Thursday, May 1, 2008

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

Oleh: Prof. Suyanto, Ph.D

Dalam era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, dan praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management. Dalam konteks school based management, sekolah harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat lokal dalam pengelolaannya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensinya. Meskipun demikian otonomi pendidikan dalam konteks school based management harus dilakukan dengan selalu mengacu pada accountability (pertanggungjawaban kualitas) terhadap masyarakat, orangtua, siswa, maupun pemerintah pusat dan daerah.

Agar desentralisasi dan otonomi pendidikan berhasil dengan baik, kepemimpinan kepala sekolah perlu diberdayakan. Pemberdayaan berarti peningkatan kemampuan secara fungsional sehingga kepala sekolah mam-pu berperan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. Dengan proses dan program pemberdayaan, mereka akhirnya harus memiliki kinerja yang profesional dan fungsional. Kepala sekolah harus bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai manajer yang baik, kepala sekolah harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat berfungsi secara optimal dalam mendukung tercapainya tujuan sekolah. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik yang meliputi: (1) perencanaan; (2) pengorganisa-sian; (3) pengarahan; dan (4) pengawasan.

Dari segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinaan transfor-masional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutama-kan pemberian kesempatan dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dsb.) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah. Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional (Luthans, 1995: 358) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasikan dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai, (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) mening-katkan kemampuannya secara terus-menerus sepanjang hayat; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; (7) memiliki visi ke depan.

Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagaian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan antara lain: sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya seko-lah pada proses pembaruan dan inovasi.

Keadaan ini pernah dialami oleh penulis ketika harus melakukan diseminasi classroom action research di sekolah-sekolah. Kepala sekolah yang mengadopsi kepemiminan instruktif-otoritarian tidak selalu bisa mem-beri peluang kepada penulis untuk mengajak para guru melakukan classroom action research di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat. Di sisi guru sebenarnya mereka sangat mendamba-kan untuk selalu meningkatkan profesionalisme secara berkelanjutan melalui classroom action research. Sebab mereka sebenarnya mengerti, dengan melakukan penelitian itu para guru akan mampu melakukan refleksi terhadap praktik pembelajaran yang selama ini dilakukannya. Para guru telah dilatih, berhari-hari mengenai cara-cara melakukan classroom action research. Tetapi gara-gara ada kepala sekolah tidak reseptif terhadap inovasi, akhirnya guru harus puas dengan praktik yang bertahun-tahun dilakukan dan dianggap telah baik tanpa ada sistem feedback yang diperolehnya dari penelitian tindakan kelas.

Kepala sekolah yang memiliki kepemimpinan partisipatif – transforma-sional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar – mengajar di sekolahnya, dan de-ngan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research; Sebab dengan penelitian kelas itu sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesi-onal. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar – mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan oleh karena itu mereka dapat selalu meningkatkan profesionalismenya secara berkelanjutan.

Agar proses inovasi di sekolah dapat berjalan dengan baik, kepala sekolah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader), dan bukannya bertindak sebagai boss. Ada perbedaan di antara keduanya. William Glasser (1992) dalam bukunya The Quality School: Managing Students Without Coercion berhasil mengemukakan metapora yang membedakan antara leader dan boss. Perbedaan tersebut dapat kita pahami dari ungkapan-ungkapan metaporik berikut: (1) A boss drives. A leader leads; (2) A boss relies on authority. A leader relies on co-operation; (3) A boss says “I”. A leader says “We”; (4) A boss creates fear. A leader creates confidence; (5) A boss knows how. A leader shows how; (6) A boss creates resentment. A leader breeds enthusiasm; (7) A boss fixes blame. A leader fixes mistakes; (8) A boss makes work drudgery. A leader makes work interesting.

Dengan memahami metapora tersebut, seyogyanya kepemimpinan kepala sekolah harus menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yang hanya mengandalkan kekuasaan, sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional; menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan pada kerjasama kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba menakutkan, sebaliknya perlu menciptakan keadaan yang membuat semua guru percaya diri; menghindarkan diri dari wacana retorika, sebaliknya perlu membuktikan memiliki kemampuan unjuk kerja profesional; menghindarkan diri dari sifat dengki dan kebencian, seba-liknya harus menumbuhkembangkan antusiasme kerja para guru; menghindarkan diri dari suka menyalahkan guru, tetapi harus mampu membetulkan (mengoreksi) kesalahan guru; dan menghindarkan diri agar tidak menyebabkan pekerjaan guru menjadi membosankan, tetapi sebaliknya justru harus mampu membuat suasana kerja yang membuat guru tertarik dan betah melakukan pekerjaannya.-

No comments: