(Tafsir Surat al-Nisa: 3 dalam Pendekatan
Asbâb al-Nuzûl dan Ushûl al-Fiqh)
Oleh: Afni Rasyid
Pendahuluan
Tradisi poligami sudah ada selama berabad-abad. Sejarah mencatat bahwa poligami juga banyak dipraktikkan oleh laki-laki terpandang, seperti para raja, tokoh, orang-orang bangsawan, termasuk para nabi dan rasul. Contohnya, Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri dan Nabi Sulaiman sangat banyak. Nabi Muhammad SAW. memiliki istri sembilan orang. Begitu pula para sahabat Rasul SAW., seperti Abu Bakar pernah memiliki istri empat orang, Umar ibn Khatthab memiliki istri tujuh orang.
Poligami sering menjadi pembicaraan di mana-mana, seperti di pengajian, di kantor, di media cetak dan elektronik. Pembahasan tentang poligami selalu ramai dan dalam berbagai bentuk, baik ceramah, diskusi, seminar, wacana, maupun talk show. Pembahasan tersebut sering berakhir dengan pro dan kontra.
Buku-buku yang membicarakan poligami juga sudah banyak. Buku-buku tersebut ditulis dalam berbagai bahasa, tempat dan masa yang berbeda. Buku-buku tersebut juga ada yang mendukung dan ada yang menolak poligami dengan berbagai argumennya masing-masing.
Sampai sekarang masih ada yang beranggapan bahwa perkawinan dalam Islam membolehkan poligami. Ini berarti, prinsip perkawinan Islam adalah poligami, dan. poligami adalah produk hukum Islam. Anggapan tersebut juga berasal dari sebagian umat Islam. Bahkan mereka mengatakan bahwa poligami adalah sunnah Rasul dan aturannya tertera dengan jelas dalam al-Qur’an, surat al-Nisa: 3. Oleh sebab itu melaksanakan poligami adalah Qur’anî. Ayat tersebut sering oleh banyak orang dijadikan sebagai justifikasi dan legitimasi berpoligami.
Berdasarkan ayat tersebut sering dianggap bahwa Islam membolehkan poligami, bahkan ada yang memahami Islam menyuruh poligami. Mereka yang berpendapat demikian, memperkuat anggapannya dengan kenyataan bahwa Muhammad Rasul Allah SAW. dan para sahabat adalah pelaku poligami. Oleh karena itu, mereka juga menganggap bahwa melakukan poligami adalah Sunah Rasul. Sebagian lain dari umat Islam tidak sependapat dengan anggapan di atas. Mereka mangatakan bahwa poligami hanyalah sebagai pintu darurat bagi orang-orang yang istimewa, yakni orang yang sangat membutuhkannya.
Ada pula yang memahami bahwa ayat tersebut adalah ayat yang justeru membatasi poligami. Tradisi poligami yang dipraktekkan masyarakat sebelum Islam dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., tidak terbatas dan sesuka hati pelakunya. Kemudian ayat tersebut turun untuk membatasi laki-laki berpoligami sampai empat orang isteri dengan persyaratan ketat, yakni kesanggupan berlaku adil yang harus dipenuhi pelakunya.
Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa perdebatan tersebut sudah ada sejak lama. Rujukan mereka yang berbeda pendapat itu sebenarnya tetap sama, yaitu al-Qur’an, surat al-Nisa: 3 dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Ayat tersebut sering dirujuk sebagai ayat yang membenarkan poligami. Kalangan tertentu sering secara langsung menyebutnya sebagai ayat poligami.
Sekarang, di era reformasi dan era kesetaraan gender ini, ada yang berpendapat bahwa poligami adalah haram lighairih. Ini semua menunjukkan bahwa poligami sudah mendapat perhatian dari masyarakat semenjak dulu sampai sekarang.
Poligami adalah persoalan sosial atau muamalah. Ia selalu mengundang perdebatan, dan dapat ditinjau dari berbagai aspek. Oleh sebab itu, menurut hemat penulis poligami tetap masih menarik untuk dikaji. Bagaimana poligami yang sebenarnya?, Inilah yang hendak penulis coba ungkap dalam makalah ini dengan pendekatan kajian utama asbâb al-nuzûl, dan ushûl al-fiqh.
Pembahasan
Surat al-Nisa: 3 berbunyi:
وَإِنْ خِفْـتُم أَلاَّ تُقْسِطُوافِى اليَتَمَى فَانْكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النَّسَآءِ مَثْنَى وَ ثُـلَثَ وَ رُبَعَ فَإِنْ خِفْتُم أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أَيْمَنُكُم ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُلُوا ) النساء : 3(
Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (al-Nisa: 3).
Makna mufradat
وَإِنْ خِفْـتُم . : Jika kamu takut; memiliki dugaan kuat ada kekhawatiran
............................. yang dapat diketahui sebelum nikah, dan وَإِنْ خِفْـتُم dapat
............................. dartikan dengan فان علمتم
أَلاَّ تُقْسِطُوا : Tidak dapat berlaku adil.
أَلاَّ تَعْدِلُوا : Tidak dapat berlaku adil
فِى اليَتَمَى : Terhadap anak yatim.
فَانْكِحُوا : Maka kawinilah; nikahilah.
مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النَّسَآء : Perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; ِapa yang
kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain).
مَثْنَى وَ ثُـلَثَ وَ رُبَعَ : Dua, tiga, dan empat. Bukan dua tambah tiga tambah empat.
أَدْنَى أَلاَّ تَعُلُوا : Lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya; tidak menyimpang
dari keadilan
A. Asbâb al-nuzûl
Asbâb al-nuzûl adalah sebab-sebab turunnya ayat. Asbâb al-nuzûl memberikan informasi keterkaitan turunnya ayat dengan suatu peristiwa. Masjfuk Zuhdi, mendefinisikan Asbâb al-nuzûl dengan:
Semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa. (Zuhdi, 1990: 37).
Manfaat mengetahui Asbâb al-nuzûl antara lain, mengetahui hikmah disyariatkannya hukum, dan mengenai kekhususan hukum (Ash Shabuni, 1390 H: 29). Dengan mengetahui sebab turunnya suatu ayat, kita dapat mengetahui kaitan sebuah ayat dengan suatu peristiwa. Berdasarkan mengetahui peristiwa tersebut, kita dapat memperkirakan dengan dugaan kuat tujuan sebuah ayat diturunkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, mengetahui dan memperhatikan Asbâb al-nuzûl adalah suatu keharusan dalam mengkaji al-Qur’an agar memperoleh pemahaman yang utuh, lengkap, dan sempurna sehingga terhindar dari kekeliruan.
Sebelum Islam dibawa Muhammad SAW., orang Arab memiliki tradisi memelihara anak-anak perempuan yatim di rumah-rumah mereka dengan alasan memberi perlindungan dan menjadi wali bagi mereka, kemudian menikahi mereka tanpa mahar atau dengan mahar yang lebih kecil dibandingkan dengan mahar yang lazim (mahar standar), dan kemudian menguasai harta anak-anak yatim tersebut. Anak-anak yatim itu dikuasasi, diremehkan, dan diberlakukan tidak adil. Jika wali itu sudah tidak berkenan, atau tidak merasa nyaman dengan anak-anak yatim tersebut, mereka di usir atau ditinggalkan begitu saja (Imani, 2003:456). Berkaitan dengan situasi dan kondisi demikianlah ayat 3 surat al-Nisa tersebut diturunkan oleh Allah SWT.
Sebab turun ayat 3 surat al-Nisa itu dapat dibaca dalam Tafsîr Ibnu Katsîr bahwa Urwah ibn Zubair, anak Asma kakak Aisyah, bertanya kepada Aisyah, tentang ayat وَإِنْ خِفْـتُم أَلاَّ تُقْسِطُوا فِى اليَتَمَ , Aisyah menjawab: “hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh oleh seorang wali, dia menggabungkan harta anak yatim dengan hartanya. Si wali menginginkan kecantikan diri dan harta anak yatim itu. Oleh karena itu, ia mengawininya tanpa memberikan mas kawin yang layak atau di bawah mahar standar. Wali yang demikian itu dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan mahar atau mas kawin yang pantas. (Ketika hal ini tidak dapat dilakukannya), wali tersebut dianjurkan untuk mengawini perempuan lain saja” (Ibnu Katsir, tt.: 233 dan Qurthubi, 2002:15). Sehubungan dengan itu, Allah SWT. menurunkan ayat ke 3 ini sebagai teguran dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim.
Kisah tersebut tertera dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibrahim dari Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya dari Aisyah (Mahalli,2002:206). Dari asbâb al-nuzûl ayat tersebut dapat diketahui secara jelas bahwa maksud utama ayat tersebut adalah harus ada perlindungan terhadap manusia lemah, yaitu anak yatim dan bukan berkenaan dengan anjuran poligami.
Berdasarkan pada asbâb al-nuzûl di atas, kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligami secara mutlak atau disebut langsung sebagai ayat poligami. Mereka yang menganggap bahwa ayat tersebut adalah ayat yang membolehkan atau langsung menyebutnya sebagai ayat poligami, bisa jadi melakukan kesengajaan untuk kepentingan tertentu, mencari pembenaran untuk mempraktekkan poligami dengan tidak melihat asbâb al-nuzûl, atau membaca ayat tersebut tidak secara utuh, awal ayat dan akhir ayat tidak dibaca, ang dibaca hanya . . .فَانْكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النَّسَآءِ مَثْنَى وَ ثُـلَثَ وَ رُبَعَ . . ., Padahal, jika ayat tersebut dibaca secara utuh, maka akan dipahami bahwa ayat tersebut berkaitan dengan larangan mengawini anak yatim apabila tidak sanggup berlaku adil terhadap anak yatim tersebut.
Quraish Shihab menghubungkan ayat tersebut dengan al-Nisa: 127. Ia mengatakan bahwa mereka (para wali/ yang menguasai anak yatim) dilarang mengawini anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikan. Ayat tersebut bukan membuat peraturan untuk berpoligami karena poligami telah dianut dan dilaksanakan sebelum ayat ini turun (2000:324).
Poligami yang dipahami masyarakat Indonesia selama ini dan pengertian yang sama juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu seorang laki-laki beristeri lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Istilah yang tepat menurut Antropologi adalah polygyny bukan polygamy karena istilah polygamy bisa dipergunakan kepada laki-laki yang beristeri lebih dari satu atau perempuan bersuami lebih dari satu. Sedangkan polygyny hanya dipergunakan untuk seorang laki-laki yang memiliki banyak isteri dan polyandry adalah istilah yang hanya dipergunakan untuk seorang perempuan memiliki banyak suami dalam waktu bersamaan. Perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan disebut dengan istilah monogamy. Hal ini dapat dipahami dari ungkapan berikut: Anthropologists commonly distinguish three forms of marriage: monogamy, the marriage of one man to one woman; polygyny, the marriage of one man to two or more woman; and polyandry, the marriage of one women to two or more men (Beals dkk., 1977:391).
Tradisi poligami ini sudah ada selama berabad-abad, sejarah mencatat bahwa poligami juga dipraktikkan oleh laki-laki terpandang, seperti para raja, tokoh, bangsawan, termasuk para nabi. Contohnya, Nabi Ibrahim memiliki 2 orang istri dan Nabi Sulaiman sangat banyak. Nabi Muhammad SAW memiliki istri 9 orang. Begitu pula para sahabat, seperti Abu Bakar pernah memiliki istri 4 orang, Umar ibn Khaththab memiliki istri 7 orang.
Setelah ayat tersebut turun, jumlah istri laki-laki muslim dalam berpoligami dibatasi, yaitu paling banyak sampai empat orang. Seorang yang sudah terlanjur beristri lebih dari empat orang harus menceraikan istrinya sehingga jumlah istri yang terikat nikah dengannya dalam waktu yang sama hanya empat orang.
B. Sekilas Tentang Ushûl Fiqh
Ushûl al-fiqh terdiri dari dua kata, ushûl dan al-fiqh. Ushûl menurut bahasa adalah jamak dari ashl. fiqh berarti tahu, paham, atau pemahaman yakni mengetahui atau memahami. Fiqh (Zakariya, 1970:442) berarti mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Ushûl al-fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain, yaitu pokok, sumber, pangkal, atau fondasi pemahaman. (Mujieb, dkk., 1994:403-404). Zahrah menyatakan bahwa pengertian ushûl al-fiqh secara bahasa adalah dasar (fundamen) yang di atasnya dibangun sesuatu, atau dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh (1994:3).
Sedangkan pengertian ushûl al-fiqh secara istilah adalah ilmu tentang kaedah-kaedah (aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, dari dalil-dalilnya yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’ yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci (Khallaf, 1968:12).
Pengertian ushûl al-fiqh secara istilah menurut Zahrah, (1958: 56) adalah ilmu tentang kaedah-kaedah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan (manusia) dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau kaedah atau metode yang memberikan batasan-batasan dan menjelaskan cara-cara yang lazim ditempuh oleh ahli Fikih di dalam menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya, dan mengurutkan dalil itu sesuai dengan kekuatannya, seperti al-Qur’an didahulukan dari Hadis dan seterusnya.
Hudhari Bek (1969:13) mendefinisikan ushûl al-fiqh sebagai sekumpulan kaidah untuk mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya.
Menurut al-Ghazali, pengertian ushûl al-fiqh secara istilah adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil hukum syara’, dan tentang bentuk-bentuk penunjukkan dalil tadi terhadap hukum (A. Djazuli, 2005: 7). Al-Syawkani (tt:3) mengatakan bahwa ushûl al-fiqh secara istilah adalah ilmu untuk mengetahui kaidah-kaidah, yang kaidah tadi bisa digunakan untuk mengeluarkan hukum syara’ yang merupakan hukum furu’ (cabang) dari dali-dalil yang terperinci.
Ungkapan ushûl al-fiqh sering diterjemahkan dengan teori hukum (legal theory), karena memang di dalamnya berisi tentang teori-teori dalam memahami hukum Syari’ah (Abuddin Nata, 2003: 33).
Objek kajian ushûl al-fiqh adalah sumber hukum dan dalil-dalil, kaidah-kaidah, metode pendayagunaan sumber hukum dan metode penggalian hukum dari sumbernya seperti istinbath dan ijtihad/istidlal, dan persyaratan orang yang berwenang melakukan istinbath atau ijtihad.
Dapat dipahami dari definisi di atas, bahwa ushûl al-fiqh adalah ketentuan, kaidah, prinsip-prinsip fikih, metodologi dalam menarik garis hukum, atau cara-cara yang ditempuh mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari sumber asalnya, dan atau mengembalikan hukum fikih kepada sumber asalnya. Ushûl al-fiqh berguna untuk mengaktualisasikan syari’ah dalam kenyataan hidup.
Objek kajian ushûl al-fiqh adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan metode yang digunakan oleh fakih dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Berarti ushûl al-fiqh membahas dan menjelaskan cara-cara beristinbath, atau bagaimana menetapkan hukum dari dalil-dalilnya (A.Djazuli, 2005:21).
Imam Syafi’i (150-204 H) dengan karyanya al-Risalah adalah intelektual pertama yang merumuskan ushûl al-fiqh dan menjadikannya sebagai satu ilmu tersendiri (Hasbi Ashshidieqy, 1994: 125).
Fiqh sebagai disiplin ilmu mempunyai metode tertentu. Metodologi ilmu fiqh tersebut adalah ushûl al-fiqh . Pola fikir dan filsafat hukum Islam dapat ditemukan dalam ushûl al-fiqh. Sehingga ada yang menyamakan ushûl al-fiqh dengan Filsafat Hukum Islam.
Fiqh adalah hasil ijtihad sedangkan Ushûl al-fiqh adalah tata cara, metode, atau kaidah yang dipakai dalam berijtihad. Tata cara berijtihad dapat mempergunakan pendekatan kaidah bahasa (linguistik) dan/atau kaidah fiqhiyah. Mempelajari fiqh tanpa mempelajari ushûl al-fiqh, tidak akan tahu cara mengeluarkan hukum dari sumber atau dalil-dalilnya dan bagaimana mengembalikan hukum fiqh kepada sumber asalnya (A.Djazuli, 2005: 8). Dengan demikian, tanpa ushûl al-fiqh tentu tidak akan berhasil sebuah ijtihad. Untuk lebih jelasnya, perhatikan skema di bawah ini:
Alur penarikan hukum/alur kembali ke sumber:
C. Fungsi Ushûl al-Fiqh dalam Memahami Ayat-ayat Hukum
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa fungsi ushûl al-fiqh adalah sebagai metode, alat, kaidah, atau tata cara yang dipakai dalam berijtihad, yakni kaidah bahasa (linguistik) atau kaidah fiqhiyah. Fiqh dan tafsir ahkam memiliki obyek kajian yang sama, yaitu bidang hukum. Pada tafsir adalah ayat hukum dan pada fiqh adalah masalah hukum.
Menurut Satria Effendi, ilmu fiqh pada dasarnya dari tafsir ahkam, fiqh adalah pengembangan dari tafsir ahkam (Suma, 2002:119). Penulis mencoba menggambarkannya sebagaimana skema berikut:
Setelah fiqh dan ushûl al-fiqh tersusun, maka tafsir ahkam sangat tergantung pada keduanya. Sebagaimana dikatakan oleh Amin Suma bahwa tafsir ahkam tanpa fiqh dan Ushûl al-fiqh mustahil terwujud (2002:125). Berarti ushûl al-fiqh dalam hal ini sangat berfungsi, yakni sebagai alat atau metode dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam. Polanya diperkirakan sebagaimana skema di bawah ini:
D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushûl al-fiqh
Ayat al-Qur’an menurut kajian ushûl al-fiqh merupakan sumber dalil dalam urutan pertama dan utama karena ayat tersebut adalah firman atau kalam Allah SWT. Keberadaannya adalah qath`iy al-wurûd, yakni betul-betul pasti berasal dari Allah SWT. Firman Allah dalam al-Nisa: 3 membicarakan tentang nikah. Dengan demikian, syari’at atau perintah menikah adalah qath`iy, yakni berasal dari Allah secara pasti dan tidak diragukan sedikitpun.
Lafaz انْكِحُوا pada فَانْكِحُوا dalam ayat itu terdiri dari ف = maka , نكاح ا dan وا . Lafaz نكاح ا adalah akad, berarti perbuatan fisik dan dapat ditangkap oleh pancaindera. Ia termasuk ahkâm `amaliyah, mu’âmalah atau furu`iyah bukan i`tiqadiyah (keyakinan). Dalam kajian Ushûl al-fiqh , semua akad (meliputi akad nikah) termasuk احكام المعاملات , yaitu hubungan sesama manusia. Jadi, masalah akad nikah adalah termasuk dalam kelompok muamalah atau urusan keduniawian. Berdasarkan kepada hadits Nabi انتم اعلم باموردنياكم , kaidah fiqhiyah yang dipergunakan untuk urusan muamalah adalah الاصل في الاشياء الاباحة , hukum asal sesuatu itu adalah boleh (A.Rahman, 1976:42-43). Oleh sebab itu, hukum asal dari nikah adalah boleh. Apabila susunan ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut dicermati secara utuh, maka hukum asal kawin adalah boleh atau mubah bukan wajib. Menurut Asyathibi, mubah bisa diharamkan jika dilihat dari segi kulli. Hukum mubah bisa berubah menjadi haram apabila perbuatan tersebut akan membawa kemudharatan (Syafe’i,1999:311). Contohnya kawin itu hukumnya haram, jika sipelaku yakin akan berbuat zalim kepada pasangannya, baik suami kepada istri maupun sebaliknya isteri kepada suami. Jika ia khawatir akan menganiaya pasangannya, maka hukumnya makruh tahrim ( Khallaf , 1968:179).
Lafaz فَانْكِحُوا fankihû pada ayat tersebut adalah fi`il amr فعل امر , yang menurut kaidah fiqhiyah الاصل في الامر للوجوب , lafaz انْكِحُوا pada فَانْكِحُوا dalam ayat itu sebagai فعل امر , seharusnya mengandung perintah untuk wajib. Akan tetapi, pada ayat tersebut, فَانْكِحُوا dipahami bukan perintah untuk wajib karena pada ayat tersebut tersusun dari kalimat yang diawali dengan أَلاَّ تُقْسِطُوا وَإِنْ خِفْـتُم dan إِنْ خِفْتُم أَلاَّ تَعْدِلُوا Kedua kalimat ini adalah qarinah yang menunjukkan bahwa أَلاَّ تُقْسِطُوا dan أَلاَّ تَعْدِلُوا menjadi syarat dan juga menjadi penghalang, maka hukum asal menikah (baik monogami maupun poligami) bukan wajib. Jadi, pada susunan ayat tersebut berlaku kaidah الاصل في الامرللا باحة , bukan kadah الاصل في الامر للوجوب .
وا adalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian, maksudnya orang mukallaf sebagai subyek hukum.
Apabila ditinjau dari aspek dalil, maka ayat tersebut dalilnya menunjukkan dzanniy ظني الدلالة . Berarti hukum menikah asalnya adalah dzanni (dugaan), yaitu tergantung pada niat, situasi, dan kondsi orang yang akan menikah.
Lafaz أَلاَّ تُقْسِطُوا menjadi penghalang bagi laki-laki menikahi anak yatim dan solusinya menikahi perempuan lain secara poligami. Lafaz أَلاَّ تَعْدِلُوا menjadi penghalang bagi laki-laki menikahi perempuan lain itu secara poligami dan solusinya kawin secara monogami. Dengan demikian, ayat tersebut dapat dipahami bahwa jika hendak menikahi perempuan yatim harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu, yakni berlaku adil terhadap perempuan yatim itu. Jika khawatir tidak bisa berlaku adil, maka solusinya kawin dengan perempuan lain (selain anak yatim) meskipun berpoligami, tetapi dibatasi sampai empat orang istri. Kawin dengan perempuan lain secara poligamipun harus memenuhi syarat, yakni berlaku adil terhadap istri-istri yang tersebut. Jika tidak bisa berlaku adil, solusinya kawin dengan perempuan lain itu secara monogami, yaitu seorang saja.
Karena pada ayat itu terdapat sebab, penghalang, dan/atau syarat, ayat tersebut mengandung hukum ضعى الو (wadh`î ). Menurut Rachmat Syafe`i (1999:312), hukum wadh`î adalah firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang. Khallaf (1968:117) membagi hukum wadh`î menjadi lima bagian, yaitu السبب sebab, الشرط syarat, المانع penghalang, الرخصة والعزيمة keringanan dan `azimah, dan الصحة والبطلان keshahihan dan kebatalan.
Hukum wadh`î yang terdapat pada ayat tersebut adalah السبب sebab, الشرط syarat, dan المانع penghalang. Ketentuan dalam hukum wadh`î adalah ada syarat ada hukum, tidak ada syarat tidak ada hukum (Khallaf, 1968:117-118 dan Syafe`i, 1999:313). Penerapan hukum ضعى الو (wadh`î ) pada ayat itu, berarti tidak terpenuhi syarat berlaku adil, maka tidak ada perkawinan dengan anak yatim dan tidak ada perkawinan secara poligami. Sedangkan penghalang adalah sesuatu yang dengan keberadaanya menyebabkan tidak ada hukum atau membatalkan sebab (Khallaf, 1968:120 dan Syafi`i, 1999:314). Pada ayat tersebut, berarti terdapat kekhawatiran tidak akan berlaku adil pada laki-laki, menyebabkan tidak ada atau ia tidak boleh melakukan perkawinan dengan anak yatim dan tidak boleh pula melakukan perkawinan secara poligami.
Ayat 3 surat al-Nisa’ itu umumnya dipahami melalui pendekatan al-syarth dan jawab al-syarth. أَلاَّ تُقْسِطُوا وَإِنْ خِفْـتُم adalah sebagai syarth. Sedangkan jawab al-syrth adalah مَثْنَى وَ ثُـلَثَ وَ رُبَعَ فَانْكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النَّسَآءِ . Melalui pendekatan tersebut diperoleh dua pemahaman dari ayat. Pertama, jika kamu takut akan menzalimi anak yatim manakala kamu menikahi ibu mereka, maka nikahilah orang lain saja, dua, tiga, dan empat. Kedua, jika kamu takut menzalimi anak yatim, maka menikahlah dengan perempuan lain saja (Ghanim, 2004:89) dua, tiga atau sampai empat.
Ayat 3 tersebut dapat juga di pahami melalui pendekatan shifat maushuf seperti diijtihadkan oleh Muhammad Salman Ghanim. Menurut Ghanim مَثْنَى وَ ثُـلَثَ وَ رُبَعَ adalah shifat . Lafaz النَّسَآءِ pada ayat itu adalah maushuf nya. Dengan pendekatan shifat maushuf ini, diperoleh pemahaman bahwa jika kamu takut menzalimi atau tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim, maka kawinilah perempuan-permpuan (ibu-ibu) yang mempunyai dua, tiga, dan empat anak yatim. Makna ini didukung dan dikuatkan lagi dengan ayat lain dalam al-Qur’an sebagai realisasi pemahaman integral atas al-Qur’an. (Ghanim, 2004:89-90).
انْكِحُوا terdiri dari نكاح ا dan وا . نكاح ا adalah perbuatan fisik dan dapat ditangkap oleh pancaindera, ia termasuk kajian fiqh amaliyah atau furu`iyah bukan i`tiqadiyah. وا adalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian, maksudnya orang mukallaf sebagai subyek hukum.
Poligami sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah SWT. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya dalam al-Qur’an kalamullah pada ayat 3 surat al-Nisa’.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa kebolehan berpoligami pada ayat di atas sifatnya kasuistis, yakni sangat terkait dengan kekhawatiran berlaku aniaya atau tidak berlaku adil terhadap perempuan yatim. Agar tidak berlaku aniaya atau tidak adil terhadap seorang perempuan yatim yang dikawini, maka Allah memberikan solusi pada kasus tersebut dengan membolehkan laki-laki yang bersangkutan melakukan poligami dengan perempuan-perempuan lain, yang bukan yatim dua, tiga, sampai empat orang. Itupun, harus memenuhi syarat mampu berlaku adil kepada keempat istri tersebut. Jika tidak sanggup berlaku adil terhadap keempat istri itu maka solusinya kawin dengan seorang perempuan saja, yakni menikah secara monogami.
Shihab (2000:321-322) memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain anak yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari perempuan-perempuan lain itu. Bahkan kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang perempuan sebagai isteri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, dan baik lahir maupun batin maka kawini seorang perempuan saja (nikah secara monogami) atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim (berpoligami dengan perempuan lain) yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencukupkan satu orang isteri (monogami) adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persayaratan berlaku adil terhadap isteri-isrti yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia tertera dengan tegas dalam ayat tersebut.
Keadilan ditetapkan sebagai syarat dalam poligami. Itu berarti menuntut manusia mencapai kekuatan moral paling tinggi. Melaksanakan keadilan dan berpantang dari tindakan diskriminasi terhadap istri-istri merupakan tugas paling sulit bagi suami (Hakeem, 2005:223). Hal ini agaknya yang dimaksud dengan tidak akan sanggup berlaku adil pada ayat 129 surat al-Nisa`.
Shahrur memahami ayat tersebut dengan bahwa Allah SWT bukan hanya sekedar memperbolehkan poligami, tetapi Dia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama, bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat itu adalah janda yang memiliki anak yatim; kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka perintah poligami menjadi gugur (2004:428). Dengan demikian, perintah poligami itu adalah perintah bersyarat. Karena ketentuan Allah tentang poligami adalah ketentuan bersyarat, maka poligami tersebut bukanlah ketetapan yang berlaku umum, universal, dan bersifat abadi.
Kebolehan berpoligami sering dimanfaatkan atau sebagai solusi terakhir atau pintu darurat bagi laki-laki yang memiliki “keistimewaan” dalam kebutuhan biologis yang berbeda dengan laki-laki lain. Pada kasus seperti itu, barulah pintu darurat dipergunakan. Jika laki-laki tersebut tidak berpoligami, ia akan terjerumus ke dalam perzinahan. Sedangkan perempuan yang akan dimadu ada dan bersedia. Sungguhpun demikian berlaku adil kepada istri-istri yang dimadu itu tetap sebagai persyaratan mutlak yang harus dipenuhi olehnya. Berarti poligami disini sebagai solusi akhir, atau pintu darurat dan sekaligus membek-up monogami. Tetapi jika isteri pertamanya tidak bersedia dimadu, ia harus menerimanya, yaitu bercerai dengannya, berarti tidak terjadi poligami atau memilih untuk tidak berpoligami.
Berpoligami dengan alasan menghindari zina, boleh-boleh saja daripada berzina yang sudah jelas hukumnya haram dan sanksinya berat, yaitu rajam. Bahkan al-Qur’an melarang mendekati zina dengan لاتقربوا الزنى (al-Isra’, 17:32). Apabila alasan ini dihubungkan dengan poligami yang dipraktekan Rasul SAW, maka tidak relefan karena ternyata alasannya berbeda. Rasul berpoligami dalam rangka membela orang lemah dan untuk kepentingan dakwah Islam. Rasul SAW berpoligami bukan didorong oleh kebutuhan libido seksualnya. Jika atas dasar libido tentu beliau sudah berpoligami sejak semula, ternyata beliau bermonogami selama 28 tahun, yakni hanya beristrikan Siti Khadijah saja. Istri-istri beliau ketika berpoligamipun perempuan-perempuan janda bahkan ada yang sudah berusia lanjut, seperti Saudah binti Zam`ah.
Uraian di atas dan apalagi di lengkapi dengan membaca ayat mulai dari ayat 2, maka akan menjadi jelas bahwa pokok pembahasan ayat 3 surat al-Nisa’ itu adalah masalah disekitar anak yatim. Poligami dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah karena peperangan, sementara ibunya masih hidup dalam keadaan menjanda.
Dampak Poligami
Perempuan-perempuan yang dimadu harus berbagi segala-galanya, baik materi maupun non materi sesama mereka. Begitu juga sesama anak yang ayah mereka berpoligami. Tidak terjadi masalah selama mereka bisa menerimanya dengan ikhlas, dan suami atau ayah mereka bersikap adil kepada mereka. Jika ini terwujud, maka tidak mustahil keluarga yang dibina dengan cara poligami ini menjadi keluarga ideal, yakni keluarga sakinah, mawaddah warrahmah. Berlaku adil dalam berpoligami sangat sulit terwujud. Allah telah mengingatkan dan menyatakan pada surat yang sama ayat 129 bahwa suami yang berpoligami itu tidak akan sanggup berlaku adil.
Jika tidak ada keadilan dan masing-masing merasa dirugikan, maka mereka (isteri-isteri dan anak-anak) akan saling salah paham, curiga dan cemburu. Ini, akan menjadi malapetaka antar sesama mereka, menjadi konflik dan bisa menjadi konflik terbuka, perpecahan, dan tindakan kekerasan fisik. Dalam kenyataannya, pada keluarga yang berpoligami lebih banyak terjadi konflik dan permusuhan ketimbang harmonis.
Suami yang berpoligami harus betul-betul adil dan bijaksana, siap secara fisik, mental, dan finansial supaya tidak menemukan kesulitan yang berat karena beban atau kewajiban nafkah tentu lebih besar daripada bermonogami. Rasul SAW juga mencontohkan “menggilir” isteri-isterinya secara adil dan merata. Kewajiban materi mungkin dapat dibagi secara adil karena dapat dihitung dan diperkirakan, tetapi non materi tidak mungkin dibagi secara adil karena standarnya tidak jelas. Sedangkan setiap manusia memiliki kebutuhan jasmani dan rohani atau materi dan inmateri yang harus terpenuhi.
Dalam poligami ada manfaat dan mafsadat. Dengan memperhatikan firman Allah surat al-Nisa’ ayat 129, kesulitan dan beratnya beban atau tanggungjawab yang dipikul laki-laki yang berpoligami, dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, maka berpoligami lebih besar mafsadat atau mudharatnya dari pada maslahat atau manfaatnya.
Jika memperhatikan hadits Rasul yang melarang Ali berpoligami atau memadu Fatimah, dapat dipahami bahwa poligami cenderung menyakiti perempuan karena Rasul menyatakan bahwa … sakitnya Fatimah sakitnya aku… Dengan demikian dalam perkawinan secara poligami terdapat atau berdampak menyakitkan atau kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.
Al-Qura’n, al-Nisa’,4 ayat 23 melarang menghimpun (memadu) dua perempuan bersaudara, dan hadits juga melarang memadu perempuan yang berhubungan bibi dan ponakan. Kedua sumber ini mengisyaratkan yang dapat dipahami bahwa antara sesama perempuan yang dimadu tersebut terdapat hubungan tidak sehat, seperti saling cemburu, berkompetisi dan berebut, bermusuhan yang dapat menimbulkan konflik, baik tertutup maupun terbuka.. Oleh karena itu, poligami yang demikian itu dilarang dengan tegas dalam Islam karena akan merusak hubungan antara perempuan-perempuan bersaudara.
Kenyataan dampak buruk poligami sering ditemukan dalam masyarakat. Poligami mengandung banyak kebohongan, ketidakadilan dan penderitaan terhadap banyak pihak, terutama terhadap isteri dan anak-anak. Poligami sering memicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri dan anak-anak mereka, seperti kekerasan psikhis, ekonomi, dan pisik, baik yang diberitakan maupun yang tidak diberitakan dimedia masa tetapi dapat dirasakan oleh semua orang. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa tekanan psikis, fisik, penelantaran dan pengabaian, ancaman dan terror. Bahkan ada anak memukul ayahnya yang berpoligami. Kekerasan adalah mudharat, ketidakadilan, penderitaan, kezaliman, dan mafsadat yang tidak diinginkan. Kaidah fiqhiyah mengingatkan kita supaya الضرر يزا ل , kemudaratan harus dilenyapkan. Jika dalam suatu hal ada maslahat dan mudharat, maka kita harus menentukan sikap sebagaimana diajarkan kaidah درء المفاسد مقدم على جلب المصالح , menolak mafsadat harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan atau manfaat.
Kemudharatan akibat poligami dapat diprediksi, dan dalam kenyataanpun sudah terbukti bahwa poligami lebih banyak membawa mudharat untuk konteks sekarang. Dengan demikian, poligami untuk kasus yang demikian bisa dimasukkan ke dalam kategori haram li ghairih. Poligami itu asalnya dibolehkan, tetapi karena dibarengi sesuatu yang bersifat mudharat atau mafsadat, maka perbuatan itu menjadi haram li ghairihi. Hal ini, berdasarkan kepada pendapat ahli Ushûl al-fiqh (Syafi’i, 1999:308 dan Khallaf, tt: 113) yang menyatakan bahwa haram li ghairih adalah perbuatan yang pada awalnya dibolehkan melakukannya, tetapi karena dibarengi oleh sesuatu yang bersifat mudharat atau mafsadat dalam pandangan syara’, maka perbuatan itu menjadi haram.
Poligami Menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas monogami (Pasal 3:1), tetapi membuka peluang untuk poligami dengan persyaratan yang ketat. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk berpoligami (Pasal 3:2). Pengadilan akan mengizinkan suami tersebut berpoligami apabila istri yang ada tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat melahirkan keturunan (lihat Pasal 4). Pasal 5:1 mengatur bahwa untuk mengajukan permohonan poligami kepada Pengadilan Agama, suami harus melengkapi syarat, yaitu persetujuan istri atau istri-istri, kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
Jaminan suami dapat berlaku adil bisa meyakinkan majelis hakim di pengadilan pada saat mengajukan permohonan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI ) No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 mengaturnya pada BAB VIII Pasal 41: C bahwa kemampuan suami yang akan berpoligami dalam menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan keterangan penghasilan yang ditandatangai bendahara tempat kerja, atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat keterangan lain yang yang dapat diterima oleh pengadilan dan janji suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Akan tetapi, untuk selanjutnya, setelah berpoligami tidak ada yang menjamin dan mengontrol suami supaya tidak melakukan kezaliman atau ketidakadilan kepada isteri-isteri yang dimadu itu. Standar berlaku adil bagi suami yang berpoligami terhadap isteri-isterinya juga tidak jelas. Oleh sebab itu pasal ini mengada-ada dan memaksakan sesuatu yang tidak jelas.
Pada pasal 5:2 dinyatakan bahwa persetujuan istri tidak diperlukan jika istri tidak mungkin dimintai persetujuannya. Pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa Pengadilan (Majelis Hakim) memiliki otoritas untuk mengizinkan suami berpoligami. Pasal 4 menunjukkan bahwa istri dituntut harus melakukan pelayanan sempurna kepada suami, dan fungsi reproduksi istri tidak boleh terganggu. Jika alat reproduksinya terganggu, akan menjadi alasan suami yang legal dan diizinkan Pengadilan untuk kawin lagi. Bila dicermati dengan cerdas, izin Pengadilan dan dua alasan terakhir (Pasal 4 ayat 2, b dan c) adalah dua hal yang berada di luar kemampuan istri. Tidak ada istri yang menginginkan dirinya cacat, sakit, atau mandul. Semua itu adalah takdir dari Allah SWT. Hal ini perlu direnungkan, ditinjau ulang, dan dikritisi apalagi sakit tersebut muncul di tengah/sedang menjalani status menjadi isteri. Apakah aturan tersebut sudah memenuhi hak istri, moral dan perikemanusiaan, dan kriteria keadilan? Bagaimana dengan rumusan mîtsâkan gholîdzan? (yang terdapat dalam BAB II, Pasal 2, KHI) dan apa maksud dari rumusan perkawinan adalah ikatan lahir bathin? (terdapat dalam BAB I, Pasal 1 UURI No. 1/1974 tentang Perkawinan).
Pasal 4 UU RI No. 1/19974 tersebut mengarahkan dan memfasilitasi agar terwujud kondisi yang tidak manusiawi karena istri sedang menderita sakit, suaminya diizinkan bersenang-senang dan berbahagia dengan perempuan lain. Apalagi kakau isteri mengalami sakit dan cacat itu disaat ia sedang dalam perkawinan atau sedang berstatus sebagai isteri bukan sebelum ia menikah. Seharusnya isteri mendapat perhatian lebih di saat sakit tetapi berdasarkan UU tersebut ia harus berbagi segala-galanya dengan perempuan lain. Menurut hemat penulis, pasal ini sangat phallocentric atau androcentric, yakni hanya menguntungkan suami atau bias laki-laki, berarti bias gender tetapi menyakitkan perempuan sebagai isteri, tidak bermoral, tidak manusiawi, diskriminatif, tidak simpatik, menzalimi perempuan, dan tidak berkeadilan gender. Isteri sakit adalah cobaan dari Allah kepada isteri dan suaminya. Cinta dan kasih sayang suami diuji saat isterinya sakit. Selain itu, menurut hemat penulis Pasal 3 dan 4 BAB I bertentangan dengan Pasal 1.
BAB IX, Pasal 55-59, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) juga mengatur poligami, yang isinya hampir sama dengan Undang-Undang Perkawinan. Al-Qur’an dan Hadits tidak menyatakan bahwa syarat boleh berpoligami adalah jika isteri tidak bisa melayani suami karena sakit permanen, karena cacat, atau karena mandul. Akhir Pasal 59 KHI dinyatakan bahwa terhadap penetapan Pengadilan Agama, istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Meskipun demikian perlu ditinjau kembali karena dalam prakteknya tidak efektif dan efisien. Jika dicermati dengan seksama, BAB IX KHI tersebut tidak sejalan dengan BAB II Pasal 2 KHI
Berdasarkan uraian di atas, ternyata poligami itu menyakitkan bagi perempuan yang dimadu dan anak (dalam isyarat Hadits Nabi menyakiti Fatimah yang hendak dimadu oleh Ali, suaminya). Jika isteri dan anak tersakiti, ini merupakan indikator bahwa dalam rumah tangga tersebut tela terjadi kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga bisa dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan KDRT, tindakan kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan (Kementerian PPRI, 2004:5). Oleh karena itu, kekerasan harus dicegah dan dilenyapkan. Menurut UU KDRT ini tindakan kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam delik pidana aduan.
Berkaitan dengan poligami juga KH. Mas Mansyur, seorang ulama yang berwawasan luas, tokoh nasional “Empat Serangkai” dan mantan Ketua PP Muhammadiyah, jauh sebelum Undang-undang Perkawinan dibuat, menyatakan bahwa poligami hanya boleh dilaksanakan jika keadaan memaksa. Apabila seorang laki-laki hendak berpoligami, maka ia harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan istrinya yang pertama atau istrinya yang lain. Jika ini tidak dilakukannya berarti ia melanggar hak istri. Jika istrinya itu memperkenankannya, ia harus membagi (secara adil) segala-galanya untuk kedua istrinya itu. (Mansyur, 1937:33). Walaupun Mas Mansyur tidak menjelaskan seperti apa keadaan memaksa, pandangan beliau lebih manusiawi dengan memperhatikan atau mempertimbangkan hak istri, dan lebih berhati-hati, atau mungkin lebih mendekati keadilan dalam membahas poligami ini bila dibandingkan dengan Undang-undang RI no. 1 Tahun 1974.
Poligami di Negara Islam
Berkaitan dengan poligami, menarik untuk dilihat bahwa beberapa Negara Islam seperti Yordania, Maroko, Yaman, Syiria, dan Tunisia, ternyata telah mengatur untuk suatu akad nikah boleh disertai seperangkat perjanjian antara calon suami dan istri, termasuk perjanjian bahwa suami tidak akan berpoligami atau tidak akan menikah lagi selama ia berada dalam ikatan perkawinan dengan istrinya (Mudzhar, 2004: Xliii).
Isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan apabila perjanjian tersebut dilanggar. Poligami di Pakistan hanya dibolehkan setelah mendapat izin dari isteri pertama dan Dewan Hakam (arbitrase). Siapa yang melanggar, dihukum penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda 5000 Rupis. Turki modern berdasarkan UU Sipil 1926, poligami dilarang jika terjadi, perkawinan itu dinyatakan tidak sah. Di Tunisia, laki-laki yang melakukan perkawinan poligami dihukum kurungan selama satu tahun dan denda 240.000 frank (Muzhar, 2003:214)
Monogami: Prinsip Perkawinan Islam
Ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut diakhiri dengan dzâlika adnâ allâ ta`ûlû, “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pemahaman Faqihuddin Abdul Kodir (2005:100) mengenai akhir ayat tersebut adalah bahwa pilihan perkawinan monogami akan mendekatkan seseorang untuk tidak berlaku zalim atau aniaya. Perkawinan poligami memang rentan terhadap prilaku tidak adil dan tindakan kezaliman terhadap perempuan (istri) dan anak-anak. Pemahaman tersebut ia perkuat dengan firman Allah yang terdapat dalam surat yang lain:
وَاَنكِحُوا الأَيَمَى مِنْكُم ...
Kawinkanlah orang-orang yang sendirian (Al-Nur, 24:32)
Lafaz al-ayyâmâ berarti orang yang belum memiliki pasangan. Ayat tersebut menganjurkan seseorang untuk menikah dengan, atau menikahkan orang yang belum memiliki pasangan (laki-laki atau perempuan). Oleh karena itu, ayat al-Qur’an itu justru menganjurkan perkawinan monogami (Abdul Kodir, 2005:100-101). Sejalan dengan itu, dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya, kata وَاَنكِحُوا diartikan dengan “kawinkanlah”. Selanjutnya dijelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah supaya laki-laki yang belum kawin atau perempuan yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin (Depag, 1992:549).
Pada surat al-Nisa’, 4:129 Allah menegaskan bahwa para suami yang berpoligami tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun sudah berusaha untuk melakukannya. Ketidaksanggupan suami yang berpoligami untuk berlaku adil tersebut dapat dibaca dalam firman Allah:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَميِلُوا كُلَّ المَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَلمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّـقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Sesungguhnya kalian (para suami) tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istrimu walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu cenderung (kepada salah satu istri yang kamu cintai), sementara istri yang lain kalian biarkan terkatung-katung. Sesungguhnya jika kalian berbuat baik dan bertakwa, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Nisa’, 4:129).
Monogami adalah bentuk perkawinan yang paling umum, alami, dan manusiawi (Muthahhari, 1995:206). Ungkapan tersebut sangat tepat karena semua perempuan yang normal tidak ada yang mau dimadu. Bahkan, laki-laki pun tidak rela jika ibunya, atau anak perempuannya, atau saudara perempuannya dimadu.
Muhammad Rasulullah SAW, pelaku poligami, pun melarang Ali bin Abu Thalib (menantunya) memadu Siti Fatimah (puteri Rasul). Berkaitan dengan perkawinan monogami dan larangan keras terhadap Ali ini, ada hadits yang menyatakan bahwa ketika Rasul SAW mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib dilamar oleh Bani Hisyam bin Mughirah, beliau langsung berkhutbah di atas mimbar yang isinya bahwa beliau sangat tidak mengizinkan Ali bin Abi Thalib (sampai tiga kali), menantunya, memadu anaknya Fatimah binti Muhammad (Sabiq, 1980:146 dan Abdul Kodir,2005:179). Khutbah tersebut di dalam hadits tertera sebagai berikut:
إن بنى هشام بن المغيرة إستأذنوا أن ينكحوا إبنتهم من على بن أبى طا لب فلا أذن لهم ثم لا اذن ثم لا اذن إلآ ان يريد ابن ابي طالب أن يطلق إبنتي وينكح إبنتهم فإنما إبنتي بضعة مني يريبني ما ارا بها ويؤذني ما اذاها
Sesunguhnya Bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak perempuannya dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi aku tidak mau mengizinkan, lalu aku tidak mau mengizinkan, dan kemudian aku tidak mau mengizinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib lebih dahulu menceraikan anak perempuanku, lalu kawin dengan anak perempuan mereka. Sebab anak perempuanku adalah darah dagingku. Kalau ia dibuat tidak senang berarti aku pun dibuat tidak senang, dan kalau ia disakiti berarti aku disakiti. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Rasul melarang Ali memadu Fatimah itu merupakan gambaran bahwa perempuan yang dimadu itu tidak senang dan cenderung disakiti serta tidak seorang pun dari orang tua yang rela jika puterinya dimadu termasuk Rasul SAW sendiri.
Hadits tersebut terdapat di dalam beberapa kitab Hadits, kitâbu al-sittah, yakni Shahih Bukhari dalam bab nikah, yakni hadits ke 4829; Shahih Muslim bab Fadhail Ashhabah, yakni hadits ke 4482; Sunan Abu Dawud dalam bab al-Nikah, yakni hadits ke 1773 dan Sunan Ibn. Majah dalam bab nikah, yakni hadits ke 1988; Sunan Atturmizi, dalam bab Al-Manakib, yakni hadits ke 3804, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, yakni hadits ke 18164.
Hadits yang melarang Ali berpoligami itu dipahami sebagai isyarat bagi orang yang menolak poligami bahwa Rasul SAW melakukan poligami tidak perlu ditiru oleh umatnya. Amalan Rasul berpoligami itu adalah khusus untuk Rasul dan ia sunnah yang tidak mengandung unsur syari’ah atau tidak bisa dijadikan dasar hukum. Oleh sebab itu, tidak perlu diikuti oleh umatnya.
Qasim Amin (1990:156-157), salah seorang tokoh pembaharu, sahabat dan murid Muhammad Abduh, pejuang nasib perempuan, ahli hukum Islam dan penulis buku Tahrîr al-mar’ah, menganggap bahwa perilaku poligami adalah perilaku hewan. Ia menggambarkan bahwa suami yang memiliki istri banyak sama seperti seekor ayam jantan yang dikelilingi oleh sekumpulan ayam betina.
Uraian di atas merupakan alasan bagi orang yang memahami bahwa Islam pada dasarnya menganut asas atau prinsip monogami dalam hal perkawinan.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.Pokok pembahasan ayat 3 surat al-Nisa’ itu adalah masalah di sekitar anak yatim. Poligami dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam keadaan menjanda. Oleh karena itu kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligami secara mutlak atau langsung disebut sebagai ayat poligami.
2.Berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 3, dipahami bahwa menikah secara poligami terbatas adalah solusi daripada menikahi perempuan yatim yang tidak dibarengi dengan berlaku adil.
3.Selain sebagai solusi, nikah secara poligami adalah pilihan bersyarat. Syaratnya berat dan sulit, yakni adil lahir dan batin, bukan karena isteri sakit, cacat, atau mandul. Perlakuan yang tidak adil menjadi penghalang sahnya berpoligami.
4.Berpoligami karena isteri mengalami sakit, cacat, atau mandul dalam perkawinan adalah perbuatan suami yang tidak bertanggung jawab, egois, biadab, zalim, tidak adil, tidak bermoral dan tidak manusiawi.
5.Islam pada dasarnya menganut asas atau prinsip monogami dalam hal perkawinan.
Saran
Penulis mengakui bahwa mewujudkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Iskam itu tidak mudah, dan penuh perjuangan. Oleh karena itu keberhasilannya patut disyukuri, dan kepada yang terlibat dalam melahirkannya, Apalagi semangat dan filosofinya adalah membela perempuan. UU Perkawinan dan KHI tersebut sudah sesuai dengan kondisi masyarakat zaman itu, dan mungkin bagi orang-orang tertentu dianggap sangat “revolusioner” atau “liberal” waktu itu. Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada beliau-beliau yang terlibat dan berjasa dalam melahirkan UU Perkawinan dan KHI tersebut, penulis ingin urun rembuk dengan menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, khususnya BAB dan Pasal yang terkait langsung dengan pokok pembahasan makalah ini, seperti rumusan BAB I Pasal 3, 4 dan 5 UU Perkawinan, dan KHI BAB IX Pasal 55-59 tidak sejalan dengan maksud dan syarat dibolehkannya poligami dalam Islam dan sudah tidak sesuai dengan konteks zamannya. Oleh sebab itu, sudah saatnya BAB-BAB tersebut harus direnungkan, ditinjau ulang kembali, dan dievaluasi efektifitas pelaksanaannya.
Wallahu a`lam bi al-shawwâb.
Ciputat Juni 2006
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kodir, Faqihuddin, Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadits
Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Amin, Qasim, Tahrir al-Mar’ah, Kairo: Dar al-Ma`arif, 1990.
Ali Engineer, Ashghar, Islam dan Theologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Ashshidieqy, Hasbi,Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Ash Shobuni, Syaikh Muhammaai Ali, Alih Bahasa Muhammad Qodirun Nur, Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 1390 H
Beals, Ralph, dkk., An Introduction to Anthropology, New York: Macmillan Publishing
Co., Inc., 1977.
Bukhari, Muhammad Ismail, Shahîh al-Bukhârî, tanpa tempat: Dar wa Mathabi
al-Sya`b, t.t.
Dawud, Abu, Sunan Abî Dâwud, Beirut: Dar al-Kutub `Ilmiyyah, t.t.
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama
Press,1991/1992.
Djazuli, A., Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
Jakarta: Prenada Media, 2005.
Ghanim, Muhammad Salman, terjmh. Kamran Asad Irsyadi, Kritik Ortodoksi, Tafsir
Ayat Ibadah, Politik, dan Feminisme, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Hakeem, Ali Hosein, et. all., terjmh. A.H. Jemala Gembala, Membela Perempuan
Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, Jakarta: Alhuda, 2005.
Ibnu Hajar Asqalani, Bulughul Maram Fiqih Berdasarkan Hadits, terj. Al-Hafidh,
Bandung: Al-Ma`arif, 1981.
Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-`Azhîm, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2005.
Kamal Pasha, Musthafa, dkk., Fikih Islam Sesuai Putusan Majlis Tarjih, Yogyakarta:
Citra Karsa Mandiri, 2000.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Mesir: al-Dar al- Kuwaetiyah, 1968.
Mansyur, KH. Mas, Hak Suami Istri dalam KH Mas Mansyur, Pemikiran tentang Islam
Dan Muhammadiyah, ed. Amir Hamzah. Yogyakarta: Hanindita, 1986.
Muhammad, Husein, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS, 2002.
Mujieb, M. Abdul, dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Muslim, Ibn Hajjaj, Shahîh Muslim, Kairo: al-Halabi wa Auladuh, t.t.
Muthahhari, Murtadha, terjmh. M. Hashem, Hak-hak Wanita dalam Islam, Jakarta:
Lentera Basritama, 1995.
Mudzhar, M.Athho, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern Studi Perbandingan dan
Keberajakan UU Modern dari Kitab Fiqih, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
________, ‘Peranan Analisis Yurisprudensi dalam Pengembangan Pemikiran
Hukum Islam’ dalam Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jaenal Aripin dkk. (ed.), Jakarta: Predana Media, 2004.
Nata, Abudin, Masail al-Fiqhiyah, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Qurthubi, AbuAbdullah Muhammad ibn Ahmad al-Anshasri al-, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-
Qur’an, Kairo: Dar al-Hadits, 2002.
Rahman, Mukaddimah, Mesir: Dar al-Fikr, tt.
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.32, 1998.
Sabiq, Sayyid, alih Bahasa Moh. Thalib, Fikih Sunnah, Bandung: Al-Ma`arif, jilid 6,7,8,
1980.
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Shahrur, Muhammad, terjmh. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ, 2004.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Ciputat,
Lentera Hati, 2000.
Sosroatmodjo, Arso, dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Suma, Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta: Grafindo Persada, 2002.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi,
Maliki, Hambali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1986.
Zahrah, Muhammad Abu, terjm. Saefullah Ma’sum dkk, Ushûl al-fiqh , Jakarta: Pustaka
Firdaus dengan P3M, 1994.
________, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, 1958.
Zakariya, Abu al-Hasan Ahmad Faris, bin Mu’jam Maqayis al-Lughah, Mesir: Mustâfa
al-Bâbi al- Halâbi, 1970.
Zuhdi, Masyfuq, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.
No comments:
Post a Comment