Wednesday, March 19, 2008

METODE IJTIHAD IBRAHIM HOSEN

METODE IJTIHAD IBRAHIM HOSEN

Oleh: H. Toha Andiko*



Abstrak:

Ibrahim Hosen sebagai salah satu tokoh pemikir hukum Islam di Indonesia, selama ini dikenal sebagai ulama yang kontroversial disebabkan berbagai fatwanya yang dianggap di luar kebiasaan mainstrem ulama di Indonesia. Ijtihadnya tentang Bir tidak termasuk khamar yang diharamkan, lotre, Porkas, dan SDSB tidak sama dengan judi, dan responnya terhadap isu lemak babi di Indonesia, banyak mengundang tanda tanya di kalangan pemikir hukum Islam tentang kapabilitas dan independensinya dalam berijtihad. Namun, jika diteliti lebih lanjut cara ia beristinbath dan argumen-argumen yang dikemukakannya, ternyata semua pendapatnya tersebut mempunyai pijakan yang jelas, landasan yang cukup kuat, dan menyakinkan dari sisi kebenaran ilmiah.

Ibrahim Hosen sebagai seorang mujtahid, menawarkan pembaharuan terhadap hukum Islam melalui pemahaman kontekstual terhadap nash dengan mengacu pada `illat, hikmah tasyri, dan maqasid al-syari`ah; pembedaan Sunnah Nabi saw dalam kapasitas beliau sebagai Rasul dan manusia biasa (basyar); rekonstruksi masalik al-`illat; memfiqihkan yang qath’i; dan penalaran dengan pendekatan ta`aqquli.





Pendahuluan

Ijtihad dalam berbagai bentuknya telah dilakukan oleh para ulama dalam berbagai kurun, baik di kala Nabi masih hidup yang dilakukan oleh para sahabat, maupun pada masa sesudahnya.[1] Kebolehan dari Nabi SAW. untuk berijtihad seperti tampak pada saat beliau mengutus Muadz ibn Jabal ke Yaman, telah disambut secara positif oleh para ulama berikutnya hingga lahirnya para imam mujtahid besar. Para mujtahid, seperti tokoh-tokoh mazhab misalnya, mencurahkan waktu dan pikiran mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi ataupun persoalan-persoalan yang mereka perkirakan akan terjadi. Jerih payah mereka telah menghasilkan khazanah fikih dan semangat toleransi yang tinggi nilainya serta mampu menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di masa mereka. Begitu pentingnya kegiatan ijtihad yang nyata-nyata telah membawa kemajuan bagi dunia Islam, maka wajar kalau Muhammad Asad menyatakan bahwa seandainya umat Islam ingin membendung diri dari kejatuhannya, maka haruslah dihindari sifat bertaqlid kepada pendapat fikih para ulama besar zaman dahulu, dan harus kembali berijtihad menurut keadaan yang sebenarnya.[2] Ijtihad seperti inilah yang menurut Iqbal merupakan prinsip gerak dalam struktur Islam[3] yang dapat menjadikan ajaran Islam tetap luwes, dinamis, dan dapat diterima masyarakat secara utuh dalam teori dan praktiknya sekaligus.



Pembahasan

A. Fenomena Ijtihad dan Keistimewaan Ibrahim Hosen

Mayoritas ulama mujtahid sepakat bahwa tidak boleh ada suatu masa yang sunyi dari mujtahid yang berijtihad untuk menyelesaikan dan menetapkan (tathbiq) hukum Islam. Mereka berpendirian bahwa ijtihadlah yang telah membawa keharuman dan kecemerlangan Islam sehingga agama ini bisa beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi.[4] Dengan demikian, kegiatan berijtihad tidak hanya diperlukan pada masa lalu, tapi juga sangat dibutuhkan pada masa kini apalagi di masa yang akan datang, sebab kejadian dan persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern juga menuntut untuk dipecahkan segera, dan untuk itu diperlukan kesungguhan, keahlian, dan ketelitian yang mendalam untuk menyelesaikannya.

Di antara faktor dominan yang mengilhami para mujtahid tersebut bersikeras untuk membuka pintu ijtihad adalah situasi dan kondisi yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Salah satu contoh yang bisa diambil dari ilustrasi ini ialah perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dengan kedua muridnya yaitu Muhammad al-Syaibani dan Abu Yusuf yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan zaman, bukan semata-mata karena perbedaan dalil dan argumentasi.[5]

Perbedaan pendapat yang merupakan bagian dari watak ijtihad ternyata juga sudah lumrah terjadi di kalangan sahabat, hal ini ditegaskan lagi oleh Umar ibn Abd al-Aziz dalam pernyataannya:



“Saya tidak suka kalau para sahabat tidak berbeda pendapat, sebab kalau mereka hanya mempunyai satu pendapat, tentu manusia akan berada dalam kesempitan, padahal mereka itu adalah para pemimpin yang dijadikan panutan oleh umat. Kalau ada seseorang mengambil salah satu dari beberapa pendapat sahabat yang ada, maka ia berada dalam keluasan.”[6]

Kalaupun ada perbedaan pendapat yang meruncing menjadi perpecahan, ini tidak lain karena adanya nuansa politis di balik itu. Abu Zahrah mencontohkan dibakarnya kitab-kitab karangan Ibnu Hazm oleh penguasa al-Mu’tadlid yang berkuasa di Asybiliyah tahun 439-464 H karena Ibnu Hazm mengeluarkan fatwa bahwa kekuasaan al-Mu’tadlid tidak sah. Al-Mu’tadlid yang memang tidak senang dengan fatwa Ibnu Hazm yang manhajnya berbeda dengan fuqaha di Timur dan Barat--melihat bahwa para ulama masa itu juga kurang suka dengan pedasnya kritik yang disampaikan Ibnu Hazm terhadap beberapa pendapat ulama, khususnya Imam Malik, menjadikan momentum tersebut sebagai justifikasi atas kebijakannya membakar karya-karya Ibnu Hazm yang sekaligus mengaburkan nuansa politis dengan nuansa ilmiah.[7] Namun agaknya yang tidak disadari oleh al-Mu’tadlid dan sebagian ulama masa itu ialah bahwa mereka sebenarnya hanya membakar dan memusnahkan kertas, tapi sekalipun tidak akan pernah dapat memusnahkan pemikiran Ibnu Hazm. Oleh sebab itu, sampai sekarang pemikiran Ibnu Hazm tetap meluas dan berkembang terbukti dengan kita al-Muhalla dan al-Ihkam yang masih dapat dijumpai dan dibaca hingga kini. Mungkin inilah kira-kira makna ungkapan Imam Syafi’i: ”Mihnah terhadap orang alim itu laksana api (membakar) terhadap emas yang murni.”[8]

Sejarah juga telah mencatat bahwa ada sejumlah ulama yang pada masa hidupnya pendapat-pendapatnya dianggap kontroversial dan bahkan dilecehkan orang, tapi masa berikutnya pendapat tersebut justru mulai digali kembali. Imam Abu Tsaur misalnya, pada awalnya mazhab fikihnya dianggap termasuk al-madzahib al-mundarisah, tapi di kemudian hari digali orang kembali. Salah satunya Sa’di Husin Ali Jabir menulis kitab Fiqh al-Imam Abi Tsaur. Begitu juga Ibnu Taimiyah yang pada masa hidupnya sering keluar masuk penjara dan dianggap Zindiq oleh Ibnu Batutah,[9] kini malah dianggap sebagai tokoh penggerak pembaharuan ajaran Islam yang banyak mempengaruhi tokoh-tokoh selanjutnya seperti Muhammad ibn Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.[10] Bahkan ijtihadnya dianggap melampaui kemajuan zamannya.

Dalam konteks Indonesia, di antara pakar hukum Islam yang pendapat-pendapatnya banyak dianggap kontroversial, Ibrahim Hosen termasuk salah satunya. Ia dikenal sebagai pemikir yang unik dan berani tampil beda melalui argumentasi yang dibangunnya dengan tetap berpegang pada nash dan ruh al-tasyri’ serta bersandar pada kemapanannya dalam penguasaan Fikih dan Ushul Fikih. Tidak seperti kebanyakan pemikir hukum Islam di Indonesia yang hanya berkutat di dunia akademis semata atau di dunia pendidikan tradisional yang bersifat lokal, atau mulai aktif dan berani melontarkan gagasan ketika duduk di pemerintahan saja, maka Ibrahim Hosen selain pernah menduduki jabatan asisten Menteri di pemerintahan, ia juga aktif di dunia akademis pendidikan, dan pernah menjadi anggota komisi fatwa MUI hingga terakhir menjadi ketuanya, di samping tetap konsisten mengabdikan dirinya di dunia pendidikan dengan merancang pendirian PTIQ dan IIQ sekaligus menjadi rektornya. Di sela-sela kesibukannya itu, ia juga masih menyempatkan diri aktif menulis karya-karya ilmiah baik berupa buku, artikel di koran dan jurnal ilmiah maupun makalah-makalah seminar.

Selama ini, Ibrahim Hosen terkesan lebih dikenal sebagai “ulama pesanan”, dituduh sebagai “ulama penjilat”[11] atau ulama pemerintah yang selalu kontroversial[12] karena beberapa sikap dan pendapatnya seperti dalam kasus isu makanan yang mengandung lemak babi[13], hukum minum bir[14], undian berhadiah (SDSB)[15], dan kedudukannya sebagai ketua komisi fatwa MUI yang secara kolektif sepakat mengeluarkan fatwa tentang keharaman memakan kodok tetapi halal membudidayakannya. Hal inilah di antaranya yang menyebabkan beliau dianggap cenderung mendukung kebijakan pemerintah yang saat itu sedang menggalakkan peternakan kodok.[16]

Padahal, Ibrahim Hosen sebagai tokoh nasional dikenal mempunyai peran yang sangat besar dalam legislasi hukum Islam di Indonesia. Ini terlihat ketika beliau secara aktif terlibat membidani lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, menjadi nara sumber dalam Kompilasi Hukum Islam dan ikut mensosialisasikannya, serta turut pula meyakinkan anggota DPR tentang perlunya Undang-Undang Peradilan Agama untuk mengangkat derajat wanita Indonesia dan lebih terlindungi hak-haknya.[17]

Ibrahim Hosen sebagai salah seorang tokoh nasional yang lahir di Bengkulu, ternyata selama ini lebih dikenal sebagai “orang Jakarta.” Di Bengkulu sendiri ketokohan Hazairin (Prof. Dr. Hazairin, SH.) lebih populer dibanding Ibrahim Hosen, padahal peran dan prestasi beliau tak kalah pentingnya bahkan mungkin lebih signifikan dan lebih besar pengaruhnya dibanding Hazairin dalam bidang hukum Islam di Indonesia.

Pengakuan terhadap kebesaran dan keistimewaan tokoh Ibrahim Hosen misalnya, tampak dari beberapa pernyataan ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia, di antaranya Hasan Basri (Ketua MUI 1975-1980) yang menyatakan bahwa pemikiran dan pendapat Ibrahim Hosen—yang dalam periode kepengurusannya duduk sebagai anggota Komisi Fatwa—dalam pembahasan berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan telah memegang peranan dan memberi warna dalam nasehat dan fatwa yang dikeluarkan MUI.[18] Ali Yafie menyebutnya sebagai manusia yang dikaruniai Allah banyak kelebihan (dzalika fadhlullahi yu’thihi man yasya’).[19] Satria Effendi salut karena penguasaannya terhadap aqwal al-‘ulama dan keberaniannya mengeluarkan fatwa-fatwa yang dirasakan baru oleh umat dan cepat dalam mengambil suatu kesimpulan hukum serta berani menanggung resiko sosial akibat fatwanya yang sering mengundang pro dan kontra.[20] Misbach (mantan ketua MUI Jawa Timur) terkesan akan kepiawaiannya memimpin sidang di komisi fatwa MUI dan usahanya untuk mencetak calon-calon ulama dengan memprakarsai Pendidikan Kader Ulama dan Pendidikan Kader Muballigh yang diadakan oleh MUI Pusat di Jakarta.[21] Totoh Abdul Fatah (mantan ketua umum MUI Jawa Barat) mengaguminya sebagai salah seorang tokoh yang berperan dalam sejarah pembinaaan hukum Islam di Indonesia.[22] Sedang Jalaluddin Rakhmat menyebutnya sebagai salah seorang pembaharu pemikiran keagamaan di Indonesia.[23]

Berdasarkan deskripsi besarnya kiprah dan peranan Ibrahim Hosen terhadap usaha legislasi hukum Islam di Indonesia dan apresiasi dari berbagai tokoh cendikiawan Muslim di Indonesia terhadapnya, maka sangat menarik untuk diteliti lebih jauh tentang metode ijtihadnya yang terekam dari hasil ijtihadnya dalam berbagai masalah hukum Islam.



B. Karakteristik Metode Ijtihad Ibrahim Hosen

Dalam praktek para Sahabat, Ibrahim Hosen melihat pengertian ijtihad saat itu mengarah pada penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul saw, baik melalui nash yang disebut qiyas (ma`qul al-nash), maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syari`at yang disebut mashlahat.[24]

Sedangkan menurut ulama ushul, pengertian ijtihad ialah "pengerahan segenap kemampuan seorang fakih untuk menghasilkan dugaan kuat (zhan) tentang hukum syara`."[25] Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara` `amali yang statusnya zhanni. Maksud hukum syara` `amali ialah hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan umat manusia yang lzim disebut hukum taklifi. Dan ijtihad bukanlah untuk mengeluarkan hukum syara` `amali yang statusnya qath`i[26] (fi jami’ al-ahwal (red.). Oleh sebab itu, menurut Ibrahim Hosen (selanjutnya disebut Ibrahim), ijtihad tidak berlaku di bidang aqidah dan akhlak. Argumen yang dikemukannya adalah: pertama, isi pokok al-Qur’an dan al-Sunnah terbagi menjadi tiga: (1)masalah aqidah (keimanan), (2) masalah akhlak (moral), (3) masalah yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa (syari`at). Bagian yang berkaitan dengan aqidah hanya berwenang dibicarakan dan ditangani oleh ilmu Tauhid (ilmu kalam), dan orang yang berkutat di dalamnya disebut “ahli kalam.” Bagian yang berkaitan dengan masalah akhlak (moral) hanya berwenang dibicarakan dan ditangani oleh ilmu Akhlak dan Tasawuf, dan orang yang berkutat di dalamnya disebut “ulama akhlak” dan “ulama tasawuf”. Sedangkan bagian yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa ditangani oleh ilmu Fikih dan Ushul Fikih, dan orang yang berkutat di dalamnya disebut “fakih” dan “ahli ushul”. Kedua, walaupun ada perbedaan pendapat mengenai ketiga macam hukum Islam yang menjadi inti kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut, namun mereka sepakat bahwa pengertian ijtihad yang telah dirumuskan oleh para ahli fikih dan ushul itu berlaku hanya di bidang hukum, tidak di bidang akidah dan akhlak. Karena itu, para ulama yang mengadakan pengkajian dan penelaahan di bidang akidah dan akhlak, betapapun tinggi ilmunya, tidak pernah dicatat sebagai mujtahid dalam sejarah.[27]

Selanjutnya, Ibrahim memperkuat pendapatnya di atas dengan mengutip pernyataan Mahalli yang menegaskan: “sesungguhnya yang dimaksud dengan ijtihad adalah ijtihad di dalam bidang fikih (hukum furu`).”[28] Jadi menurutnya ijtihad secara istilah, hanya berlaku dalam bidang fikih, dan bagi yang berpendapat bahwa ijtihad secara istilah juga berlaku dalam bidang akidah dan akhlak, maka pendapat tersebut menunjukkan ketidaktahuan atau ketidak disiplinan dalam tata krama keilmuan.[29]

Untuk lebih lengkapnya, metode ijtihad yang dipakai Ibrahim dalam memecahkan permasalahan hukum Islam bisa dilihat dari stratifikasi prioritas sebagai berikut:



1. Pemahaman Kontekstual al-Qur’an dan al-Sunnah

Al-Qur’an sebagai kitab suci adalah kitab Allah yang lazim di sebut ma anzala Allah (apa yang diturunkan oleh Allah). Dalam memahami al-Qur’an, menurut Ibrahim, ulama periode terdahulu banyak yang memahami secara harfiah dan tidak sesuai dengan apa yang dimaksud al-Qur’an. Dan mereka beranggapan bahwa pemahaman harfiah itu adalah hukum Allah, sedang yang keluar dari pemahaman mereka adalah termasuk kafir sebagaimana diancam dalam firman Allah pada surat al-Maidah ayat 44. Dan pemahaman seperti ini selain tidak benar juga dapat menghambat perkembangan hukum Islam.

Oleh sebab itu, menurut Ibrahim, seorang mujtahid harus berani mengadakan perombakan yang berarti dalam masalah cara memahami al-Qur’an. Antara lain dengan jalan memahami kitab Allah dalam konteks semangat dan jiwanya. Apabila dalam kehidupan ini didapati suatu ajaran atau perundang-undangan yang dari segi semangat dan jiwanya relevan dengan al-Qur’an, peraturan dan perundangan tersebut bisa diterima (dibenarkan oleh Islam), sekalipun secara harfiah tidak disebutkan oleh al-Qur’an atau bahkan mungkin dari segi lahiriah kontras dengan al-Qur’an.[30]

Dalam memahami Sunnah Rasul, ulama periode lalu juga tidak mengadakan klasifikasi apakah sunnah itu dilakukan Rasul dalam kerangka tasyri’ al-ahkam ataukah dilakukan sebagai insan biasa sebagai sifat basyariyah. Sehingga secara detail semuanya diikuti dan menjadi dalil untuk dipegangi, dengan sandaran pada firman Allah SWT surat al-Ahzab ayat 21 dan al-Hasyr ayat 7.

Untuk mengadakan perombakan dalam masalah ini, menurut Ibrahim, dapat ditempuh dengan jalan mengklasifikasikan bahwa sunnah baru dapat dijadikan pegangan yang wajib diikuti bila dilakukan Rasul dalam rangka tasyri` al-ahkam. Dan apa yang dilakukan Rasulullah yang bukan atas nama Rasul tapi selaku manusia biasa (basyar), tentu tidak termasuk ke dalam kategori firman Allah di atas, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengikutinya, namun bukan berarti harus menolaknya. Sebagai contoh, Rasul menyukai makanan yang manis-manis, kaki kambing, menyenangi pakaian yang berwarna hijau, membiarkan jenggot, dan mencukur kumis. Sedangkan contoh yang bersifat khusus seperti menikah lebih dari empat, kewajiban shalat tahajjud, dan kewajiban amar ma`ruf nahi munkar dalam kondisi apapun (walaupun bahaya).[31] Selain itu, pemahaman terhadap sunnah juga harus lebih ditekankan pada segi jiwa dan semangatnya.[32] Adapun dalam masalah keduniawian yang menyangkut masalah teknis, sebaiknya pelaksanaannya berpegang pada Hadis Nabi: “Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.” (HR. Muslim)



2. Hanya Menggunakan Ijma’ Sahabat

Ibrahim hanya menerima ijma` sharih yang terjadi di kalangan sahabat (ijma` sahabat). Sebab menurut penelitian Hosen, kemungkinan terjadinya ijma` selain sahabat—sebagaimana defenisi yang telah dirumuskan oleh ahli ushul sangat sulit. Sementara itu, mengenai ijma` sukuti masih diperselisihkan.[33]

Di samping itu, Ibrahim berpandangan bahwa ijma` haruslah ada sandaran dan sanad. Kalau sandarannya itu berupa dalil qath`i, maka pada hakekatnya letak kekuatan hukumnya tidaklah terdapat pada ijma`, akan tetapi justru pada dalil yang menjadi sandarannya itu sendiri. Kalau dalil yang menjadi sandaran itu zhanni, maka jelas sangat sulit ijma` akan menjadi kenyataan. Sebab masing-masing mujtahid tentu akan mempergunakan ijtihadnya sendiri-sendiri untuk menggali hukumnya sesuai dengan kaidah-kaidah istinbath yang mereka pegang, dan tentu hasilnya tidak akan sama satu sama lainnya.[34]

Dari segi sanad, ijma` yang bersanad ahad tentu tidak dipegang sebagai hujjah yang pasti. Padahal, untuk meraih ijma` yang mutawatir jelas tidak mudah. Oleh sebab itu, sesuai dengan realitas yang ada, Ibrahim menawarkan agar sebaiknya hanya berpegang pada ijma` sahabat saja. Atau kalau mau lebih maju lagi, bisa mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa ijma`--berdasarkan defenisinya—sangat mustahil terwujud. Karena apa yang biasanya disebut sebagai ijma` sahabat yang juga menjadi ijma` di kalangan ulama-ulama berikutnya, pada hakekatnya hanyalah musyawarah terbatas dari ulama-ulama yang ada di tempat masa itu (lokal). Jadi di luar tempat itu sebenarnya masih banyak ulama level mujtahid yang tidak ikut terlibat.[35]



3. Qiyas (Rekonstruksi Masalik al-`Illat)

Qiyas merupakan dalil yang paling subur dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum ditegaskan dalam nash, atau oleh pembahasan mujtahid terdahulu. Menurut Ibrahim, pembaharuan dalam bidang ini dapat ditempuh dengan cara merumuskan kaidah pencarian dan pengujian `illat yang benar-benar baru. Sehingga dalam menggalakkan qiyas tidak terikat dengan masalik al-`illat gaya lama, hasil rumusan ulama terdahulu.[36]

Sebagai contoh, menurut ulama periode lalu bahwa `illat kebolehan shalat qashar adalah karena safar, yang mana pada safar terdapat hikmah yakni mazinnah masyaqqah, memiliki indikasi adanya kesulitan. Tidak dilihat apakah safar tersebut benar-benar lelah atau tidak. Karena yang terpenting adalah adanya safar. Atas dasar ini, orang yang pergi dari Jakarta ke Medan dengan pesawat terbang tetap boleh mengqashar shalat, meskipun ditempuh hanya dalam waktu 2 jam dan dengan kondisi yang tetap segar, sebab `illat safar dengan masafahnya memang terdapat di sana. Sementara itu, orang yang pergi jalan kaki dari Ciputat ke Bogor—sekalipun susah, lelah, dan capek—tetap tidak bisa mengqashar shalat. sebab `illat safar memang tidak terdapat di sana (maksudnya, jarak Ciputat-Bogor tidak memenuhi batas jarak safar yang dirumuskan para ulama).

Ibrahim mengusulkan hendaknya kita harus berani meninjau kembali `illat safar di atas. Bisakah `illatnya justru masyaqqah ? Kalau telah berhasil dibuktikan (berdasarkan masalik al-`illat baru) bahwa sesuai `illatnya ada masyaqqah, maka ini akan membawa perombakan baru dalam masalah hukum. Sehingga berdasarkan `illah masyaqqah ini, maka dalam kasus di atas justru si pejalan kakilah yang boleh mengqashar shalat, dan orang yang pergi dari Jakarta ke Medan dengan pesawat terbang jelas tidak dibenarkan mengqashar shalatnya. Demikian juga berdasarkan `illat masyaqqah ini, orang yang bekerja berat, seperti buruh pabrik dan pelabuhan, tentunya bisa dibenarkan mengqashar shalat.[37] Dan dari sini bisa pula ditarik contoh lain yang tidak kalah masyaqqahnya seperti terhadap kuli bangunan, kuli pikul di pasar, penarik becak dan lainnya.



4. Penggalakan Mashlahah Mursalah

Dengan mengutip ucapan al-Syatibi, “di mana ada kemashlahatan, di sana ada hukum Allah”, maka Ibrahim menjadikan mashalih al-mursalah ini sebagai dalil hukum. Sebab berdasarkan mashalih al-mursalah ini menurutnya akan banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an atau al-Sunnah dan dalil-dalil lainnya, dapat ditetapkan hukumnya. Dalam rangka reaktualisasi hukum Islam, Ibrahim memandang perlu digalakkan pendekatan mashalih al-mursalah dalam kasus-kasus hukum yang dijumpai, karena kemashlahatan umat itu tidak sama dan banyak ragam serta variasinya, di samping selalu berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan kemajuan zaman.[38]

Contoh penerapan mashlahah mursalah ini bisa dilihat pada ijtihadnya tentang donor organ tubuh manusia dan donor organ tubuh binatang. Mengenai donor organ tubuh manusia, ia setuju dengan pendapat ulama yang menyatakan bahwa organ tubuh manusia, termasuk ginjal dan lainnya bukanlah milik manusia. Manusia hanya berhak mengambil manfaatnya. Karena itu pula, kepemilikan manusia atas organ-organ tubuhnya adalah milk al-intifa`. Sedangkan bendanya itu sendiri—dalam hal ini organ-organ tubuh tersebut—adalah milik Allah. Hal ini menurutnya sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 155, al-Sajdah ayat 7-9, dan al-Mulk ayat 23.

Walaupun pada dasarnya tidak boleh donor salah satu bagian organ tubuh baik ketika masih hidup maupun setelah mati, membahayakan atau tidak, sekalipun ada izin dari keluarga atau ahli warisnya—karena organ tubuh itu bukan milik manusia—namun jika kepentingan masyarakat menghendaki, maka pemerintah dapat dibenarkan oleh hukum Islam membuat peraturan perundangan yang membolehkan dilakukannya pemanfaatan organ tubuh manusia berikut pengaturannya sesuai dengan petunjuk medis dan akhlak mulia.[39]

Jadi donor organ tubuh hanya dibolehkan jika sudah ada peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah sebagai Ulil Amri. Pemerintah dalam hal ini dapat juga menetapkan perlu tidaknya diberikan uang hiburan kepada donor, dengan peraturan yang cukup ketat dan sanksi bagi yang melanggarnya.[40]

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa dalam menyikapi mashlahah, Ibrahim lebih bersikap moderat. Ia tidak kaku seperti ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah yang menganggap mashlalah bukan sebagai dalil hukum, namun ia juga tidak seliberal al-Thufi yang tetap mendahulukan kemashlahatan jika bertentangan dengan nash.



5. Sosialisasi Sadd al-Dzari’ah

Sadd al-dzari`ah maksudnya adalah menutup jalan yang menuju kepada yang haram/dilarang oleh Islam sebagai tindakan preventif. Dalam penerapan sadd al-dzari`ah, pada prinsipnya Ibrahim mengkhususkan kepada sarana yang dapat membawa manusia kepada kemiskinan/haram. Dengan demikian, walaupun pada mulanya sarana itu sendiri hukumnya mubah, tetapi karena sarana itu akan membawa ke arah maksiat/haram, maka sarana itupun diharamkan. Hal ini menurutnya sejalan dengan kaedah “li al-wasa’il hukm al-maqasid.” Oleh sebab itu, haramnya disebut haram li sadd al-zari`ah.[41]

Dalil sadd al-dzari’ah ini menurutnya dapat juga diterapkan terhadap segala sesuatu yang dianggap dapat membahayakan agama dan masyarakat banyak secara umum Sebagai contoh, diharamkannya perkawinan beda agama yang dikhawatirkan dapat merusak akidah isteri atau anak-anaknya kelak. Dan dengan dalil inipun dapat digunakan pemerintah untuk melarang penjualan bebas alat kontrasepsi untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan, peredaran buku porno, film cabul, penutupan panti pijat yang pekerjanya wanita, dan bayi tabung dari suami istri yang normal atau dari sperma suami yang telah meninggal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan motif-motif tertentu.[42]



6. Penggunaan Istishab

Penggunaan istishab ini bermula ketika tahun 1986 di kalangan masyarakat Indonesia muncul isu lemak babi yang dicampurkan ke dalam berbagai bahan makanan dan kosmetika tertentu. Isu ini terus menyebar bahkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ditambahkan sekian banyak daftar makanan dan susu, sehingga kecap, mie instant, dan susu dibuang sangat banyak. Dalam kondisi seperti ini, keadaan ekonomi menjadi terguncang. Dampaknya, beberapa pabrik yang banyak menyerap tenaga kerja menjadi lesu karena berhenti sementara berproduksi, bahkan konon banyak air susu perahan yang dibuang mubazir, para peternak sapi tidak bisa menjual susu, sebab pabriknya mengurangi pembelian susu dari peternak untuk menurunkan produksinya.

Saat itu Ibrahim mengamati, jika keadaan tersebut dibiarkan terus-menerus akan berdampak pada runtuhnya perekonomian nasional dalam skala luas. Maka Ibrahim segera berinisiatif mengeluarkan fatwa bahwa dalam kondisi belum ada hasil penelitian laboratoris yang dapat dipertanggungjawabkan, maka segala sesuatu itu dikembalikan kepada hukum asal berdasarkan istishab. Atas dasar itu pula, maka semua makanan, minuman termasuk susu dan kosmetika yang diisukan tercemar lemak babi tersebut hukumnya halal. Sebab sebelum ada isu lemak babi, semua makanan, susu, dan kosmetika tadi hukumnya halal.[43]



7. Menggunakan Kaidah Fikih/Ushul Fikih

a. Irtikab Akhaff al-Dhararain

Irtikab akhaff al-dhararain dimaksudkan untuk memilih alternatif yang paling ringan atau sedikit bahaya negatifnya. Hosen melihat bahwa kaidah ini sangat tepat dan efektif untuk memecahkan permasalahan baru yang muncul dalam upaya menambah lengkapnya khazanah pemunculan hukum-hukum baru.

Ibrahim mencontohkan, perang di bulan Haram dilarang. Namun, kalau pada bulan ini pihak musuh memulai serangan, maka berdasarkan kaedah di atas, umat Islam boleh membalas serangan itu. Sebab serangan musuh dan fitnah tersebut dapat mengganggu eksistensi Islam. Fitnah lebih keji dari pembunuhan. Jadi, keharaman berperang pada bulan haram itu lebih ringan jika dibandingkan dengan haramnya melepaskan diri dari agama Islam yang menjadi tujuan musuh.[44]

Kaedah di atas juga diterapkannya pada masalah boleh tidaknya dilakukan eutanasia terhadap penderita AIDS. Menurut Ibrahim, untuk menolong penderita agar tidak terlalu lama menanggung penderitaannya dan pencegahan untuk menyelamatkan manusia dari bahaya lebih besar yang diakibatkan oleh penularan virus yang sangat ganas itu, maka orang yang terkena AIDS disebabkan oleh pergaulan seks bebas, boleh dilakukan eutanasia terhadapnya.[45] Ini menurutnya tidak bertentangan dengan hukum Islam karena bukan termasuk pembunuhan. Dan seandainya hal ini dianggap sebagai pembunuhan, pada hakekatnya si penderita itu juga sudah mati menurut hukum Islam. Sebab orang yang berzina baik yang muhsan maupun ghairu muhsan—dengan hukuman dera 100 kali ataupun rajam—menurut kebiasaan—untuk fisik pada masa sekarang yang tidak terlalu kuat--akan mati juga karena tidak tahan dengan hukuman tersebut.[46]

Dalam contoh lain tentang pembongkaran pemukiman kumuh (tidak sehat) yang berada di tengah-tengah kota. Menurut Ibrahim, mudharat pembongkaran--karena perpindahan itu mesti ada unsur penderitaannya--adalah lebih ringan dibandingkan dengan mudharat yang akan menimpa penghuninya dan lingkungan kota jika hal tersebut dibiarkan.[47]



b. Hukm al-Hakim Ilzamun wa Yarfa`u al-Khilaf

Pembicaraan dalam konteks ini tidak menyangkut hal-hal yang diwajibkan atau diharamkan melalui al-Qur’an atau Sunnah Rasul, melainkan mengenai hal-hal yang tidak diwajibkan atau dilarang oleh Allah dan Rasul, yaitu hal-hal yang termasuk kategori mubah. Pada hal-hal yang mubah inilah Ulil Amri (pemerintah nasional) diberi hak oleh ajaran Islam untuk dipatuhi oleh umat Islam.

Maksudnya, jika Ulil Amri memerintahkan atau melarang sesuatu yang mubah, umat Islam harus (wajib) mematuhinya[48] sepanjang mubah yang dilarang, atau diwajibkannya menyangkut kemashlahatan masyarakat dan merupakan sesuatu yang benar-benar mubah bagi masyarakat (mubah bi al-juz’i wa al-kulli). Misalnya, pembatasan pemilikan tanah, peraturan pengendalian harga, dan sebagainya.[49]

Berlainan dengan hal ini, menurut Ibrahim, pemerintah tidak boleh mewajibkan atau melarang sesuatu yang hanya mubah bagi individu tetapi tidak mubah bagi masyarakat (mubah bi al-juz’i La al-kulli). Oleh sebab itu, pemerintah misalnya, tidak boleh mewajibkan kepada masyarakat untuk melakukan KB atau melarang mereka untuk menikah, karena bertentangan dengan tujuan pensyari`atan nikah. Namun terhadap pribadi, hukum agama memberikan kebebasan. Apakah yang bersangkutan mau ber-KB atau tidak, mau menikah boleh, tidak menikah juga tidak jadi soal.[50]

Tegasnya, fikih menghendaki campur tangan pemerintah dalam hal-hal yang menyangkut persoalan kemasyarakatan, untuk penyeragaman amaliah, dengan memilih sesuatu pendapat mazhab fikih yang dipandangnya membawa kemashlahatan masyarakat meskipun melalui talfiq, karena mazhab pemerintah adalah mengutamakan kemashlahatan umum. Sesuatu pendapat atau mazhab fikih yang telah dipilih pemerintah, status fikihnya—yaitu tidak mengikat—menjadi hilang. Pada tahap ini, ia mengikat karena sudah merupakan keputusan Ulil Amri (pemerintah) yang wajib dipatuhi.[51]

Selain itu, Ibrahim setuju dengan pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa Ulil Amri (pemerintah) dibenarkan pula untuk mengkhususkan keumuman nash atau mentaqyidkan kemutlakannya[52] Dengan demikian, jika pemerintah telah menetapkan suatu ketetapan sebagaimana dimaksudkan, rakyat wajib mematuhinya. Walaupun kepatuhan terhadap ketetapan pemerintah ini diperselisihkan para ulama, apakah statusnya qadha’i atau diniy. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tentang hal ini, rakyat tetap harus mematuhinya, ia berdalil dengan firman Allah pada surat al-Nisa’ ayat 59 yang menegaskan kewajiban mentaati pemimpin.

Ayat di atas menurutnya sejalan dengan Hadis-Hadis Nabi SAW.:

“Hendaklah kalian patuh dan taat (kepada pemerintah), sekalipun yang memerintah itu budak Habsyi.”(HR. Bukhari)

“Wajib mendengar dan taat bagi setiap muslim (kepada pemerintah) baik ia senang ataupun tidak (terpaksa), selama tidak diperintah untuk melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk maksiat, maka tidak ada kewajiban patuh dan taat.” (HR. Abu Dawud).

Oleh sebab itu, Ibrahim pun mengusulkan perlunya pemerintah menyatukan penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan 10 Dzulhijjah untuk penyeragaman amaliah, menjaga persatuan, menghindarkan retaknya ukhuwah Islamiyah dan kesimpangsiuran dalam masyarakat.[53]



8. Memfikihkan Hukum Qath`i

Jika berpegang pada kaedah ushul fikih “Tidak ada ijtihad dalam menghadapi nash qath`i” sedangkan fikih adalah hasil ijtihad, tentulah dengan kaedah ini hukum qath`i tidak dapat diganggu gugat lagi. Artinya, tidak dapat difikihkan. Tetapi menurut Ibrahim, suatu hukum jika tidak dapat berubah, hukum itu menjadi kaku. Sementara pada sisi lain, disepakati untuk berpegang pada motto: “al-Islam Shalihun likulli Zaman wa Makan” dan “Taghayyur al-Ahkan bitaghayyur al-Amkinah wa al-Azminah.” [54]

Berkenaan dengan masalah ini, ada beberapa hal prinsipil yang menurutnya sangat perlu diperhatikan terlebih dahulu. Pertama, hukum qath`i yaitu hukum yang terwujud dari nash qath`i, tidak banyak dan jumlahnya dapat dihitung. Sebab, untuk menjadikan sesuatu nash itu qath`i harus menafikan dengan dasar mutawatir, dan segala macam bentuk ihtimal (kebolehjadian). Misalnya, nash itu tidak mengandung ihtimal majaz, kinayah, idhmar, takhsis, taqdim dan ta’khir, naskh, atau ta`arud al-`Aqli. Jadi, selama terdapat dugaan bahwa suatu lafaz nash mengandung ihtimal, ia tetap dipandang zhanni. Kedua, seandainya sebuah nash telah dijadikan qath`i, maka apakah qath`inya fi jami` al-ahwal atau fi ba`d al-ahwal. Jika fi jami` al-ahwal, baru berlaku kaedah: “La ijtihad fi muqabalat al-nash.”[55]Akan tetapi, jika qath`inya fi ba`d al-ahwal, Ibrahim berpihak pada ulama yang memandang bahwa qath`i dalam bentuk ini dapat difikihkan.

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa tidak semua hukum qath`i dari segi penerapannya (tathbiq) berlaku fi jami` al-ahwal. Sebab kalau qath`inya umum, pasti ada qath`i pula yang berstatus mentakhsiskan; kalau qath`inya muthlaq, ada pula qath`i lain yang mentaqyidkannya. Dengan demikian, memfikihkan qath`i itu adalah dari segi pentathbiqannya, bukan lafaznya yang menafikan seluruh bentuk ihtimal.

Selanjutnya, Ibrahim menjelaskan bahwa dalam hukum Islam ada dua kategori hukum. Pertama, “hukum semula.” (azimah), dan kedua, hukum yang menyalahi hukum pertama karena perubahan suasana (rukhsah). Adanya kategorisasi hukum Islam dengan azimah dan rukhsah ini serta landasan kaedah “Taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-amkinah wa al-azminah” bagi Ibrahim dijadikan acuan dan dasar bagi memfikihkan hukum-hukum qath`i, Ia mengakui bahwa memfikihkan yang qath`i ini telah menjadi perselisihan para ulama. Namun ia memilih pendapat ulama yang membolehkan, dengan mensyaratkan hanya qath`i yang keberlakuannya tidak fi jami` al-ahwal. Dalam hal ini, ia memperkuat alasannya dengan berdalil pada al-Qur’an surat al-Baqarah: 185, al-Hajj: 88, dan Hadis-Hadis Nabi tentang kemudahan.[56]

Berikut ini, Ibrahim memaparkan beberapa contoh hukum qath`i yang dalam tathbiqnya difikihkan:



a. Mencuri dihukum dengan potongan tangan (qath`i)

Dalam pentathbiqannya, sebagian ulama berpendapat bahwa hukum potong tangan ini menjadi gugur dengan taubat berdasarkan ayat:

`yJsù z>$s? .`ÏB ω÷èt/ ¾ÏmÏHø>àß yxn=ô¹r&ur cÎ*sù ©!$# ÛUqçGtƒ Ïmø‹n=tã 3 ¨bÎ) ©!$# Ö‘qàÿxî îLìÏm§‘

“Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah: 39)

Sebagian ulama lain berpendapat, hukum potong tangan itu menjadi gugur pula manakala pemilik benda memaafkannya, atau pencuri mengembalikan benda curiannya atau menggantinya.[57]



b. Berzina harus dihukum had (qath`i)

Dalam pentathbiqannya, sebagian ulama berpendapat bahwa had tersebut gugur dengan taubat. Namun sebagian ulama lainnya memfiqihkan pelaksanaan hukum pidana ini dengan mengembalikan persoalan tersebut pada ayat hirabah (al-Ma’idah: 33-34) melalui qiyas. Yaitu bahwa pelaku perampokan, pembunuhan, dan perkosaan yang bertaubat sebelum ditangkap oleh penguasa (ulil amri) menjadi gugur hukumannya yang telah ditentukan dalam ayat tersebut. Jadi dalam tindak pidana yang lebih ringan dari hirabah seperti zina, tentu pengguguran hukum dengan taubat akan lebih logis lagi. Di samping itu, mereka menekankan aspek zawajir daripada aspek jawabirnya sebagai maqasid atau `illat hukum.

Dengan demikian, pelaksanaan hukum qath`i itu dipengaruhi oleh suasana. Hal ini sejalan dengan kaedah:

الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

“Hukum itu berputar bersama `illatnya, ada maupun tiadanya.”

تغير الأحكام بتغير الأمكنة والأزمنة

“Hukum itu berubah disebabkan perubahan tempat dan waktu.”

Contoh lainnya, menurut hukum qath`i, wanita yang sedang haid dilarang melakukan thawaf. Akan tetapi suasana dahulu pada masa Nabi telah jauh berubah dibandingkan dengan suasana sekarang. Berkenaan dengan masalah ini, para ulamapun berijtihad. Sebagian ulama tetap memandang tidak boleh melakukan thawaf sampai ia suci; sebagian ulama yang lain membolehkan thawaf dengan membayar “dam” seekor onta, dan sebagian ulama yang lain lagi membolehkan thawaf tanpa “dam”. Sedangkan ulama Indonesia mengatasinya dengan membolehkan wanita calon haji menggunakan pil penundaan haid.[58]





9. Pendekatan Ta`aqquli

Dalam mendeteksi ajaran hukum Islam, ulama periode lalu banyak yang melakukannya melalui pendekatan ta`abbudi (hukum Islam diterima apa adanya tanpa komentar). Karenanya, kausalitas illat hukum dan hikmah tasyri` tidak banyak terungkap sehingga pikiran kaum muslim cenderung menjadi jumud.

Pendekatan ta`abbudi semata ini, menurut Ibrahim harus diubah dengan jalan bahwa sebaiknya dalam memahami ajaran/hukum Islam dilakukan lewat pendekatan ilmiah rasional menuju pendekatan ta`aqquli. Dengan prinsip ini, illat hukum dan hikmah tasyri` dapat dicerna oleh penalaran umat Islam, terutama dalam masalah kemasyarakatan.[59]

Sebab dalam pandangan Ibrahim, hukum Islam memang ada yang bersifat ta`abbudi dan ada pula yang bersifat ta`aqquli. Maka dari itu, dalam rangka pembaharuan hukum, haruslah dibedakan mana yang termasuk kategori ta’abbudi dan ta`aqquli. Kalau termasuk kategori ta`aqquli, maka haruslah dipahami dengan pendekatan ta`aqquli. Dengan cara ini, maka hukum Islam itu dapat dikembangkan lewat metode qiyas. Sedang bagi yang selama ini dianggap ta`abbudi, masih terbuka kemungkinan untuk dimasukkan sebagai hukum Islam yang bersifat ta`aqquli melalui kajian dan penelitian yang mendalam. Penilaian dan pembedaan apakah suatu pensyari`atan hukum Islam itu termasuk sesuatu yang ta`abbudi atau ta`aqquli sangat penting dilakukan, karena dengan cara ini akan dapat ditentukan apakah suatu kasus masih mungkin untuk dimasuki ijtihad atau tidak.[60]

Apabila telah dilakukan penelitian yang mendalam, ternyata suatu pensyari`atan hukum telah ditetapkan bahwa hal itu bersifat ta`abbudi, maka berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ijtihad tidak berlaku padanya. Sebaliknya, jika berdasarkan penelitian yang mendalam, suatu pensyari`atan hukum diketahui bahwa hal itu bersifat ta`aqquli, maka ijtihad dapat dan akan diberlakukan padanya. Hasil dari hukum tersebut dapat dikembangkan untuk kasus-kasus lain yang mempunyai persamaan melalui qiyas. Dengan sistem ini, maka hukum itu akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.[61]

Dengan demikian, pada prinsipnya di sini Ibrahim menekankan perlunya rasionalisasi ajaran dan hukum Islam agar mudah dipahami dan dapat dilaksanakan secara simultan dalam teori dan prakteknya sekaligus. Walaupun begitu, ia juga tidak menafikan bahwa ada juga ajaran atau hukum Islam yang sifatnya ta`abbudi semata. Namun, Hosen tetap memberikan motivasi agar apa yang selama ini dianggap ta`abbudi supaya diteliti ulang lebih lanjut, sehingga terbuka kesempatan untuk menjadikannya sebagai sesuatu yang ta`qquli dengan tetap berlandaskan pada maqasid al-syari’ah melalui pemahaman illat dan hikmah tasyri`.

Prinsip ta`aqquli ini tercermin juga dari sikap Ibrahim terhadap masalah pidana yang lebih menekankan pada aspek zawajir daripada jawabir. Kalau jawabir, maka dengan hukuman yang dilaksanakan, dosa atau kesalahan si pelaku pidana akan diampuni oleh Allah SWT. Karenanya, mengenai hukuman dalam pidana, ia tidak setuju dengan pemahaman yang terpaku pada apa yang dikatakan oleh nash saja, tidak kurang tidak lebih. Sebagai contoh, karena berpegang pada prinsip ini, maka hukuman bagi pencuri hanya potong tangan, pezina mesti dirajam bagi yang muhshan atau didera 100 kali bagi yang ghairu muhshan.

Pendekatan ta`aqquli dalam masalah ini penting dilakukan dan dapat ditempuh dengan menekankan segi zawajirnya, yaitu hukuman yang dilakukan itu agar mereka yang bersalah merasa jera, tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Dengan demikian, hukuman tidak terikat dan tidak terpaku pada apa yang tertera di dalam nash. Atas dasar ini, pencuri bisa saja dihukum dengan hukuman selain potong tangan, asalkan dengan hukuman itu dapat diharapkan bahwa si pencuri akan kapok, tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang serupa, dan membuat orang yang punya niat serupa mengurungkan niatnya. Begitu juga halnya dengan hukuman bagi orang berzina.[62]



Penutup

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Ibrahim Hosen adalah seorang pemikir hukum Islam yang benar-benar mumpuni di bidangnya. Penguasaannya terhadap pendapat-pendapat ulama mazhab beserta norma-norma dan kaedah-kaedah istinbath yang dibuat mujtahid mutlaq mustaqil terdahulu, keahliannya dalam menggunakan dalil-dalil, dan pemahamannya yang mendalam terhadap maqasid al-syari`ah tercermin dari hasil ijtihadnya.

Keyakinannya yang teguh atas hasil ijtihadnya tersebut, ia pertahankan dengan dibarengi argumentasi rasional secara ilmiah tanpa memperdulikan resiko kecaman dan hinaan dari pihak-pihak yang tidak setuju. Untuk menjawab penentang pendapatnya sekaligus pembelajaran bagi umat, iapun memaparkan cara-cara yang ditempuhnya dalam beristinbath kepada khalayak melalui berbagai tulisan dalam bentuk karya-karya ilmiah dengan logika hukum yang mantap dan akurat.

Ibrahim Hosen tampaknya tidak terikat dengan salah satu mazhab saja. Ini bisa dilihat dari prinsip takhayyur yang seringkali digunakannya dalam membahas berbagai masalah hukum. Model ijtihad yang dilakukan Ibrahim Hosen ada kalanya di bidang fatwa, tarjih, atau memecahkan hukum masalah baru. Oleh sebab itu, tak berlebihan kiranya jika ia dimasukkan ke dalam kategori mujtahid mutlaq muntasib.















DAFTAR PUSTAKA

Asad, Muhammad, Islamic Constitutional Making, terjemahan Oemar Amir Hoesin, Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, t.t.

al-Baitar, Muhammad Bahjah, Hayat Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, T.t.: al-Maktab al-Islami, t. th.

al-Bayanuni, Abu al-Fattah, Dirasat fi al-Ikhtilaf al-Fiqhiyyah, Tp: Dar al-Salam, 1983

al-Fandi, Muhammad Sabit, et. all, Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah, T.t.: t.p., t.th., Juz I

al-Fasi, al-Tsa'alibi, Al-Fikr al-Samifi Tarikh al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Kutub al-flmiyyah, 1995, Jilid III

Hosen, Ibrahim, Apakah Judi Itu ? Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu-Ilmu al-Qur’an, 1987, Cet. ke-1

--------------, Memecahkan Permasalahan Hukum Baru, dalam Haidar Bagir dan Sayfiq Basri (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1992, Cet. ke-2

--------------, Pokok-Pokok Pemikiran Hukum Islam Sebuah Kerangka Konseptual, Jakarta: al-Furqan, No. 5 Th.III-IIQ/September-Nopember 1994

--------------, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et, al., Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995), Cet. ke-1

--------------, Konsep Hukum Islam Tentang Penanggulangan AIDS, Jakarta: al-Furqan, IIQ, No. 6 Th. IV/Desember 1995-Pebruari 1996

--------------, Upaya Pelayanan Kesehatan Dipandang Dari Segi Hukum Islam, Jakarta: al-Furqan, IIQ, No. 7 Th. V/1996

Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981

Mudzar, Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993, Cet. ke-1

Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990, Cet. ke-1



al-Qaradhawi, Yusuf, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (terj.) Surabaya: Risalah Gusti, 1994, Cet. ke-1

Rahmat, Jalaluddin, dalam kata pengantar Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1993

al-Razi, Fakhr al-Din, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Beirut: Dar al-Jil, 1992

al-Sanhuri, Muhammad Ahmad Faraj, Tasyri` al-Usrah, Mesir: al-Jami`ah al-Mishriyah li al-Iqtishad al-Siyasi wa al-Ihsa` wa al-Tasyri`, t. th.

Shihab, Quraish, dalam Sambutan Rektor Pada Seminar Sehari “Pikiran Hukum Islam KH. Ibrahim Hosen,” Sabtu, 04 Juni 1994

al-Subki, Taj al-Din Abd al-Wahhab ibn, Jam' al-Jawami', Mesir: Muslhafa al-Babi al-Halabi, 1937

al-Subki, Ibn, Syarh Jam` al-Jawami`, Beirut: dar al-Fikr, t.th., Juz II

Taj, Abd al-Rahman, al-Siyasah al-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Mathba`ah Dar al-Ta’lif, 1953

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.t., Juz II

------------, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, t.t.











* Penulis adalah dosen STAIN Bengkulu, mahasiswa program S3 UIN Jakarta

[1] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabiy, t.t., h. 237-271

[2] Muhammad Asad, Islamic Constitutional Making, terjemahan Oemar Amir Hoesin, Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Bersama, t.t., h. 27

[3] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981, h. 148

[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, t.t., h. 279

[5] Yusuf al-Qaradhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (terj.) Surabaya: Risalah Gusti, 1994, Cet. Ke-1, h. 16

[6] Abu al-Fattah al-Bayanuni, Dirasat fi al-Ikhtilaf al-Fiqhiyyah, Tp: Dar al-Salam, 1983, h. 77

7 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Juz II, h. 393-395

8 Fakhr al-Din al-Razi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, Beirut: Dar al-Jil, 1992

[9] Muhammad Sabit al-Fandi, et. all, Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah, T.t.: t.p., t.th., Juz I, h. 113. Namun menurut al-Baitar, pengakuan Ibnu Batutah yang katanya pernah menghadiri pengajian Ibnu Taimiyah pada hari Jum’at saat Ibnu Taimiyah mengatakan “Allah turun dari langit dunia bagaikan aku turun sekarang ini” seraya Ibnu Taimiyah turun dari tangga mimbarnya—adalah tidak benar, karena tidak mungkin ia bertemu Ibnu Taimiyah pada waktu yang ia nyatakan itu. Sebab Ibnu Batutah tiba di Damsyik (Syiria) pada hari Kamis tanggal 19 Ramadhan 726H, sedang Ibnu Taimiyah pada tahun itu telah dipenjarakan di Damsyik sejak awal-awal bulan Sya’ban sampai akhir hidupnya yakni bulan Zulqaidah tahun 728H. Muhammad Bahjah al-Baitar, Hayat Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, T.t.: al-Maktab al-Islami, t. th., h. 36

10 Quraish Shihab, dalam Sambutan Rektor Pada Seminar Sehari “Pikiran Hukum Islam KH. Ibrahim Hosen,” Sabtu, 04 Juni 1994, h. 2-3

[11] Panitia Penyusun Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990, Cet. ke-1, h. 201

[12] Cemoohan ini diakui Hosen sebagai konsekuensi dari keberaniannya memasuki pintu ijtihad yang masih terbuka. Ibrahim Hosen, Pokok-Pokok Pemikiran Hukum Islam Sebuah Kerangka Konseptual, Jakarta: al-Furqan, No. 5 Th.III-IIQ/September-Nopember 1994, h. 16-17

[13] Saat itu Ibrahim Hosen menfatwakan bahwa dalam kondisi belum ada hasil penelitian laboratoris yang dapat dipertanggungjawabkan, maka segala sesuatu itu dikembalikan kepada hukum asal berdasarkan istishab. Atas dasar itu, maka semua makanan, minuman dan kosmetika yang diisukan tercemar lemak babi tersebut hukumnya halal. Untuk lebih meyakinkan masyarakat, iapun bersedia minum susu Dancow bersama pejabat lainnya yang adegan itu direkam dan disiarkan secara luas oleh media cetak dan elektronik. Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 200-201

[14] Setelah menjelaskan perbedaan khamr dan muskir (nabidz), Ibrahim Hosen lalu mengungkapkan berbagai pendapat ulama tentang hukum minum nabidz pada kadar yang tidak memabukkan, kemudian ia mentarjihnya dengan kesimpulan bahwa hukum minum bir adalah mubah bagi yang menghendakinya dalam batas tidak memabukkan, dengan mengambil pendapat sebagian ulama Hanafiah yang membolehkan minum sedikit dan tidak memabukkan untuk tujuan menambah kekuatan dalam berjihad dan lainnya, bukan untuk berfoya-foya. Atas dasar itu, maka obat-obatan yang mengandung bahan-bahan yang memabukkan seperti alkohol, ganja, candu, dan bahan-bahan perangsang lainnya menjadi boleh dimanfaatkan jika ada hajat. Jadi bagi para atlet olahraga dan pekerja berat boleh minum obat-obat kuat seperti bir dan lain sebagainya, begitu juga ibu-ibu yang habis bersalin boleh meminum bir hitam guna memulihkan kesehatannya. Lihat Ibid., h. 155-161

[15] Menurut Ibrahim Hosen, lotre, porkas, dan SDSB tidak sama dengan judi walaupun motif dan tujuannya sama, dan tidak termasuk ke dalam kategori maisir yang diharamkan karena tidak mengandung illat maisir yaitu taruhan berhadap-hadapan/langsung yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian (‘adawah dan baghdha’). Lihat Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ? Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu-Ilmu al-Qur’an, 1987, Cet. ke-1, h. 49, 53-54

[16] Pengujian fatwa tentang kodok ini telah dilakukan oleh Atho Mudzar dengan kesimpulan bahwa menurutnya qiyas yang digunakan kurang tepat, dan fatwa tersebut mendapat pengaruh terkuat dari pemerintah. Lihat Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993, Cet. ke-1, h. 117, 143

[17] Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 220-226

[18] Ibid., h. 242

[19] Ibid., h. 290

[20] Ibid., h. 316-317

[21] Ibid., h. 292-293

[22] Ibid., h. 294

[23] Jalaluddin Rakhmat, dalam kata pengantar Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1993, h. 15

[24] Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan Hukum Baru, dalam Haidar Bagir dan Syafiq Basri (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1992, Cet. ke-2, h. 23

[25]Taj al-Din Abd al-Wahhab ibn al-Subki, Jam' al-Jawami', Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1937, Lihat juga Al-Tsa'labi al-Fasi, Al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995, Jilid III, h. 493

[26] Ibrahim Hosen, Memecahkan…, loc. cit.

[27] Ibid., h. 28

[28] Ibid., h. 29. Lihat juga Ibn al-Subki, Syarh Jam` al-Jawami`, Beirut: dar al-Fikr, t.th., Juz II, h. 379

[29] Ibid.

[30] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et, al., Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995, Cet. ke-1, h. 267

[31] Ibid., h. 268, lihat pula Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 123.

[32] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan…., loc cit.

[33] Ibid., h. 269

[34] Ibid., h. 270

[35] Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 126

[36] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan…, loc. cit.

[37] Ibid., h. 271

[38] Ibid., h. 270. Lihat juga Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 129

[39] Ibrahim Hosen, Upaya Pelayanan Kesehatan Dipandang Dari Segi Hukum Islam, Jakarta: al-Furqan, IIQ, No. 7 Th. V/1996, h. 55-56

[40] Ibid., h. 57

[41] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan…, op. cit., h. 272

[42] Ibid., lihat juga Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 131, 186

[43] Ibid., h. 200-201

[44] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan… loc. cit.

[45] Lebih lengkap mengenai alasan ilmiah tentang pembolehan eutanasia ini, lihat Ibrahim Hosen, Konsep Hukum Islam Tentang Penanggulangan AIDS, Jakarta: al-Furqan, IIQ, No. 6 Th. IV/Desember 1995-Pebruari 1996, h. 38-40

[46] Ibid., h. 39

[47] Panitia Penyusun Biografi, op. cit, h. 130-131

[48] Muhammad Ahmad Faraj al-Sanhuri, Tasyri` al-Usrah, Mesir: al-Jami`ah al-Mishriyah li al-Iqtishad al-Siyasi wa al-Ihsa` wa al-Tasyri`, t. th., h. 566

[49] Ibrahim Hosen, Pokok-Pokok Pemikiran Hukum Islam Sebuah Kerangka Konseptual, Jakarta: al-Furqan, No. 5 Th.III-IIQ/September-Nopember 1994, h. 26

[50] Ibid., h. 27

[51] Ibid.

[52] Abd al-Rahman Taj, al-Siyasah al-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami, Mesir: Mathba`ah Dar al-Ta’lif, 1953, h. 14-21

[53] Panitia Penyusun Biografi, op. cit., h. 171-173

[54] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan…, op. cit., h. 273

[55] Ibid., h. 274

[56] Hadis-hadis tersebut di antaranya: “…Allah menyukai hukum rukhsah-Nya dilaksanakan sebagaimana Ia senang hukum azimah-Nya dikerjakan.”“…Permudahlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan janganlah membuat mereka lari.”

“Agama ini mudah. Tidaklah seseorang akan memberatkannya kecuali pasti ia terkalahkan.” Ibid., h. 276



[57] Ibid., h. 277

[58] Ibid., h. 279-280

[59] Ibid., h. 268

[60] Panitia penyusun Biografi, op. cit., h. 124

[61] Ibid., h. 125

[62] Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan…, op. cit., h. 269

No comments: