OLEH: IQBAL TAWAKKAL P
iqbal.jpgKATA PENGANTAR
Bismilahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dewasa ini Islam memiliki banyak pandangan atau pendapat mengenai Kepemimpinan. Wacana kepemimpinan yang berkembang ini, di awali setelah Rasulullah SAW wafat. Masyarakat Islam telah terbagi-bagi kedalam banyak kelompok atau golongan. Kelompok-kelompok Islam ini terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan mengkafirkan..
Kondisi seperti ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan Islam. Permasalahan perbedaan argumentasi harusnya dapat di selesaikan dengan mekanisme diskusi dengan menggunakan logika. Dengan menggunakan logika kita dapat menilai suatu argumentasi absah dan benar. Janganlah sampai suatu kebenaran harus disingkirkan hanya karena ego kita.
Kebenaran haruslah dijunjung tinggi. Karena kebenaran adalah sesuainya pernyataan dengan kenyataan. Kenyataan (realitas) tidaklah mungkin menipu, akan tetapi pahaman kitalah yang bisa jadi belum sampai pada realitas tersebut. Atau pahaman kita sebenarnya telah sampai pada realitas (kenyataan), namun egoisme kitalah yang menyuruh untuk menolaknya.
Mudah-mudahan kita bukanlah bagian dari orang-orang yang memiliki rasa egois, dan juga bukan bagian dari orang-orang yang menolak suatu kebenaran. Insya Allah.
BAB I
PENDAHULUAN
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
“ Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.”(Q.S Al-An’am:115).
Tidaklah mungkin akan ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW. Karena ketika ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW maka akan ada suatu risalah baru sebagai penyempurna dari risalah sebelumnya, sehingga artinya Al-qur’an tidaklah sempurna dan Allah menjadi tidak konsisten terhadap pernyataannya yang ia sebutkan dalam ayat di atas.
Ketika Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah dalam Islam, Umat Islam terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Islam dan siapa yang berhak atas kepemimpinan Islam.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan Islam setelah Rasulullah SAW wafat dipimpin oleh Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, dan Bani Abbas. Setelah dinasti Abbasyiah kepemimpinan Islam terpecah pecah ke dalam kesultan-kesultanan kecil.
Permasalahan kepemimpinan ini membuat Islam menjadi terfragmentasi dalam kelompok-kelompok, diantaranya yang terbesar adalah adanya kelompok Sunni dan Syiah. Kedua kelompok besar ini memiliki konsep dan pahaman kepemimpinan yang sangat jauh berbeda. Kedua kelompok ini memiliki dalil dan argumentasi yang sama-sama menggunakan sumber Islam yaitu Al-qur’an dan Sunnah.
Kedua kelompok ini terkadang saling berseteru satu sama lain, dan juga ada yang sampai mengkafirkan satu sama lain. Kondisi ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan kaum muslimin, harusnya mereka dapat berargumentasi secara rasional dan logis. Sehingga kaum muslim dapat melihat dan menilai apakah proposisi-proposisi yang dikeluarkan merupakan suatu kebenaran atau tidak.
Pada dasarnya sejarah tak bersih dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa, dan pada dasarnya sejarah umat manusia, merupakan himpunan peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan. Pasti begitu. Allah menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia tidak bebas dari dosa. Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas dan agama terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan, bukan pada fakta bahwa mereka, hanya memiliki peristiwa menyenangkan saja atau tidak menyenangkan saja.[1]
Proses memahami sejarah tidak boleh berlandaskan suka atau tidak suka, dan juga harus siap menerima segala konsekuensi yang timbul setelah kita menelaah sejarah tersebut.
Dalam makalah ini penulis berusaha untuk berhenti pada konsep-konsep kepemimpinan tetapi juga membahas sejarah 4 khilafah setelah Rasulullah SAW, serta menyinggung Dinasti Muawiyah dan Abbasyiah. penulis mencoba untuk menarik nilai-nilai apa yang bisa didapat untuk membentuk konsep-konsep kepemimpinan dalam Islam.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat saya ajukan seputar pembahasan makalah kepemimpinan dalam Islam ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan pemimpin dan kepemimpinan serta kenapa kepemimpinan dalam Islam di perlukan?
2. Bagaimana syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam?
BAB II KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT ISLAMA. Pemimpin, Kepemimpinan, dan Signifikansinya dalam Islam
Ketika ingin memulai suatu pembahasan ada baiknya kita melakukan suatu pendefinisian atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini membantu kita untuk memahami dan mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpin ini, adanya yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti Khilafah dan Imamah.
Seorang ulama bernama Syekh Abu Zahra dari kelompok Sunni menyamakan arti Khilafah dan Imamah. Ia berkata, ”Imamah itu disebut juga sebagai Khilafah. Sebab orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khalifah itu juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana manusia shalat di belakang imam.”[2]
Kelompok Syiah dalam hal kepemimpinan membedakan pengertian antara khilafah dan Imamah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah kepemimpinan dalam Islam setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syiah sepakat bahwa pengertian Imam dan Khilafah itu sama ketika Ali Bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Namun sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan pengertian Imam dan Khilafah. Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman adalah Khalifah, namun mereka bukanlah Imam.[3]
Bagi kelompok Syi’ah sikap seorang Imam haruslah mulia sehingga menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah SAW, Khalifah Rasulullah SAW yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat dan wajib di patuhi serta diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral dari pada khalifah..[4]
Secara implisit kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik.
Wacana mengenai kepemimpinan di kalangan umat Islam memiliki ragam pendapat. Pada golongan besar umat Islam. yakni Sunni dan Syi’ah terdapat konsep kepemimpinan yang signifikan berbeda. Bahkan di kalangan umat Islam yang mengklaim dirinya bukanlah bagian dari suatu kelompok besar tersebut juga memiliki pandangan berbeda, kelompok ini cenderung pada pemikiran konsep kepemimpinan barat. Kelompok ini sering disebut sebagai kalangan umat Islam yang sekuler. Banyak ragam pendapat mengenai kepemimpinan dalam Islam.
Akan tetapi ketiga kelompok Islam di atas memiliki kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Suatu masyarakat tidaklah mungkin dipisahakan dari sebuah kepemimpinan.
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.[5]
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan berpolitik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa ulama haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan politik haruslah dapat melepaskan manusia dari belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Ulama berasal dari kata bahasa arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya adalah orang yang mengetahui atau orang pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran, yaitu Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk mengganti istilah ulama.
Bagi Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi Muhammad SAW,adalah ”Fuqaha adalah pemegang amanat rasul, selama mereka tidak masuk keduania”, kemudian seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.”[6] Kedua, alasan Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas dari seorang ulama tersebut.
Pendapat yang tidak rasional dari kedua kelompok di atas adalah kelompok Islam sekuler. Kelompok Islam sekuler hanya memahani Islam secara parsial ,atau bisa jadi mereka ditugaskan oleh kelompok pembenci Islam untuk mendistorsi pahaman umat Islam akan agamanya.
Alam semesta dan manusia memiliki dimensi materi dan imateri. Islam merupakan agama yang sempurna dimana pengaturannya meliputi seluruh alam semesta ini. Ketika kehidupan beragama dipisahkan dari aktivitas politik, maka seolah-olah Islam tidak mengatur bagaimana kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. Justru terkadang manusia memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap realitas alam semesta ini. Sehingga manusia dapat saja berbuat kekeliruan dalam bertindak dan memutus suatu perkara. Manusia dalam hal ini seolah-olah tidak berdaya, akan tetapi kalau dicerna lebih lanjut maka ini sebenarnya menguntungkan, karena ada kerja Ilahi yang mengantarkan manusia pada kesempurnaan. Manusia cukup mentaati dan menerapkan hukum Allah tersebut.
Hanya manusia-manusia yang dibimbing oleh Tuhanlah yang dapat memahami realitas alam semesta. Manusia yang memahami agama Islam secara komprehensif baik dimensi materi ataupun imateri yang dapat membawa suatu masyarakat menuju arah kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Selain itu diangkatnya seseorang menjadi pemimpin (nabi, para imam, atau ulama/fuqaha) juga berdasarkan gerak dan kebijaksanaan yang diraih oleh orang tersebut dalam perjalanan spiritualnya. Dalam hal ini terdapat faktor dari dari manusia itu sendiri yang kemudian dijaga dan diridhoi Allah SWT.
Kepemimpinan dalam Islam haruslah seorang tokoh ulama yang benar-benar bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan dan keselamatan ummatnya. Baik itu golongan Islam Sunni atau pun Syi’ah sepakat bahwa ulama harus memimpin segala bidang baik itu spiritual maupun politik dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebelum masuk ke dalam kriteria kepemimpinan terdapat perbedaan pandangan antara kelompok Sunni dan Syi’ah mengenai pola pemilihan kepemimpinan. Sunni sepakat bahwa kepemimpinan tersebut dipilih secara musyawarah oleh ummat Islam. Pendapat mereka ini berlandaskan pada :
(Q.S Asy-Syura :38 : ”…. sedang urusan mereka dengan musyawarah antara mereka….”,)dan
(Ali-Imran :159 : ” Bermusyawarah dengan mereka dalam sesuatu urursan.”)
dan juga pidato Umar Bin Khattab mengenai pertemuan di Saqifah yang mengharuskan ummat Islam bermusyawarah dalam menetapkan pemimpin.
Sedangkan kalangan Syi’ah sepakat bahwa urusan kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat, maka Allah SWT melalui Rasul-Nya telah menetapakan pemimpin setelah Rasul SAW, yaitu Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya dari Fathimah Az-Zahra. Bahkan kelompok Syi’ah ini memasukkan kepemimpinan ini ke dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin).
Kalangan Syi’ah memiliki alasan yang juga dilandasi Al-qur’an dan Sunnah untuk mendukung argumentasinya diantaranya adalah, yaitu QS Al-Ahzab : 33, Hadits Tsalaqain dan Hadits Ghadir Khum.
” Dan tetaplah kamu di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q.S Al-Ahzab :33)
Hadits Tsalaqain : Nabi saw bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat, yaitu Kitab Allah dan keturunanku.” (Shahih Muslim, Jilid VII, hal. 122)
Hadits Ghadir Khum : Nabi saw bersabda, “Bukankah aku lebih berwenang atas diri kalian dibanding kalian sendiri?” Semua yang hadir mengatakan, “Betul, Ya Rasulullah.” Kemudian Nabi saw membuat deklarasi, “Ali ini adalah pemimpin (penguasa) orang yang menjadikan aku sebagai pemimpin (penguasa)-nya.”
Sesungguhnya yang dimaksud Nabi adalah bahwa Nabi akan meninggalkan dua otoritas yang menjadi tempat bertanya tentang semua masalah keagamaan dan sosial. Dalam bagian akhir hadis ini, Nabi bersabda, “Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian tidak akan sesat.” Jadi persoalannya adalah persoalan mengikuti (berpegang). Nabi saw mendeklarasikan bahwa keturunannya sama dengan Al-Qur’an. Nabi sendiri mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah tsaqal besar, sedang keturunannya adalah tsaqal kecil.[7]
Dari permasalahan di atas dapat dilihat adanya dua pokok pemikiran yang cukup tajam perbedaaannya. Kelompok Sunni percaya bahwa setelah Rasulullah SAW wafat maka kepemimpinan itu diserahkan kepada ummat Islam melalui musyawarah. Kelompok Sunni secara otomatis juga meyakini bahwa tidak ada pemimpin yang ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dalam hal memimpin ummat manusia di muka bumi ini, cukuplah Al-qur’an dan Sunnah Rasul sebagai pegangannya. Seorang Ulama Sunni, Dr. Ali As-Salus dalam bukunya Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i menyatakan bahwa kepemimpinan (Imamah) itu bukanlah ditetapkan dengan dengan nash atau penunjukan.[8]
Sedangkan kelompok Syi’ah percaya bahwa kepemimpinan setelah Rasul merupakan hak Allah SWT. Tidak ada peran manusia dalam menentukan pemimpin setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syi’ah percaya bahwa Allah SWT menentukan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin ummat Islam setelah Rasulullah SAW. Kelompok Syi’ah menyatakan kebutuhan manusia akan Imam (Pemimpin), sama dengan dalil bahwa manusia membutuhkan seorang Nabi, ketika manusia memasuki zaman ketiadaan nabi, maka manusia memerlukan imam (pemimpin).[9]
Mengenai diskursus kedua pendapat ini, penulis mencoba untuk menarik pokok permasalahan lebih kepada argumentasi rasional dan filosofis. Alasannya bahwa kedua kelompok tersebut merupakan manusia yang memiliki akal. Akan tetapi manusia bukanlah makhluk yang berlogika. Hal ini karena ada beberapa manusia yang memiliki akal namun ia tidak menggunakan hukum-hukum akal. Logika merupakan suatu ilmu pengetahuan mengenai hukum-hukum akal yang dapat membantu manusia mengetahui benar dan salah. Manusia pasti memiliki akal karena itu merupakan suatu fitrah, akan tetapi terkadang ada manusia yang selalu menggunakan perasaan atau hawa nafsu saja. Manusia pastilah makhluk berakal, akan tetapi ia belum tentu makhluk yang berlogika.
Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk hidup berjenis hewan, yang mana ia memiliki akal, hati, dan nafsu yang ghalibnya juga adalah mahluk sosial. Manusia tidak dapat melepaskan fitrah kesosialannya. Menurut muthahari dalam tiga teori pembentukan masyarakat, kefitrahan manusia sebagai unsur yang paling yang membentuk masyarkat
Pertama, manusia bermasyarakat karena kemampuannya berpikir dan memperhitungkan (faktor intelektual), misalkan manusia berkerja sama dalam membangun suatu perusahaan yang memberi keuntungan besar bagi manusia tersebut. Kedua, kehidupan bermasyarakat manusia merupakan dorongan dari luar diri manusia, misalkan manusia membentuk masyarakat karena untuk mempertahankan dirinya dari serangan musuh manusia lain. Ketiga, kehidupan bermasyarakat manusia itu merupakan suatu fitrah, dimana masing-masing manusia cenderung untuk menyatu dengan keseluruhan, misalkan kehidupan suami istri.
Dengan adanya kondisi ini maka manusia dapat dikatakan merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Ketika membentuk suatu masyarakat maka dimensi individu kemanusiaan tersebut masih tetap ada. Namun dari individu-individu tersebut terdapat kesamaan yang dapat menyatukannya menjadi masyarakat, misalkan bahwa manusia itu ingin selalu bahagia, akan tetapi bentuk kebahagiaan tersebut pastilah beragam. Ragam bentuk tersebut tidaklah bertentangan satu sama lain. Misalkan manusia menjadi bahagia ketika ia mendapatkan pekerjaan yang halal dan ia dambakan, ada manusia lain bahagia ketika ia mendapatkan rumah dan mobil dengan cara yang halal. Artinya dalam membentuk masyarakat terdapat tujuan bersama yang harus disepakati terlebih dahulu.
Masyarakat ketika ingin mencapai tujuan bersama tersebut maka masyarakat haruslah bersifat homogen, tidaklah mungkin ia bersifat heterogen. Karena masyarakat yang bersifat heterogen, maka ia akan menjadi masyarakat yang tidak memiliki tujuan bersama. Ketika tidak memiliki tujuan bersama maka ia bukanlah masyarakat, akan tetapi hanya kumpulan manusia-manusia yang memiliki ragam tujuan yang berbeda satu sama lain. Kondisi ini akan dapat membuat chaos hubungan kehidupan manusia, dan tidaklah pernah tercipta apa yang dinamakan masyarakat.
Kita tahu bahwa manusia tadi memiliki yang namanya akal, hati dan nafsu terhadap duniawi. Dan terkadang hawa nafsu duniawi tersebut justru menjadi berlebihan dan kemudian merusak akal dan hati manusia. Kondisi manusia seperti ini akan dapat merusak yang namanya tatanan masyarakat. Dan bahkan bila kondisi ini menyebar pada manusia yang lain, maka hawa nafsu hewani manusia tersebut berubah jiwa masyarakat. Yang kemudian masyarakat tersebut memiliki tujuan yang dominan pada kehidupan duniawi yang bersifat hewani, bahkan lebih parah lagi dari hewan, misalkan dilegalkannya oleh suatu masyarakat kehidupan seks bebas, minuman keras dijual bebas, dan bisnis prostitusi menjadi legal, dsb.
Manusia memiliki pengetahuan yang terbatas, namun setiap manusia memiliki potensi yang sama dalam hal mencapai pengetahuan yang hakiki. Hal ini di karenakan bahwa seluruh umat manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang baik dan sama. Akan tetapi dalam proses kehidupannya manusia banyak mendapatkan tantangan dan hambatan. Dalam proses ini manusia ada yang mampu mendapatkan pengetahuan yang hakiki, namun ada juga yang terjerumus pada kenikmatan dunia yang menyesatkan dan semu.
Dengan adanya kecenderungan manusia dan masyarakat yang seperti ini, maka Allah SWT sebagai Sang Pengasih, Penyayang dan Sang Pemberi petunjuk pastilah tidak akan membiarkan hambaNya tersesat dan kehilangan jati diri kemanusiaan. Sang Pemberi petunjuk dengan sifat Keadilan-Nya pastilah menciptakan suatu hukum yang adil untuk mengatur alam semesta ini, yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai petunjuk hidup bagi manusia dan masyarakat.
Petunjuk tersebut kemudian kita sebut sebagai wahyu. Dunia kita ini merupakan suatu dunia yang penuh dengan tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada didalam dirinya, dan kekuatan yang ada didalam dirinya itu adalah petunjuk Allah. Wahyu menurut Al-qur’an tidak hanya untuk manusia saja, akan tetapi untuk seluruh ciptaan-Nya. Wahyu tersebut memiliki tingkatan-tingkatan, tingkatannya beragam sesuai dengan tingkatan kwalitas evolusi tiap-tiap sesuatu. Wahyu yang derajatnya lebih tinggi diberikan kepada nabi. Dengan petujuk tuhan inilah manusia dan masyarakat dapat melangkah menuju suatu tujuan. Tujuan ini berada diluar alam material yang kasat mata ini. Manusia dan masyarakat harus menuju pada tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang membutuhkan suatu hukum yang di ridhai oleh Allah SWT.[10]
Ketika Allah SWT menurunkan wahyu, agar dapat dicerna oleh manusia, maka Ia menunjuk seorang nabi yang berwujud manusia. Manusia yang Allah tunjuk bukanlah sembarang manusia, akan tetapi ia haruslah terbebas dari segala macam dosa dan tinngkah lakunya harus mencerminkan sifat-sifat Allah. Manusia ini telah teruji kualitas spiritualnya. Kenapa tidak semua manusia saja yang diberikan wahyu oleh Allah SWT? Pada prinsipnya setiap manusia pastilah mendapatkan wahyu dari Allah SWT, akan tetapi terdapat tingkatan-tingkatan wahyu yang diterima oleh manusia tersebut. Tingkatan ini disesuaikan dengan kualitas spiritual manusia tersebut. Hanya Allah SWT yang tahu kwalitas spiritual manusia tersebut, yang kemudian Ia lah yang menetukan orang tersebut pantas atau tidak mengemban tugas-tugas Kerasulan.
Wahyu yang paling sempurna tingkat kebenarannya ada pada Rasulullah. Karena Rasul tersebut telah sampai pada kebenaranNya. Bahkan wahyu yang sempurna tersebut telah menyatu pada diri Rasul sehingga hal itu termanifestasi pada tingkah laku dan pola hidup Rasul Tidak sembarang orang yang tahu akan makna hakiki dari wahyu yang sempurna tersebut. Rasulullah SAW dapat dikatakan sebagai Al-qur’an dalam wujud manusia. Teks-teks dalam Al-qur’an tidak sembarang orang dapat mengetahui makna sesunggunya. Hanya manusia-manusia yang mampu dan memiliki sifat-sifat dan tingkah laku seperti rasul saja yang dapat memahami makna sesungguhnya.
Al-qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang sudah berbentuk kata-kata. Akan tetapi kata-kata tersebut tidaklah dapat menunjukkan makna yang sesungguhnya. Realitas sesungguhnya telah tereduksi ketika kita menggunakan sesuatu kata untuk menunjukkan suatu realitas.. Misalkan kalimat Allah SWT memiliki Dzat dan Sifat yang Maha Sempurna. Pernyataan Maha Sempurna ini tidak lah dapat menunjukkan Realitas Allah SWT yang sebenarnya. Akan tetapi bukan berarti manusia tidak dapat mengetahui makna dari ayat-ayat Al-qur’an tersebut. Tiap-tiap manusia memiliki tingkat-tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Sehingga hal ini mengakibatkan manusia memiliki pengetahuan akan ayat-ayat Allah SWT tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki manusia tersebut.
Yang menjadi masalah sekarang adalah manusia mana yang pahaman yang mendekati atau sesuai dengan realitasnya/kenyataan (cakupannya). Manusia yang dapat memahami makna sesungguh (reailtasnya) adalah manusia yang sudah memiliki hubungan dengan realitas wujud dari dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak akan mungkin melakukan kekeliruan karena mereka sudah berada dalam konteks realitas.[11] Manusia-manusia yang dikarenakan kesadaran mereka, berada dalam konteks alur realitas dan juga dihubungkan dengan asal muasal wujud, adalah bebas dari kekeliruan.[12] Misalkan saya akan pergi ke Surakarta, pengetahuan saya akan kota Surakarta adalah orangnya lembut dan memiliki memiliki bangunan tua. Pahaman saya ini bisa jadi belum sempurna, karena saya tidak berada pada realitas kota Surakarta tersebut. Berbeda dengan orang Surakarta, pahamannya akan kota Surakarta pastilah lebih baik dari saya yang bukan orang Surakarta. Karena orang Surakarta pastilah memiliki hubungan dan berada dalam realitas kota Surakarta.
Rasulullah SAW merupakan manusia yang sudah memiliki hubungan dengan seluruh alam semesta ini, begitu juga dengan ayat-ayat Allah SWT. Untuk itu ia pastilah mengetahui akan makna yang sesungguhnya dari ayat-ayat Allah SWT tersebut.
Wahyu Allah ini kemudian disampaikan Rasul kepada ummatnya. Ia juga diperintahkan agar membimbing dan mengantarkan serta memberikan sarana pada umat untuk melintasi jalan yang menuju pada tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Ketika ada manusia yang tidak sampai pada pengetahuan hakiki dari wahyu Allah tersebut, maka Rasulullah SAW bertugas menerangkan makna dari wahyu tersebut sesuai dengan tingkat kwalitas pengetahuan manusia tersebut.
Bagaimana ketika Rasulullah SAW wafat, apakah seluruh umat Islam sudah mengetahui makna sesungguhnya dari wahyu Allah SWT? Dan apakah ada orang yang mampu memiliki tingkat pengetahuan yang mendekati atau sama dengan Rasulullah SAW? Dan apakah manusia sudah mengetahui dan memahami apa yang menjadi tujuannya di dunia ini dan hendak kemanakah tujuan hidupnya tesebut ?
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah mungkin beliau meninggalkan umatnya tanpa seorang pemimpin, yang mana telah beliau didik untuk sampai pada pengetahuan akan realitas alam semesta ini, dan juga realitas dari ayat-ayat Allah SWT. Karena tingkat kwalitas pengetahuan manusia yang berbeda-beda, juga masih adanya manusia yang belum mengetahui makna dari ayat-ayat Allah SWT, dan juga masih ada manusia yang belum mengetahui, memahami tujuan hidupnya, maka Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT pastilah memilih seorang dari ummat Islam untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan Rasulullah SAW, dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala bentuk dosa kecil apalagi besar (ma’sum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi seorang nabi, karena tidak ada risalah baru yang disampaikan. Islam telah menjadi agama yang sempurna, namun masih di butuhkan orang yang dapat menjaga risalah Islam dan membuat ummat Islam mudah untuk mencapai tujuannya. Tugas seorang pemimpin ini adalah mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.
Terdapat perbedaan antara seorang pemimpin dan nabi. Nabi itu bertugas sebagai pemandu, pembimbing, serta juga memberikan sarana untuk melintasi jalan dalam mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya mudah untuk mencapai tujuan, mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.[13] Ada kalanya seseorang tersebut menjadi nabi sekaligus pemimpin, seperti yang terjadi pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah SAW wafat, panduan dan sarana untuk ummat Islam dalam mencapai tujuannya haruslah tetap terjaga kesuciannya. Untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin yang diangkat oleh Rasulullah SAW berdasarkan atas perintah Allah SWT.
Dengan adanya argumentasi ini, maka pemimpin dalam Islam setelah Rasul wafat haruslah ada. Pemimpin tersebut bukanlah dipilih atas kehendak ummat Islam, akan tetapi ia harus diangkat oleh Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT. Hal ini dikarenakan, ukuran tingkat atau kualitas pengetahuan serta spiritual seseorang hanya Allah SWT yang tahu, yang kemudian ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Untuk menjadi pemimpin, manusia tersebut pastilah harus melewati proses pendidikan oleh Rasulullah SAW, disamping ia juga memiliki potensi fitrah yang di berikan oleh Allah SWT. Manusia tersebut adalah Imam Ali Bin Abi Thalib, yang kemudian diteruskan oleh keturunannya yang memiliki pengetahuan luas dan suci dari segala dosa.
B. Syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil.
Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.
Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol.[14] Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak manusia.
Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.”[15] Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang.[16] Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah), yaitu[17] :
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul, filsafat Politik Islam, menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.
b. ’adalah : memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al shalah, dan tadayyun.
c. Kafa’ah : memiliki kemampuan untuk memimpin ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.[18]
Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud dari hukum Islam itu sendiri.[19] Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah.[20]
Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun spiritual.
Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.
Insya Allah.
BAB III PENUTUPHukum-hukum Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur ummat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi.Sekarang ini untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur kehidupan umat manusia dan masyarakat, maka di butuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengetahuan luas tentang hukum Allah dan keadilan, akhlak yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan memiliki pola hidup yang sederhana. Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.
DAFTAR PUSTAKA
• Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006
• Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press, Jakarta,1997
• Haidar Bagir dalam Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Pustaka Hidayah, 1989
• Jalaluddin Rakhmat dalam Yamani, Filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini, Mizan, Bandung, 2003
• Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005
• Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta,2002
• Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka Hidayah 1991
• Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Nahj al- Balaghah, Al-Huda, Jakarta,2002
• Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002.
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 423
[2] Al-Milal wan-Nihal I/24 atau lihat Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press, Jakarta, hlm16..
[3] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005, hlm 18
[4] Ibid.
[5] Haidar Bagir dalam Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Pustaka Hidayah, 1989, Hlm 16-17.
[6] Ushul Kafi, jilid 1 hal 58 kitab Fadhlu al ilm, bab al-musta ‘kilubi ilmihi wal mubahy bihi, hadis 5. lihat Imam Khomeini. Sistem Pemerintahan Islam, hal 90.
[7] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 467
[8] Dr. Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i,Gema Insani Press, Jakarta 1997,hlm 181-182.
[9] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005, hlm 21
[10] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 116.
[11] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 34.
[12] Ibid
[13] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 432-433.
[14] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka Hidayah 1991, hlm12
[15] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 29
[16] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Nahj al- Balaghah, Al-Huda, Jakarta,2002,hlm 106-107.
[17] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 40-41
[18] Jalaluddin Rakhmat dalam Yamani, Filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini, Mizan, Bandung, 2003, hlm 17.
[19] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002, hlm 63
[20] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 4
No comments:
Post a Comment