h. 37-38.
[67]Ahmad Baso, “Ke Arah Feminisme Post-Tradisional”, h. 39.
[68]Ibid, h. 51.
[69] Laporan Pelaksanaan Program Belajar Bersama Islam Transformatif dan Toleran” Kerjasama LKiS dan Ford Foundation tahun 2001-2002.
[70]Sudah saatnya Post-Tradisionalisme merayakan lokalitas karena di dalam lokalitas itu sebenarnya juga terdapat rasionalitas. Jadi, keyakinan bahwa Islam adalah universal sebetulnya harus dilihat kembali. Wawancara dengan Hairussalim, 20 Desember 2002
[71]Dalam di Lakpesdam NU pada 4 Februari 2003 tentang "Islam Pribumi" sempat diperbincangkan perbedaan istilah tersebut dengan "pribumisasi Islam". Kata "pribumisasi Islam" mengandaikan "Islam" sebagai "makhluk asing" yang ingin "dibumikan" di tempat tertentu. Pemahaman demikian masih mengandaikan adanya "Islam yang asli" yang akan dibumikan (cara pandang top-down). Sedangkan "Islam pribumi" adalah Islam yang "terbiarkan" tumbuh tanpa intervensi siapapun. Pembedaan tersebut masih bisa dipermasalahkan dalam banyak segi seperti apa yang dimaksud "terbiarkan". Namun, penulis tidak ingin memperpanjang perbedaan tersebut, karena meskipun terdapat aksentuasi yang berbeda, secara umum concern dari "Islam pribumi" dan "pribumisasi Islam" tidak jauh berbeda, yaitu bagaimana agar lokalitas bisa berbicara dan tidak "terjajah" oleh "makhluk asing" atas naman otentisitas dan universalitas agama.

No comments: