Source: Republika, Resonansi
Thursday, 13 September 2007
Puasa Ramadhan, merupakan salah satu ajaran Islam yang tak pernah kering sebagai sumber inspirasi tulisan, baik bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Salah seorang yang terinspirasi dari perintah wajib bagi umat Islam itu adalah Baharuddin Aritonang --selanjutnya B. Aritonang-- dengan bukunya Berpuasa Ramadhan di Batak. Ini adalah karya unik, khususnya jika dilihat dari perspektif Islam Batak, dan bahkan dalam konteks Islam Indonesia. Buku ini kaya dengan berbagai personal account, periwayatan, dan kisah pribadi tentang berbagai hal, khususnya tentang puasa.
Secara pribadi, saya mengenal B. Aritonang sejak ia aktif di dunia kemahasiswaan pada akhir 1970-an. Ia adalah aktivis gerakan mahasiswa dan pers, juga rajin menulis. Belakangan, ia terjun ke politik, menjadi anggota DPR, dan terakhir aktif sebagai Wakil Ketua BPK.
Baharuddin adalah 'Aritonang' pertama yang saya kenal sejak mahasiswa, yang bukunya juga saya beri kata pengantar. 'Aritonang' kedua adalah Jan Aritonang, seorang pendeta dan tokoh intelektual PGI, yang bukunya tentang Perjumpaan Kristen dan Islam di Nusantara juga saya beri pengantar sekitar dua tahun lalu.
Dengan nama 'Aritonang', jelas Baharuddin adalah orang Batak, Sumatra Utara; persisnya berasal dari kawasan Tarutung di dekat Danau Toba. "Di daerah ini, Batak Muslim adalah minoritas" ujar B. Aritonang kepada saya. Meski begitu, Muslim Batak berhubungan baik dengan Kristen Batak dalam kehidupan sehari-hari; tetapi ketika sudah waktunya makan dan beribadah, mereka melakukannya sendiri-sendiri. Hal yang sangat bisa dipahami.
'Batak Muslim'. Istilah ini mengacu kepada orang Batak Muslim asal Tapanuli, Sumatra Utara. Istilah ini tidak punya nada pejoratif bagi Muslim yang berasal dari Tapanuli Utara. Tapi, Muslim asal Tapanuli Selatan, cenderung tidak mau menyebut diri sebagai Batak Muslim, apalagi hanya sebagai 'Batak', karena mereka memiliki pandangan stereotip bahwa Batak yang ada di utara adalah Kristen. Mereka ini lebih senang disebut orang Mandailing; dan Mandailing dibuat identik dengan Islam dan Muslim.
Meski B. Aritonang merupakan Muslim generasi ketiga asal Tapanuli Utara, tetapi pengalaman keislamannya bukan lebih dekat ke kawasan Deli, Sumatra Timur, atau Aceh yang berada lebih di utara. Sebaliknya, ia --seperti juga kaum Muslim Tapanuli Utara lainnya-- lebih banyak berinteraksi dengan kaum Muslim Mandailing, yang memiliki hubungan keagamaan dan sosial-budaya dengan kaum Muslim Minang. Juga dalam tradisi sosial-budayanya, Muslim Mandailing banyak afinitasnya dengan Muslim Minang.
Karya B. Aritonang ini secara spesifik membahas tentang puasa Ramadhan dalam pandangan dan pengalaman orang Batak Muslim; meski ini adalah cerita berpuasa seorang B. Aritonang, tetapi dalam segi-segi tertentu ada kesamaan dengan pengalaman Muslim Batak lainnya, bahkan juga dengan kaum Muslim Indonesia lainnya.
Kisah dan periwayatan tentang ibadah puasa di lingkungan masyarakat etnis tertentu pastilah memperkaya tidak hanya kehidupan keagamaan kita, tetapi juga kehidupan tradisi, adat istiadat, dan kehidupan sosial-budaya umumnya. Dan, ini sekaligus memperlihatkan bagaimana doktrin Islam memperkaya tradisi lokal, sehingga menjadi lebih Islami.
Dalam konteks bidang kajian sejarah bersifat antropologis-sosiologis yang saya minati, karya B. Aritonang memberikan sumbangan sangat penting. Melalui karya-karya seperti ini sejarawan, antropolog, sosiolog, dan peneliti lainnya dapat melihat dengan jelas bagaimana interaksi, akomodasi, dan saling mempengaruhi terjadi antara doktrin normatif dan universal sebuah agama wahyu, seperti Islam, yang kemudian terlibat dalam 'dialog sosial-budaya' yang intens ketika para penganutnya berusaha mengamalkan doktrin-doktrin agama tersebut. Dan, Islam sebagai sebuah realitas sosio-antropologis tidak bisa lepas dari lingkungan yang mengitarinya tanpa harus kehilangan watak dan karakternya.
Dalam interaksi dan akomodasi ibadah Ramadhan dengan tradisi lokal Batak Muslim maupun Jawa Muslim, orang jangan cepat-cepat menganggap bahwa ibadah puasa mereka kurang bernilai, atau bahkan kurang Islami atau bahkan tidak sah. Anggapan seperti ini jelas keliru. Islam di kawasan manapun dapat berinteraksi dan mengakomodasi tradisi dan adat lokal; dan justru di sinilah salah satu kekuatan Islam sehingga mampu bertahan sampai hari ini dan ke depan, di kawasan manapun di muka bumi ini. Ibadah Ramadhan yang melibatkan Ramadhanic ritual complex di Tanah Batak atau wilayah Indonesia lainnya sama absahnya dengan ibadah puasa yang dikerjakan orang-orang Muslim di tempat lain, seperti di Timur Tengah, misalnya.
Kita harus bangga dengan kekayaan Ramadhanic ritual complex Islam Indonesia sebagaimana diperlihatkan B. Aritonang dalam karya ini. Inilah antara lain kekayaan Islam Indonesia.
penulis Azyumardi Azra
No comments:
Post a Comment