Saturday, March 1, 2008

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU UBAID:

Telaah Kitab al-Amwal

Oleh: H.Ridjaluddin F.N.

Abstrak:

Salah satu bukti sejarah yang terjadi pada masa kemajuan Islam klasik adalah munculnya pemikiran ekonomi oleh Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab karyanya yang berjudul Al-Amwal. Kitab tersebut sebenarnya lebih tepat disebut dengan Fikih Ekonomi yang menjelaskan upaya pengembangan dan pembangunan institusi ekonomi bagi kebutuhan kehidupan manusia masa kini. Ia menekankan bahwa asas yang harus diusung tinggi dalam kebijakan ekonomi adalah “yang berkeadilan bagi publik”. Lebih hebat lagi, kitab tersebut dijadikan referensi bagi para ekonom Barat sampai hari ini.

Pendahuluan

Pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran hukum Islam ialah pendekatan bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara si pemikir dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, produk pemikirannya itu sebenarnya dipengaruhi oleh lingkungannya itu. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut. Menurut Atho Mudzar, pendekatan ini penting sedikitnya karena dua hal; pertama, untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya. kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu produk pemikiran hukum.[1] Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial bertugas menelusuri bukti-bukti sejarah itu.

Sedikitnya ada empat jenis produk hukum Islam yang ada selama ini, yaitu kitâb-kitâb fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-fatwa ulama.[2] Masing-masing produk pemikiran hukum itu mempunyai ciri khasnya sendiri. Kitâb fikih merupakan hasil nalar fuqaha yang dideduksi dari sumber yang otentik, kemudian dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang panjang. Ia disosialisasikan dan memberi makna islami terhadap pranata sosial yang baru.[3] Produk fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga terdapat kecenderungan bahwa fikih identik dengan hukum Islam. Kitâb-Kitâb fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam yang pertama sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam sehingga diantara cirinya cenderung kebal terhadap perubahan karena revisi terhadap sebagiannya dianggap mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Sejarah telah membuktikan bahwa meskipun ketika ditulis kitâb-kitâb fikih itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri, dalam kenyataan beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan sebagai Kitâb Undang-Undang. Demikian pula kitâb-kitâb itu ditulis oleh pengarangnya tidak secara eksplisit disebut masa berlakunya sehingga cenderung dianggap berlaku sepanjang masa, hal ini merupakan perwujudan kaidah al mukhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-‘akhdz bi al-jadîd al-‘ashlah (memelihara hal lama yang baik dan meraih hal baru yang lebih baik).

Makalah ini mencoba menganalisis sebuah kitâb fikih. Seperti dikatakan oleh A. Dzazuli,[4] bahwa kitâb fiqih dapat dipilah menjadi beberapa bidang yaitu: ibâdah, ahwâl asy-syakhshiyyah, mu’âmalah, jinâyah, aqliyyah, siyâsah. Pembidangan hukum Islam ini sejalan dengan perkembangan pranata sosial sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Karenanya semakin kompleks kebutuhan manusia maka semakin beragam pula pranata sosial sehingga menuntut perkembangan pemikiran fiqih dan pembidangan hukum Islam. Berkaitan dengan hal ini melahirkan apa yang disebut fiqih pendidikan, fiqih lingkungan dan lain-lain, yang oleh Ali Yafie disebut sebagai “Fiqih Sosial”.[5] Fiqih sosial ini merupakan respon pemikir hukum Islam dalam memberi makna islami terhadap pertumbuhan dan perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia.

Makalah ini menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu kitâb Al Amwâl karya Abû ‘Ubaid, kitâb ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di atas maka kitâb ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan “fiqh ekonomi”. Hal ini karena pemikiran Abû ‘Ubaid didasarkan atas sumber-sumber otentik berupa Qur’an dan Hadis untuk kemudian dapat dimaknai dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ekonomi yang sangat dibutuhkan manusia pada saat ini. Tentu saja dalam pembahasannya akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam dengan mata kuliah yang dikaji pada semester ini.

Pembahasan

A. Abû ‘Ubaid: Biografi, Latar Belakang, dan Pendekatannya

1. Biografi Singkat dan Karyanya

Abû ‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat tahun 224 H di Makkah.[6]

Ia belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Setelah kembali ke Khurasan, ia mengajar dua keluarga yang berpengaruh. Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.

Dalam pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati), Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar bahasa Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”.[7] Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abû ‘Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu mazhab tertentu.

Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain.[8] Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[9] Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

2. Latar Belakang dan Pendekatannya

Agak sulit melacak latar belakang kehidupan Abû ‘Ubaid, tetapi dari beberapa literatur yang ada mengatakan beliau hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari Khalifah al Mahdi (158/775 M).[10] Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi, masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan karyanya di bidang ekonomi adalah, Abû ‘Ubaid (w.224/834 H), Imâm Ahmad ibn Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist ibn Asad al Muhâsibi (165-243 H/781-857 M). Sedangkan pada masa Abbasiyah pertama ini keseluruhannya ditemukan lebih dari 200 orang pemikir yang terdiri dari selain fuqaha juga filosof dan sufi.[11] Masa Abbasiyah ini merupakan puncak kegemilangan dunia Islam atau masa renaisance. Sebagaimana diketahui bahwa dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah dibangun oleh Abû al-Abbâs dan Abû Ja’far al-Manshûr. Puncak keemasan dari dinasti ini terletak pada tujuh khalifah sesudahnya yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hâdi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Makmûn (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).[12] pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan meningkatnya hasil pertambangan seperti emas, perak, tembaga dan besi dimana Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Baghdad merupakan kota yang kosmopolit saat itu, penduduknya sangat heterogen dari berbagai etnis, suku, ras, dan agama.

Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi, Eropa untuk membeli “Manuscript”.[13] Pada mulanya hanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.

Dinasti Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dengan Bani Umayah. Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang pengetahuan, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir dikenal dua metode yaitu pertama, Tafsir bi al-Ma’tsûr (interpretasi tradisional dengan bersumber dari Nabi dan para sahabat). Kedua, Tafsir bi al-Ra’yi (metode rasional yang lebih banyak bertumpu pada pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.[14]

Imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imâm Abû Hanîfah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang kehidupan masyarakatnya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada Hadis. Muridnya, Abû Yûsuf menjadi Qâdhi al-Qudhât di zaman Harun ar-Rasyid. Berbeda dengan Abû Hanîfah, Imâm Mâlik (713-795 M) banyak menggunakan Hadis dan tradisi Masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imâm Syâfi’i (767-820 M) dan Imâm Ahmad ibn Hambal (780-855 M).

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi dikenal dengan nama al-Fazari, sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Dalam kedokteran dikenal nama ar-Râzi dan Ibnu Sina. Dalam bidang optik Abû ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen. Di bidang matematika terkenal dengan nama Muhammad ibn Mûsa al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu Aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli dalam ilmu Geografi.

Abû ‘Ubaid adalah salah seorang dari para fuqaha yang menggeluti bidang ekonomi dalam hal ini aturan keuangan publik. Ia juga banyak menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan selama di Tarsus, di sana ia memperlihatkan kemampuannya dalam hal administrasi dan pencatat diwan resmi. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Persi ke bahasa Arab menunjukkan bahwa ia banyak menguasai bahasa tersebut. Menurut Gottschalk,[15] pemikiran Abû ‘Ubaid ada kemungkinan sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Amr ‘Abdurrahman ibn ‘Amr al-Azwa’i, karena seringnya pengutipan kata-kata ‘Amr dalam al-Amwâl, serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syuriah lainnya selama ia menjadi pejabat di Tarsus.

Awal pemikirannya dalam kitâb al-‘Amwâl dapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abû ‘Ubaid terhadap militer, politik, dan masalah fiskal yang dihadapi administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada masanya.[16] Berbeda dengan Abû Yûsuf, Abû ‘Ubaid tidak menyinggung masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun, kitâb al-‘Amwâl dapat dikatakan lebih kaya dari kitâb al-Kharaj dari sisi kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi’în, serta atba’ at-tabi’în. Abû ‘Ubaid tampaknya lebih menekankan standar politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan sarat-sarat efisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosofi Abû ‘Ubaid lebih kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan pendekatan praktis.

Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abû ‘Ubaid lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun masyarakat. Atas dasar itu Abû ‘Ubaid menjadi salah seorang pemuka dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta institusinya dengan berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis.[17] Dengan kata lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Qur’an dan Hadis mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan kuat pada pemikirannya.

Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abû ‘Ubaid adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi’i dan Hambali mengklaim bahwa Abû ‘Ubaid adalah berasal dari kelompok madzhab mereka.[18] Tetapi dalam kitâb al-Amwâl tidak ada disebut nama Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Idris asy-Syâfi’i maupun nama Ahmad ibn Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Mâlik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya. Ia juga mengutip beberapa ijtihad Abû Hanîfah, Abû Yûsuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[19]

Sementara itu tuduhan yang dilontarkan oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan ibn Rahmân ar-Ramhurmudzi,[20] bahwa Abû ‘Ubaid melakukan plagiat terhadap kitâb fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syâfi’i, adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan hanya karena Abû ‘Ubaid dan asy-Syâfi’i belajar dari sumber yang sama tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadangkala Abû ‘Ubaid mengambil posisi yang berseberangan dengan asy-Syâfi’i tanpa menyebut nama.

B. Kitâb al-Amwâl: Isi, Format, dan Metodologi

Kitâb al-‘Amwâl dibagi dalam beberapa bagian dan bab, dimulai dengan bab pendahuluan singkat dari kesepakatan para imam (penguasa) dan subyek satu sama lainnya dengan referensi khusus untuk kebutuhan pemerintahan yang adil. Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa seorang pemimpin itu wajib memusyawarahkan keputusan-keputusan ekonomi pada kaum muslimin serta bertanggung jawab atas perekonomian kaum muslimin. Sedangkan rakyat berkewajiban mengontrol pemerintah di dalam melaksanakan kebijakan ekonomi. Beliau juga mengatakan bahwa pelaku ekonomi harus seorang yang bertakwa kepada Allah dan jujur.[21]

Dilanjutkan dengan bab tambahan yang berjudul “jenis penerimaan yang dipercayakan pada imam (penguasa) atas nama publik dan dasar-dasarnya di dalam Kitâb dan Sunnah”. Abû ‘Ubaid memberikan prioritas penerimaan pada masa Nabi seperti fai’ dan alokasinya, diklasifikasikan sebagai tiga sumber penerimaan negara sesudah Nabi. Bagian lainnya dari buku tersebut berbicara tentang penerimaan negara yaitu: fai’, khums, dan shadâqah (zakat), Imam berkewajiban memelihara dan mengalokasikannya pada publik.

Tiga bagian pertama dari buku tersebut meliputi beberapa bab tentang penerimaan fai’. Fai’, menurut Abû ‘Ubaid termasuk dari pendapatan jizyah (poll tax), kharj (pajak tanah), dan ‘usyhur (bea cukai). Sedangkan masalah ghanîmah dibahas tersendiri beserta fidyah (tebusan tawanan perang). Bagian berikutnya (keempat) memperhatikan penalukan-penaklukan wilayah, ada bab-bab yang membahas pertanahan, administrasi, hukum internasional, dan hukum perang.[22] Sesudah itu bagian kelima membahas tentang distribusi dari fai’, dan bagian keenam yang membahas tentang iqta’, ihya’ al-mawât, dan hima.

Tampak bahwa kitâb al-Amwâl secara khusus memusatkan perhatian pada keuangan publik (public finance), akan tetapi dapat dikatakan bahwa sebagian besar materi yang ada di dalamnya membahas administrasi pemerintahan secara umum. Kitâb al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum serta hukum administrasi dan hukum internasional. Hal tersebut membuat kitâb ini menjadi sumber pengembangan yang sangat diperhitungkan untuk pemikiran ekonomi legal pada dua awal abad Islam. Jika merujuk pada format dan metodologi buku tersebut, di dalam setiap babnya. Ayat serta hadis Nabi SAW, kesepakatan pada sahabat, tabi’in serta atba’ tabi’in ditampilkan bersama dengan pendapat ahli fikih. Abû ‘Ubaid sendiri adalah seorang ahli hadis yang telah lama mendalami ilmu Hadis dan sistematikanya serta melakukan tela’ah mendalam terhadap mata rantai penyampaiannya. Abû ‘Ubaid telah melakukan verifikasi atas hadis-hadis tersebut serta melakukan kritik terhadap mata rantainya jika dipandang perlu. Terkadang ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memberikan interpretasi pribadinya dengan tidak menuliskan teks aslinya. Ia membahas hal-hal yang masih diragukan, menjelaskan hal-hal yang kurang jelas tersebut. Kadang-kadang ia mengklasifikasikan isu-isu dan menuliskan atsar yang berhubungan dengannya. Di lain kesempatan, ia mengklasifikasikan atsar beserta kesimpulannya. Walaupun begitu ada beberapa bab yang hanya terdiri dari kumpulan hadis-hadis tanpa disertai komentar atau pembahasan apapun.

Ibrahim al-Harbi (murid dari Abû ‘Ubaid) mengatakan bahwa salah satu titik kelemahan dari kitâb al-Amwâl adalah terletak pada sedikitnya jumlah hadis yang diulas. Namun begitu, tidak adil apabila hanya melihatnya dari sisi itu karena keunggulan Abû ‘Ubaid adalah penguasaannya yang sangat baik terhadap hadis sehingga ia mampu memilih hadis-hadis yang relevan, bahkan beberapa kali Abû ‘Ubaid menyebutkan lebih banyak hadisnya dari pada pembahasannya.[23]

Walaupun Abû ‘Ubaid adalah orang yang sangat mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu). Dalam setiap isu ia selalu mengacu pada atsar (hadis) serta pendapat ulama lainnya mengenai hadis yang berkaitan, kemudian ia melakukan kritik terhadapnya dari sisi kekuatan atau kelemahannya. Kemudian ia memilih salah satu pendapat yang ada ataupun membuat ijtihad sendiri, didukung dengan bukti-bukti. Kadangkala ia membiarkan pembaca kitabnya untuk bebas memilih pandangannya ataupun dari salah satu alternatif dari pandangan yang ia anggap layak.[24] Abû ‘Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam mendeduksi hukum-hukum dari nash (al-Qur’an dan al-Hadis), serta menghasilkan suatu peraturan/kaidah keuangan (financial maxims) yang sistematik, terutama mengenai perpajakan, pada masa pembentukan madzhab hukum.

Referensi utama Abû ‘Ubaid, sebagaimana ulama muslim lainnya, adalah al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi, baginya otoritas al-Qur’an adalah di atas al-Hadîs. Walaupun sebenarnya al-Hadis adalah penjelasan dari al-Qur’an.[25] Penjelasan dari para sahabat, tâbi’în dan atba’ at-tâbi’în dipandangnya sederajat lebih rendah dibanding hadis. Namun, ia akan mengesampingkannya apabila dipandang bertentangan dengan Hadis; secara prinsip tradisi dari orang lain adalah tidak sebanding jika dihadapkan dengan tradisi Nabi.[26] Dalam kondisi yang terdapat hukum atau keputusan berbeda terhadap kasus yang berulang (sama), apa yang terakhir dilakukan atau diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW, itu yang lebih diutamakan.[27] Tingkat pemahaman Abû ‘Ubaid terhadap keduanya (al-Qur’an dan al-Hadis) membuatnya mampu untuk menuangkan keduanya di dalam beberapa buku seperti al-Nâsikh wa al-Mansûkh fi al-Qur’ân al-‘Azîz wamâ fîhi min al Farâ’id wa al-Sunan, Gharîb al-Qur’ân, Ma’âni al-Qur’ân, Gharîb al-Hadîts, yang merupakan penjelasan (tafsîr) dan interpretasi alegorik (ta’wîl) dari al-Qur’ân dan al-Hadîs.[28]

Abû ‘Ubaid mengatakan bahwa aturan umum dari sunnah dapat dispesifikasi dengan sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio).[29] Sunnah dapat dibatalkan dengan sunnah yang lainnya atau dengan ayat dari al-Qur’an.[30] Sumber ketiga yang digunakan Abû ‘Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan).[31] Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi,[32] di mana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya,[33] sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.[34]

Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâshid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum-hukum.[35] Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) meruapakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja.[36] Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’âmul (hukum adat atau tradisi).[37]

C. Pandangan Ekonomi Abû ‘Ubaid

1. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi

Jika isi buku Abû ‘Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.[38] Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.[39]

Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut.[40] Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik.[41] Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.

Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.[42] Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.

Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius.[43] Lebih jauh Abû ‘Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai (duty free).[44] Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).[45]

Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak (tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.

2. Dikotomi Badui (masyarakat tradisional/desa) ke Urban (masyarakat kota)

Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui, kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.

Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’ hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.[46]

Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.

Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi.[47] Namun, mekanisme yang disebut di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû ‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

3. Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian

Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.

Adalah tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja; setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.

Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.[48]

4. Pertimbangan Kepentingan

Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan,[49] tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.[50]

Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan imam.[51]

5. Fungsi Uang

Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

Abû ‘Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan di dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari kitâb al-Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha Khalifah Abdul Malik ibn Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.

Penutup

Melalui pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abû ‘Ubaid lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.

Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsar sahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.

Abû ‘Ubaid hidup pada suasana Baghdad yang kosmopolit dan heterogen dimana persoalan masyarakat juga lebih kompleks dibandingkan wilayah lainnya. Suasana yang kondusif dan tradisi ilmiah membuat para ulama yang hidup di wilayah itu cenderung menggunakan ra’yu (rasio), hal ini terlihat misalnya pada pemikiran Imâm ‘Abû Hanîfah. Berbeda dengan Imâm Mâlik yang hidup di wilayah Hijaz, penduduk di wilayah ini dekat dengan pusat kekuasaan Nabi dan Khulafa al-Rasyidin dimana penyebaran Hadis lebih banyak dan lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Bagi Abû ‘Ubaid, meskipun cukup lama tinggal di Baghdad tetapi ia sangat handal dan menguasai Hadis. Karenanya dalam pemikirannya senantiasa mengikuti Sunnah Nabi, akan tetapi ia juga memanfaatkan logika dan memakai rasio (ra’yu), meski sangat hati-hati. Abû ‘Ubaid berpendapat bahwa aturan umum dari Sunnah dapat dispesifikasi dengan Sunnah itu sendiri, tidak dengan menggunakan ra’yu (rasio). Sunnah dapat dibatalkan dengan Sunnah yang lainnnya atau dengan ayat al-Qur’an. Sumber ketiga yang digunakan ‘Abû Ubaid adalah ijma’ al-ummah (kesepakatan). Tampak bahwa Abû ‘Ubaid sangat membatasi penggunaan analogi dimana ia hanya menggunakannya jika tidak terdapat landasan yang jelas dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Hukum untuk kasus-kasus yang mempunyai sifat berbeda tidak boleh dianalogikan (disamakan) satu sama lainnya, sehingga hanya analogi kategoristik dan struktural yang dapat ditemukan dalam metode hukum. Juga setiap hukum dari Sunnah dibatasi untuk hal yang ditentukan (oleh Sunnah itu sendiri) dan tidak dapat dianalogikan (atau disamakan) dengan yang lain.

Abû ‘Ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, walaupun begitu ia memberikan tempat bagi maqâsid asy-syarî’ah dalam melakukan ketetapan hukum. Sehubungan dengan ini, manfaat bagi publik (al-maslahah al-‘âmmah) merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad. Ia juga membagi keputusan hukum yang kontroversial menjadi terakreditasi dan tidak terakreditasi dengan merujuk pada otoritas dan ulama yang ternama saja. Preferensi Abû ‘Ubaid terhadap pendapat para ulama yang kontroversial yang telah lama diaplikasikan membuktikan bahwa ia memberi ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi)

Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “The Wealth of Nation” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl ini, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul al Wahhab ibn Ali, Taj al-Din, Tabaqat al Syafi’iyah al Kubra, vol. II, Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t.

Al-Awdiy, Rifa’at, Min al-Turast al-Iqtishadi li al-Muslimin, (Kuliah Tijarah-Jami’ah al Azhar), Mekah: Mathba’ah Rabithah al ‘Alam al Islami, t.t.

Al-Qasim ibn Salam, Abu Ubaid, Kitab al Amwal, Beirut: Dar al-Fikr, 1408 H/1988

Al Ramhurmudzi, Hasan ibn Abd. Rahman, Al-Muhaddith al-Fasil bain al-Rawi wa al-Marwi, Beirut: 1971

Bosworth, CE., Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993

Dzazuli, A., Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Bandung: Orba Shakti, 1991

Gottschalk, Hans, Abu Ubaid al-Qasim ibn. Salam. Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Der Islam 13, 1936: 245-289, dalam tulisan Cengiz Kallek, Abu Ubaid Economic Thought, Kuala Lumpur:: Associate Professor, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1977

Hasan Basri, Cik, Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia, dalam Cik Hasan Basri [ed.] Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998

Mudzar, Atho, Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam, Artikel pada Mimbar Hukum,, Jakarta: Departemen Agama, 1992, h. 20

-----------------, Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Hukum Islam, dalam Cik Hasan Basri [ed.] Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, , Jakarta: Logos, 1998

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet. ke-4

----------------------, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid II

Perwataatmadja, Karnaen, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Diktat kuliah pada Fakultas Syari’ah, 2000/2001

Siddiqi, M. Nejatullah, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992

Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994

[1] Atho Mudzar, “Pendekatan Sejarah Sosial dalam Pemikiran Hukum Islam”, dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Departemen Agama, 1992, h. 20

[2] Atho Mudzar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Basri (ed.), Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos, 1998, h. 3-4

[3] Cik Hasan Basri, “Aspek-aspek Sosiologis Hukum Islam di Indonesia”, ibid., h. 111

[4] A. Dzazuli, Ilmu Fiqh (Sebuah Pengantar), Bandung: Orba Shakti, 1991, h. 54

[5] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, 1994, h. 133

[6] Rifa’at al Awdiy, Min al Turast al Iqtishad li al Muslimin, Kuliah Tijarah-Jami’ah al Azhar, Mekah: Mathba’ah Rabithah al ‘Alam al Islami, t.t., h. 147

[7] Abu Ubaid al Qasim bin Salam, Kitab al Amwal, Beirut: Dar al Fikr, 1408 H/1988 M, h. ج-د(muqadimah)

[8] ibid., h. ه

[9] M. Nejatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought: Recent Works on History of Economic Thought in Islam, a Survey, Reading in Islamic Thought, Malaysia: Longman, 1992, h. 39-40

[10] Ibid.

[11] Karnaen Perwataatmadja, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Diktat kuliah pada Fakultas Syari’ah, 2000/2001, h. 57

[12] CE. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam, Bandung: Mizan, 1993, h. 41

[13] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), cet. ke-4, h. 11

[14] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985, jilid II, h. 14

[15] Hans, Gottschalk, Abu Ubaid al Qasim b. Salam. Studie zur Geschicte de Arabischen Biographie, Der Islam 13, 1936: 245-289, dalam tulisan Cengiz Kallek, Abu Ubaid Economic Thought, Kuala Lumpur: Associate Professor, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1977, h. 1-18

[16] ibid., h. 272

[17] ibid., h. 277

[18] Taj al Din Abdul al Wahhab ibn Ali, Tabaqat al Syafi’iyah al Kubra, vol. II, Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t., h. 154, 158

[19] Abu Ubaid, Ibid., h. 103, 128, 151, 172, 249, 467, 520, 584, 603, 620

[20] Hasan bin Abdul Rahman al Ramhurmudzi, al Muhaddith al Fasill bain al Rawi wa al Wa’i, Beirut, 1971, h. 250

[21] Rifa’at al Awdiy, ibid., 156-157

[22] Abu Ubaid, Op.cit., h. 132-298

[23] ِIbid., h. 307, 323, 401

[24] Ibid., h. 667, 692

[25] Ibid., h. 649-650

[26] Ibid., h. 408, 560

[27] Ibid., h. 203, 309

[28] Ibid., h. 112

[29] Ibid., h. 468-469, 474, 512

[30] Ibid., h. 303

[31] Ibid., h. 112

[32] Ibid., h. 540, 578

[33] Al-Amwal, Op.cit., h. 497, 554, 593

[34] Ibid., h. 497

[35] Ibid., h. 594

[36] Ibid., h. 165, 169

[37] Ibid., h. 478, 566, 595

[38] Ibid., h. 138, 221-224, 285

[39] Ibid., h. 680-681

[40] Ibid., h. 137-140

[41] Ibid., h. 357-363

[42] Ibid., h. 116

[43] Ibid., h. 231-233

[44] Ibid., h. 643

[45] Ibid., h. 118-122

[46] Ibid., h. 323

[47] Ibid., h. 337

[48] Ibid., h. 367-393

[49] Ibid., h. 689

[50] Ibid., h. 661-665

[51] Ibid., h. 718

No comments: