Wednesday, March 19, 2008

TINJAUAN SOSIAL DAN HUKUM TERHADAP KDRT

TINJAUAN SOSIAL DAN HUKUM TERHADAP

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(Menuju Formalisasi Hukum Islam Tentang Penyelesaian KDRT)

Oleh: Arif Hamzah

Abstrak:

Kekerasan dalam rumah tangga biasa dianggap sebagai Hidden crime yang telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya, penderitaan tidak hanya dialami oleh istri saja, tetapi juga anak-anaknya karena dalam rumah tangga tentu tidak hanya terdapat suami dan istri saja tetapi juga terdapat anak-anak yang mungkin melihat secara langsung atau minimal mendengar terjadinya tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga dapat menghalangi pencapaian mashlahat yang bersangkut paut dengan rumah tangga dan proses regenerasi umat. Oleh karena itu, amat perlu diformulasikan hukum Islam yang mampu menjadi payung yang melindungi terpelihara dan tercapainya mashlahat tersebut.

Pendahuluan

Hak dan kewajiban setiap warga negara adalah sama. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa kecuali”. Pasal ini sekaligus menjustifikasi bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Perempuan adalah mitra sejajar bagi laki-laki, mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam setiap lapangan kehidupan termasuk dalam rumah tangga.

Namun, dalam kehidupan keluarga sering terjadi pertentangan dan perbedaan pendapat yang sering berujung pada tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Sehingga suami yang mestinya berfungsi sebagai pengayom justru berbuat yang jauh dari harapan anggota keluarganya.

Kekerasan terhadap istri dalam suatu rumah tangga, sering oleh para ahli, dianggap sebagai Hidden crime. Meskipun telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat,[1] kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya disingkat KDRT), masih merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat perhatian masyarakat, karena:

1. KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga privasinya karena persoalannya terjadi dalam rumah tangga (keluarga).

2. KDRT sering dianggap wajar karena adanya keyakinan bahwa memperlakukan istri sekehendak suami adalah hak suami sebagai pemimpin dan kepala dalam rumah tangga.

3. KDRT terjadi dalam lembaga yang legal yaitu perkawinan.[2]

Namun, seiring berjalannya waktu, KDRT mendapat tanggapan yang serius dari berbagai organisasi perempuan baik yang berhubungan dengan pemerintah maupun non pemerintah hingga lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pembahasan

A. Definisi Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga

Secara ringkas, definisi kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan.[3]

Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).[4]

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.[5]

Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:

1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.

2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dan lain-lain

4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan

5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.[6]

Dalam konsideran deklarasi PBB juga dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah efek dari ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi laki-laki atas perempuan. Dominasi ini terus dilanggengkan sehingga perempuan terus berada dalam ketertindasan. Budaya seperti inilah yang merupakan salah satu faktor awal munculnya peluang tindakan kekerasan terhadap perempuan (istri) dalam berbagai bentuknya.

Dalam konteks Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang sebagaimana disebutkan di atas telah menyebabkan hukum, dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga."[7]

Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.

Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

Adapun definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu:

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

B. Bentuk dan Faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu:[8]

1. Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.

2. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab.

3. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.

4. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.

Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.[9]

Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:[10]

1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. Jika sudah demikian halnya maka ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri akan selalu menjadi akar dari perilaku keras dalam rumah tangga.

2. Ketergantungan ekonomi.

Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.

3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.

Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.

4. Persaingan

Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.

5. Frustasi

Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang

a. Belum siap kawin

b. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.

c. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.

Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.

6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum

Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

C. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya.[11] Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:

1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.

2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.

3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.

4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.[12]

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.

Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai[13]

Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:

1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan

2. Tidak perlu menghormati perempuan

3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar

4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja

Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:[14]

1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan

2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil

3. Merasa disia-siakan oleh orang tua

Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.

D. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekerasan –(Fisik) Terhadap Istri- Dalam Rumah Tangga

1. Menurut Hukum Pidana

Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.[15]

Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan yaitu "tiada pidana tanpa kesalahan" atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.[16]

Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).

Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.

Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: "Barang siapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun". Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: "Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”[17]

Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: "Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.”

Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.

Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri, dan anaknya.[18]

Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.

Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin. Oleh karena itu, diperlukan upaya legislasi lebih lanjut untuk mengakomodasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga ini.

2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004

UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal.[19] Secara garis besar dapat penulis uraikan sebagai berikut:

bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).

Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:

a. Penghormatan hak asasi manusia

b. Keadilan dan kesetaraan jender

c. Anti diskriminasi, dan

d. Perlindungan korban

Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:

a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga

b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga

c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga

d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana tercantum dalam pasal 5.

Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan

e. Pelayanan bimbingan rohani

Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:

a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga

c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga

d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender

Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana

b. Memberikan perlindungan kepada korban

c. Memberikan pertolongan darurat, dan

d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait

Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.

Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

a. tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)

b. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)

Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:

a. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-

b. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-

c. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-

d. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-

Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).

3. Menurut Hukum Pidana Islam

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa baik menurut KUHP maupun UU No. 23 Tahun 2004, kekerasan (fisik) dalam rumah tangga dapat dipidanakan atau dengan kata lain pelakunya dapat dikenai sanksi pidana. Lantas bagaimana menurut Hukum Pidana Islam (Jinayah), dapatkah hal itu dipidanakan. Pertanyaan inilah yang akan coba dijawab.

Dalam hukum pidana Islam dikenal empat kelompok pemidanaan yaitu qisas, diyat, hudud, dan ta'zir. Qisas dan diyat (uang tebusan atas darah) adalah pemidanaan atas kejahatan terhadap nyawa dan badan, bahwa seseorang yang terbukti membunuh atau melukai tanpa alasan yang haq,[20] maka dipidana mati/luka atau membayar tebusan atas nyawa/luka dengan sejumlah besar uang.. Adapun hudud adalah pidana Islam yang mencakup enam hal yaitu: pidana bagi pezina, orang yang menuduh orang baik-baik berzina, pencuri, peminum/pengguna khamr, perampok, dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Sedangkan ta'zir adalah hukuman yang diberikan atas terpidana berdasarkan pertimbangan hakim.

Dalam konteks KDRT, maka Pidana Islam yang relevan untuk diterapkan adalah qisas karena menyangkut kezaliman, yaitu kejahatan fisik terhadap orang lain. Hanya saja, dalam khazanah hukum Islam, baik dalam al-Qur'an dan Hadis maupun praktek masyarakat Islam pada masa awal dan seterusnya, tidak pernah ditemukan satu kasuspun qisas diterapkan kepada suami zalim yang melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya atau sebaliknya. Kalau pun terjadi kasus kekerasan fisik, maka solusi hukum Islam hanya sebatas membolehkan perceraian setelah upaya penggunaan jasa hakam yang bertugas memediasi suami dan istri yang berselisih tidak berhasil (Q.S. al-Nisa' (4): 35).[21] Dengan kata lain, formulasi hukum pidana Islam secara praktikal "belum" menyentuh pelaku kekerasan dalam rumah tangga, yaitu si suami/istri zalim.

Di masa kini dan masa yang akan datang perlukah memformulasikan hukum pidana Islam hingga mampu menyentuh dan membereskan pelaku kekerasan dalam rumah tangga?. Manusia yang sehat jasmani dan rohani dengan tegas akan mengatakan "perlu".

Ada beberapa hal dalam Islam yang dengan kokoh mendasari perlunya upaya ini. Dasar-dasar itu adalah:

a. Al-Qur'an

Ayat al-Qur'an dengan tegas menyeru dan memerintahkan para suami untuk memenuhi kewajiban terhadap istrinya, yaitu mempergaulinya dengan cara yang ma'ruf (mu'asyarah bi al-ma'ruf) sebagaimana diterangkan dalam QS. al-Nisa' (4): 19, demikian pula kewajiban suami untuk memenuhi nafkahnya sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqarah (2): 233

b. Hadis

Banyak hadis yang menerangkan kewajiban suami terhadap istri sebagaimana disampaikan oleh Mu'awiyah al-Qusyairi, ia menyatakan: "Saya bertanya, Ya Rasulallah, apakah hak seorang istri atas suaminya? Rasulullah menjawab: kamu memberinya makan seperti apa yang kamu makan, memberinya pakaian seperti kamu memakai pakain, jangan memukul wajahnya, dan janganlah engkau menjelekkannya kecuali kalau berada di dalam rumah” (HR. Abu Dawud)[22]. Begitu pula Hadis dari A'isyah yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik kalian terhadap keluargaku" (HR. Ibn Majah)[23]

Berkaitan dengan ayat al-Qur'an dan Hadis di atas yang menyuruh suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang baik, maka suami dilarang untuk memperlakukan istri seenaknya. Begitu pula ketika Hadis melarang memukul istri, maka berarti suami diperintahkan untuk berlaku lembut terhadap istri. Demikian yang dapat dipahami dari kaidah ushul "al-amru bi al-syai'i nahyun 'an dhiddihi" yang artinya: “memerintahkan sesuatu berarti melarang yang sebaliknya.”

c. Qashdu al-Syari'

Tujuan utama dari Syari' (legislator) adalah mashlahat manusia, demikian diungkapkan oleh al-Syatibi.[24] Lebih jauh ia mendefinisikan mashlahat sebagai sesuatu yang melindungi kepentingan-kepentingan, yaitu mashlahat yang membicarakan substansi kehidupan manusia dan pencapain apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertian yang mutlak. Selanjutnya ia membagi mashlahat dalam tiga kategori; dharuriyyah, hajjiyyah, dan tahsiniyah. Mahslahat kategori dhruriyyah (primer) yang tidak bisa tidak harus terpenuhi, terdiri dari memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jelas sekali bahwa membina keluarga yang baik bertujuan untuk membina keturunan yang baik pula. Karenanya, berlaku tidak baik terhadap istri/suami adalah bertentangan dengan salah satu kepentingan yang harus terpelihara yaitu membina keturunan dan kehormatan yang merupakan salah satu tujuan utama Syari' yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, jinayah/pidana Islam sebagai penindak atas hal-hal yang menghalangi realisasi tujuan tersebut memang diperlukan.

d. Piranti Pidana Islam

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa memang tidak pernah terjadi kasus qisas atas kejahatan suami terhadap istri. Namun, masih ada kemungkinan celah untuk mempidanakan suami/istri zalim dalam kerangka pidana Islam yaitu melalui konsep ta'zir. Sebagaimana dijelaskan bahwa pidana ta'zir didasarkan atas kebijakan hakim. Malalui celah inilah kiranya yuris Islam dapat menggali sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya khazanah hukum Islam. Perlu digarisbawahi bahwa jenis pidana yang telah ditentukan hukumannya dalam al-Qur'an maupun Hadis sangat terbatas jumlahnya, sedangkan pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di masyarakat tidak hanya terbatas pada jenis kejahatan yang disebutkan dalam al-Qur'an -belum lagi mempertimbangkan motiv dan modus kejahatan-. Dengan demikian, ta'zir adalah kebijakan luar biasa dari Allah dan Rasulullah bagi umatnya agar dapat menggali hukum lebih dalam –sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi Islam terdahulu-[25] demi terwujudnya mashlahat dunia akhirat di tengah zaman yang terus berkembang.

Penutup

Mengingat besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga terhadap pencapaian mashlahat yang bersangkut paut dengan rumah tangga dan proses regenerasi umat, kiranya menjadi suatu keharusan diformulasikannya hukum Islam yang mampu menjadi payung yang melindungi terpelihara dan tercapainya mashlahat tersebut. Formulasi hukum Islam ini akan berfungsi, baik secara preventif dan –jika perlu- secara kuratif terhadap tindakan yang mengancam mashlahat.

Adalah tantangan bagi yuris Islam dan umat secara keseluruhan untuk mewujudkan hal ini. Allah dan Rasul-Nya telah memberikan dasar yang kokoh bagi pembangunan sistem hukum Islami demi tegaknya umat. Maka dengan keikhlasan mari kita bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Al- Syathibi, al- Muwafaqat fi Ushul al- Ahkam, juz II, tt, t.th.

Batara Munti, Ratna (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000

Ciciek, Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999

Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC.: 2000

D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995

Diana Ribka, Pangemaran, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998

Hasbianto, Elli N., Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kejahatan yang Tersembunyi, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1999

Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC: World Bank Discussion Paper, 1994

Humm, Maggi, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989

Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta, Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996

Majah, Ibn, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut: Dar al- Fikr, t. th.

Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, 1994

Sabiq, Sayid, Fiqh al- Sunnah, juz II, Beirut: Dar al- Fikr, 1977

Sakidjo, Aruan, dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990

Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004

Wahyuningsih, Sri, Kajian Kriminologis Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga, Makalah Seminar Sehari Problematika Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya dalam Tinjauan Yuridis, Sosiologis, dan Keadilan Jender, Malang: 20 Desember 1997

[1] Sri Wahyuningsih, Kajian Kriminologis Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga, Makalah Seminar Sehari Problematika Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya dalam Tinjauan Yuridis, Sosiologis, dan Keadilan Jender, Malang: 20 Desember 1997, h. 1

[2] Elli N. Hasbiaanto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kejahatan yang Tersembunyi, dalam Syafiq Hasyim (ed.), Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut Terhadap Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1999, h. 189

[3] Heise Lori L. Wits Jacquline Pitanguy and Adrianne Germain, Violence Againts Women, Washington DC.: World Bank Discussion Paper, 1994, h. 46

[4] Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Whasington DC., 2000, h. 2

[5] Maggi Humm, The Dictionary Of Feminist Theory, London: Harvester Wheatsheaf, 1989, h. 23

[6] Ibid.

[7] Proyek Penyuluhan Hukum Agama, UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No. Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Dep. Agama, Dirjen Binbaga DEPAG., 1995/1996, h. 15

[8] Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000, h. 36

[9] Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998, h. 78

[10] Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP, h. 18

[11]Majalah Psikologi Empathy, KDRT Membuat Anakku Tak Sempat Lahir, No. 10/II/Juni 2005 h. 40

[12]Ratna Batara Munti, loc. cit.

[13]Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999, h. 27

[14]Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW., Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999, h. 37

[15]Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, h. 61

[16]D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberti, 1995, h. 82-86

[17] Moeldjatno, op.cit., h. 151, 153

[18] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, h. 150

[19]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Panca Usaha, 2004, h. 2

[20]Yang dimaksud dengan alasan yang haq adalah alasan yang membolehkan ia membunuh, seperti ketika dalam peperangan melawan kaum kuffar, musyrik, dan murtad, atau dalam keadaan terpaksa membela diri (agama, nyawa, harta, kehormatan, dan yang semisalnya)

[21]Dalam konteks suami zalim, kemudian istri meminta cerai, maka tuntutan cerai itu disebut dengan khulu' yang dalam Kompilasi Hukum Islam disebut cerai gugat. Namun dalam konteks istri yang zalim, maka perceraian (cerai talaq) dibolehkan setelah didahului oleh beberapa upaya suami, yaitu pertama, memberikan nasehat. Kedua, berpisah tempat tidur, dan jika tetap zalim juga maka upaya ketiga, boleh memukul dengan kadar pukulan sebagai suatu bentuk pengajaran (Q.S. al-Nisa' (4): 34. Jika ketiga langkah ini tidak berhasil maka digunakan jasa hakam untuk memediasi sebelum memutuskan untuk bercerai. Demikian formulasi hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam.

[22] Sayid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, juz II, Beirut: Dar al- Fikr, 1977 h. 148

[23] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, Beirut: Dar al- Fikr, t. th., h. 636

[24] Al- Syathibi, al- Muwafaqat fi Ushul al- Ahkam, juz II, tt., t.th. h. 35-36

[25] Cukup banyak kasus pidana yang diselesaikan dengan menggunakan konsep ta'zir ini. Sebagai contohnya adalah tindakan Umar Ibn al-Khattab yang tidak memotong tangan seseorang yang telah terbukti mencuri. Demikian pula ia pernah menambahkan hukuman pukul sebanyak empat puluh kali pukulan sebagai pengajaran (ta’zir) terhadap seorang pemabuk yang sebenarnya telah mendapatkan hukuman empat puluh pukulan dari Abu Bakar sesuai dengan hukuman had atas peminum khamr. Dan masih banyak contoh-contoh lain.

No comments: