PENDEKATAN PENDIDIKAN DALAM PENDIFFUSIAN AJARAN DAN PEMIKIRAN ULAMA
PENDEKATAN PENDIDIKAN DALAM PENDIFFUSIAN AJARAN DAN PEMIKIRAN ULAMA
(TELAAH ISTORIS TERHADAP KEBERADAAN ULAMA DALAM SEJARAH ISLAM MINANGKABAU)
Oleh: Silfia Hanani, M.Si
Dosen Sosiologi STAIN Bukittinggi
Kandidat Doktor Universiti Kebangsaan Malaysia(UKM)
Email: Silfia_Hanani@yahoo.com
Pendahuluan
Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal[1]. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran penduduk yang unik dan dijelaskan “agak” mistik atau penuh dengan cerita “carito” yang dituangkan dalam “kitab” yang diberi dengan “tambo”[2]. Diceritakan wilayah Minangkabau dulunya merupakan proses geologi dari Gunung Merapi, dengan daerah yang sangat kecil, namun karena terjadi proses alamiah penyusutan air laut, maka terbentuklah wilayah yang luas, seperti adanya sekarang ini. Daerah yang pertama di huni oleh masyarakat diberinama dengan Pariangan, dan sampai saat ini diakui sebagai daerah tertua di Minangkabau.
Pada awalnya masyarakat menjalankan kehidupan secara almiah, kemudian akibat perkembangan jumlah individu dan terbentuknya daerah-daerah yang baru maka di deklarasikan nagari sebagai sistem pemerintahan. Menurut penilikan sejarah yang dilakukan De Rooy, pada awalnya nagari terada akibat akumulasi dari empat proses pemukiman yang dibentuk dalam masyarakt Minangkabau; yakni pemukiman yang disebut denga taratak, dusun, koto dan nagari. Dalam pemukiman taratak masyarakat hidup dengan sederhana dan belum hidup berkelompok-lompok, baru pada masyarakat dusun terbentuk kelompok. Masyarakat dusun yang terdiri sekurang-kurangnya dari tiga kelompok, dinamakan dengan pemukiman koto, dan setelah itu barulah nagari.
Nagari adalah, kelompok sosial terkecil masyarakat Minangkabau, yang mempunyai sistem dan struktur kepemimpinan tersendiri. Dalam sistem kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain terintegrasi dalam musyawarah dan mufakat,; tripartit terdiri dari ulama, umara dan cerdik pandai.
Namun, dalam proses NKRI ketika pemerintahan orde baru; pemerintahan nagari ini sempat tidak berfungsi akibat digantikan oleh sistem pemerintahan desa melalui UU no 5 tahun 1979, kemudian orde reformasi dengan sistem otonomi daerah geologis hidup bernagari kembali dijabarkan, melalui Perda no 9 tahun 2000. Namun, berbagai kasuistik reaktualisasi ke negarai itu bermunculan dan kadang-kdang menjadi polemik. Di samping itu, ada ketidakjelasan konsep dalam menghidupkan nagari itu.
Dari segi kulturalis adat istiadat; orang Minangkabau dipisahkan oleh dua kubu adat yang agak tegas; yakni adat koto pilian dan adat bodicaniago. Adat koto piliang berada di bawah pengaruh Datuk Ketumanggungan, sedangkan Lareh Bodicaniago dibawah pimpinan Dt. Parpatih Nan Sabatang.
Dilihat dari praktik kesehariannya, Lareh Koto Piliang cendrung menjalankan sistem adat agak konservatif, sementara itu Lareh Bodi Caniago lebih demokratis. Geologis kedua kubu ini lahir akibat adanya konflik dalam dinamaka keadatan dan agama dalam masyarakat Minangkabau itu sendiri. Walupun demikian kedua kubu ini tetap dalam satu kesatuan Minangkabau, dan sebagai formulasi Minangkabau pluralitas dalam praktik sosio kultural.
Pembahasan
A. Sejarah Singkat Islam di Minangkabau
Wilayah Minangkabau berdasarkan geologis sosiografis terdiri dari dua kutup yakni, rantau da darek. Masing-masing mempunyai tipo logi dan restrukturisasi adat dan agama, namun saling melengkapi. Wilayah rantau merupakan wilayah geologis yang terletak di pesisir pantai sedangkan darek, terletak di wilayah pegunungan yang subur dan penghasil agrikultural.
1. Rantau Dalam Konstelasi Agama di Minangkabau
Dalam penyebaran Islam di Minangkabau wilayah rantau mempunyai arti penting untuk dikaji dan dijadikan pijakan sejarah, karena kedatangan Islam di nusantra tidak luput dari proses interaksi ekonomi antara pedagang luar dengan ekonom pribumi[3]. Namun, tidak itu saja wilayah pesisir lebih metropolis dari pada wilayah pegunungan, Mengingat pesisi sebagai wilayah perlintasan transportasi yang sering dijadikan sebagai persinggahan para ekonom asing.
Kontak budaya dan agama, lebih cepat diakses dan diakumulasi oleh masyarakat pesisir. Dalam penyebaran Islam di Minangkabau wilayah pesisir atau rantau menjadi wilayah sentral perkembangan Islam. Informasi sejarah tentang ini dapat dilacak melalui tradisi keagamaan yang dilakukan oleh seorang ulama di pantai Ulakan Pariaman, yang bernama Burhanuddin.
Burhanuddin, setelah usai menuntut ilmu dengan Abdurrauf Singkel di Aceh, menyebarkan Islam di ulakan dengan tradisi halaqah atau salaf. Yakni sebuah tradisi penyebaran Islam yang face to face, kemudian berkembang menjadi sistem pendidikan pengajaran Islam. Pada masa fece to face, Burhanuddin melakukan pendekatan secara persuasif dan dengan hati-hati mencoba menerapkan Islam dalam kehidupan. Misalnya, diceritakan Burhanuddin pernah mengajar Bismillah kepada anak yang bermain kelereng, setiap mengawali permainan dengan Bismillah tersebut si anak terus menang, kemudian Bismillah dijelaskan sebagai pembuka dari segala kegiatan, sebagai mohon restu dari Tuhan dalam mengerjakan sesuatu.
Penyeberan yang persuasif ini, berkembang dan direspon oleh masyarakat, kemudian Burhanuddin lebih leluasa menyebarkan agama Islam, dan didirikanlah sebuah surau untuk menyabarkan ilmu keagmaannya lebih lanjut. Inilah pada awalnya, surau dijadikan media transformasi pendidikan keagamaan masyarakat Minangkabau.
Ketika itu, berlaku tradisi penyebaran Islam dengan halaqah[4]. Halaqah juga berlaku dalam jemaah suluk tariqat, yakni sebuah tradisi ke Islaman yang dilakukan dengan ritualisasi-ritualisasi tersendiri, dengan maksud untuk mencapai makrifatullah. Tradisi penyebaran Islam awal ini, nampaknya cukup berhasil menjadikan daerah pesisir Ulakan menjadi pusat kebangkitan Islam pertama di Minangkabau[5]. Tradisi halaqah surau mempercepat penyebaran Islam.
Di sekitar surau, Burhanuddin berdiri banyak surau kecil, yang dihuni oleh santri-santri dari berbagai daerah yang menuntut ilmu agama kepadanya. Pada masanya, Burhanuddin telah membuat sebuah kota santri, yang mempunyai pengaruh besar terhadap ke Islam-an masyarakat Minangkabau.
Samapi saat ini, jejak dan kiprah Burhanuddin ini masih dapat dilihat di Ulakan, di sini berjejer surau-surau kecil yang diberi nama sesuai dengan asal daerah yang membangunnya. Dalam keseharian, ada yang dihuni dengan kegiatan sumbayang ampek puluah oleh orang tua-tua. Dan yang pasti setiap bulan safar ramai dikunjungi oleh penziarah untuk melakukan ritual safar yang telah mentradisi. Umumnya penziarah ini beraliran tariqat Syatariah, sesuai dengan tarikat yang dikembangkan oleh Burhanuddin.
2. Darek Dalam Konstelasi Adat Minangkabau
Darek merupakan daerah geologis alam Minangakabau, yakni tempat pusat adat dipancarkan, tempat berkembangnya adat, yang ditandai dengan kedigdayaan pusat kerajaan Minangkabau di Pagruyung. Sekaligus sebagai daerah pertanian yang suburt.
Yang terpenting adalah; darek pusat kultural Minangkabau yang dibangun oleh tiga kekuatan Luhak, yakni; Luhak Nan Tuo, Agam dan Lima Puluh Kota. Luhak Nan tuo, merupakan luhak yang paling tua, dan sekaligus menjadi pusat dari kerajaan alam Minangkabau dimana Pagaruyung sebagai metropolisnya dan sekaligus menjadi nama kerajaan, yang diperintah oleh raja pertama yang bernama Aditiyawarman.[6]
Kerajaan Pagaruyung diperintah oleh raja yang beragam Islam baru ketika, Raja Sultan Alif[7]. Dalam catatan sejarah ketika masa raja inilah Islam di Minangkabau ditancapkan sebagai, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Berdasarkan dimensi sejarah ini, ada yang menyimpulkan bahwa Islam sebenarnya sudah diterima oleh masyarakat Minangkabau semenjak kekuasaan Raja Alif.
Bahkan di masa ini struktur kekuasaan raja dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni raja ibadat dan raja adat. Raja ibadat bertugas untuk membumikan syariat, sedangkan raja adat berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap pelestarian adat Minangkabau itu sendiri. Kedua raja ini, tetap di bawah kekuasaan raja Alam Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung.
Di samping itu, darek juga telah meletakan dasar adat basandi syarak, starak basandi kitabullah, dengan dilakukannya perjanjian kesepahaman antara kaum agama dengan kaum adat di Bukit Marapalam pada tahun1668. Perjanjian itu merupakan momentum diterimanya Islam sebagai agama bagi masyarakat Minangkabau. Dengan diterapkannya norma kehidupan tradisional cupak[8] nan dua yang terdiri dari cupak usali dan cupak buatan. Cupak usali (takaran yang asli) yaitu norma-norma agama sebagai pegangan hidup yang tidak dapat digugat atau dalam istilah pembagian adat disebut dengan adat nan sabana adat. Sedangkan cupak buatan (takaran yang dibuat) adalah norma yang dibuat secara bersama oleh manusia dan kemudian dikodifikasi menjadi sumber hukum, inilah yang disebut dengan adat nan diadatkan.
3. Adat Menurun, Syarak Mandaki
Dari dua kutup dan kultur darek dan rantau di atas dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa adat adalah kekuatan yang terpancar di bumi darek, sedangan agama adalah kekuatan yang memuncrat dari rantau. Dua kekuatan itu dalam perjalanannya saling mengisi dan saling melengkapi.
Wilayah rantau, sebagai wilayah perkembangan Islam, membentangkan sayap ke Islamannya ini ke bimi darek, sehingga Islam diterima sebagai agama oleh orang darek, begitu pula dengan adat ia diturunkan oleh orang darek ke pesisir atau rantau. Makanya dalam konteks ini disebut dengan adat manurun (turun) dan syarak mandaki (mendaki).
Proses menyeberangan adat ke pesisir tentu tidak bisa dilepaskan dari proses interaksi antara komunitas pedagang darek dengan pedadang pesisir. Sementara itu penyebaran Islam ke darek dipengaruhi oleh murid-murid Burhanuddin, yang telah selesai ‘nyatri” dengannya. Kemudian kembali ke kampung halaman mendirikan cabang-cabang sekolah (surau) yang sealiran dengannya.[9]
Di samping itu, juga berkembang pusat studi Islam yang dikomandoi oleh Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo tahun 1784, menurut catatan sejarah pada awal berdirinya surau Tuanku Nan Tuo memiliki murid lebih dari 1000 0rang[10], yakni jumlah yang sebanding dengan jumlah murid Burhanuddin, sang guru dari Tuanku Nan Tuo. Sepak terjang Tuanku Nan Tuo, ini merupakan langkah awal di daerah darek membangun sebauah perkampungan santri, sekaligus merupakan agant transformasi sosial kultural masyarakat petani menuju keberagamaan.
Sementara itu, pengaruh adat yang dimunculkan di darek tidak sepenuhnya berakar di pesisi atau daerah rantau pariaman; hal ini dapat dilihat dari perbedaan-perbedaan gelar yang diberikan. Di darek gelar berkaitan langsung dengan adat, yang diturunkan dari seorang mamak kepada kemanakan, sementara di rantau terutama rantau pesisir Pariaman, gelar itu diturunkan dari seorang bapak kepada anak laki-laki; gelarnya hanya terdiri dari tiga sebutan yakni; sidi, bagindo dan sutan [11].
Gelar ini, dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Terutama sekali akibat ada kontak Syi’ah dengan masyarakat pesisir. Kontak tersebut terjadi sekitar abad ke 6 atau 7. Bukti terjadinya kontak dengan Syiah ini, dapat dilihat dari tradisi tabuik yang digelar oleh masyarakat Pariaman setiap tanggal 10 Muharram;. Tradisi Tabuik, adalah memperingati kematian dari cucu Nabi Muhammad di Padang Karbala.
Berkaitan dengan ini Y.A Puar menyimpulkan bahwa Islam sebenarnya sudah masuk ke pesisir Timur Minangkabau sejak abad ke-7, namun terhenti dan hilang pengaruhnya, kemdian terjadi hubungan dengan Syi’ah. Namun, banyak yang belum terungkap tentang peran Syi’ah di Minangkabau, sehingga ada meragukan kehadiran Syi’ah di Minangkabau, bahkan ada yang lebih ekstrim seperti Baroroh Baried menyebutkan bahwa Syi’ah tidak punya pengaruh di kepulauan Melayu[12].
B. Peran Ulama
1. Pada masa awal Islam di Minangkabau
Trimingham dan Taufik Abdullah melihat bahwa penyebaran Islam di dalam masyarakat manapun, termasuk di Nusantra melalui tiga tahap penyebaranan, oleh Trimingham tahap pertama di namakannya dengan tahap kangah, sedangkan Taufik Abdullah dinamakan adanya varian Pasai[13].
Pada tahap pertama ini, Islam baru diperkenalkan dengan dasar-dasar Islam, yang terangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam tahap ini, dimonasi perkenalan ajaran Islam adalah masalah hukuman dan balasan Tuhan terhdap perbuatan yang dilakukan manusia. Kiyai atau ulama dan Tuanku[14] lebih intens memperkenalkan hukum ibadah terhadap pengikutnya. Oleh sebab itu pada tahap awal ini, tariqat berkembang dan menjadi trend eksklusif bagi penganutnya.
Sementara itu, kajian terhadap yang lain dalam artian kajian-kajian penjabaran Islam sebagai ajaran yang holistik belum begitu menjadi perhatian, termasuk dalam pendidikan. Misalnya, dalam catatan Deliar Noer[15] dikemukakan sebelum terjadinya pembaruan di Minangkabau, banyak ulama-ulama surau terfokus pada kajian-kajian klasik dan hafalan-hafalan, seperti menghafal sifat dua puluh dengan lantunan nyanyian sehingga enak didengar.
Pada tahap ini pula, pergumulan pengamalan Islam dan adat kebiasaan pengikut Islam belum tegas dipisahkan, sehingga pada pengamalan masih dibayang-bayangi oleh sinkritisme. Kondisi ini, terjadi dimungkinkan karena Islam datang tidak secara meliterisme yang tegas, tetapi Islam datang dengan lunak dan jinak. Di samping itu pada masa awal itu, literasi Islam lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan magis, Islam seperti ini Menurut Gellner, lebih populer disebut dengan folk Islam atau low Islam atau populer Islam[16].
Lebih lanjut dijelaskan ciri-ciri folk Islam itu adalah;
Jika dalam dokrin Islam skriptual ditekankan pentingnya literasi dalam folk Islam dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan magis dari pada kepentingan ke ilmuan. Singkatnya folk Islam lebih menekankan magis dari pada Ilmu; ekstasi daripada pengalaman ketentuan-ketentuan hukum Islam . Institusi terpenting folk Islam adalah perikatan-perikan longgar-tetapi eksklusif yang berpusat dari seorang individu yang nyaris dipandang suci, sehingga sering menciptakan kultus indvidu.[17]
Kondisi fiolk Islam ini, menyebabkan ulama, kiyai atau Tuanku sering memainkan banyak peran, selain sebagai dikenal tokoh agama ia juga diyakini sebagai tabib, peramal dan seterusnya, sehingga pengikutnya meyakini literasi yang dikuasai oleh ulama dapat dipergukana sebagai kekuatan magis. Maka ulama sering didatangi pengikutnya tidak saja berkaitan dengan masalah ke Islam-an tetapi juga menyangkut, kemagisan yang dimiliki oleh ulama tersebut. Dengan keserbabisaan ulama ini, maka ulama atau kiyai itu dikultuskan, bahkan ada yang menyebut nabi. Di Minangakabu kultus itu pun juga ada, seperti kultus terhadap aliran tariqat. Seorang ulama, mempunyai otoritas terhadap suatu tariqat, misalnya ulama Ulakan; yang dipelopori oleh Burhanuddin biasanya dikultuskan oleh pengikutnya sebagai orang “suci” dalam tariqat tersebut, dan ia bisa dimintai petunjuk dalam masalah apa saja.
Sjech Burhanuddin
Ada dua pendapat yang bisa dipegang tentang kapan masuknya Islam ke Minangkabau, pertama pendapat Hamka yang menyatakan Islam telah masuk ke Minangkabau sekitar abad ke 7 Masehi. Pendapat Hamka ini, bisa dikuatkan melalui sejarah perdagangan orang Arab ke berbagai belahan dunia. Khusus, masalah masuknya Islam awal ke Minangkabau, sebagaimana diceritakan dalam catatan sejarah klasik Mubalighul Islam disebutkan pada dasarnya Islam telah masuk ke Minangkabau pada tahun 580H. Masuknya Islam ini diawali dari sejarah terdamparnya saudagar Arab di perairan Minangkabau, yang kemudian menemukan perkempungan penduduk. Sudagar itu bernama Saidi Abdullah. Mereka diterima oleh penduduk dan sebagai anggota masyarakat. Melalui Saidi Abdullah ini pula Islam diperkenalkan kepada keluarga yang menerimanya. Kemudian kawin dengan putri kepala Dusun yang konon kepala dusun tersebut berasal dari keturuna raja Pagaruyung. Dusun yang dihuni dan sekaligus sebagai tempat penyebaran Islam itu adalah kampung durian yang terletak dipinggir kota Padang Sebelah Timur. Namun, setelah Saidi Abdullah meninggal, maka terjadi kekosongan-kekosongan penyebaran Islam, bahkan masyarakat kembali kepada agama lamanya[18].
Sementara itu ada yang menyebutkan pada abad ke 13 seiring dengan penguniversalan masuknya Islam di Nusantara dengan berdirinya kerajaan Samudara Pasai. Namun, perkembangan Islam di Minangkabau selanjutnya ditandai dengan diperintahnya kerajaan Pagaruung oleh Raja Sultan Alif yang beragama Islam pada abad 16.
Perkembangan Islam pada masa awal; kajian sejarah lebih terfokus pada peran Burhanuddin, setelah ia kembali menuntut ilmu bersama seorang guru di Aceh yang bernama Alkalani Amin bin Abd Rauf Singkil Al Jawi bin Alfansyuri. Kehadirian Burhanuddin, pada masa awal ini disebut-sebut sebagai peletak dasar Islam di Minangkabau, namun jika menilik pada alur sejarah, sebelum itu Islam sudah hadiri di Minangkabau tetapi akibat tidak adanya survivalisme maka agama Islam dalam pengamalan masyarakat Minangkabau mengalami pasang surut.
Burhanuddin dengan pendidikan suraunya, telah mengembangkan tradisi ke Islamam. Murid-murid yang telah selesai belajar di surau Burhanuddin, juga mendirikan surau ditempat lain atau dikampung halamnnya, transmisi dan diffusi agama ketika ini kuat dilakukan oleh murid-murid Buhanuddin. Oleh sebab itu revivalisme ajaran seorang ulama menyebar dan murid-muridnya sangat fanatik terhadap ajaran gurunya.
Pada masa ini, surau sangat identik dengan ulama. Ulama melangsungkan pendidikan dan membentuk jemaah di surau. Bentuk pendidikan yang dilangsungkan sederhana. Namun, dalam catatan sejarah pendidikan di Minangkabau, pendidikan surau belum terlihat dikalsifikasikan seperti halnya perkembangan pondok pesantren di Jawa. Di jawa kata Soedjoko Prasodjo, et.al ada lima pola pesantren mulai dari sederhana samapai pada yang modern. Lima pola itu adalah Pola I; pesantren terdiri hanya dari masjid dan rumah kiyai. Pola II terdiri dari masjid, rumah kiyai dan pondok. Pola III, terdiri dari masjid, rumah kiyai dan madrsah. Pola IV, yakni masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah dan tempat keterampilan. Pola V yakni masjid , rumah kiyai, pondok, madrsah, tempat keterampilan, universita, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.[19]
Pendidikan surau Burhanuddin sama dengan pola surau besar (masjid-pondok), rumah kiyai dan surau kecil(tempat keterampilan dan penginapan). Surau besar, bisanya surau tempat berlangsungnya pendidikan secara bersama, ulama mengajar disini, ia sekaligus pemilik surau. Sedangkan surau kecil yakni, tempat tinggal santri. Di surau kecil ini berlangsung juga pendidikan, dimana murid yang senior mengajarkan murid yunior atas persetujuan ulama (guru). Di surau kecil ini santri tingal sehari-hari dan di surau kecil ini pula murid melakukan berbagai aktivitas untuk mematangkan dirinya.
Surau besar/Masjid
Rumah Ulama/Kiyai/Guru
Surau kecil/penginapan santri
jemaah
Gambar: Pola pendidikan surau Burhanuddin
2. Tahap Penyebaran lslam
Dalam tahap penyebaran Islam kedua oleh Trimingham dinamakan dengan tahap tariqah. Dalam perpektif Trimingham, pada fase ini berkembang aliran-aliran mistis dan diiringi dengan munculnya pendidikan sufi. Di sini literasi masih banyak dipergunakan dalam kepentingan mistik, ketimbang kepentingan keilmuan.
Namun, dalam fase ini sudah mulai muncul kelompok konservatif dari generasi peratama. Kelompok konsevatif tidak siap menerima fenomena keberagamaan yang sinkretisme. Bagi mereka agama dipahami sesuai dengan informasi literasi, mungkin gerakan pembaruan dan pemurinian Islam yang dilakukan oleh Wahabi, bisa diletakan dalam konteks ini.
Peran ulama, terpecah menjadi dua; yakni ulama yang beraliran folk Islam dan ulama konservatif. Ulama konsevatif di Minangkabau disebut ulama pembaru. Ulama konservatif lahir, setelah terjadinya kontak Minangkabau dengan Mekkah, hal ini terjadi sekitar tahun 1784-1803 atau disebut juga dengan Gerakan Kebangkitan Islam pertama di Minangkabau.
Kontak ke Islaman ini terus terjadi, apalagi setelah adanya pengaruh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, terhadap generasi muda Minangkabau untuk menuntut ilmu di Mekkah. Pada masa ini, di dunia Islam terjadi gerakan pembahruan Islam yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1792).
Gerakan ini, lebih kental disebut dengan gerakan pemurnian Islam, di kalangan umat Islam Minangkabau kelompok pemurnian dikenal dengan ulama konservatif Hariamau Nan Salapan[20]. Kelompok ini melihat, bawa Islam di kalangan masyarakat Minangkabau masih bercampur aduk antara adat kebiasaan yang sinkretisme dengan ajaran Islam, oleh sebab itu diperlukan pemurnian ajaran Islam, yang disebut dengan puritan. Gerakan puritan, secara langsung atau tidak langsung menjadi cikal bakal pergerakan nasionalis.
Puritanisasi
Diberbagai daerah penebaran Islam, pada umunya ada tokoh sentral yang mempengaruhi diterimanya Islam sebagai agama oleh masyarakat. Tokoh sentral ini, sangat penting artinya. Ia adalah figur yang dikultuskan sebagai agent of knowledge. Dalam masa pembaruan-pemurnian Islam di Minangkabau, agaknya tokoh kunci ini tidak terlepas peranannya.
Pada proses penyebaran Islam ke dua ini, lebih disebut dengan proses puritanisasi[21]. Puritanisasi ini dalam catatan sejarah Minangkabau, menjadi bakal gerakan nasionalisme yang tergabung dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke ranah Minang. Diantaranya Haji Miskin, ia pergi ke Mekkah dengan teman-temannya, ketika itu berlangsung gerakan pemurnian. Gerakan ini menjadi inspirasi pergerakan, sehingga kepulangannya di ranah Minang bergema gerakan pemurnian Islam.
Semula, gerakan yang dilakukan Haji Miskin ini tidak bisa diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar[22] yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago.Di samping itu, kekerasan Haji Miskin, sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang prontal, misalnya Haji Miskin dan pengikut pernah terlibat perkelahian dengan kelompok yang yang tidak sealiran dengannya. Dalam perkelahian ini, kelompoknya kalah dan Haji Miskin Melarikan diri ke Bukit Kamang.
Walaupun puritanisasi sering gagal dan sering tidak diterima oleh masyarakat, namun pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya, menemukan seorang teman yang selairan dengannya (yang menerima gerakan pemurinian) yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini, nampaknya pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakan syraiat Islam dengan mencontoh tatanan Wahabi, dalam kotbahnya selalu menyerukan jihad yang teringeral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya ini dengan membunuh kakak perempuan ibunya, gara- gara mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syriat. Kemudian, gerarakan militannya menjalar menembus pembasmian paraktik-praktik jahiliyah lainnya yang masih mengkontaminasi masyarakat.
Gerakan-gerakan puritanisasi ini, kelihatannya secara bertahap mulai bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau. Terutama,ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan puritanisasi juga mulai merambah menjadi gerakan perjuangan, melawan strategi penjajahan Belanda, maka di terbentukalah gerakan Paderi, yang secara terorganisir terlihat ketika Tuanku Imam Bonjol dalam menentang penajajahan Belanda.
Menurut Schrike seperti dikutip Taufik Abdullah menyatakan gerakan Pederi ini merupakan revolusi pemimpin agama yang kecewa di dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dan hirarki sosial[23]. Revolusi ini, tidak sia-sia. Selanjutnya dikatakan Taufik Abdullah semakin mengokohkan Islam di Minangkabau, bahkan mencoba menstrukturisasi kepimpinan dalam Islam dengan formulasi islamisasi[24].
Dalam istilah Greetz, revolusi itu sebutnya sebagai revolusi skriptualisme[25]. Menurut Geerz, kaum revolusiner skriptualisme ini di nusantra menjadi cikal bakal pergerakan perjuangan untuk kemederdekaan bangsa. Inilah yang terpenting dalam gerakan keagamaan sebelum kemerdekaan, di Indonesia. Bahwa kemerdekaan sangat besar dipengaruhi oleh move achievment kaum skriptualisme.
Peran ulama, mempunyai doble legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, yang kedua ulama mengambil peran sebagai kelompok integritas kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau; Jihat hati dan jihat lidah dan tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci.
3. Tahap Modernisasi
Dalam beberapa penelitian keagamaan yang diadakan sosiolog, tercermin bahwa agama adalah memodofikasi sikap modernis terhadap umatnya. Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Misalnya Weber, Robert N. Bellah dan Califord Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya(semuanya terangkum dalam kabolasi makna modernisasi). Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Ricahrdson disebutnya sebagai felt whole “perasaan kemenyeluruhan” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun. Dan itu dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.[26]
Weber melihat, modernisasi ekonomi lahir dari etika protestan. Bellah juga menemukan, kemajuan politik, budaya di jepang tidak dapat dilepaskan dari sprit Tokugawa. Di Nusantra kata Geertz agama telah memberikan move perjuangan untuk menuju kemerdekaan. Ini merupakan fakta sosial yang telah dijenearal dalam teori ilmuan.
Namun, yang terpenting di sini adalah aktor atau “penabuh” inspirator agama itu, inilah yang dinamakan dengan missionaris atau ulama dalam kancah keislaman. Dalam masyarakat Kristen misalnya, Calvin bisa dikatakan sebagai agent atau aktor yang sangat berjasa dalam memoderniskan pengikut agama tersebut. Menurut Calvin, umat kristen harus mengungkapkan keimanan mereka dengan cara ambil bagian dalam kehidupan sosial dan politik, bukannya dengan cara menyepi di biara. Al kitab bukanlah berisi sekedar informasi tersurat tentang geografi atau kosmologi, Al kitab berusaha memberikan kebenaran hakiki dalam bahasa yang bisa dipahami nalar manusia yang terbatas[27].
Fenomena itu, memberikan isyarat umat agama sering terjebak kedalam kontek pemahaman literasi yang picik, oleh sebab itu para agamawan atau ulama haru memodernisasi pemahaman kedalam konteks yang sui generis, sehingga agama tidak terasing di tengah perubahan masyarakatnya. Akibat pemahaman literasi yang sempit itulah, barangkali para pengikut Marx mendefenisikan agama ke dalam defenisi yang diskursus domana agama dituding sebagai candu masyarakat.
Ketika inilah dibutuhkan “penerangan” agama holistik dan terintegral, dimana agama tidak hanya sebagai “penenang jiwa” tetapi juga harus dijelaskan sebagai sumber dari tata sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah Islam, perkembangan sains sudah mulai dibentangkan, dimana agama membenarkan dan memberikan informasi sains tersebut, kewajiban pengikutnyalah untuk mengolah informasi tersebut.
Semenjak diterima filsafat dalam kahazanah perkembangan sains Islam, setidaknya sudah terlihat kearah pembuktian keholistikan dan keintegralan pemahaman ajaran agama tersebut. Bagaimana, Ibnu Sina, Alfarabi, Ibnu Rusy dan sterusnya membuktikan kehadapan publik bahwa agama tidak hanya berkutik dalam “ranah” penyepian yang hanya membicarakan alam setelah mati, tetapi agama juga sarat dengan firman Tuhan yang membangun hidup kekinian.
Namun, karena umat membangun agama itu sebagai “monumen” yang sudah final dan tidak bisa diautak-atik lagi, menyebabkan pemahanan terhadap informasi yang ada dalam literasi, agak kaku dan bahkan cendrung diterima apa adanya, tidak diberi hermeneutik, sehingga menyebabkan agama terasa kaku dan tidak “mengerti’ dengan konteks zaman. Di sinilah ketertinggalan komunitas, ia lebih membicarakan firman Tuhan sebagai konteks “penenang” jiwa, ketimbang menjadi sumber dari sains dan ilmu pengetahuan, seperti kasus folk Islam yang dijelaskan Gellner.
Proses modernisasi, dalam merubah identional diperoleh melalui dua cara; Pertama, melalui injection mativation, dan kedua melalui revolusi think tank. Pada kasus modernisasi pertama, lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam isntitusi pendidikan sangat pengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau, dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal Minangkabau. Akhirnya terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah, yang kelasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini, diantarannya jech Ahmad Khatib, Sjech Taher Djaluddin, Sjech Muhammad Djamil Djembek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad[28].
Kedua, mengilhami modernisasi itu adalah revolusi think tank, yakni gagasan pembaruan yang datang dari tokoh-tokoh pemikir yang tidak siap menerima ketertinggalan kelompoknya dalam meratas percaturan dunia. Menurut kelompok ini, ketertinggalan itu bisa diatasi melalui pengotimalan pemahaman ajaran Islam. Dalam pandangan kalangan modernis Islam ini, ketertinggalan umat islam merupakan kesalahan umat Islam itu sendiri, karena memahami agama secara picik dan kepicikan berfikir.[29] Di samping itu, enggan menerima pluralitas sebagai khazanah dan fitrah budaya. Kemudian, menjadikan perbedaan sebagai konfrontatif yang melelahkan.
Setting kelompok modernis Islamisasi, tidak terjebak dalam pemikiran ke Islaman yang sempit, biasanya lebih mementingkan kesimbangan pemahaman tariqah dengan syriahI[30].Tariqah merupakan pemahan keagaman menuju kekayaan bathiniah, sedangkan syriah adalah hukum yang harus didekontruksi oleh Islam dalam kehidupannya. Perpaduan ini lebih tepat disebut dengan keseimbangan antara eksotoritik dengan esotorik.
Dalam hal ini, yang lebih tegas dilakukan oleh kelompok modernis Islami adalah meletakan Islam sebagai idologi atau pardigma dalam tranformasi sosial.[31]Tugas ini lah yang harus dilakukan oleh agamwan atau ulama.
Tidak semua ulama yang dapat menjalankan missi tersebut. Tugas ini, kemudian banyak diambil alih oleh kelompok akademisi, yang terdidik dan menaruh perahtian terhadap Islam. Era ini di Minangkabau sangat terlihat pada zamannya Hamka, Hatta dengan gerakan ekonomis sosialis Islam[32],
Modernisasi Islam, dipahami sebagai paradigma pemikiran[33] umat Islam, bukan membangun defenisi Islam yang baru. Di lihat dari alur pemikiran lahirnya, paradigma ini disebabkan ketidak “relaan” kelompok pemikir ini terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam itu sendiri dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata.
Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini, sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam ini lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan, bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern di Minangkabau.
Modernisasi Islam, lebih menekankan pada pembentukan karakteristik umat Islam untuk memanifestasikan hidup dengan konteks keberagamaan yang sesungguhnya[34]. Oleh sebab itu, diperlukan pengajaran dan sisitem pendidikan agama yang signifikan terhadap tujuan tersebut. Maka dalam modernisasi awal ini, sangat kentara terjadinya pembaharuan-pembaharuan isntitusi, organisasi ke Islaman, seperti lahirnya madrasah-madrasah dengan pola modernis dan munculnya organisasi plat form Islam.
Di Minangkabau, dimulai dengan menukar sistem surau yang tardisional dengan sistem pendidikan modern, yang mengenal kelasikan, berijazah dan memiliki kurikulum yang terarah. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Eksistensi sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau[35].
Pada masa modernisasi Islam awal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan ulama untuk membangun ke Islaman umat, yakni pendekatan pendidikan dan pendekatan pergerakan. Pendekatan pendidikan; lebih tertuju pada perubahan idetional dalam generasi muda. Sedangkan pendekatan pergerakan, di dalamnya tercakup pembentukan jemaah dan institusi Islam yang progresiv, seperti organisasi-organisasi ke Islaman.
Pendidikan yang dikelola oleh ulama-ulama konservatif ini, setidaknya telah melahirkan peta pemikiran ke Islaman Minangkabau sekaligus terjadinya pergeseran pemikiran Islam dari folk Islam ke modernisasi Islam. Lahirnya madrasah-madrasah modernis ini, secara langsung atau tidak langsung jelas menjadikan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan[36].
Sementara itu, ulama pada masa modernisasi Islam ini terbagi menjadi dua kutup, yakni ulama kaum muda dan kaum tua. Ulama kaum muda yakni ulama-ulama modernis dan konservatif, biasanya ulama-ulama punya view oriented, dan mereka terpengaruh oleh konsep-konsep pembaruan dari luar.Sementara kaum tua, ulama yang masih bertahan dengan konsep-konsep surau masa lalu, serta masih mempertahankan tradisi ritualisasi-ritualisasi keguruan.
Bagi kelompok ulama modernisasi Islam, agama itu diaplikasikan secara realistis. Agama ditujukan untuk pemberdayaan umat secara keseluruhan. Dalam masa awal ini, konseptual itu belum sepenuhnya terkembang, karena masih terkendala oleh sistem penjajahan. Di samping itu, madrasah-madrasah yang dikembangkan hanya baru bergerak dengan sistem pendidikan yang teoritik keagamaan dan belum dilengkapi dengan skill education.
Akibatnya, ketika terjadi perubahan terutama berkembangnya pasar dalam sistem ekonomi masyarakat Minangkabau, alumni surau-madrasah sulit mengikut perkembangan ini. Inilah salah satu kelemahan.
4. Tahap Perubahan
Madrasah-madrasah yang didirikan oleh ulama-ulama konservatif ini, secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap mentalitas masyarakat Minangkabau. Pertama, pengaruh terhadap pendidikan keagamaan, sehingga mampu melahirkan kaum santri dan ulama. Kedua, berpengaruh terhadap mentalitas. Pengaruh ini, berimplikasi terhadap gaya hidup(life style) dan cara berfikir.
Secara langsung atau tidak langsung pengaruh tersebut menjiwai terhadap lahirnya sebuah pergerakan yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pergerakan nasional, inilah yang disebut oleh Geertz sebagai revolusi kaum skriptualis. Di Minangkabau, dari data sejarah menunjukan banyak pergerakan-pergerakan lahir dari kaum surau yang terdidik ini. Pergerakannya tidak saja beraikatan dengan keagamaan saja[37]. Oleh Azyumardi Azra disebut dengan ortodoksi skriptual[38]. Ortodksi skriptual ini, berlangsung sekitar abaq ke-17.[39]
Walaupun demikian, pada masa pergerakan ini ada kegamangan bagi kaum surau, terutama kegamangan dalam melilihat perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik yang berkembang. Di tambah lagi semakin diterimanya sekolah-sekolah modern oleh masyarakat. Kondisi ini, semakin meminggirkan pendidikan surau. Apalagi setelah banyaknya tamatan-tamatan sekolah modern mendapatkan kerja yang mapan, maka sekolah-skolah modern menjadi sasaran pendidikan bagi orang Minang.
Semenatara itu sistem pendidikan surau-madrasah, masih bertahan dengan sistem yang ada, tidak mencari terobosan-terobosan untuk mengimbangi. Sistemnya masih terpaut dengan kajian-kajian tekstualitas (skriptualisme) dan belum menjauh kearah pengembangan-penjabaran tekstualitas dalam kontekstual[40].
Sistem pendidikan seperti ini, sebenarnya cukup lama berlangsung dalam peradaban Islam, bahkan pada masa peradaban semangat Islam konsevatif ( Ustmaniyyah, Safawiyyah dan Mongol)pun belum banyak terjadi perubahan sistem pendidikan Islam[41]. Kecendrungan konservatif ini (ortodksi spritual) adalah dalam sistem pendidikan adalah, menekankan pada moralitas dan literasi. Sementara kurang menerima pemikiran yang radikal. Dengan gamblang Karen Amstrong membeberkan; kebanyak pendidikan saat itu hanya berupa hapalan, sehingga tidak mendorong orisinalitas. Para siswa tidak diajarkan untuk memahami gagasan baru secara radikal, karena masyarakat luas tidak dapat menerimanya. Gagasan baru dianggap mengganggu tatanan sosial dan membahayakan masyarakat. Pada masyarakat konservatif stabilitas dan keteraturan sosial dianggap lebih penting dari kekebasan berekspresi.[42]
Pergeseran cara pandang ini, terus berlanjut. Oleh sebab itu Muhammad Syefei dan Abdullah Ahmad menerobos jalan yang berbeda dengan pendidikan surau-madrasah. Muhammad Syafei, mendirikan sekolah keterampilan, yang diberinya nama Institut Nasional Syafei di Kayutanam. Abdullah Ahmad mendirikan Adabiah, sebagai sekolah modern. Pada masa ini, kaum surau-madrasah mendapat tantangan yang signifikan dari sekolah-sekolah modern.
Pemikiran-pemikiran ke Islaman pun mulai bergeser, dari pemikiran ke Islaman klasik sampai pada temporer karena perubahan sosial melahirkan fenomena-realita yang baru. Untuk menerangkan ini, jelas dubutuhkan keterpaduan ilmu reliji dengan pengetahuan terhadap perubahan tersebut[43]. Namun, karena ulama masih terpaut dengan tradisi lama, maka perubahan-perubahan yang begitu cepat kurang terakses oleh wilayah agama. Dan kontrol masyarakat pun tidak banyak memainkan peranan.
Kondisi ini tidak saja dirasakan dalam masyarakat Minangkabau, di Jawa pun mengalami kondisi yang sama,keunggulan kiyai adalah kemampuan untuk hadir ditengah-tengah masyarakat luas, mampu mengkombinasikan pikiran keilmanannya dalam bahasa jelata, serta sanggup membangun kekuatan jemaah yang real dan kohesif. Tapi sayang belum diperlengkapi dengan perangkat teologis yang lebih transformatif. [44]
Kondisi ini pula yang menyebabkan surau-madrasah ketika itu, kurang diminati oleh masyarakat, karena keilmuan ke Islamannya belum transformatif. Akibatnya, madrasah-surau lebih banyak bertahan dikalngan masyarakat pedesaan.
Sementara itu di perkotaan, sekolah-sekolah modern diakses dengan begitu cepat oleh masyarakat seiring dengan bergulirnya sistem ekonomi pasar yang menghendaki manusia sebagai “mesin” pencetak uang. Dan keterampilan, untuk mencetak uang itu lebih terkonsentrasi pada sekolah modern.
Secara langsung atau tidak langsung, wibawa surau-madrasah mulai terpinggirkan. Kebanggan terhadap generasi yang mempunyai ilmu agama yang tinggi mulai dikalahkan oleh kalangan yang tedidik dan mempunyai penghasilan-jabatan yang memadai. Inilah fenomena traumatik sosial, terlihat pada masa-masa perubahan di Minangkabau. Seiring dengan itu, tradisi pemikiran ke Islaman terpecah dalam dua kubu, yakni tradisi pemahaman keagamaan tradisional dan modern. Tradisional lebih banyak berkembang di pedesaan dengan mempertahankan sistem pendidikan surau-madrasah. Sementara, pemahaman modernisasi ke Islaman, jelas berkembang di perkotaan, yang dijabarkan oleh ulama yang mampu mengakses pembaharuan dan perubahan.
Pada tahap perubahan ini, perubahan pemikiran pun tidak bisa dipisahkan dari proses modernisasi. Pemikiran ke Islam-an, tidak lagi berada dalam otoritas ulama-surau-pasentren, tetapi juga berpindah pada intelektual akademisi. Transformasi pemikiran ini, secara langsung atau tidak langsung telah membangun dua komunitas pemikiran keagamaan, yakni komunitas pemikiran tradisional dan modern. Komunitas pemikiran tradisional, lebih berkembang di pedesaan, di surau-usurau ulama tradisional. Semenatara kelompok intelektual, lebih berkembang di perkotaan.
C. Telogis Transformatif
Menarik untuk dikutip apa yang dikatakan tentang teologi transformatif[45] ini; yakni kalangan yang menghendaki realita dibaca dengan kacamata Islam sambil itu dicarai praksisnya. Esensialnya, ada hubungan dalektis antara ideal Islam dengan realita. Tujuannya sangat kuat untuk merubah fakta sesuai dengan cita-cita Islam[46].
Teologi transformatif, mencoba memahami ortodoksi dengan holistik. Realialita, fenomena dan fakta harus selesaikan atau dibawa pada kancah ide-ide Islam. Dalam konteks yang sama, Kuntowijoyo menerangkan ide-ide agama yang terdapat dalam Al-quran seharusnya dijabarkan kedalam realita, sehingga ortodoksi tersebut mampu menjadi transformasi sosial. [47] Namun, ketidak mampuan menjabarkan ortodoksi tersebut, telah membuat Islam terpeti emaskan dalam hingar bingar realita sosial, sehingga Islam hadir kehadapan kita bagaikan “monumen batu” yang sudah selesai dipahat, hanya sebagai fakta sejarah yang sangat menumental[48].
Setting ini, harus dipahami dan dihayati oleh umat Islam, sehingga umat Islam tidak terkapung dalam kepicikan dan kesempitan dalam memahami Islam itu sendiri. Literasi Islam harus dijabarkan kedalam realita, tidak dikungkung dalam “rumah kaca” pemahaman yang sempit itu. Ketika, umat Islam mengapung literasi dalam pemahaman yang sempit itu, Islam akan terlihat dalam fiqah-firqah yang ekslusif, yang kemudian rentan diterjemahkan oleh dunia luar sebagai kelompok fundamentalisme.
Dalam teologi transformasi, umat Islam dikendaki mendialogkan teologis kedalam realita. Kinerja untuk ini, sangat membutuhkan rasionalisasi pemahaman terhadap ajaran Islam. Bagi Nurcholis Madjid rasionalisasi erat kaitannya dengan modernisasi, oleh sebab itu modernisasi itu keharusan bagi umat Islam, karena modern sangat erat dengan ilmu pengetahuan[49]. Penekan ilmu pengetahuan ini, sudah sangat mendesak untuk rekontruksi oleh umat Islam, sehingga umat Islam tidak ketinggalan.
Malahan untuk kearah itu Kuntowijoyo, mengajukan Al-quran sebagai paradigma, dengan maksud mode of thought, moe of inquiry yang diharapkan bisa menghasilkan mode of knowing[50]. Dimana Al-quran sebagai kontruksi dari pengetahuan. Berdasarkan paradigma ini, dapat disimpulkan, keterbelakangan dan ketertinggalan umat Islam dari segi perdaban disebabkan oleh kesalahan umat Islam dalam meletakan Al-quran sebagai sumber padadigma yang luas.
Berdasarkan cara pandangan ini, maka terpilah dua pemikiran ke Islaman, yakni; mereka yang berlatar belakang tradisi ilmu keislaman konvensional dan mereka yang terlatih dalam tradisi Barat (modernis). Keduanya sangat berbeda mengupas teologi. Bagi kalangan keislaman konvensional teologi sebagai ilmu kalam dengan artian suatu disiplin ilmu yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak, normatif, dan skolastik. Sedangkan bagi aliran ke dua mereka adalah cendikiawan muslim yang mempelajari ilmu keislaman melalui studi-studi formal. Lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realita dalam perspektif ketuhanan, lebih berupa refleksi empiris.[51]
Berdasarkan konstelasi paradigma ini, pemikiran telogi transformatif umat Islam terpecah menjadi dua pula, pertama pemikiran yang tidak menerima kenyataan luar, modernisasi selalu diidentikan dengan Barat, sehingga menahan diri mainstrem modern tersebut. Kedua, intelektual yang dapat menerima modernisasi sebagai suatu realita yang harus dicerahkan dengan teologi transformatif, yang dibangun melalui pengokohan paradigma Al-quran.
Fazlur Rahaman, berkaitan dengan modernisasi membagi lagi dua cendikiawin yakni; cendikiawan yang menerima modernisasi dengan segenap pranata-prantanya. Kelompok lain, menolak mentah-mentah. Dua kelompok ini, sama-sama terperangkap dalam pemahaman Al-quran yang sepotong-potong dan tidak secara holistik. Untuk menengahi dua pemikiran intelektual yang kontradiktif tersebut, kata Fazlur Rahaman dapat ditempuh dengan memahami Al-quran; pertama, mengkaji dan memahami setting situasi atau problem historis, baik yang spesifik maunpun yang makro. Kedua, menjeneralisasi jawaban-jawaban yanga ditemukan, sehingga menjadi paradigma yang sering dinyatakan[52]
Di sinilah letaknya, keterujian intelektualitas Islam dalam menjabarkan Islam sebagai agama peradaban. Namun, keterujian itu belum banyak dibuktikan, sehingga umat Islam masih saja berada dalam warna yang redup dari kemajuan. Perbenturan-perbenturan pun tidak dapat dielakan, karena antara yang satu dengan yang lainnya saling menganggap pemikirannya yang benar. Fenomena ini nampaknya telah melelahkan umat Islam dalam menata masa depannya.
Aliran-Aliran teologis yang dipahami oleh banyak umat Islam, sangat rentan dengan konflik pembenaran. Inilah agaknya penyebab terkendalanya teologis transformatif terlambat diadaptif. Umat Islam masih terseret dalam pertentangan kalaim-kalaim aliran pembenaran. Hal ini, sangat “melelahkan” umat Islam itu sendiri dalam menatap masa depannya. Perbedaan aliran dan organisasi misalnya, menyebabkan mereka terpecah dalam membangun peradaban. Sementara perubahan begitu cepat menawarkan beragam realita dan fenomena.
Khusus di nusantra, keterlambatan berartikulasinya teologis transformatif ini disamping dipengaruhi oleh faktor di atas juga sangat dipengaruhi oleh orientasi dominan hukum yang dibangun oleh umat Islam. Hukum yang dibangun belum seimbang antara pemberdayaan akal fikiran dengan bathiniah, lebih banyak mengambil kapling dalam rutinitas ibadah mahdah, sementara ibadah secara luas terkesampingkan, sehingga umat Islam tinggal dalam ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Ketika ini pula, terjadi pemisahan yang agak menyedihkan antara ibadah dengan realita kehidupan. Ibadah dipahami shalat, puasa, zakat dan naik haji. Sementara menata ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan seterusnya agak dipisahkan dari arti ibadah yang lebih luas. Oleh sebab itu, fiqih ibadah di nusantara lebih populer ketimbang fiqih syisyah, fiqih ekonomi dan seterusnya.
Pada hal, semuanya itu ditata dalam rangka ibadah pada Tuhan. Di sinilah artifisial yang sesungguhnya dari transformasi paradigma Al-quran. Di mana Al-quran berdialok dengan fenomena dan tidak kurung dalam keliterasiannya. Kandungan yang tersirat dalam Al-quran harus menjadi nilai budaya bagi umatnya dan tidak terpisah dari setiap dimensi kehidupannya;
Prinsip Dasar Hidup Manusia
Nilai Budaya
Idiologi Transformatif
Motivasi Usaha
Hakikat Hidup
Paradigma Alquran
Menghasil Karya
Hakikat Karya
Persepsi Waktu
Orientasi Masa Depan
Hubungan dengan Alam
Hubungan dengan Sesama
Hubungan dengan Pencipta
Mengelola Alam
Eksistensi Individuk
Supranatural
Teologis
Gambar: Hakikat hidup manusia, nilai budaya dan teologi
D. Revivalisme Pemikiran Islam
1. Tradisi lokal
Di nusantara tradisi lokal sering dijadikan media dalam penyebaran Islam. Wayang pernah dijadikan media penyebaran Islam oleh Wali Songo. Sementara di Minangkabau, tradisi lokal yang sangat besar artinya dalam penyebaran Islam adalah, surau. Kemudian terjadi Islamisasi surau sebagai institus pendidikan, yang semula dipakai sebagai tempat rutinitas ibadah poliyteisme.
Kedatangan Islam ke Minangkabau menjadikan surau sebagai tempat ritualisasi Islam, kemudian berkembang sebagai tempat pendidikan. Di institusi inilah, revilisme mpemikiran Islam pertama berlangsung di Minangkabau. Surau sebagai akademis ilmu agama orang Minang.
Surau menjadi media diffusi Islam. Ulama-ulama mendirikan surau sebagai tempat penyebaran Islam. Murid-murid yang telah selesai menempuh pendidikan pun mendirikan surau di kampung halamnnya, sehingga Islam di Minangkabau cepat diakses oleh masyarakat. Sekaligus surau semakin populer sebagai media penyebaran Islam, dan yang penting adalah surau telah membentuk karakteristik masyarakat Minangkabau.
Gelombang surau ini, merupakan tonggak sejarah pemikiran Islam di Minangkabau. Dari surau ulama-ulama membangun think tank Islam. Surau menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pendidikan dan pemikiran ke Islaman orang Minangkabau.
Corak dan karakteristik surau sangat ditentutakan oleh otoritas ulama surau. Ulama sebagai pemilik surau membangun tradisi suraunya secara tersendiri. Bahkan surau sangat identik dengan corak pemikiran ke Islaman seorang ulama. Otoritas keulamaan ini kentara terlihat dalam tariqat yang diamalkan oleh ulama tersebut. Dengan tradisi tariqat ini pula sangat mudah mencari link antara surau yang satu dengan lainnya. Surau-surau yang mempunyai aliran traiqat syatariah akan berhubungan dan berkaitan secara emosional dengan penganut traiqat yang sama, begitu pula dengan surau yang menjalankan traiqat naqsyabandiah akan terus menjalin hubungan dengan surau yang sealiran dengannya.
Ulama
(otoritas surau)
Tariqat
Syatariah
Tariqat
Syatariah
Lokus-komunitas masyarakat
Gambar: Link Tariqat Satariyah dalam Tradisi Surau
Ulama
(otoritas surau)
Tariqat
Naqsabandiyah
Tariqat
Naqsabandiyah
Lokus-komunitas masyarakat
Gambar: Link Tariqat Naqsyabandiah dalam Tradisi Surau
Keterkaitan aliran surau ini sangat mudah menjejaki tradisi ke Islaman yang berkembang pada surau, karena link pemikiran dan tradisi yang berkembang selalu menurut alur tradisi guru terdahulu. Tradisi guru menjadi panutan dan dikembangkan oleh murid atau pengikut-pengikut selanjutnya. Diffusi ini secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi tingkat pengamalan keislaman masyarakat
Pada masa ini ada dua kekuatan mendasar membangun tradisi pemikiran ke Islaman di minangkabau, pertama tradisi pendidikan surau dan kedua tradisi tariqat. Pada tradisi pendidikan surau, ulama adalah guru secara akademik, yang memberikan tranfer knowledge. Yakni memberikan pengetahuan ke Islaman kepada murid-muridnya dengan sistem pendidikan kesurauan.[53] Atau dengan sistem salaf.
Guru/
Ulama
Sisltem pendidikan akademik lokal
TRANSFER OF KNOWLEDGE
SURAU
SURAU
MURID
MURID
MURID
MURID
Gambar: Tradisi Transfer Of Knowledge Surau
Tradisi transfer of knowledge yang kedua adalah, melalui kegiatan tariqat. Ulama di Minangkabau pada masa-masa awal sangat terkait dengan tariqat. Tariqat suatu jalan menuju kedekatan dengan Allah. Tariqat di Minangkabau pertama kali di bawa oleh Burhanuddin dari setalah berguru di Aceh, kemudian suraunya di ulakan menjadi otortitas tariqat syatariah di Minangkabau. Tariqat, biasanya tidak terpaut pada guru dan murid saja tetapi sudah menyebar kedalam jemaah.
Tariqat lebih banyak bersentuhan dengan bathin, dalam ritualisasinya diimami oleh ulama yang memiliki aliran tariqat baik naqsyabandiah maupun satariyah. Tariqat mempunyai ritualisasi ibadah salah satunya dinamakan dengan suluk[54].
Guru/
Ulama
TRANSFER OF KNOWLEDGE
TARIQAT
SURAU
SURAU
JEMAAH
MURID
MURID
JEMAAH
Gambar: Ulama surau dan Tariqat
2. Modernisasi Sistem Pendidikan
Tradisi pendidikan lokal, selain membentuk karakteristik pemikiran Islam orang Minangkabau, juga sebagai peletak dasar achievment motivation. Generasi-generasi berpendidikan lokal ini, melanjtkan pendidikannya keberbagai wilayah bahkan ke Mekah dan Mesir. Kemudian mereka inilah menjadi agant pembaharuan di Minangkabau[55].
Sekitar akhir abad 18 dan awal abad ke 19, kelompok pembaharu sistem pendidikan Islam ini, hadir di Minangkabau dan kemudian mendirikan madrasah-madrasah. Perubahan sistem yang kentara terjadi adalah, merubah halaqah berklasikal. Madrasah mengembangkan mata ajaran baru dan tidak hanya belajar membaca Al-quran. Dalam catatan sejarah, sistem modernisasi pendidikan terlihat dengan kehadiran sistem pendidikan madrasi yang berlangsung sejak 1907 dan di Jawa pondok pesentrennya baru mengenal sistem madrasi ini baru pada tahun 1920.[56]
Ketika inilah mulai terjadi, perubahan orientasi sistem pendidikan Islam, dari Islam tektualitas ke pemikiran ke Islaman kontekstualitas, namun karena pengelolaan dan pembiayaan yang masih tradisional, maka madrsaha-madrasah perkembangannya tidak secepat sekolah-sekolah umum yang modern. Di samping itu, pengembangan-pengembangan pemikiran Islam, belum begitu mentradisi di madrasah, sehingga yang terlihat pendidikan Islam diajarkan sebagai hafal-hafalan[57], akhirnya pemikiran yang berbasis teologis transformatif terlambat diakses.
Pada masa ini, pemikiran ke ulamaan dilanjutkan terpecah-pecah, namun secara konseptual masih tetap diwakili oleh tiga komponen penting, yakni; tradisional, semi modernis dan modernis intelektualitas. Tradisional adalah, penjabaran pemikiran-pemikiran klasikal, yakni berupaya memahami teks-teks rujukan, sedangkan semi modernis ini diwarisi dan dijabarkan dengan madrasah-madrasah yang mengkomibinasikan sistem pendidikan modern dengan klasik, yakni ilmu umum diajarkan tanpa meningkalkan pemahaman terhadap teks-teks standar mereka. Sedangkan sistem modern, yaitu dijabarkan melalui akademisi. Yakni, mencoba memahami agama dari kondisi realita, dimana ayat Al-quran dijadikan rujukan untuk mengubah realita tersebut. Ketiga komponen itu, saat ini belum seutuhnya melahirkan teologis transformatif.
PEMIKIRAN
TRADISIONAL
SEMI MODERNIS
MODERNIS
SURAU/
PESANTREN
SURAU/PESANTREN/
MADRASAH
MADRASAH/PESANTREN/
SEKOLAH/
AKADEMIS
THINK TANK
ULAMA/
INTELEKTUAL
UMAT/LOKUS
Gambar: Revivalisme keilmuan/pemikiran
Di Minangkabau, ulama pertama kali mewarisi ilmunya di surau, Surau, dalam masa perkembangannya sekitar abad ke 18 dan ke 19, merupakan laboratorium pendidikan bagi orang Minang. Ulama sekaligus pemiliki surau. Biasanya surau memiliki ciri khas ke ilmuan tersendiri, sesuai dengan ilmu yang dimiliki oleh ulama pemilik surau tersebut.
Sampai saat ini, sistem tradisional masih dijalani oleh ulama-ulama surau. Diantaranya, bisa ditemukan beberapa surau di daerah Pariaman sebagai wilayah pesisir dari alam Minangkabau. Di sini seorang ulama yang bergelar Tuanku mengajar di surau, dengan sistem yang belum berubah. Mata pelajarannya dan buku literatur yang dipakai pun masih seperti yang lama.
Life style, kehidupan santrinya pun “ala” surau, yakni bermukim di surau. Santri diajak mandiri. Di samping itu, santri diperbolehkan untuk berjalan keliling untuk minta sedekah, dengan satu karung kain yang disandangnya. Di tengah masyarakat mereka di juluki oleh masyarakat dengan sebutan fakih atau orang surau. Malahan atribut mereka ini, menyimbolkan kesurauan.
Sementara revivalisme semi modernis berlangsung dengan perpaduan antara sistem modern dengan tradisional. Namun kadang-kadang perpaduan itu terlihat agak dipaksakan, sehingga terkesan madrasah atau pondok pasentren tidak punya kharakteristik. Pemaksanaan mengikuti sistem modernisasi ini, cukup beralasan, yakni, supaya anak anak didik dapat bersaing memasuki dunia kerja. Dengan pemaksaan yang tidak siap, kadang-kadang menyebabkan institusi pendidikan tersebut, tidak eksis dan malahan kalah bersaing.
Pada dasarnya, pencampuran sistem tersebut dilaksanakan dengan tujuan yang baik, yaitu; untuk dapat mengkombinasikan dua sistem yakni tradisional dan modern. Sistem tradisional ditujukan untuk pengisian Imtaq(iman dan taqwa) sedangkan modern terfokus pada Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi-material). Namun, karena pengelolaan yang tidak siap dan sekaligus tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang cukup, maka eksistensinya di ibaratkan dalam pepatah hidup segan mati tidak mau. Akhirnya sekolah-sekolah seperti ini kalah bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya.
3. Idealisme
Setelah UU no 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah diberlakukan, bangkitlah semangat lokal dalam pembangunan daerah. Di Sumatera Barat, pemerintahan terendah kembali pada sistem pemerintahan nagari, dengan tujuan masyarakat Minangkabau diharapkan menata kehidupannya secara mandiri dan didukung dengan sikap kolektifitas.
Di samping itu, ada “proyek besar” yang hendak di selesaikan oleh masyarakat dan tungku tigo sajarangan, yakni mengembalikan mentalitas Minangkabau yang agamis dan intelektual, seperti yang pernah terjadi pada masa sebelumnya. Atas dasar inilah, digagas banyak konsep, diantaranya menghidupkan kembali surau sebagai institusi revivalisme keislaman di tingkat bawah.
Konsekuensi dari revivalisme pemikiran adalah, penyebaran atau diffusi dari pemikiran tersebut, dan bagaimana pengaruhnya terhadap komunitas masyarakat. Ada unsur yang harus diperhatikan dalam rangka mendiffusikan pemikiran tersebut;
sumber
Pesan
Saluran
Penerima
Efek
REVIVALISME
PERUBAHAN
SIKAP MASYARAKAT
Gambar: Diffusi dan revivalisme pemikiran (dielaborasi dari Unsur-Unsur diffusi yang dikemukakan oleh Rogers)[58]
Sumber : penemu,ilmuan, agamwan, agen pembaru
Pesan : Inovasi
Saluran : Media komunikasi: madrasah, sekolah, surau, akdemisi, media masa dll.
Penerima : santri, murid, masyarakat dll.
Effel : Konsekwensi, pengetahuan, perubahan sikap-tingkah laku dll.
Sementara, perubahan-perubahan begitu cepat memasuki ruang dan dimensi kehidupan manusia. Termasuk perubahan life style (gaya hidup) orang Minang. Perubahan ini, sangat berpengaruh terhadap kultur, apalagi kalau kultur itu tidak ditransmisikan atau tidak ditata dalam satu kekuatan normatif. Maka akan mudah terjadi distorsi-distorsi di dalam satu aspek atau komponen kultur tersebut, sebab sistem tidak di sosialisasikan (revivalisasikan), akan cepat hilang; dan perubahan satu sistem juga menyebabkan perubahan terhadap sistem yang lainnya, oleh sebab itu diperlukan, beberapa upaya dalam melanggengkan world view, yang ada dalam masyarakt tersebut. Suatu norma atau world view atau sistem menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan suatu masyarakat, karena di sosialisasikan atau transmisikan kepada generasi selanjutnya. Alat sosialisasi ini, bisa berupa institusi formal dan informal. Dalam perjalanan sistem ke Minangkabau-an bagi orang Minangkabau, kondisi sosialisasi atau transmisi ini hampir terabaikan. Peran institusi adat dan perangkatnya meredup dan tidak sebanding dengan kegencaran tawaran perubahan. Sosialisasi atau transmisi, akan menjadikan adaptifnya suatu norma atau sistem. Di sinilah pentingnya, institusi untuk menjalankan fungsi sosialisasinya.
Sosialisasi, merupakan penjagaan dan pewarisan secara terus menerus terhadap generasi. Pewarisan (revivalisme) nilai, harus dikodifikasi dengan sistem nilai yang adaptif dengan perubahan. Kalau tidak, ada kejenuhan disitu. Inilah sebenarnya yang terjadi dalam lintas sosialisasi atau transmisi budaya Minangkabau terhadap generasi belakangan ini, termasuk dalam hal masalah kondisi objektif pemikiran ulama Minangkabau itu sendiri.
Ketika, ketidak mampuan institusi menjelaskan sistem atau norma yang ada dalam kulturnya, maka kultur itu akan mengalami penipisan apresiasi. Struktur inilah, yang menyebabkan terkesampingnya nilai-nilai lokal, tetapi dalam sejarah perubahan nilai lokal itu disakralkan, kadang-kadang ada upaya untuk kembali. Seperti telase yang berkembang saat ini, orang Minang kembali ke nagari, kembali ke surau dan sebagainya, tetapi esensialnya belum ditemukan. Begitu pula halnya dengan alur penciptaan kembali suasana religiusitas yang pernah dibangun kaum agama di Minangkabau. Dimana Minangkabau telah melahirkan ulama-ulama terkenal dan kemudian menjadi agent transformatif.
Penutup
Ulama merupakan salah satu figur sentral penting dalam pendidikan di Minangkabau. Di Minangkabau ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun building karakteristik Minangkabau yang berasaskan adat basandi syarak, syarak bansandi kitabullah.
Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Pendidikan dalam pergerakan eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbang sih, yakni; sebagai penyebaran aliran, ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini, kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan murid tidak terputus dan dapat ditelusuri. Dalam kultur link seperti ini, sangat mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1971. School and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera 1927-1933. Cornel University. New York.
_______________, 1987. Isalam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. LP3ES. Jakarta.
_______________, (ed), 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta.
Azra, Azyumardi. 2001. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Rosda Karya. Bandung.
______________2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Logos. Jakarta.
______________2000. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekusasaan. Rosda Karya. Bandung.
Bellah, Robert N. 2000. Beyond Belief Esai-Esai Tentang Agama di Dunia Modern. Paramadina. Jakarta.
Boechari, Ibrahim. 1986. Pengantar Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau. Bina Akara. Jakarta.
Daya, Burhanuddin. 1990. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib. Tiara Wacana.Yogyakarta.
Dobbin, Cristine. 1983. Islamic Revivalisme in a Changing Peasant Economy: Central Sumatera 1784-1847. Curzon Press. London.
Djokosurjo, dkk. Agama dan Perubahan Sosial: Studi Tentang Hubungan Antara Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik Indonesia. LPKSM. Yogyakarta.
Durkheim, Emile. 1915. The Elementary From of The Religius Life. New York.
Gazalba, Sidi. 1983. Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Pustaka Antara. Jakarta.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion Islam of Java. Glencoe Illinois. Free Press.
_________ 1973. Islam Observed: Religious Development In Marocco and Indonesia. Chicago: University Chicago Press.
Gibb, H. A.R. 1961. Modern Trends in Islam. Chicago. University Chicago Press
Hamka. 1967. Ayahku. Jayamurni. Jakarta.
________.. 1978. Islam dan Adat Minangkabau. Panjimas. Jakarta.
Harahap, Syahrin. 1997. Islam Dinamis. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Kaddie, Niki R. 1987. “Islam and Society in Minangkabau and in the Middle Eas: Comparative Reflection”, dalam Sojourn Vol. 2 No 1.
Kato, Tsyuoshi. 1989. Nasab Ibu Dan Merantau Tradisi Minangkabau yang Bertarusan di Minangkabau. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur.
Mansur. 1970. Sejarah Minangkabau. Bahtera. Jakarta.
Muzani, Syaiful. 2000. Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat. Zaman. Bandung.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau.. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Nain, Sjafnir Aboe. 1988. Tuanku Imam Bonjol; Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832. Padang. Esa.
Navis, AA. 1988. Alam Takambang Jadi Guru. Aksara. Jakarta.
Nizmi, K.A. 1957. “Some Aspect of Kanjah Life in Medievel India”” in Studia Islamic. No 8
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES.. Jakarta.
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Qalam. Yogyakarta.
Ricklefs. 1981. Sejarah Indonesia Modern. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Rizvi, S.A.A. 1983. A History of Sufism in India. Munshiram Monaraharlal. New Delhi. Vol II.
Schrieke B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat Sebuah Sumbangan Bibliografi. Bahtera. Jakarta.
Siebert, Rudolf J. 1985. The Critical Theory of Religion The Frankfurt School, From Universal Paradigmatic to Political Theology. Mouton Publisher. Berlin-New York-Amsterdam.
Soewardi, Herman. 1999. Dunia Berputar Roda Bergulir Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi.. Bakti Mandiri. Bandung.
The Minangkabau of Malaysia. 2000. Prayer Proile The Miangkabau of Indonesia. Bethany World Prayer Center. Kuala Lumpur. Malaysia.
Tramingham J.S. 1971. The Sufi Order of Islam. Oxford Universty Press. . London
Van Leur, J.C. 1955. Indonesia Trade and Society. Den Haag. Van Hoeve.
[1] Sistem matrilineal masuk kedalam kekerabatan Minangkabau tidak dapat dilepaskan dari faktor sejarah matrilineal India Selatan yang masuk ke wilayah ini. Sistem kekerabatan matrilineal dibawa oleh pedagang India pada masa pra-Islam. Kemudian para pedagang ini bermukim di Pariangan (nagari pertama orang Minangkabau).
[2] Ada tanbo adat dan ada tambo sejarah, tanbo adat menceritakan seputar masalah adat Minangkabau, sedangkan tanbo sejarah menceritakan masalah sejarah yang berkaitan dengan ke Minang-an.
[3] Baca Tsuyoshi Kato, dalam Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Akira Zagazumi, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 1986.h 80
[4] Yakni berkelompok-kelompok duduk bersila mendengarkan ajaran agama yang disampaikan oleh guru.
[5] Baca Dari Rantau Menuju Darek Islam dan Formasi Sosial Di Minangkabau (1650-1945) dalam Agama dan Perubahan Sosial Studi Antara Hubungan Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik Indonesia,Yogyakarta, LKPSM.2001.
[6] Aditiawarman, disebut-sebut sebagai raja pertama Pagaruyung yang beragama Hindu, dalam catatan Kato, Aditiawarman ini mempunyai pertalian darah dengan Dharmasraya.
[7] Raja Alif, diperkirakan berkuasa sekitar tahun 1600 Masehi, berdasarkan hal ini ada lasan bahwa Islam pada saat itu telah menyebar ke wilayah Minangkabau.
[8] Sebuah alat ukur yang dipakai dalam meliterkan beras.
[9] Lhat Taufik Abddullah dalam Islam di Asia tenggara, Perpspektif Sejarah . Jakarta. LP3ES, 1989, h.194.
[10]Baca lebih lanjut Dari Rantau Menuju Darek Islam dan Formasi Sosial Di Minangkabau (1650-1945) dalam Agama dan Perubahan Sosial Studi Antara Hubungan Islam, Masyarakat dan Struktur Sosial-Politik Indonesia,, h.160.
[11] Lihat Silfia Hanani, dalam surau aset lokal Minangkabau. Bandung, Humaniora, 2002.
[12] Lihat Bararah Bried dalam Shiah Elements in Malay Literature, seperti yanh dikutip oleh Sartono Kadirdjo dan dalam Djokosurdjo, dkk.
[13] Djoksurdjo, dkk. Dalam agama dan perubahan sosial
[14] Gelar ulama dalam masyarakat Pariaman.
[15] Lihat, Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942
[16] Lihat Gelner sebagai dikutp Azyumardi Azra dalam Renesains Islam Asia Tenggara, Bandung, Rosda Karya. 2000. H. 23
[17] Ibid, h. 24
[18] Demikian di ceritakan dalam Mubalighul Islam yang dikarang oleh Imam Maulana Abdul Munaf Al-Amin.
[19] Lihat, Soedjoko Prasodjo et al, sebagaimana di kutip oleh Kuntowidjoyo dalam Padigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung. Mizan. 1999, h. 251
[20] Sebuah istilah yang diberikan kepada kelompok ulama konservatif, yang digerakan oleh delapan orang ulama. Dalam pergerakannya mereka sangat tegas dan ketatat sehingga sering berbenturan dengan masyarakat. Berbeda dengan Islam pada priode pertama, dimana Islam dijebarkan dengan sangat komunikatif dan kadang-kdang berbau magis.
[21] Yakni, kelompok ulama yang mengadakan pembaruan atau pemurnian atas sinkritisme pemahaman dan pengalaman keagamaan masyarakat.
[22] Pasar yang dibakarnya itu adalah pasar Pandai Sikek, karena awal pergerakan Haji Miskin dimulai dari daerah ini bersama temannya Datuak Batuah.
[23] Lihat Taufik Abdullah “Telah dan Islam: Telaah Mengenai Konflik di Minangkabau” dalam Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejaran, LPES. 1989, 201.
[24] Ibid, h. 202
[25] Geertz, dalam Daniel L. Pals,.Seven Theories of religion, Yogyakarta. Qalam, 2001, h. 431
[26] Lihat Hebert W. Richardson, Toward an Amerikan Theology(New York; Harp&Row, 1967, h 64.
[27] Lihat, Karen Amstrong dalam Berperang Demi Tuhan, h. 103.
[28] Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.
[29] Lihat Yudi Latif, dalam Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan.Bandung, Mizan.199, h.48.
[30] Lihat Kautsar Azhari Noer, “Menyemarakan Dialog Agama (Perpektif Kaum Sufi) dalam Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, Bandung, Zaman, 1999, h,60.
[31] Untuk meperjelas dan mempertegas baca Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1999.
[32] Lihat, Prolog Mohammd Hatta, dalam Sosialisme Religius Suatu Jalan Ke Empat.
[33] Lihat Yudi Latif, op.cit. h. 48.
[34] Adalah; menuntut terhadap penggunaan literasi kitab suci pada konteks kehididupan yang lebih luas, dimana ayat-ayat Alquraan tidak “dikurung dalam pemahaman” yang picik dan sempit.
[35] Baca Deliar Noer, Gerakan Modernisasi Islam di Indonesia 1900-1942, pada pembahasan Asal Usul dan Pertumbuhan Gerakan Modern Islam, Gerakan Pendidikan dan Sosial.
[36] Baca Silfia Hanani, dalam Surau Aset Lokal Yang Tercecer di Minangkabau. Dengan pendidikan surau dan bekembangnya madrasah-madrasah modern, yang mirip pondok pesentran secara langsung menyebabkan Minangkabau tidak lama mengalami kekosongan sistem pendidikan. Sekaligus dari sistem pendidikan ini, lahir mentalitas Islam ke Minangkabauan.
[37] Lihat pada masa pembaharuan puritan, di Minangkabau gerakan Padri diawali dengan gerakan keagamaan, yang menentang habuis-habisan tentang praktek keagamaann yang sinkretis. Kemudian, kaum surau ambil bagian dalam kancah sosial dan politik, sampai kemerdekaan tercapai. Setelah itu, kaum surau banyak mengenal organsisasi-organisasi sosial nasional lainnya, dan melibatkan diri lebih jauh. Ada yang tidak puas dengan keilmuannya, maka kaum surau mencari jalan untuk berorganisasi agar ilmunya dapat dikembangkan lebih luas. Maka terlibatlah kaum surau dalam organisasi-orgnisasi yang tidal lagi Plat Fromnya Islam, tetapi sudah nasionalis, lihat Tan Malaka, Syahrir, dan seterusnya, Mungkin juga Hatta.
[38] Lihat, Azyumardi Azra dalam Renaisans Islam Asia Tenggara Sejrah Wacana dan Kekuasaan. Bandung, Rosada Karya, 1999, h.67-72.
[39] Lihat, Antonie Reid dalam Azyumardi Azra.
[40] Lihat, Silfia Hanani, Op.Cit. Lihat juga Delar Noer,Op.Cit.
[41] Semangat Islam konservatif, kata Karen Armstrong berlangsung sekitar tahun 1492-1799, yakni ketika munculnya tiga dinasti yang cukup berpengaruh dalam kebudayaan Islam. Yaitu Dinasti Utsmaniyah di Asia Kecil, Anatolia, Irak, Suriah dan Afrika Utara; Safawiyyah di Iran dan Mongol di India.
[42] Kutipan ini dapat dilihat dari Karen Armstrong, dalam Berperang Demi Tuhan Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi. Bandung, Mizan, 2000, h. 52.
[43] Dlam perpektif sosiologi, menjelaskan perubahan itu harus tahu dengan konteks perubahan, sebab perubahan dan kondisi sebelum terjadinya perubahan. Mau tidak mau, aktor transformatif haru memiliki pengetahuan yang holistik dalam permasalahan itu.
[44] Lihat,Yudi Latif, op.ci, h.51.
[45] Yudi Latif dan Kontowijoyo menulas tentang teologi transformatif ini.
[46] Yudi Latif, op.Cit, h.49
[47] Kuntowijoyo,op.cit
[48] Lihat tulisan Ulil Absahr Abdala, dalam tulisan kontrofersialnya di harian Kompas, yang sangat banyak mengundang pemikiran, sindiran dan sekaligus kebencian bagi mereka-meraka yang merasa tersinggung. Bagi Abdala, Islam bukan menumen yang sudah selesai dipahat sejak dibawa oleh Muhammad, dengan maksud umat Islam tidak picik dan sempit mengartikan Islam itu sendiri.
[49] Budy Munawar-Rahman, Tahapan Moral Ke Priode Sejarah Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia, dalam Dekontruksi Islam Mazhab Ciputat.Bandung, 1999,h.117
[50] Kuntowijoyo, op.cit.
[51] Lihat Kuntowijdoyo lebih lanjut h, 286.
[52] Lihat Budy Munawar Rahman, op.cit., h.116.
[53] Sistem pendidikan di surau pada mulanya berlangsung sangat sederhana, yakni berhalaqah, duduk bersila mendengarkan keterangan guru. Tidak ada mengenal tingkatan kelas apalagi ijazah. Biasanya murid-murid yang lebih yang telah lama dipercayai oleh guru untuk mengajar murid-murid yang baru datang. Ketika, sanga murid sudah memiliki kemampuan untuk mengajar dan ilmunya sudah dalam, maka guru merekomendasikan murid tersebut untuk mengembangkan ilmunya ke tengah masyarakat. Murid itu pun mendirikan surau baru sebagai tempat untuk mengembangkan ilmunya.
[54] Kegiatan tariqat, biasanya dilakukan selama empat puluh hari, selama mengikuti kegitan ini, tidak diperbolehkan memakan-makanan yang berasal dari binatang. Biasanya sering dilakukan pada bulan Ramadhan di surau-surau tradisional.
[55] Lihat Silfia Hanani.
[56] Lihat Kuntowijoyo, op.cit, h. 252
[57] Lihat lagi Karen Armstrong, dalam Berperang Demi Tuhan.
[58] Lihat Everett M. Roger, dalam Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, alih bahasa oleh Abdillah Hanafi, Surabaya.. Usaha Nasional, h25.
No comments:
Post a Comment