Thursday, May 1, 2008

’’Beyond Pluralism’’

Kritik Implementasi Dialog Agama

Oleh Siti Aisyah
MENGAPA dialog agama sangat diperlukan? Ada beberapa argumen yang bisa menjadi jawabannya. Antara lain, argumentasi historis yang membuktikan bahwa kehidupan keberagamaan pernah diwarnai sejarah kelam dengan banyaknya kekerasan atas nama agama.
Dengan adanya dialog agama, diharapkan sejarah masa depan bangsa tidak lagi diwarnai tindak kekerasan atas nama agama. Berikutnya terdapat argumentasi etis, yakni dengan dialog agama diharapkan adanya saling pengertian lalu tercipta kerukunan beragama.
Di Indonesia selama ini paling tidak ada dua paradigma dialog agama yang berkembang: fenomenologis dan perenial. Fenomenologi mengasumsikan dialog agama adalah berfungsi untuk menjelaskan secara rasional tentang agama yang dianutnya terhadap umat lain, serta berusaha memahami serta mengerti keberagamaan orang lain dengan tanpa membuang keimanan kita. Sementara perenial mengandaikan dialog agama (kaum perenialis lebih senang menyebut dialog antar-iman) sebagai wahana saling tukar pengalaman religius untuk saling mendewasakan diri dalam beragama.
Rasanya, sekarang kedua paradigma itu tidak mencukupi bagi terbangunnya sebuah masyarakat yang damai, adil, dan dewasa dalam beragama. Kenapa? Karena dua paradigma tersebut tidak mempertimbangkan argumentasi transformasi agama dalam melakukan dialog. Keduanya menafikan agama sebagai agen transformator dalam sebuah masyarakat.
Oleh karena itu, pantas direnungkan perihal pemikiran baru tentang paradigma dalam dialog agama, yakni paradigma liberasi (pembebasan), yakni sebuah paradigma yang mempertimbangkan elan transformatif agama. Dalam tulisan ini, kita berbicara soal itu lebih lanjut.
Dialog agama fenomenologis adalah upaya dialog yang lebih didorong semangat menjelaskan agamanya kepada umat agama lain dan mencoba memahami serta mengerti agama berikut keberagamaan mereka. Dalam pandangan Komarudin Hidayat, dialog itu meski masih terasa aspek dakwahnya-suatu penobatan orang lain dari keyakinannya tetapi sudah cukup positif, karena di samping akan melahirkan kompetisi di bidang intelektual, juga paradigma ini tidak berpretensi melakukan falsisifikasi terhadap keyakinan orang lain dalam rangka membenarkan agamanya sendiri (Komarudin Hidayat, 1995:75).
Paradigma ini mengajak untuk bersikap rendah hati dan jujur sehingga bisa melihat kenyataan dan kebenaran yang ada pada agama lain sebagaimana dipahami dan diyakini oleh pemeluknya. Oleh karena itu, paradigma dialog agama fenomenologis ini masih mengandaikan kebenaran hanya ada pada agama yang dia peluk. Namun, mereka bersikap toleran, dalam pengertian menaruh hormat terhadap keyakinan yang dianut oleh orang lain.
Singkat kata, paradigma ini hanya sampai menghormati (saja) kebenaran yang diyakini umat lain. Sikap seperti ini oleh Alwi Shihab disebut sebagai keberagamaan yang inklusif, belum mencapai tataran sikap beragama pluralis.
Berbeda dengan yang pertama, paradigma perenial merekomendasikan bahwa sebuah dialog hendaknya mengarah pada usaha pencarian kemungkinan adanya apa yang disebut sebagai transcendent unity of religions (Komarudin Hidayat, 1995:75). Paradigma ini membawa dialog antar-umat beragama pada tataran mistik, yaitu sebuah pengalaman kehadiran Tuhan yang tentu saja bersifat unik/khas dan individual.
Paradigma perenial ini, menurut Komaruddin Hidayat, dibangun atas tiga fondasi. Pertama, setiap umat beragama hendaknya meyakini bahwa Tuhan itu hanyalah Satu yang bisa ditafsirkan dengan berpusparagam (Satu Tuhan Banyak Nama). Kedua, berpusparagamnya tafsir tentang Yang Satu harus dipandang sebagai "jalan" menuju hakikat Yang Absolut. Dan ketiga, setiap umat beragama harus mempunyai komitmen terhadap "jalan" yang ia tempuh atau dalam bahasa Sayyed Hossein Nasr disebut sebagai relativity absolute.
Oleh karena itu, paradigma perenial ini mengandaikan sebuah pemahaman keberagamaan yang pluralis; yakni sebuah pemahaman yang memberi pengakuan terhadap kebenaran dari yang lain. Kebenaran dipandang datang dari Yang Satu, walaupun demikian kebenaran tersebut dapat didekati dengan berbagai cara.
KEDUA model dialog agama ini di samping mempunyai nilai positifnya masing-masing, di sisi lain mempunyai kelemahan yang cukup mendasar. Paradigma fenomenologis yang dilandasi oleh keberagamaan yang inklusif ini selain membawa hal-hal yang positif juga memiliki beberapa kelemahan mendasar. Paradigma ini masih mendasarkan diri pada semangat truth claim yang mengandaikan kebenaran hanya ada pada dirinya.
Sikap seperti itu cenderung melahirkan pembenaran kepercayaan diri sendiri walaupun tidak terang-terangan menyalahkan kepercayaan orang lain yang pada gilirannya tentunya tidak bisa menghapus kecurigaan terhadap agama lain dengan tuntas. Hasil akhir dari dialog model ini adalah munculnya sikap menghormati, dan bukan empati terhadap umat lain. Akibatnya, masih menyisakan "ruang" yang potensial untuk mengubah rasa hormat menjadi perasaan benci. Ini sangat mungkin terjadi bila suatu saat agama dimuati kepentingan politik atau ekonomi. Bisa jadi muncul friksi dan kekerasan atas nama agama.
Demikian halnya dengan paradigma perenialis, walaupun dialog agama dalam paradigma ini didasarkan oleh semangat pluralisme dan relative absolute, dalam konteks Indonesia sikap keberagamaan yang pluralis saja tak cukup untuk membangun keberagamaan yang damai. Nilai positif dari paradigma ini adalah dengan watak pluralismenya akan semakin mendorong hilangnya fanatisme sempit dalam beragama.
Sumbangan perenialis ini sangat penting dalam menghilangkan watak truth claim dari agama-agama. Paradigma ini memiliki kelemahan karena tidak mempertimbangkan dimensi sosial agama. Padahal, sulit untuk dibantah bahwa agama sarat dengan tafsir kepentingan yang punya potensi untuk menindas yang lain.
Satu catatan penting lagi bagi kedua model dialog agama di atas bahwa keduanya cenderung elitis dan tidak populis. Yang dimaksud elitis adalah dialog tersebut mengandaikan hanya bisa dilakukan oleh elite-elite dari agama besar saja.
Ruang lingkup dialog tersebut juga tidak memasuki spektrum kepentingan kehidupan manusia secara luas. Maksudnya, keduanya mengandaikan agama adalah wilayah privat dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Dengan mempertimbangkan nilai positif dan negatif dua model dialog di atas, maka perlu ada paradigma baru dalam dialog beragama, yakni paradigma liberasi, paradigma pembebasan.
MENARIK apa yang disampaikan oleh Hans Kung: "there will be no peace for our world unless there is peace among the religion" ( tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara agama-agama). Namun, satu hal yang patut dicatat bahwa agama hanya bisa menciptakan perdamaian apabila agama tidak berkolaborasi dengan penindas kemanusiaan. Sebaliknya agama, harus menjadi inspirasi pembebasan atas manusia dari struktur yang menindas. Dalam konteks inilah seharusnya dialog dilakukan.
Paradigma fenomenologis dan perenial hanya memusatkan pada "kebenaran" abstrak yang jauh dari realitas kemanusiaan. Di samping mengabaikan elan vital pembebasan dari agama, kedua paradigma itu hanya berkutat pada masalah elitis, yakni tentang kebenaran dan pengalaman keberagamaan, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai "kapasitas" individu tertentu.
Dialog hanya ada di ruang-ruang diskusi, kelas, seminar, atau ruang akademis lainnya. Dialog tidak terjadi dalam keseharian kehidupan masyarakat luas. Akibatnya, terjadilah fenomena paradoksal, di mana pada satu sisi para elite agama berdialog, namun pada sisi yang lain kekerasan antar-agama terjadi pada level grass root semakin marak.
Kedua pendekatan tersebut juga tidak mempersoalkan kemungkinannya agama justru menjadi alat penindas. Padahal, sangat mungkin agama hanya dipakai sebagai alat mempertahankan status quo kelompok-kelompok mapan, baik secara politik atau ekonomi maupun sosial budaya.
Dialog bagi keduanya hanya sekadar untuk saling mempertahankan kemapanan agama masing-masing. Dengan meminjam istilah Garaudi (1990:154), maka dialog ini hanya berhenti pada ko-eksistensi dan pro-eksistensi. Artinya, dialog agama hanya mengantarkan manusia pada sikap bahwa setiap agama berhak bereksistensi, dan harus didukung bersama-sama.
Melampaui kedua model dialog agama tersebut, paradigma liberasi memandang kedamaian hanya bisa diciptakan bila tidak ada ancaman kemanusiaan di muka bumi.
Tema besar yang diangkat adalah the survival conditions of humanity yang berupa keadilan sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran dunia. Karenanya, dialog agama harus juga memasuki persoalan-persoalan keadilan struktur ekonomi, krisis ekologi, penjajahan kebudayaan, diskriminasi serta penindasan, dan seterusnya yang menyangkut persoalan eksistensi kemanusiaan yang luas.
Konsekuensi lebih lanjut, maka dialog ini tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi dan pro-eksistensi; dialog harus mencapai koorporasi. Artinya, ada sebuah kerja sama yang real atau konkret dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi hari ini. Kalau ini disepakati, maka pertama-tama yang harus diperbincangkan adalah keberpihakan agama-agama tersebut. Karena tanpa ada keberpihakan yang sama, koorporasi yang diangankan tadi tidak pernah akan tercapai.
Memakai pendekatan liberasi ini, maka dialog agama akan benar-benar menyentuh masyarakat secara luas. Hal ini, saya kira, sangat tepat dalam konteks Indonesia yang sedang mengalami krisis multidimensional seperti sekarang ini.
Dengan mempertimbangkan elan transformatif keagamaan dalam melakukan dialog agama, maka sumbangan umat beragama dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara akan lebih relevan dan kontekstual.
Siti Aisyah, mahasiswa Pascasarjana Prodi Cross Cultural and Religious Studies UGM

No comments: