Tuesday, February 24, 2009

Sistem Ekonomi Syariah Yang Sabar Menunggu

Oleh: Sofyan S Harahap

Sistem Ekonomi Syariah Yang Sabar Menunggu

Beberapa tahun lalu di salah satu media nasional saya tulis sebuah judul artikel ”Senjakala Sistem Kapitalis”. Pada tanggal 23 September 2008 sebahagian besar Koran Ibukota membuat ”headlines” besar dengan ide berakhirnya Wall Street. Investor Daily membuat judul ”Era Wall Street Berakhir”, Media Indonesia mengulas di Editorial dengan judul :Krisis Financial AS dan Perkenomian Kita”, Bisnis Indonesia menurunkan judul Masa Bonus besar di Wall Street berakhir, Good Bye bank Investasi”. International Herald Tribune menurunkan headlines: Brash Wall Street Era Ends for Goldman Sach and Morgan Stanley. Wall Street adalah nama jalan di Manhattan New York sebagai lingkungan lokasi tempat NYSE (New York Stock Exchange) , Nasdaq, dan beberapa perusahaan Keuangan dunia seperti Merryl Lynch, Goldman Sach, Lehman Brothers, Morgan Stanley dll berkantor. Headlines itu menunjukkan bukti bahwa pasar modal Amerika yang merupakan simbol atau Icon yang dijadikan para pendukungnya sebagai bukti kesuksesan kapitalis akan berakhir. Kenapa klaim ini terjadi?

Lehman Brothers sudah collapes dan meninggalkan utang kepada Kreditur sebesar US$ 3.458,6 juta menurut versi Reuter yang juga di kutip beberapa surat kabar ibukota. Belum lagi kerugian pemilik saham, pegawai dan subsidiarynya. Pemain pasar modal besar seperti Goldman, Morgan Stanley sudah merubah dirinya bukan lagi menjadi investor company yang banyak meraih keuntungan dari pasar modal, tetapi menjadi bank komersil saja. Pada hal selama ini “cash cow”nya adalah dari permainan dealing uang dan modal di Wall Street. Meryl Lynch dan Bear Sterns beruntung karena dijual dan diselamatkan oleh Bank of America sedangkan Fannie Mae dan Freddy Mac pemain utama dalam tarnsaksi sub-prime mortgage dan AIG (American International Group) beruntung karena di bail out oleh Pemerintah Federal Amerika AIG mendapat dana penyelematan sebesar US$ 85 milyar.

Pada waktu dan momentum yang sangat tepat, sehari setelahnya pada tanggal 24 September di beberapa media internasional dimuat pidato Presiden Iran Mahmoud Ahmadinedjad di depan Sidang Umum ke 63 PBB di Manhattan, New York yang mengklaim ”American Empire near Collapse”, Kekaisaran (politik dan ekonomi) Amerika sudah mendekati tumbang. Charlest Geisst seorang professor keuangan di Manhattan College menulis artikel “Wall Street: A History”. Bahkan Morris Berman pada tahun 2006 telah menulis buku yang sangat komprehensif tentang kebangkrutan kekaisaran Amerika ini dengan judl buku best seller: Dark Ages America, The Final Phase of Empire” atau Abad Gelap Amerika, tahap akhir dari Kaisar”

Majalah Time edisi September 29, 2008 mengangkat Cover dengan menampilkan gambar Kerbau yang menangis. Kerbau adalah simbol Pasar Uang dan Modal yang melekat pada Wall Street. Di Cover Time ditulis The Price of Greed, How Wall Street took a mighty fall and brought markets around the world down with it artinya Harga dari Kerakusan. Bagaimana Wall Street jatuh dan menyeret dunia jaruh bersamanya. Time mengulas bagaimana pasar pasar modal Dunia ikut jatuh: Index Sensex (Mumbai) -5,2%, London, - 9,4% Dubai, -1,7%, Shanghai -7,3% dan Singapore -5,9% dan banyak lagi pasar lain yang mengalami hal yang sama.

Bagaimana pemerintah Amerika menopang keruntuhan sistem keuangannya ini? Tampaknya mereka sadar atau tidak belajar dari Indonesia yang melakukan pengucuran dana melalui BLBI yang menelan uang rakyat hampir Rp. 800 trilyun yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pembangunan kesejahteraan rakyat dialokasikan kepada para konglomerat yang telah menggunakaan dana yang diperolehnya dari industri perbankan secara tidak hati hati dan digunakan untuk kepentingan bisnisnya. Kegiatan itu dilakukan dengan melangar ketentuan BI yang oknumnya juga ikut meikmati manisnya BLBI. Kita tinggal melihat panggung sandiwaranya digelar di Pengadilan sampai menjerat para jaksa terbaik kita di Kejaksaan yang Agung itu.

Henry Hanson Menteri Keuangan Amerika meminta dana ke Kongres sebanyak US$ 700 milyar setara hampir Rp. 7.000 trilyun atau hampir 5 kali APBN kita untuk menopang kebangkrutan industri keuangan dan pasar modal ini. Dana dana souvereugn (negara) juga sudah banyak memberikan kucuran dana mulai daeri bank Sentral Eropa, sampai pada dana dari Inggris, India, Jepang, Australia, dan China. Sehingga sudah tiodak terhitung dana rakyat (tax payer) yang digunakan untuk menebus keserakahan segelintir orang ini dengan biaya seluruh rakyat. Kerugian lain tentu tidak terhitung mulai dari penurunan harga sebahagian besar saham di seluruh dunia, kehilangan pekerjaan, kerugian yang diakibatkan sistem pasar uang dan modal, penurunan laba, dan lain sebagainya. Menurut majalah Time kerugian itu akibat keserakahan dari para pemain pasar modal mulai dari CEO perusahaan investasi, deal maker (broker), pemain spekulasi, finanical enginer, konsultan, investor, kreditur, dan sebagainya. Apakah Indonesia akan terpengaruh pada krisis keuangan di Amerika. Jawabannya pasti akan terpengaruh, jangankan Indonesia negara dengan perekonomiannya yang kuat sekalipun Eropa, Jepang, China dan India juga sudah merasakannya. Terus bagaimana kita menyikapinya?

Indonesia pada hakekatnya adalah negara dengan rakyat yang memiliki ideologi dan budaya yang berbeda dari apa yang terdapat di Amerika. Perbedaan ini seharusnya sedikit banyaknya juga membedakan sistem politik ekonomi dan budayanya. Di Indonesia sejak perjuangan kemerdekaan kita sudah mengenal sistem ekonomi yang sebenarnya tidak bersifat kapitalis. Hal ini bisa kita buktikan dari UUD 45 pasal 33 yang mengindikasikan bahwa sistem ekonomi kita adalah bersifat kerjasama, gotong royong dan kekeluargaa dimana peran negara sangat besar untuk melindungi kepentingan rakyat. Karena sumber sumber kekayaannya harus digunakan sebanyak banyaknya untuk kepentingan rakyat, bukan orang seorang. Kendatipun entitas syariah yang dibangun HOS Tjokroaminoto tidak mengerucut menjadi entitas formal pada era beliau, namun pada akhirnya sejak tahun 1992, hampir setengah abad kemudian entitas formal bisnis syariah lahir melalui Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai ICMI atas restu dan dukungan Presiden Soeharto.

Prestasi perbankan syariah serta entitas lainnya yang mengikutinya seperti asuransi, hotel, pasar modal, perusahaan investasi menunjukkan kinerja yang menakjubkan. Bahkan kinerjanya tidak hanya ”single bottom line” yang bermuara pada laba perusahaan tetapi justru menjadi ”triple-bottom line” karena pada saat yang sama entitas itu melahirkan dana Zakat, Infaq dan sadaqah, dana CSR dan dana untuk UKM yang lebih besar, serta tingkat ketatatan pada hukum positif dan syariat yang lebih tinggi. Perkembangan sistem keuangan, perbankan, pasar modal, investasi, asuransi ini juga terjadi di Amerika dan Eropa dengan kinerja yang menakjubkan dengan julah entitas lebih 300 dengan total aset sekitar US$ 500 juta. Entitas perbankan ini telah menyentuh kebutuhan akan sistem ekonomi dan keuangan Islam. Alhamdulillah kajian dan studi tentang ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga sudah merambah ke berbagai negara termasuk universitas ternama di dunia non-muslim seperti di Amerika, Inggris dan Australia.

Apakah kebangkrutan sistem keuangan kapitalis sekarang ini dan berbagai krisis masa lalu belum bisa menajdi pelajaran?. Krisis kali ini diduga akan lebih dahsyat dari Depressi ekonomi 1930an. Sistem Kapialisme dikenal dengan pengalaman krisis demi krisis dan telah terbukti menimbulkan kerugian rakyat yang dahsyat bukan hanya Amerika tetapi juga dunia. Apakah hal ini belum cukup menjadi momentum pemicu bagi pemerintah kita yang katanya demokrasi (memperhatikan kepentingan mayoritas) merubah sistem ekonomi dari yang volatile, zalim dan merugiakan itu ke sistem yang lebih sustainable seperti yang terbutki dimiliki oleh sistem keuangan Syariah. Sampai kapan Sistem Ekonomi milik Allah ini sabar menunggu?



No comments: