Oleh: Abdul Moqsith Ghazali*
Perang fisik (qital) itu tak pernah suci, walau para pelakunya kerap menghendaki demikian. Ia tidak suci karena menumpahkan darah. Perang mengandung bau busuk yang menyengat. Bagaimana mungkin perang bisa disebut suci kalau di dalamnya penuh dendam dan angkara murka. Agama pun sering dipakai sebagai sampiran dari sebuah kebrutalan. Kuplet-kuplet dari kitab suci sengaja ditampilkan dalam wujudnya yang mentah untuk dijadikan dinamit yang menyeramkan. Lihatlah Perang Salib yang meletus pada zaman lampau --konon dimotivasi oleh faktor keagamaan-- telah menelan korban manusia yan tidak sedikit. Begitu juga konflik Hindu dan Muslim di India dahulu, pertikaian antara Israil dan rakyat Palestina yang belum berujung. Cukup tragis. Agama yang satu seakan bisa survive hanya dengan menggilas agama yang lain. Umat yang satu seperti predator buat yang lain. Masihkah sekarang ada sekelompok orang yang menggendong semangat penghancuran ini?
Dimana-mana perang selalu menyebalkan. Dan tentu saja menyakitkan. Terutama buat mereka yang kalah. Para peserta perang yang masih hidup sangat boleh jadi akan mengalami cacat fisik permanen, sehingga mereka tidak bisa bekerja secara produktif. Peperangan juga telah menciptakan anak-anak yatim dan janda yang terlantar. Betapa banyak anak yang kelaparan karena orang tuanya yang nota bene sebagai tulang punggung perekonomian keluarga, meninggal dalam peperangan. Janda-janda kehilangan jangkar ekonomi. Tangisan balita meraung-raung akibat ayahandanya terkapar di depan mata kepalanya sendiri. Gelombang pengungsi pun tak terelakkan. Dalam peperangan, cinta menjadi mustahil dan perkampungan penduduk harus roboh dan terjungkal. Rumah-rumah Tuhan hancur akibat ulah tangan manusia yang naifnya juga mengatas-namakan Tuhan. Tuhan dibawa serta dalam peperangan bak seorang prajurit. Pedang dihunus dalam teriakan Allahu Akbar.
Perang bukanlah penyelenggaraan ilahi. Ia adalah ekspresi kebencian dan keberingasan manusia. Pada mula dan akhirnya, qital tak bisa suci. Perang dalam sosoknya yang ganas itu tak bisa disakralisasi dengan dalil agama manapun. Perang yang bisa diberi ajektif suci hanya perang untuk melawan kemiskinan, kelaparan dan keterbelakangan. Demi Allah tidak beriman orang yang tidur dengan perut kenyang, sementara ia mengetahui tetangganya meronta menahan lapar, kata Nabi Muhammad tegas. Tentu saja, pengertian tetangga tidak terbatas pada sekumpulan fuqara` terdekat, melainkan juga tetangga terjauhnya. Bukan hanya tetangga yang seagama dan seetnis, tapi semua tetangga, apapun latar belakang dan asal-usulnya. Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in menyebutkan bahwa salah satu makna jihad adalah memberikan bantuan sandang, pangan, papan, dan kesehatan terutama bagi yang membutuhkannya, baik beragama Islam maupun tidak [.... wa daf’u dharar ma’shum min muslim wa dzimmiyin wa mustamanin, ja`iin lam yashil li halat al-idhdhirar aw ’arin aw nahwihima...].
Jenis perang inilah yang mestinya dinyalakan. Yaitu, perang terhadap kelaparan, kemiskinan, kejumudan, dan keterbelakangan yang hingga sekarang masih melilit, seperti kelaparan di Kabupaten Yahokimo Papua, busung lapar dan gizi buruk di Nusa Tenggara Timur, grafik kebuta-hurufan yang masih tinggi. Tapi, pada saat yang sama, pantang untuk membakar rumah ibadah, menghunuskan pedang, dan menjatuhkan bom, buat diri sendiri maupun orang lain, karena itu adalah kesia-siaan yang nyata. Sungguh, membangun lebih susah daripada menghancurkan. Perang dalam bentuknya yang positif-suci ini pasti lebih rumit dan melelahkan ketimbang perang negatif-kotor yang hanya berupa melemparkan granat di mana-mana. Amma ba’du, kaidah fikih menyatakan, khudz ma shafa wa da’ ma kadara; ambil yang suci dan jauhi yang kotor.
*Penulis adalah peneliti pada The Wahid Institute
No comments:
Post a Comment