Oleh Abdullah Yazid* Karena itu, secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi. Kiai, terutama di Jawa, adalah patron masyarakat Muslim, dan bentuk tingkah lakunya dalam berhadapan dengan masyarakat ditandai oleh paternalisme. Masyarakat memandang kiai sebagai pembimbing spiritual, moral, keagamaan, sekaligus melindungi umat dari ancaman-ancaman dunia luar. Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas. Prinsip demikian koheren dengan argumentasi Geertz yang menunjukkan peran kiai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai kekuatan suci itu sendiri. Ini berarti, kiai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya. Sejak Islam menjadi “agama resmi” orang Jawa, para penguasa harus berkompetisi dengan pembawa panji-panji Islam atau para kiai dalam bentuk hirarki kekuasaan. Sebab, para kiai yang awalnya sebatas memimpin aktivitas kehidupan keagamaan, lambat-laun juga memperoleh pengaruh politik. Dalam konteks yang sama, Soemarsaid Moertono (1995) menyatakan bahwa perebutan pengaruh antara penguasa dan para kiai biasanya selalu dimenangkan oleh pihak penguasa. Namun, Moertono juga menyatakan bahwa perebutan pengaruh tersebut tidak pernah padam dan tetap berlangsung sampai sekarang. Para kiai tetap memainkan peran politik yang sangat menentukan. Kasus pilpres kemarin yang “menghadirkan” dua cawapres dari kalangan kiai, yakni KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dan KH Hasyim Muzadi, menjadi bukti kekuatan kiai masih dominan di medan politik. Bagaimana seseorang bisa menjadi kiai? Apakah tradisi pesantren menganut ukuran tertentu? Dalam hal ini, beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kiai besar adalah pengetahuan, kesalehan, keturunan, dan jumlah santrinya. Faktor tersebut memungkinkan siapa pun menjabat titel kiai dengan segenap otoritas kepemimpinannya. Yang perlu menjadi catatan dari kepemimpinan kiai adalah kenyataan bahwa hubungan antara pemimpin dan masyarakat direlasikan oleh hubungan emosionalitas yang erat. Hubungan ini lahir dari persepsi masyarakat bahwa kiai adalah orang ahli yang dapat memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran al-Qur’an. Pengaruh kepimimpinan kiai, khususnya di Jawa, tidak hanya menyebar di beberapa desa. Posisi seorang kiai di sebuah pesantren dan keterlibatannya di NU dapat membuatnya menjadi seorang pemimpin nasional umat Islam di Indonesia. Sebab, pesantren menjadi lembaga penting yang terkait dengan kekiaian seseorang. Melalui pesantrenlah seorang kiai membangun pola patronase yang menghubungkannya dengan masyarakat. Patronase ini dengan mudah dibangun karena kebanyakan pesantren dimiliki secara pribadi oleh kiai. Sesuai dengan latar belakang pendidikan dan perkembangan zaman, di masyarakat terdapat dua tipe kiai di pesantren. Yakni, kiai tradisional dan kiai modern. Perbedaannya, kalau kiai tradisional mengambil pendidikan Islam di pesantren tradisional. Sementara kiai modern, pengetahuan Islamnya diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan Islam modern. Kiai tradisional biasanya mempunyai pengetahuan Islam lebih banyak daripada kiai modern, tetapi kiai modern mempunyai keunggulan dari segi metodologi pengajaran Islam yang lebih baik daripada kiai tradisional. Gagasan kiai kampung yang sempat digelontorkan Gus Dur, agaknya sedikit mengusik “kesucian” makna kiai yang dipahami selama ini. Rupanya Gus Dur dalam konteks tersebut hendak membongkar menara gading atas makna kiai khos yang acapkali menjadi otoritas tak terbantahkan. Apalagi makna tersebut juga berkuasa dalam melegitimasi peran kiai di luar disiplin keagamaannya. Sementara dalam persepsi Gus Dur, kiai kampung umumnya bergerak di wilayah pinggiran, dekat dengan umat, dan dapat menerobos tempat-tempat yang tidak disentuh oleh penguasa. Kiai kampunglah yang paling tahu denyut nadi kehidupan grass root. Namun, ide Gus Dur sendiri, kalau dibaca lebih jauh, tetap tidak terlepas dari upaya untuk menjaga simbolitas dan makna kiai sendiri, dengan simbol kiai kampung sekalipun. Kita masih ingat keterlibatan sejumlah kiai sepuh (kiai tua) pada saat Gus Dur menjadi Presiden RI. Golongan kiai yang acap diidentikkan dengan kiai khos tersebut sangat memengaruhi, dan bahkan menentukan terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. Saat itu, hampir tidak terdengar kiai yang menentang pencalonan Gus Dur. Sekarang, sebagai negarawan sekaligus politikus, Gus Dur tentunya tidak ingin basis pedesaan yang dimilikinya tercerai-berai karena pertarungan elite kiai dengan aroma kepentingan tertentu. Artinya, baik pada kiai kampung maupun kiai khos, saat ini yang sedang terjadi adalah pertarungan kepentingan dalam bingkai politisasi simbol kiai. Meski demikian, gagasan Gus Dur tetap patut diapresiasi. Pikiran segar Gus Dur tersebut, diakui atau tidak, memang berupaya mengurai simbol dan istilah kekiaian dalam pendekatan yang lebih antropologis. Sebab, bagi masyarakat Islam di pedesaan, kiai lokal semacam ini memegang pengaruh dan peran riil untuk membentengi umat terhadap ancaman, ambisi, dan kepentingan dari luar. Hemat saya, dua keunggulan kiai seperti disebut Ali Maschan Moesa (1999), yaitu keunggulan ilmu dan keunggulan amal, dalam konteks tersebut perlu dimaknai sebagai bentuk moralitas sosial yang harus ada pada diri kiai. Moralitas tersebut diukur dari sejauh mana sosok kiai mampu merelasikan keduanya. *Penulis adalah anggota Jaringan Pluralisme Watch The Wahid Institute, peneliti di Averroes, Malang. |
No comments:
Post a Comment