Thursday, May 1, 2008

Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian

Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian[1]

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

If you want peace, work for justice!

Paus Paulus VI[2]

ihsan01

PARA “agamawan humanis,” untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan industri komunikasi massa (umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanya dangkal isinya) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi sosial-politik agama. Yang biasanya diungkap adalah konflik dan aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Ingatlah bagaimana media memberitakan orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah salat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis-)agama konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya.

Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut dengan kata-kata seram: zealots, extremists, militants, dan yang sejenisnya. Kadang liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kudul. Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang upaya-upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan.[3]

Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan. Pertama-tama, konflik dan kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik agama – dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting. Maka model pemberitaan di atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang benar terjadi, dipandang tidak adil terhadap agama. Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan berani berkorban, bahkan dengan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu. Dalam sejarah agama-agama abad ke-20 saja, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha). Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat ajaran agama itu sendiri, seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas.[4]

Alasan lain kekecewaan para agamawan di atas terkait dengan semacam strategi kampanye penyebaran nilai-nilai anti-kekerasan itu sendiri. Model peliputan itu dianggap tidak berorientasi kepada penyelesaian konflik dan pengupayaan perdamaian, atau setidak-tidaknya lebih merugikan daripada menguntungkannya. Model itu kemungkinan besar hanya akan memancing muncurnya kekerasan tandingannya – sekarang atau nanti, langsung atau tidak, menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis,[5] sedikitnya inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap rekan-rekannya seiman oleh kelompok agama lain.[6] Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms,” fundamentalisme hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya.

Agamawan Humanis versus Fundamentalis

Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, saya teringat kepada orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilecehkan regim di negerinya. Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Budha di Thailand, yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran Budha. Atau trio pendeta Budha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Budha di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Orang-orang seperti mereka itu, seraya tetap teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya dengan orang atau orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik yang religius maupun yang sekular. Mereka bukan saja menyepakati pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalahi eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk menegakkannya.

Saya menyebut mereka “humanis,” karena mereka percaya bahwa agama, sekalipun didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk – dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Didorong oleh religiusitas yang menggempal dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu, kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai porosnya. Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini. Dalam posisi ini, konflik dan kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd, melainkan juga scandalous!

Nah, dihadapkan kepada model pemberitaan yang melulu menembak sisi kekerasan dari ekspresi sosial-politik agama seperti disebutkan di atas, para agamawan humanis itu kini seakan sedang berperang melawan dua front yang sama kelas beratnya, militansinya, ekstremnya – yang satu sama lain saling menyalahkan, bahkan saling menyetankan.[7] Yang pertama adalah kaum “fundamentalis agama,” yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya, termasuk dengan kekerasan kalau perlu. Orang-orang yang tergabung dalam front ini (mereka ada di semua agama tanpa pandang bulu) dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang bahwa mereka adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati di jalannya sama artinya dengan mati syahid.

Sedang front yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular,” yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini, dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah, seperti banyak dicatat sejarah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya. Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan sehabis-habisnya, di abad ke-18.

Kecuali para petualang politik dan ekonomi (mereka bisa sekular dan bisa juga agamawan) tertentu, atau orang-orang tertentu yang naik-turun karir mereka sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya semacam krisis kemanusiaan yang besar (misalnya para pemegang kebijakan di sebuah negara besar, para diplomat atawa wartawan), yang memperoleh banyak manfaat dengan berlangsungnya konflik dan aksi-aksi kekerasan berbaju agama, tidak ada seorang pun yang diuntungkan oleh situasi di atas. Mereka yang berada di kedua front fundamentalis pun tidak diuntungkan oleh situasi itu, kecuali jika mereka memang berpandangan bahwa kehidupan dunia yang normal adalah sebuah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan aksi-aksi kekerasan yang terus-menerus. Hal ini tidak boleh dianggap mengada-ada atau disepelekan, karena beberapa ahli, misalnya yang terkenal adalah Konrad Lorenz, menyatakan bahwa kekerasan adalah bawaan dasar manusia yang harus disalurkan.[8] Dan, bukankah asumsi ini yang menjadi dasar kuatnya paham realisme dalam hubungan internasional?

Potensi Agama sebagai Sumber Konflik

Jika benar demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan itu bisa diakhiri, sedikitnya diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian ditopang dan digalakkan? Bagaimana maksud baik para agamawan humanis di atas itu, untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat disistematisasikan dan diagendakan, dibangun strategi, ketrampilan dan teknik-tekniknya?

Yang pertama-tama perlu segera disadari, menurut hemat saya, adalah bahwa hubungan antara agama dan kekerasan adalah sebuah hubungan yang ditandai oleh ambiguitas, sifat mendua, yang sangat nyata. Kalangan agamawan tertentu boleh saja mengklaim bahwa orientasi kepada perdamaian sudah intrinsik ada dalam tradisi agama-agama.[9] Namun, di sisi lain, juga dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa agama secara intrinsik juga dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan.

Mengenai butir terakhir itu, tidak terlalu sulit bagi kita untuk mendapat penjelasannya. Khazanah sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, tentunya juga sejarah, memberi kita banyak tilikan untuk soal ini.[10] Pertama-tama, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa agama diakui dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya di tengah alam semesta yang kadang membingungkan ini. Dari sini agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri (dan kemudian kelompok). Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka,” yang akan menguat dan mengeras di tengah situasi konflik.

Kedua, identifikasi “kita” dan “mereka,” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dsasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan; sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan.

Lalu, ketiga, dalam situasi genting, kedua hal di atas – agama fungsi agama sebagai pemberi identitas dan kelompok, dan narasi yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yangmencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad besar, “perjuangan suci,” melawan kelompok-kelompok lain, kelompok “mereka.” Pembeian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya: (i) seruan formal kepada tradisi kegamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan; (ii) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok “mereka,” yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan (iii) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik, setidaknya dalam situasi tententu, dapat dibenarkan.[11]

Kemudian, bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama? Inilah sebab keempat mengapa gama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan: karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita,” pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah dimana “kita” bisa unggul dan mendominasi.

Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahw ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit ditolak. Karenanya, hal itu mestinya tidak telalu mengagetkan siapa pun atau mengecewakan siapa pun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agam dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok.

Militansi Agama: Dari Konflik Menuju Perdamaian

Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakuinya. Dalam hal ini, ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agam sebagai sumberdaya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah. Tidak cukup bagi mereka hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.

Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya sebagai salah satu sumber konflik, pertama-tama harus diurai dan diperhatikan sungguh-sungguh. Ekspresi kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam konteksnya yang luas. Bukan untuk menekankan terutama sisi buruk agama. Melainkan untuk memperoleh potretnya yang benar, selengkap-lengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar harus dipandang sebagai lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu, yang bohong.

Jika ancang-ancangnya benar demikian, maka kita memiliki tiga gugus pertanyaan besar yang harus dijawab di sini. Pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama? Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai sebuah tugas suci atau sebuah privelese keagamaan? Dan ketiga, dalam kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)?

Dalam studinya baru-baru ini, Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas itu.[12] Menurutnya, kekerasan keagamaan tejadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan strukural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama tejadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain le arah transformasi konflik dan kekerasan.

Agama Perdamaian sebagai Narasi Tandingan

Saya mencatat dua unsur kunci dalam paparan Appleby yang cermat di atas. Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama.

Mengenai yang pertama, saya sudah menegaskannya di atas. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya-upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi. Dengan kata lain, upaya-upaya ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi yang rapi dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya. Hal ini penting dan harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen kagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang esklusif dalam wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka yang berwawasan eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan megekspresikan agama menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya penafsiran dan ekspresi agama yang sah.

Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan aras nama agama turut dibangun oleh nasari-narasi yang memperkokoh identitas “kita,” seraya menyetankan “mereka.” Agar kampanye perdamaian atas nama agama dapat berjalan baik, maka para agamawan yang anti-kekerasan harus membangun narasi-narasi tandingannya, yang dapat menopang perdamaian. Narasi-narasi beraura konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan naras-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita pluralisme.

Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan secara terang-benderang kepada kaum “fundamentalis sekular” yang sering mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya perdamaian. Cita-cita luhur pencerahan, pada praktiknya juga sama tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber lain. Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen tertentu umat manusia, proyek modernisme juga memakan banyak korban, langsung atau tidak: nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi, kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya.

Semua ini hanya menunjukkan pentingnya mereka untuk bersikap lebih rendah diri, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk suara agamawan. Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Kalau mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan asiprasinya.

Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan perdamaian. Jika kaum “fundamentalis sekular” tidak percaya pada “jalan agama,” toh dialog dengan kalangan agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam rangka koeksistensi damai. Yang lebih fungsional dari itu juga bisa: karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaartkan sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda sebenarnya skeptis kepadanya. Akhirnya, di era yang disebut pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut kepemimpinan karismatik. Jika seorang pemimpin agama yang karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai peace builder? Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh, setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya.

Yang juga sangat jelas adalah unsur kunci kedua di atas, yaitu persepsi mengenai ketidakadilan yang mendorong aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Justru pada titik inilah kita berlaku bebal. Kita lupa bahwa dulu Presiden Sukarno pernah menyatakan prinsip yang persis diutarakan oleh Paus Paulus VI dan dikutip di awal tulisan ini – dan perkataan Sukarno itulah, “Saya menginginkan perdamaian, tetapi lebih dari itu saya menginginkan keadilan,” yang menopang semuruh elemen bangsa ini, lepas dari agamanya apa, untuk bersama-sama melawan kolonialisme.

Dihadapkan pada fakta yang sangat jelas ini, seperti sdah disinggung, yang pertama-tama harus dilakukan adalah melihat aksi-aksi kekerasan atas nama agama dalam konteks yang lebih luas, untuk menemukan ketidakadlan struktural yang menjadi penyebabnya. Setelah itu, panggilan perdamaian oleh agama harus didesain dengan menempatkan ketidakadilan struktural ini sebagai musuh yang harus diperangi dengan segala cara dan dilenyapkan. Jika tidak demikian, maka agamawan yang anti-kekerasan hanaya akan dituduh tidak berbuat apa-apa, kalau bukan malah bersepakat dengan status quo ketidakadilan itu.

Di balik itu adalah pekerjaan yang lebih berat, memerlukan ketarampilan dan teknik, keberanian dan pengorbanan: bagaimana menumbuhkan keyakinan bahwa penyelesaian dengan cara-cara damai terhadap sebuah ketidakadilan struktural adalah cara yang lebih baik, lebih membekas dalam jangka panjang, lebih sedikit membawa korban, dari penyelesaian dengan cara-cara kekerasan. Untuk itu, para agamawan yang anti-kekerasan harus lebih rajin berbagi gagasan dan pengalaman. Juga menggalang kerja sama dengan aktor-aktor lain yang sama-sama mendmbakan perdamaian.

Demikianlah adanya. Tidak sederhana, memang, karena perkaranya juga tidak bisa digampang-gampangkan. Seluruhnya membutuhkan waktu dan banyak kerepotan.***



[1]Pernah diterbitkan dalam Sifaul Arifin, Raja Juli Antony, Irfan Nugroho, dan Irfan Amali (eds.), Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan (Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah, The Asia Foundation, Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 67-84.

[2]Dikutip dari Theodore M. Hesburgh, dalam “Foreword,” untuk R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconcilliation (Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2000), hlm. ix.

[3]Di antara yang jarang itu, saya pernah membacanya suatu kali di Newsweek, 9 Nopember 1997, yang saya laporkan kembali dalam “Para Pendamba Perdamaian,” Ummat, 17 Nopember 1997. Ada dua cerita dalam tulisan itu. Yang pertama mengisahkan upaya dua bapak (Yehuda Wachsman, seorang Yahudi, dan Syekh Yasin Hamed Badr, seorang Muslim Palestina) yang masing-masing anaknya (satu tentara Israel dan satunya lagi aktivis organisasi Islam radikal HAMAS) mati karena perang, untuk mendirikan sebuah pusat untuk menggalakkan toleransi beragama di Yerussalem. Pertemuan keduanya pertama kali difasilitasi oleh seorang wartawan Palestina yang bekerja untuk sebuah suratkabar Israel. Cerita yang kedua mengisahkan dua pemuka agama (Syekh Rajai Abdo dan Rabi Jeremy Milgrom) yang berceramah keliling dunia mengenai proses perdamaian. Pada butir apa saja keduanya bersepakat? “Keesaan Yang Mahakuasa,” kata Abdo. Ditambahkannya, “Saya telah merasakan sisi sangat humanistik dari warga Yahudi. Warga Yahudi dan Muslim telah mengalami tragedi yang sejenis, dan telah merasakan pengalaman diaspora yang sama.” Menurut pengakuan mereka, mereka dianggap naif oleh sebagian besar rekan mereka, baik warga Israel maupun Palestina.

[4]Butir ini, mengenai kecenderungan media untuk meliput melulu kekerasan atas nama agama, dengan model penyajian yang dangkal dan lengkap, terang memerlukan pembahasan sendiri – yang bukan di sini tempatnya. Tetapi secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal ini terkait dengan semacam rumus yang amat dipegang di dunia industri komunikasi, bahwa berita yang layak dijual adalah berita-berita mengenai korban dan kenestapaan. Rumus itu dikenal dengan “bad news adalah good news (untuk dijual).” Sebagian orang mengatakan, ini ada kaitannya dengan bawaan intrinsik manusia kepada kekerasan. Akan halnya soal kedangkalan berita, hal ini terkait dengan keinginan media, didorong oleh tingkat kompetisi yang makin tinggi, untuk menyajikan berita secepat – jadi jelas bukan sedalam atau selengkap – mungkin. Istilahnya: hard news atau breaking news, pokoknya berita saja. Sebagian orang mengatakan hal ini terkait dengan hasrat manusia modern yang makin meningkat akan informasi yang instan.

[5]Dalam perkara keragaman agama, biasanya dikenal tiga orientasi besar. “Eksklusivisme” adalah orientasi yang ingin membangun kantong yang tertutup (enclave builder), yang menegaskan bahwa hanya ada satu cara untuk memahami realitas dan menafsirkan yang suci. “Inklusivisme,” sebaliknya, menegaskan bahwa meskipun ada berbagai tradisi keagamaan, komunitas keagamaan, dan kebenaran, suatu tradisi agama tertentu adalah puncak dari tradisi-tradisi lainnya, lebih unggul dari yang lain itu, atau cukup lengkap untuk juga menampung yang lain itu dalam posisi lebih rendah. Akhirnya, “pluralisme” adalah orientasi yang menegaskan bahwa kebenaran bukanlah milik eksklusif sebuah tradisi atau komunitas keagamaan tertentu. Dalam wawasan terakhir ini, keragaman komunitas dan tradisi dipandang bukan sebagai hambatan untuk mengatasi, melainkan sebagai peluang untuk, pergumulan yang bersemangat dan dialog dengan yang lain. Dalam wawasan seorang pluralis, seperti ditulis Diana L. Eck, “Tuhan adalah cara kita berbicara mengenai sebuah Realitasyang tidak dapat dicakup seluruhnya oleh sebuah tradisi keagamaan mana pun, termasuk tradisi keagamaan kita sendiri.” Lihat Appleby, The Ambivalence of the Sacred, hlm. 13-14.

[6]Saya berjumpa dengan banyak orang, dari kalangan Islam di Indonesia, yang mengalami perubahan sikap seperti ini menyusul tidak tuntas-tuntasnya kasus pertikaian antara kalangan Islam dan Kristen di Ambon dan Maluku Utara. Mereka sebenarnya menyadari akar-akar non-agama pertikaian itu. Tetapi ketika kasus itu tidak juga tuntas, dan tidak ada tanda-tanda penuntasannya, sementara mereka didera dengan informasi mengenai korban yang terus berjatuhan, maka yang kemudian tumbuh dalam dada mereka adalah in-group feeling terhadap saudara-saudara seiman. Dalam penilaian mereka, lepas dari asal-usul sejatinya yang non-agama, yang mereka lihat belakangan ini pada akhirnya adalah sebuah aksi saling tumpas dan saling bunuh oleh orang-orang yang berbeda karena baju agamanya.

[7]Saya meminjam istilah ini dari John L. Esposito, “mutual satanization.” Lihat bukunya, Islamic Threat: Myth or Reality (New York: Oxford University Press, 1992). Untuk analisis yang senada, lihat antara lain Richard Falk, Explorations at the Edge of Time: The Prospects for World Order (Philadelphia: Temple University Press, 1992), hlm. 24-25.

[8]Lihat karyanya yang terkenal, On Aggression, trans. by Marjorie Kerr Wilson (New York: Harcourt Brace Javanovich, 1966).

[9]Klaim ini biasanya diikuti dengan upaya para agamawan untuk membedakan antara agama yang “benar” (atau autentik), yang dipandang hanya menyerukan perdamaian, dan agama yang “palsu,” yang dianggap lebih “militan,” “ekstremis” dan “fundamentalistik.” Pandangan ini mengecam para pemimpin politik yang membawa-bawa agama untuk mencapai kepentingan politik dan ekonomi sendiri. Agama, menurut sudut pandang ini, harus dibebaskan dari konsekuensi-konsekuensi tragis yang muncul dari “niat buruk” para pemimpin politik.

[10]Paparan di bawah ini terutama saya dasarkan pada John Kelsay and Summer B. Twist (eds.), Religion and Human Rights (New York: The Project of Religion and Human Rights, 1994), hlm. 4-9. Lihat juga misalnya William R. Garrett, “Religion and the Legitimation of Violence,” dalam Jeffrey K. Hadden and Anson Shupe (eds.), Prophetic Religions and Politics (New York: Paragon House, 1986), hlm. 103-122; dan John Kelsay, Islam and War: A Study in Comparative Ethics (Lousenville, Kentucky: Westminster, 1993), hlm. 115-117.

[11]Untuk penjelasan lebih lanjut dan ilustrasi yang amat kaya mengenai butir kedua dan ketiga ini, lihat misalnya dua rujukan berikut: Rene Girard, Violence and the Sacred, trans. by Patric Gregory (Baltimore: The John Hokpins University Press, 1977); dan David I. Kertzer, Ritual, Politics and Power (new Haven and London: Yale University Press, 1998).

[12] Lihat Appleby, The Ambivalence of the Sacred, hlm. 282.

No comments: