Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
Dilahirkan di Kairo, Mesir, pada 14 Februari 1934, Hanafi kecil, layaknya orang Mesir lainnya, mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Pendidikan dasar dan tingginya ia tempuh di kota kelahirannya. Sedangkan gelar doktor dia raih pada 1966 di Universitas Sorbonne, Paris, Prancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d'exegese (Essai tentang Metode Penafsiran).
Pada 1971, disertasi ini memperoleh hadiah sebagai karya tulis terbaik di Mesir. Dari Paris, ia kembali ke almamaternya, Universitas Kairo dan mengajar filsafat Islam. Ia kini dipercaya sebagai ketua jurusan program tersebut.
Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaruan), dan Al Yasar Al Islami (Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Konsrp itu merupakan kepanjangan dari gagasan Al Urwatul Wutsqo-nya Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama 'kiri' sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.
Hanafi berpendapat kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Revolusi Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negeri tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan mereka, serta menggerakkan umat islam di tempat lain. Esensi kiri Islam, adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan sebagai ancaman internal.
Untuk proyek besar seperti itu, menurut dia, tak bisa mengandalkan kebaikan orang lain. ''Yang bisa menolong kaum muslim sendiri,'' ujarnya dalam satu diskusi yang diselenggarakan mahasiswa Indonesia di Mesir pada tahun 2000. Untuk dapat mengubah kondisi tersebut, yang mendesak dilakukan umat Islam adalah rekonstruksi (i'adah bina/pembangunan kembali) pemikiran Islam. Selama ini, menurut dia telah terjadi stagnasi pemikiran. Dan itu, katanya, menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam.
Rekonstruksi dilakukan hanya dengan meletakkan warisan dan tradisi klasik dalam standar modernisme. Jika sudah tidak cocok, tradisi tersebut harus diubah. Atau, katanya, harus ada penafsiran ulang terhadap sumber-sumber asal di mana tradisi tersebut terbentuk.
Dengan upaya ini, Hanafi yakin umat Islam akan mampu menghadapi tantangan berat, yakni bagaimana umat Islam memecahkan masalah kesenjangan sosial, ketidakadilan, kebodohan, pengekangan kebebasan berekspresi, dan ketertindasan rakyat. Dunia Islam, katanya, ditandai oleh disparitas kaya-miskin dan penindasan kebebasan. Kondisi tersebut harus diubah.
Yang terjadi selama ini adalah hidupnya al-turath (tradisi), yang merupakan akumulasi penafsiran yang diberikan berbagai generasi dalam menjawab tantangan zamannya, justru menguatkan ketidakadilan tersebut. Tradisi macam inilah yang ia sebut sebagai 'kanan Islam'.
Dalam menghadapi hegemoni Barat, Hanafi merumuskan paradigma pikir yang ia sebut oksidentalisme--cara memandang Barat-- sebagai anti-tesa orientaslime Barat. Untuk ini, ia menulis buku khusus berjudul Muqaddimah fi 'Ilmi Istighrab, yang telah di-Indonesiakan dengan judul: Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Ia mengajak umat Islam mengkritisi hegemoni kultural, politik, dan ekonomi Barat, yang dikemas di balik kajian orientalisme.
Hanafi yakin orientalisme sama saja dengan imperialisme, seperti kepopuleran imperalisme kultural yang digelar Barat melalui media informasi dengan mempropagandakan Barat sebagai pusat kebudayaan kosmopolitan. Bahkan, orientalisme dijadikan kedok belaka untuk melancarkan ekspansi kolonialisme Barat (Eropa) terhadap dunia Timur (Islam).
Apakah dengan oksidentalisme ini Hanafi berambisi merebut kekuasaan orientalisme? Tidak. Hanafi menulis, oksidentalisme hanya ingin menuntut pembebasan diri dari cengkeraman kolonialisme orientalis. Menurut Hanafi, ego oksidentalisme lebih bersih, objektif, dan netral dibandingkan dengan ego orientalisme. Oksidentalisme sekadar menuntut keseimbangan dalam kebudayaan, kekuatan, yang selama ini memposisikan Barat sebagai pusat yang dominan. Dengan oksidentalisme, Hanafi berniat mengakhiri dan sekaligus meruntuhkan mitos Barat yang dianggap sebagai satu-satunya representasi (kekuatan) dunia.
Islam Indonesia, kritikan hingga karya
Hanafi juga rajin mengikuti perkembangan Islam di Indonesia. Pada seminar di Kairo (1996), ia mengatakan konsep Islam nasionalis (Islam Al Watani) sangat tepat diterapkan di Indonesia. Islam nasionalis adalah Islam yang membela kepentingan nasional, memelihara persatuan bangsa dan kesatuan teritorial dari ancaman disintegrasi dan sektarianisme.
Konsep Islam nasionalis berbentuk solusi riil problem umat Islam saat ini, seperti keadilan sosial, lintas etnik, toleransi beragama, membangun etos kerja, menolak penjarahan tanah, dan praktik kekerasan berdarah. ''Saya ingin memperkenalkan Islam modern, yang memberi penafsiran baru terhadap teks-teks ajaran Islam hingga mampu menghadapi tantangan modernitas, tanpa harus taklid pada Barat dan juga ulama klasik Arab. Islam yang saya maksud mendorong bangkitnya budaya nasional serta melestarikan identitas bangsa Indonesia,'' paparnya.
Dalam pandangannya, Islam yang dibutuhkan Indonesia bukan konservatif yang hanya terbuai dengan syiar-syiar agama dan bukan pula sekuler Barat yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa Indonesia. ''Apa yang dibutuhkan Indonesia dan juga dunia Islam lainnya sesungguhnya sama, yaitu memelihara dua legitimasi dalam satu waktu, yakni teritorial dan identitas budaya, serta nasionalisme, dan khasanah warisan di satu sisi dan legitimasi modernitas yang ditandai dengan keterbukaan, kebebasan, keadilan, supremasi hukum di sisi lain.
Bapak tiga anak ini menulis sedikitnya 20 buku dan puluhan makalah ilmiah. Karyanya yang populer di Indonesia antara lain Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), Min al-`Aqidah ila al-Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World (1995), dan lainnya. Hasan Hanafi bukan sekedar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi intelektual Islam klasik.
No comments:
Post a Comment