Tuesday, February 24, 2009

Kebijakan pendidikan Nasional Tanpa Diskriminasi

Oleh: Bambang Sudibyo

A. PENDAHULUAN

Pada prinsipnya pendidikan merupakan bentuk kesadaran masyarakat yang ingin meningkatkan peradabannya, sehingga mereka menguasai ilmu pengetahuan dan mempunyai jati diri. Peran serta masyarakat di bidang pendidikan sejak semula sudah terlihat, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan. Seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Persis, Al-Khairat di Gorontalo dan Sulawesi Tengah, Al-Washliyah di Sumatera, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Taman Siswa, MKGR, Kosgoro dan masih banyak lagi yang kontribusinya sangat nyata terhadap pendidikan. Tanpa adanya partisipasi masyarakat, maka tidak mungkin Pemerintah mampu mengemban tugasnya dengan baik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Di sinilah dibutuhkan adanya dialektik akrab antara pemerintah dan masyarakat.

Saat ini kita telah memiliki perangkat perundang-undangan yang cukup baik, dan bisa dijadikan acuan dasar bagi peningkatan mutu pendidikan nasional, di antaranya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Bahkan, kita juga sudah memiliki payung hukum untuk meningkatkan profesionalisme, kompetensi serta kesejahteraan para pendidik kita, yakni UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Untuk mewujudkan apa yang digariskan dan diamanatkan dalam berbagai perangkat peraturan tersebut, kita memerlukan strategi dan perencanaan yang matang dan didasarkan pada analisis yang benar-benar obyektif terhdap kondisi pendidikan kita saat ini. Salah satu yang diupayakan Pemerintah adalah dengan memperbarui Rencana Strategis (Renstra) Pendidikan Nasional, yang diharapkan bisa menjadi rujukan pelaksanaan program-program pendidikan dalam beberapa tahun mendatang. Muaranya adalah pada pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan.

B.Garis Besar Renstra Pendidikan Nasional

Renstra Pendidikan Nasional Tahun 2006 dilandaskan pada visi: “terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Adapun misi yang dilakukan untuk merealisasikan visi tersebut adalah:

 

  • mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
  • membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
  • meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
  • meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan
  • memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

Dasar-dasar dari visi dan misi tersebut dimuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Bab I tentang Ketentuan Umum. Dari UU tersebut kita bisa melihat bahwa yang dimaksud dengan manusia berkualitas adalah manusia seutuhnya. Pengertian ini berbeda dengan paradigma klasik yang menganggap manusia sebagai tenaga kerja alat yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan produksi dan tuntutan-tuntutan akumulasi modal dalam sistem ekonomi kapitalis. Bukan semacam ini paradigma pendidikan yang kita kembangkan. Kita tidak bisa membayangkan seperti apa output pendidikan kita jika kita menggunakan paradigma klasik tersebut.

Pendidikan yang kita kembangkan adalah pendidikan yang memiliki empat segi yaitu: olah kalbu, olah pikir, olah rasa dan olahraga. Olah kalbu adalah pendidikan akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, sehingga peserta dididik memiliki kepribadian yang unggul. Ini adalah aktualisasi dari potensi hati manusia dan merupakan bagian pendidikan yang paling mendasar dan paling penting. Dalam istilah pendidikan, hal itu termasuk merupakan aspek afeksi. Dalam keyakinan agama kita –berdasarkan sebuah riwayat hadits dari Imam Muslim– dijelaskan bahwa,  semua perbuatan (amal) berangkat dari kualitas niat. Pendidikan afeksi adalah bagaiamana membangun manusia berhati baik dan prakarsanya menjadi baik, karena didasarkan pada niat baik pula. Niat yang baik dan postif akan bisa menjadikan manusia bersifat produktif. Inilah yang dalam istilah populer saat ini disebut dengan kecerdasan spiritual.

Olah pikir berarti membangun manusia agar memiliki kemandirian serta menguasi ilmu pengetahun dan teknologi. Olah pikir berorientasi pada pembangunan manusia yang cerdas, kreatif dan inovatif. Olah rasa bertujuan menghasilkan manusia yang apresiatif, sensitif serta mampu mengekspresikan keindahan dan kehalusan. Ini sangat penting, karena tidak ada rasa syukur manakala kita tidak memiliki apresiasi terhadap keindahan dan kehalusan. Ini merupakan bagian terpenting dari potensi kehidupan manusia. Aspek ini pula yang selama ini kurang mendapatkan perhatian sehingga kita merasakan kegagalan dalam mendidik para pelajar kita. Salah satu dampaknya adalah bahwa kita tidak terbiasa untuk memberikan apresiasi kepada orang lain dan mudah dihasut serta berprilaku destruktif. Sedangkan olah raga merupakan proses pembangunan manusia sehingga bisa menjadikan dirinya sebagai penopang bagi berfungsinya hati, otak dan rasa.

Oleh sebab itu, orientasi pendidikan yang memiliki paradigma manusia seutuhnya sebagaimana disebutkan di atas adalah sejalan dengan konsep insan kamil. Pendidikan yang ingin kita bangun adalah pendidikan yang menciptakan manusia yang “arif” seperti para Nabi; “cerdas” seperti Einsten; dan “kuat” seperti Mike Tyson. Jadi, UU Nomor 20 tentang Sisdiknas itu pada dasarnya sangat islami.

Misi perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu sejalan dengan prinsip pendidikan UNESCO, “education for all”. Islam juga mengajarkan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Islam bahkan mengajarkan bahwa kewajiban belajar tidak hanya pada usia 7-15 tahun saja, tetapi sepanjang hayat. Hal ini sejalan dengan QS. Alu Imran, 3 : 191 yang berbunyi “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”. Itulah cermin manusia seutuhnya yang menggunakan hati dan pikirannya untuk selalu berdzikir kepada Allah, bertafakkur mengamati alam semesta, sehingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini bukan untuk main-main, tetapi dengan tujuan yang amat tinggi dan mulia yaitu tujuan kehidupan manusia yang tidak berhenti di dunia ini saja. Oleh sebab itu, ayat-ayat selanjutnya berisi do’a agar diberi petunjuk oleh Allah dan selalu ditempatkan pada jalan yang benar dan diridlai-Nya.

Alam semesta dan kehidupan di dalamnya merupakan lembaga pendidikan bagi manusia yang pada akhirnya mengelompokkan manusia ke dalam dua golongan. Ada yang sukses meraih kelulusan, sehingga menjadi manusia yang berbahagia mendapat surga dan ada yang tidak berhasil, sehingga menjadi penghuni neraka. Hidup adalah wahana pendidikan dari Tuhan yang di dalamnya terdapat proses pembelajaran dan pengujian. Di sinilah kita bisa memahami mengapa menuntut ilmu diwajibkan dalam Islam.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa sehingga mereka sendiri merubah apa yang ada di dalam dirinya. Termasuk yang ada di dalam diri manusia adalah hati, fikir, rasa dan raga. Maka, tepat sekali jika pada amandemen tahun 2000 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa, pendidikan adalah hak asasi manusia, dan pada amandemen tahun 2002 terhadap UUD 1945 disebutkan bahwa,  tanggung jawab negara dalam pendidikan diwujudkan dalam APBN sekurang-kurangnya 20%. Ini merupakan keputusan yang bisa disebut lompatan quantum, karena diambil pada saat negara sedang mengalami kesulitan ekonomi dan keuangan. Akan tetapi memang itu harus dilakukan jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini. Amandemen UUD tersebut ini kemudian ditindaklanjuti dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang sangat islami. Meskipun hasilnya tidak bisa kita lihat sekaligus, akhir-akhir ini kita melihat geliat yang begitu tinggi di masyarakat untuk memajukan pendidikan. Akhir-akhir ini, misalnya, banyak pesantren yang membuka pendidikan formal, dan itu akan dapat dilihat hasilnya 10-15 tahun mendatang.

Oleh sebab itu, pendidikan nasional harus diarahkan pula untuk bagaimana membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa. Dengan cara inilah kita bisa melihat apa sesungguhnya yang kita miliki saat ini dan bagaimana melakukan upaya terus menerus untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak-anak bangsa kita. Pendidikan sendiri sebagaimana pengertiannya yang disebutkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari peningkatan kesiapan input dan kualitas proses pendidikan; profesionalitas dan akuntabilitas lembaga pendidikan; serta upaya untuk memberdayakan peran serta masyarakat dalam konteks otonomi dan negara kesatuan.

Dengan demikian, maka ada tiga pilar kebijakan dan prioritas untuk pencapaian sasaran dalam pendidikan nasional, yaitu: (1) pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daua saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Inilah yang direncanakan dan akan dilakukan melalui kerjasama sinergis antara Depdiknas RI, Depag RI dan tentunya juga masyarakat.

Pemerataan dan perluasan akses terkait masalah-masalah pendidikan yang kita temukan di masyarakat saat ini. Pemerintah saat ini sedang menyusun program agar pemerintah daerah (Pemda)  ikut serta memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Keberadaan sekolah yang telah menerima dana BOS di kota-kota di daerah saat ini, memang sulit sekali untuk menggratiskan biaya pendidikan kepada peserta didiknya. Sebagai contoh,  SD Muhammadiyah di Suragaya mempunyai RAPBS tiap tahun sebesar Rp. 500.000.000,-, sedangkan dana BOS yang mereka terima hanya sebesar Rp. 250.000.000,-. Begitu juga madrasah-madrasah Maarif unggulan dengan siswa yang tinggal di asrama dan dengan pelayanan yang memadai, tentu akan kesulitan untuk menggratiskan biaya pendidikan. Tapi, dengan adanya dana BOS, paling tidak pungutan kepada siswa agak menurun, tidak sebesar sebelumnya. Akan tetapi, pernah juga ditemukan sekolah di sebuah desa terpencil yang memang betul-betul menggratiskan biaya pendidikan. Di Yogyakarta, dijumpai beberapa sekolah yang sudah dapat menggratiskan biaya. Bahkan di Jawa Timur, Pemda mampu memberikan tambahan biaya  sebesar Rp. 10.000,- persiswa, sehingga biaya pendidikan semakin ringan.

Berkaitan dengan sarana dan pra sarana, Depdiknas RI telah menandatangani MoU untuk rehabilitasi gedung sekolah dengan Pemda, dengan komposisi tanggungan 50% pusat dan 50 % daerah. Prioritas Pemerintah adalah daerah pedesaan.

Masalah lainnya juga berkaitan dengan angka buta aksara di Indonesia yang pada tahun 2006 ini mencapai 8,3 persen. Pada tahun 2004 tercatat 10,6. Pemerintah berencana menuntaskan pemberantasan buta aksara, sehinga pada tahun 2008 mencapai 5,0 persen. Daerah buta aksara terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Barat, dan Banten. Yogyakarta Bali, NTB dan NTT termasuk tinggi. Mengingat Jawa Timur merupakan basis Ma’arif yang cukup besar, maka Pemerintah benar-benar menginginkan adanya kerjasama yang kuat dengan NU untuk menuntaskan pemberantasan buta aksara dan penyukesesan wajar dikdas.

Angka buta aksara perempuan adalah dua kali lipat dari laki-laki. Namun ada fenomena menarik di sini. Di Madura, ada seorang perempuan cantik dan kaya,  tetapi buta aksara. Ironisnya, kalau disuruh membaca “duit”, dia mengerti. Biasanya, buta aksara identik dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan. Inilah yang harus kita berantas, sejalan dengan amanat QS. al-Ma’un, yakni memberdayakan orang-orang yang lemah. Oleh sebab itu, Menteri Pendidikan Nasional sudah menandatangani MoU dengan organisasi-organisasi perempuan termasuk Muslimat NU dan Aisyiyah untuk penanganan buta aksara. Khusus kedua organisasi tersebut, Depdiknas memberikan kesempatan untuk berdakwah di kalangan akar rumput.

Secara keseluruhan, kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan meliputi:

 

  • Pendanaan satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar (wajar).
  • Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di sekolah/madrasah, termasuk di pesantren salafiyah, dan satuan pendidikan keagamaan lainnya, serta satuan/program pendidikan nonformal
  • Perluasan akses Wajar Dikdas 9 tahun di SLB dan sekolah inklusif
  • Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil/kepulauan yang berpenduduk jarang dan terpencar
  • Penyediaan pendidik dan tenaga kependidikan satuan pendidikan pelaksana program wajar
  • Penyediaan sarana dan prasarana satuan pendidikan pelaksana program wajar
  • Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia  di atas 15 tahun
  •  Perluasan akses pendidikan melalui  ICT dan TV Edukasi
  • Perluasan pendidikan kecakapan hidup, termasuk bagi santri Pondok Pesantren
  • Perluasan akses SMA/MA/SMK/MAK dan SM terpadu
  • Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/MA/MAK/SM Terpadu, SLB, dan PT
  • Peningkatan akses lulusan SMA/MA berprestasi/berbakat istimewa  ke pendidikan lanjutan di PT Unggulan di dalam dan luar negeri
  • Perluasan akses PT/PTA
  • Pelaksanaan advokasi pendidikan yang responsif gender
  • Perluasan akses PAUD, termasuk  TK, RA, BA, KB, TPA, TPQ

Kondisi saat ini dan target ke depan berkaitan dengan kebijakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan bisa dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1

Indokator Kunci dan Target Pilar

Kebijakan Perluasan dan Pemerataan Akses Pendidikan

SASARAN

INDIKATOR KUNCI

KONDISI DAN TARGET

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Perluasan Akses PendidikanAPK Pra Sekolah

39,09%

42,34%

45,19%

48,07%

50,47%

53,90%

APM SD/Paket A/MI/SDLB

94.12%

94.30%

94.48%

94.66%

94.81%

95.00%

APK SMP/Paket B/MTs/SMPLB

81.22%

85.22%

88.50%

91.75%

95.00%

98.00%

APK SMA/SMK/Paket C/MA/SMALB

48.25%

52.20%

56.20%

60.20%

64.20%

68.20%

APK PT/PTA, termasuk UT

14.62%

15.00%

15.57%

16.38%

17.19%

18.00%

Prosentase Buta Aksara > 15 th

10.21%

9.55%

8.44%

7.33%

6.22%

5.00%

Pemerataan Akses PendidikanDisparitas APK PAUD antara kab dan kota

16.94

16.94

15.54

14.04

12.54

11.04

Disparitas APK SD/MI/SDLB antara kab dan kota

2.49

2.49

2.40

2.30

2.15

2.00

Disparitas APK SMP/MTs/SMPLB antara kab dan kota

25.14

25.14

23.00

19.00

16.00

13.00

Disparitas APK SMA/MA/SMK/SMALB antara kab dan kota

33.13

33.13

31.00

29.00

27.00

25.00

Disparitas gender APK di jenjang pendidikan Menengah

6,16

6,07

5,98

5,89

5,80

5,71

Disparitas gender APK di jenjang pendidikan tinggi

9,90

9,62

9,33

9,05

8,76

8,48

Disparitas gender persentase buta aksara

7.32

6.59

5.86

5,13

4.40

3.65

 Adapun kebijakan untuk meningkatan mutu, relevansi dan daya saing dilakukan salah satunya dengan cara memberikan akses yang sama terhadap seluruh lembaga pendidikan untuk semua. Saat ini, telah ditandatangai Permendiknas RI yang menjangkau semua, bahkan pendidikan non formal dan informal untuk bisa ikut dalam perhelatan olimpiade. Target tahun depan dapat mengalahkan China sebagai juara umum dalam olimpiade fisika.

Selain itu, Depdiknas RI sementara ini tidak lagi membuka SMA tetapi SMK. Depag RI pun sebaiknya tidak membuka MA tetapi membuka MAK, kecuali di tempat-tempat tertentu yang memang masih sangat dibutuhkan. Sekolah dapat mengeluarkan sertifikat-sertifikat life skill, seperti komputer, bahasa Inggris, bahasa Arab, akuntansi dan lain-lain.

Secara keseluruhan, kebijakan peningkatan mutu, relevansi dan daya saing ini meliputi:

 

  • Pengembangan sekolah/madrasah bertaraf internasional di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota
  • Pengembangan SMA/MA/SMK/MAK berbasis keunggulan lokal di setiap Kab/Kota
  • Pengembangan satuan pendidikan berwawasan multikultural dan budaya sekolah berbasis nilai-nilai keagamaan
  • Pengembangan MA Keagamaan
  • Peningkatan kualitas proses pembelajaran pendidikan agama, ahklak mulia, dan kepribadian
  • Perluasan dan peningkatan kuantitas dan kualitas layanan perpustakaan termasuk taman bacaan masyarakat
  • Pengembangan guru sebagai profesi
  • Pengembangan kompetensi dan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan
  • Penjaminan mutu secara komprehensif dan  terprogram dengan mengacu kepada SNP
  • Implementasi dan penyempurnaan SNP oleh BSNP
  • Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi, termasuk pendidikan kedinasan
  • Peningkatan sarana dan prasarana satuan pendidikan
  • Pengembangan pembelajaran berbasis ICT dan TV, termasuk pada pendidikan nonformal serta pendidikan agama dan keagamaan
  • Akselerasi jumlah program studi vokasi, profesi, dan keagamaan
  • Peningkatan peran PT/PTA dalam pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kemiskinan, dan keterbelangkangan dalam rangka memecahkan masalah bangsa
  • Penyesuaian program pendidikan kedinasan dengan peraturan perundangan, serta peningkatan mutu dan relevansinya
  • Pengembangan kerjasama PT/ PTA dengan PT Unggulan Dalam dan Luar Negeri
  • Mendorong jumlah jurusan di PT/PTA agar masuk dalam 100 besar Asia atau 500 besar dunia atau berakreditasi OECD/Internasional
  • Peningkatan kepemimpinan dan enterpreneurship lulusan PT/PTA
  • Peningkatan mutu dan kompetensi lulusan PT/PTA, serta peningkatan akses lulusan ke lapangan kerja yang beragam
  • Peningkatan kompetensi dan profesionalisme dosen PT/PTA
  • Peningkatan intensitas dan kualitas penelitian di PT dan penyebarluasan hasilnya
  • Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI

Tabel 2

Indikator Kunci dan Target Pilar Kebijakan

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

SASARAN

INDIKATOR KUNCI

KONDISI DAN TARGET

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Mutu dan Daya Saing PendidikanRata-rata nilai UN SD/MI

-

-

-

-

5.00

5.50

Rata-rata nilai UN SMP/MTs

5.26

6.28

6.54

6.72

7.00

7.00

Rata-rata nilai UN SMA/SMK/MA

5.31

6.52

6.68

6.84

7.00

7.00

Guru yg memenuhi kualifikasi S1/DIV

30%

30%

32%

34%

37.5%

40%

Dosen yg memenuhi kualifikasi S2/S3

50%

50%

55%

60%

65%

70%

Pendidik yang memiliki sertifikat pendidik

-

-

-

5%

20%

40%

Jumlah Prodi masuk 100 besar Asia, 500 besar Dunia, atau akreditasi bertaraf OECD/Int.

-

1

3

4

5

10

Perolehan medali emas pd Olimpiade Internasional

13

15

17

19

20

20

Jumlah Paten yg diperoleh

5

10

20

30

40

50

Sekolah/Madrasah bertaraf Internasional

-

-

50

85

120

155

Sekolah/Madrasah berbasis keunggulan lokal

-

100

400

700

1.000

1.333

Kenaikan Publikasi Internasional

5.0%

7.5%

10%

20%

30%

40%

Relevansi Pendidikan

Rasio Jumlah Murid SMK : SMA

30:70

32:68

34:66

36:64

38:62

40:60

APK PT vokasi (D2/D3/D4/Politeknik)

1.47%

1.50%

1.70%

1.80%

1.90%

2.00%

Rasio Jumlah mahasiswa Profesi terhadap jumlah lulusan S1/D4

10%

10%

15%

17.5%

20%

20%

Persentase peserta pendidikan life skill terhadap lulusan SMP/MTs atau SMA/SMK/MA yang tidak melanjutkan.

5.0%

6.5%

8.6%

10.7%

12.8%

15.0%

Jumlah sertifikat Kompetensi yg diterbitkan
  • Jenjang Pendidikan Menengah
  • Jenjang Pendidikan Tinggi

 

 

 

 

75.000

40.000

 

100.000

50.000

 

125.000

60.000

Kebijakan penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik diarahkan agar proses pendidikan bisa berjalan dengan pengelolaan yang profesional, tepat guna, akuntabel dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap program-program pendidikan baik secara institusional maupun prosesnya. Kebijakan ini meliputi:

 

  • Penataan regulasi pengelolaan pendidikan
  • Peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundang-undangan
  • Pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN
  • Penyelesaian temuan-temuan pemeriksaan pengawas internal dan eksternal
  • Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh pengawas internal dan eksternal
  • Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh pengawas internal
  • Peningkatan SPI berkoordinasi dengan pengawas eksternal
  • Peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat pengawas internal
  • Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat
  • Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan
  • Peningkatan mutu manajemen dan layanan pendidikan
  • Peningkatan kualitas tata kelola melalui sistem ISO 9001:2000
  • Peningkatan kualitas tata kelola melalui aplikasi SIM
  • Peningkatan citra publik

Tabel 3

Indikator Kunci dan Target Pilar Kebijakan

Penguatan Tata Kelola dan Citra Publik

SASARAN

INDIKATOR KUNCI

KONDISI DAN TARGET

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Governance dan Pencitraan PublikOpini BPK atas Laporan Keuangan PemerintahDisclaimerDisclaimerWajar dg catatanWajar tnp syaratWajar tnp syaratWajar tnp syarat
Persentase temuan BPK ttg penyimpangan di Pemerintah terhadap obyek yang diperiksa1~0,5%1~0,5%1~0,5%<0.5%<0.5%<0.5%
Persentase temuan Itjen ttg penyimpangan di Pemerintah terhadap obyek yang diperiksa1~0,5%1~0,5%1~0,5%<0.5%<0.5%<0.5%
Aplikasi SIM--2 Aplikasi14 Aplikasi--
Sertifikat mutu layanan yg diraih Departemen Pendidikan Nasional  dan Departemen Agama-----80% unit utama memperoleh ISO 9001:2000
Sertifikat mutu layanan yg diraih LPMP/PPPG/BPPLSP-9 ISO 9001: 200025 ISO 9001: 200043 ISO 9001: 200047 ISO 9001: 2000-

 



No comments: