Saturday, May 17, 2008

TAJDID DALAM PERSPEKTIF TAFSIR

Oleh: M. quraish shihab

I. PENDAHULUAN.

Dalam kisi-kisi yang disajikan oleh Panitia Seminar ditetapkan tiga butir permasalahan yang hendaknya dapat diangkat dalam membahas topic diatas, yaitu :Hubungan antar manusia dalam tatanan dunia yang satu.Kemanusiaan universal.Keseimbangan antar Warga bangsa : Upaya memberdayakan yang lemah.

Tentu saja permasalahan-permasalahan tersebut hendakinya dikaitkan dengan topik besar Seminar ini, yakni Tajdid Pada Era Globalisasi Untuk Pencerahan Peradaban. Untuk maksud tersebut, makalah ini akan mengetengahkan terlebih dahulu sepintas tentang Globalisasi dan Tajdid serta pandangan Al-Qur’an terhadap Globalisasi.

Globalisasi ditandai oleh pesatnya kemajuan teknologi lebih-lebih dalam bidang informasi, komunikasi dan transportasi, dan ini pada gilirannya seperti kata banyak pakar : mengakibatkan “Dunia telah menjadi desa kecil”…Apa yang terjadi di satu tempat terpencil sekalipun, segera bahkan pada saatnya dapat diketahui dan dilihat di tempat yang lain. Globalisasi juga menghadirkan nilai baru, yang kemudian melahirkan kontradiksi dalam kehidupan manusia. Dunia semakin kecil dan hubungan manusia semakin mudah, tetapi dalam saat yang sama, hubungan silaturahni dalam bentuk pertemuan face to face semakin langka. Dari satu sisi era globalisasi menyerukan demokrasi, keadilan dan persaudaraan, tetapi dari sisi kenyataan, terlihat kekerasan, ketidak adilandan kekejaman bahkan oleh mereka yang menyerukannya. Globalisasi yang katanya bermaksud mensejahterakan umat manusia, justru dinilai oleh banyak pakar sebagai bentuk baru penjajahan dan hanya menguntungkan negara-negara maju.[2]

Adapun tajdid yang memang merupakan keniscayaan bagi ajaran Islam yang kita nyatakan “Selalu sejalan dengan setiap waktu, situasi dan tempat”, maka ia adalah pencerahan dan pembaharuan yang mencakup aspek yang sangat luas. Tajdid dalam arti pencerahan mencakup penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai menyangkut ajaran-ajaran agama yang pernah diungkap oleh para pendahulu. Apa yang pernah diungkapkan masa lalu, boleh jadi ketika itu untuk menerimanya. Sedang tajdid dalam arti pembaharuan adalah mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru yang yang belum pernah diungkap olehsiapapun sebelumnya. Ini pun sangat diperlukan bahkan perlu digalakkan karena tidak satu ungkapan yang lebih buruk – dalam konteks pemikiran – dari pada ungkapan yang mengatakan Tidak ada kalimat – dalam bidang pemikiran – yang lebih buruk daripada ungkapan yang menyatakan :

Generasi terdahulu tidak lagi meninggalkan sesuatu untuk difikirkan oleh generasi berikut atau ungkapan (Tidak bisa lagi diciptakan sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang telah tercipta).

Karena perlunya tajdid dalam pengertian-pengertian diatas, maka Al-Qur’an berulang-ulang menekankan perlunya berfikir, merenung, mengingat, mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu dan sebagainya. Berfikir, tidak dapat lepas dari kondisi dan situasi yang dialami, disamping tidak juga dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu dan teknologi, bawaan dan kencenderungan si pemikir, karena itu hasil pemikiran masyarakat atau bahkan pemikir masa kini sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil pemikiran masyarakat lalu atau orang-orang lain.

Nah kalau Tafsir adalah “Penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia”, maka itu berarti tafsir adalah hasil pemikiran manusia menyangkut firman-firman Allah, dank arena pemikiran manusia – sebagaimana dikemukakan diatas- dipengaruhi oleh banyak hal termasuk perkembangan IPTEK dan masyarakat – yang kini menandai serta ditandai oleh globalisasi- maka tidak pelak lagi tafsir di era globalisasi mengharuskan adanya tajdid. Tajdid dalam kedua maknanya diatas, kita perlukan, bukan saja untuk mengiringi kita menerima dampak positif globalisasi, tetapi juga untuk membentengi kita menerima dampak negatifnya, karena globalisasi bukan hanya menghasilkan produk matrial, tetapi juga produk pemikiran dan nilai yang sebagian diantaranya bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an.

II. Al-Qur’an dan Globalisasi.

Orang sering berkata bahwa : “Segala sesuatu berubah kecuali perubahan”. Ungkapan ini tidak sepenuhnya benar. Satu hal yang terlebih dahulu harus kita garis bawahi – adalah bahwa kita tidak mungkin memaksakan satu masyarakat untuk mengikuti atau meniru secara rinci seluruh pola yang pernah dialami oleh masyarakat masa lalu, termasuk masyarakat Nabi Muhammad saw. Tetapi harus juga diakui bahwa hal-hal yang paling banyak berubah dalam kehidupan masyarakat manusia adalah hal-hal yang bersifat matrial, bukannya sifat-sifat bawaan manusia. Cinta orang tua kepada anaknya atau cinta kepada lawan seks adalah naluri yang tidak berubah, sejak manusia pertama hingga terakhir. Manusia pertama, dan manusia masa kini, dan hampir dipastikan manusia masa dating, kesemuanya membutuhkan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Ini tidak berubah walaupun makanan dan cara memasaknya berbeda, demikian juga tempat tinggal, model dan bahan pembuatannya – kesemuanya berbeda dari satu masa ke masa yang lain. Sejak ratusan – kalau enggan berkata ribuan tahun-, manusia membutuhkan transport, tetapi kalau dahulu mereka menggunakan keledai, maka kini pesawat udara, dan entah apalagi di masa dating. Jadi jangan berkata bahwa “ Segala sesuatu berubah”.

Kalau kita merujuk ke sejarah Nabi saw. sambil memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an maka kita dapat berkata bahwa telah terjadi perubahan-perubahan pada masa beliau. Ayat-ayat Al-Qur’an turun menuntun umat Islam menghadapi perubahan itu. Ada sekian fase yang dapat dicatat sebagai fase-fase perubahan pada masa Nabi saw.

Sejak masa kenabian sampai Islamnya Sayydina Umar dan Hamzah r.a. adalah satu fase yakni ketersembunyian dan ketakutan. Setelah Islamnya tokoh tersebut yang dikenal gagah berani, maka masa ketersembunyian berlalu, dan posisi kaum muslimin mulai sedikit menguat, namun perlawanan fisik bulan diizinkan.

Setelah tiba di Madinah dimana masyarakat Islam telah terbentuk dengan jelas, perubahan lain pun terjadi, paling tidak antara fase sebelum perang Badr dan fase sesudahnya sampai masa Perjanjian Hudaibiyah, lalu keadaan berubah lagi setelah perjanjian tersebut, hingga wafatnya Nabi Muhammad saw. Turunnya ayat-ayat Al-Qur’an serta petunjuk praktis Nabi saw, sejalan dengan perubahan itu, namun sepanjang aneka perubahan tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar yang tidak berubah baik dalam bidang akidah, maupun syariah dan akhlak. Setelah masa Rasul saw berlalu, perubahan-perubahan lebih pesat lagi terjadi, dan ketika itu terlihatlah dengan jelas ditengah masyarakat umat manusia termasuk dikalangan masyarakat muslim perubahan positif dan negative.

Semua kita mengetahui bahwa Al-Qur’an dan Sunnah mengamanatkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu ada yang bersifat mendasar, universal dan abadi, atau dinamai juga Ats-Tsawabit dan ada juga bersifat lokal, dan temporal, sehingga dapat dapat berubah dan berbeda antara satu tempat/ waktu dengan tempat/waktu yang lain yang dinamai juga Al-Mutagayyirat. Kedua macam nilai ini diisyatakan oleh firman-Nya dalam Q.S Ali ‘Imran [3] 104.

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari tang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

Alkhair adalah Al-Qur’an dan Assunah. Begitu ditafsirkan oleh Ibnu Katsir berdasar riwayat yang dinisbahkan kepada Rasul saw[3]. Ia adalah nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Ia adalah Ats-Tsawabit. Sedang Al-Ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama sejalan dengan Alkhair. Al-Ma’ruf adalah “hak/kebenaran yang diakui dan dengan kadar yang diakui pula, dan ini tidak dapat diukur dan dipastikan sepanjang waktu, karena dia terus menerus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan kondisi dan perkembangan situasi masyarakat. Tolok ukurnya adalah bahwa dia tidak menghalalkan yang haram, tidak juga mengharamkan yang halal[4]”Lawannya adalah Al-Munkar. Dalam konteks ini dapat dipahami ungkapan Ibnu al-Muqaffa’ :

Apabila ma’ruf telah kurang diamalkan maka dia menjadi munkar dan apabila munkar telah tersebar maka dia menjadi ma’ruf.

Dengan konsep “ Al-ma’ruf ” Al-Qur’an membuka pintu yang cukup lebar guna menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Perlu dicatat bahwa konsep Al-ma’ruf hanya membuka pintu bagi perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya. Dari sini filter Al-Khair harus benar-benar difungsikan. Demikian juga halnya dengan Al-munkar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muruah, identitas dan integritas seseorang.

Kini dalam era globalisasi, tugaas seorang mufassir dalam memahami dan menjelaskan maksud firman-firman Allah adalah berupaya menciptakan hubungan harmonis antara Ats-Tsawabit ( Prinsip-prinsip yang langgeng dan tidak berubah) dengan Al-Mutagayyirat (perubahan-perubahan yang terjadi). Nilai-nilai serta perubahan-perubahan positif yang terjadi harus tinggalkan, bahkan kita harus mampu membuktikan kesalahan dan bahayanya bagi umat manusia sesuai dengan pesan Q.S. Ali ‘Imran [3] : 104. Melalui nilai-nilai yang diajarkan Al-Qur’an kita membuka diri tetapi keterbukaaan yang tidak menjadikan identitas kita sebagai umat Islam dan budaya kita sebagai bangsa Indonesia lebur dan sirna. Kita terbuka sekaligus menutup diri, - setelah menjadikan nilai-nilai agama sebagai tolok ukur keterbukaan dan ketertutupan.

Harus diakui bahwa hal tersebut tidaklah mudah karena seperti yang dilansir oleh pemikir muslim Mesir kontemporer Zaky Najib Mahmud dalam bukunya Hadza Al-‘Asher Wa Tsaqafatuhu : Kemajuan kontemporer bukan produk kita – kaum muslimin – tetapi produk orang lain yang masuk ke rumah kita – atau kita mempersilahkannya masuk. Perubahan-perubahan yang terjadi itu kita temukan di pintu rumah kita sebagai raksas. Saat itu kita bingung.. apa yang harus kita lakukan dengan isi rumah kita.. apakah isi rukah, kita buang jauh-jauh agar sang raksasa dapat masuk atau kah kita mengatur kembali perabot rumah kita sehinnga sang tamu dapat masuk dan tinggal dengan santai dan dalam saat yang sama tidak ada perabot rumah yang penting yang kita buang atau abaikan. Nilai-nilai serta perubahan-perubahan positif yang terjadi harus dapat kita ambil dan dalam saat yang sama yang buruk kita harus tinggalkan kita harus mampu membuktikan kesalahan dan bahayanya bagi umat manusia.

III Hubungan antar manusia dalam tatanan dunia yang satu.

Diatas telah dikemukakan bahwa “Dunia semakin kecil” Akibat “kecil”nya, maka seseorang tidak dapat lagi hidup dibelakang tirai bamboo atau besi. Umat manusia berada dalam satu perahu, dan semua harus menjaga agar perahu tidak bocor dan karam. Dalam bidang tafsir, kita tidak dapat lagi mempertahankan – misalnya- apa yang dikemukakan oleh Al-Baidhawi 9w.658 H) tentang makna auwliya’ pada Q.S. Al-Maidah [5] :51:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya’

Kata tersebut difahaminya dalam arti larangan menjalin hubungan persahabatan. Serta larangan mengandalkan mereka dalam tugas bahkan ulama itu menetapkan kewajiban menghindari mereka dengan alasan sabda Nabi Muhammad saw[5] :

(Tidaklah api keduanya saling terlihat)[6] Maksudnya kaum muslimin dan Ahl Al-Kitab tidak boleh berdampingan dan berdekatan tempat tinggalnya sampai-sampai api dapur mereka tidak boleh saling terlihat. Tentu saja penafsiran semacam ini tidak lagi sejalan tatanan dunia yang satu lagi demikian kecil.

Kita juga tidak dapat lagi memahami Q.S. Al-Hujurat [49] 11-12 yang melarang ejekan, pelecehan, sangka buruk yang tak berdasar dan menggunjing, hanya terbatas pada sesama muslim/mukmin. Kata akhihi (saudaranya) pada ayat Al- Hujurat 12

Tidak lagi difahami sebagaimana pemahaman sementara penafsir[7] bahwa yang dimaksud adalah saudara seagama Islam. Ini semua disebabkan karena globalisasi yang melahirkan tatanan dunia yang satu menuntut kita untuk meningkatkan kerjasama dan pemahaman antar sesama manusia, karena kini kita semua bersama-sama, hidup dalam satu planet yang kecil. Perbedaan akidan dan pandangan hidup tidak lagi menjadi halangan untuk bekerjasama dalam al-Khair dan Ma’ruf. Ini sejalan dengan perintah( Q.S. Al-Maidah [5] : 3 ) yang memerintahkan untuk bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta sejalan pula dengan ajakan kepada Ahl Al-Kitab untuk bertemu pada kalimat sawa’ (Q.S. Ali ‘Imran [3] : 64)

Firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal [8] 61 :

“ Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan berserah dirilah kepada Allah” tidak dapat difahami bahwa perintah berdamai bersifat sementara, maksimal hanya sepuluh tahun sebagaimana difahami oleh sementara ulama antara lain Ibrahim bin Umar Al-Biqaiy yang mengaitkan penafsirannya itu dengan Perjanjian Hudaibiyah yang menetapkan gencatan senjata antara Nbi saw. dengan kaum msyrik selama sepuluh tahun[8]etidak bersifat sementara- karena kini dambaan umat manusia adalah perdamaian dan ayat diatas pun tidak menetapkan pembatasan waktu tertentu. Tentu saja yang dimaksud adalah perdamaian yang adil dan langgeng, bukan pemaksaan untuk berdamai – misalnya seperti yang dilakukan Israel terhadap Palestina.

Ayat diatas bahkan dapat menjdai dasar pemikiran yang memungkinkan lahirnya pandangan-pandangan baru namun tidak keluar dari koridor agama seperti misalnya bertukar hadiah dan saling mengucapkan selamat kepada non muslim yang tidak memusuhi kita. Karena itu pula memahami kata tuqsithu ilaihim) pada firman-Nya dalam Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 8

Memahaminya dalam arti memberi bagian (dari harta kamu)- lebih sesuai dari pada memahaminya dalam arti berlaku adil karena berbuat adil merupakan kewajiban terhadap kawan dan lawan, yang memerangi atau yang tidak memerangi ( Baca Al-Maidah [5] 2 dan 8) sedang konteks ayat itu adalah terhadap yang bukan lawan[9]. Ini dapat juga dikuatkan dengan firman-Nya Al-Baqarah [2] :272:

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka pahalanya itu untuk kamu sendiri….

Diriwayatkan bahwa ayat diatas turun berkenan dengan sikap Nabi saw atau beberapa sahabat beliau yang enggan melanjutkan pemberian bantuan kepada sementara kaum lemah yang selama ini mereka bantu tetapi masih enggan memeluk Islam. Ayat diatas memerintahkan memberi bantuan kepada yang butuh tanpa mempertimbangkan agama dan ras, tetapi atas dasar kemanusiaan belaka yang tujuannya meraih ridha Allah swt, karena betapapun mereka juga adalah makhluk hamba-hamba-Nya.[10]

IV. Kemanusiaan Universal.

Sejak dini Islam menolak ide pembagian umat manusia dalam kasta an ras. Puluhan ayat dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang hal tersebut yang kesemuanya mengarah kemakna kemanusiaan universal.

Salah satu ayat yang dapat dikatakan paling gambling berbicara tentang hal ini adalah firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah [2] : 213 yang menyatakan :

“ Manusia adalah umat yang satu. Lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Berbeda-beda penafsiran ulama tentang makna manusia adalah umat yang satu. Sementara ulama menjadikan kesatuan itu adalah kesatuan aqidah, dan bahwa hal tersebut terjadi dahulu karena kata kana menurut mereka menunjuk keadaan pada masa silam. Kemudian, karena manusia berselisih, maka Allah mengutus para nabi membawa kitab suci untuk menyelesaikan perselisihan itu. Pendapat ini tidak sepenuhnya baik apalagi karena untu lurusnya makna diatas terpaksa sang penafsir menyisipkan kalimat mereka berselisih yang tidak terdapat dalam teks ayat.

Pemahaman yang lebih tepat adalah memahami kata kana dalam arti at-Tsubut yakni kemantapan dan kesinambungan keadaan sejak dahulu hingga kini[11] tetapi bukan dalam arti kemantapan dan kesinambungan itu dalam hal ketiadaan keberagaman dan pengetahuan mereka tentang hakikat kebenaran = seandainya Allah tidak mengutus buat mereka rasul-rasul=, sebagaimana dilansir oleh Al-Qurthuby dalam tafsirnya[12] tetapi kemantapan dan kesinambungan yang masih berlanjut hingga kini itu adalah dalam arti manusia sejak dahulu hingga kini merupakan satu kesatuan kemanusiaan yang tidak dapat dipisahkan, karena semua manusia lahir melalui satu keturunan bapak dan ibu yang sama dan semua manusia secara individu –orang perorang- tidak dpat berdiri sendiri. Kebutuhan seseorang – bahkan masyarakat- tidak dapat terpenuhi kecuali dengan kerja sama semua fihak. Manusia adalah makhluk sosial, mereka harus bekerja sama dan topang menopang demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya.

Penafsiran ini, mengantar paling tidak kepada dua hakikat yang tidak dapat dipisahkan.

Pertama bahwa manusia semua sama dari sisi kemanusiannya, karena mereka adalah umat yang satu. “Semua kamu bersumber dari Adam dan Adam tercipta dari tanah, tiada kelebihan orang Arab atas non Arab, tidak juga non Arab atas Arab kecuali atas dasar ketaqwaan”.

Kedua, karena manusia memiliki banyak sekali kebutuhan, maka harus ada keragaman dalam jenis mereka seperti keragaman jenis kelamin lelaki dan perempuan, profesi, kecenderungan, tingkat pendidikan dan kesejahteraan, agar mereka dapat Bantu membantu, ini antara lain ditegaskan oleh firman-Nya :

Hai seluruh manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S. Al-Hujurat [49]:13

Awal ayat ini berbicara tentang kesatuan umat manusia secara universal sedang pertengahannya menegaskan bahwa perbedaan kelompok-kelompok memang sengaja dirancang oleh Allah dengan juan agar manusia saling mengenal.. yakni mengenal potensi dan keistimewaan masing-masing agar mereka bekerja sama guna mengenal masing-masing agar mereka bekerja sama guna meraih kesejahteraan lahir dan batin. Jika demikian, kesatuan kemanusiaan universal itu, tidak boleh mengakibatkan leburnya perbedaan, baik perbedaan dalam kepribadiaan, pandangan hidup, maupun budaya bahkan peringkat kesejahteraan. Akhir ayat diatas berbicara tentang tolok ukur kemuliaan manusia disisi Allah swt.

Prinsip-prinsip dasar atas melahirkan rincian yang terhitung dalam praktek kehidupan bermasyarakat, sejak masa Nabi saw. hingga masa kini, -rincian yang dapat berbeda-beda sesuai dengan perkembangan setiap masyarakat.

Dari prisip inilah sehingga Rasul saw. misalnya berdiri menghormati kemanusian jenazah seorang Yahudi yang melintas didepan tempat beliau duduk. Ketika para sahabat nabi saw di sekeliling beliau terheran-heran beliau berkomentar : “ Bukankah dia juga memiliki jiwa (manusia)?” (H.R. Bukhari). Ini juga yang menjadikan Rasul saw memerintahkan untuk menguburkan jenazah kaum musyrik yang tews memerangi beliau dalam perang Badr[13]. Dan dari sini pula – dalam konteks masa kini, pemuka-pemuka Islam ikut menghadiri pemakaman mendiang Paus Paulus II baru-baru ini dan mereka itu sama sekali tidak memahami ayat yang melarang Nabi saw shalat dan berdiri di kuburan orang munafik yang kafir ( Q.S. At-Taubah [9] : 84) sebagai larangan berdiri menghormati kemanusiaannya; yang dilarang hanya mendoakan pengampunan bagi siapa yang meninggal dalam keadaan musyrik ( Q.S. Al-Mumtahanah [60]: 4) karena Allah telah menyatakan tidak mengampuni siapa (yang meninggal) dalam keadaan musyrik ( Q.S. An-Nisa’ [4]:48) namun agaknya – dalam konteks ini, hemat penulis – tidak terlarang mengulangi ucapan nabi Isa yang diabadikan Al-Qur’an :

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adlah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Al-Maidah [5] : 118

Globalisasi yang menyerukan secara lebih gambling kemanusiaan universal ini, harus disambut dengan penuh suka cinta, tetapi dalam saat yang sama, apa yang diserukan itu, -dewasa ini- masih jauh dari kenyataan, karena seringkali nyawa bangsa yang kuat dinilai lebih mahal dan mulia daripada nyawa bangsa yang lemah, darah merekapun dinilai darah sedangkan darah yang lain dinilai seperti air yang menjijikkan.

V. Keseimbangan antar Warga Bangsa : Upaya memberdayakan yang lemah

Keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hal yang mutlak untuk pertumbuhan bahkan kesinambungan eksistensi masyarakat, baik masyarakat kecil maupun besar. Kesinambungan bahkan merupakan fondasi bagi tegaknya alam raya

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan) Supaya kamu jangan melampaui batas neraca keseimbangan itu. (Q.S. Arrahman [55] : 7-8).

Pincangnya keseimbangan terlihat dengan jelas pada gangguan ekosistem. Penebangan pohon tanpa kendali menimbulkan banjir dan ini pada gilirannya membinasakan sawah lading, bahkan menyengsarakan masyarakat. Banyaknya burung yang mati mengakibatkan bertahan bahkan berkembang biaknya ulat, dan ini pada gilirannya memusnahkan tanaman yang juga berdampak pada kesejahteraan manusia.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat pun demikian. Jika keseimbangan antar anggotanya tidak terpenuhi maka masyarakat akan binasa. Ini antara lain diisyaratkan oleh firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:251 :

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.

Dalam Q.S. Al-Haj [22]:40 Allah berfirman :

Sekiranya Allah tiada menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, dan gereja-gereja, serta sinagog-sinagog dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Allah swt adalah Pemelihara alam raya. Yang Maha Kuasa itu menetapkan system yang utuh dalam pemeliharaannya; salah satu su system pemeliharaan itu adalah persaingan dan Allah merekayasa melalui sunnatullah pembentukan aneka masyarakat yang saling bersaing dan dengan kekuatan masing-masing, sehingga terjadi keseimbangan. Dengan demikian, tidak satu pihak pun menguasai seluruh alam raya ini, karena jika demikian akan terjadi kehancuran bumi akibat ambisi manusia yang tanpa batas. Melalui persaingan yang sehat, akan terjadi kemajuan, juga pemeliharaan, termasuk pemeliharaan tempat-tempat ibadah. Ketika itu bisa saja satu Negara non muslim membela masyarakat Islam – walau tidak tulus – guna memperoleh dukungannya menghadapi saingannya. Seandainya tidak ada persaingan dan permusuhan, yang seimbang maka bisa saja kekuatan jahat bersatu untuk menghancurkan nilai-nilai Illahi dan ketika itu bumi ini akan binasa.

Pesan ayat diatas benar-benar harus disadari oleh setiap anggota masyarakat dunia ini, lebih-lebih kini di era global.

Setiap anggota masyarakat sehat, secara inidividu dan kolektif harus membangun hubungan timbale balik yang serasi, bukan saja dalam bidang matrial – seperti menjual dan membeli dengan pembayaran yang seimbang dengan nilai barang yang diperjualbelikan, tetapi keseimbangan dimaksud menyentuh pula sisi-sisi immaterial, sehingga terwujud aneka kegiatan yang seimbang seperti ajar mengajar, pengaruh mempengaruhi, take and give atau dalam bahasa Al-Qur’an (baca Q.S. Al-Balad [90]:17 dan Q.S. Al-‘Asher [103]:3).

Sunnatullah serta hukum moral menunjukkan dan menuntut kita memberi sebanyak yang kita ambil. Lebah memberi madu sebanyak serta sesuai dengan sari kembang yang diisapnya. Bulan memancarkan cahaya sebanyak dan sesuai dengan posisinya terhadap matahari; Manusia terhadap manusia pun mestinya demikian, apalagi manusia bersaudara. Bersyukur dalam konteks membantu sesame manusia Allah swt tidak mewajibkan persamaan mutlak, cukup dengan memberi sebagian demi persaudaraan (Baca Q.S. Muhammad [47]: 36-37)

Al-Qur’an menekankan persaudaraan kemanusiaan ini sampai-sampai si pembunuh pun dinyatakan-Nya sebagai saudara. Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]:178 menyatakan :

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; prang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah keringan dari Tuhan kamu dan rahmat.

Anda lihat bagai mana si pembunuh yang ditetapkan atasnya qishash (pembunuhan serupa) dinamai oleh Al-Qur’an saudara. Hal ini untuk mengingatkan semua manusia tentang persaudaraan sekemanusiaan.Persaudaraan menuntut kita memberi sebelum dimintai, merasakan kepedihan sebelum diberi tahu, dan ini mengantar kepada lahirnya masyarakat berkasih saying yakni masyarakat yang merasakan kepedihan akibat kelemahan dan ketidakmampuan pihak lain lalu mengantar yang bersangkutan kepada pemberdayaannya.

Kondisi masyarakat manusia di era globalisasi ini, -seperti telah penulis kemukakan diatas- sudah demikian dekat, dan duniapun semakin kecil akibat kemajuan alat-alat transportasi dan komunikasi. Kalau dahulu kesejahteraan yang dinikmati seseorang atau satu masyarakat masih belum terungkap atau diketahui secara jelas, -demikian juga sebaliknya menyangkut kesengsaraan- maka kini hal hal tersebut tidak lagi demikian. Kedekatan itu, melahirkan tuntutan dari yang lemah agar mendapatkan pula dari yang kuat sebagian kesejahteraan yang mereka nikmati. Semakin dekat seseorang pada yang lain, dan semakin banyak yang diketahuinya tentang kelebihannya, maka semakin banyak pula tuntutan dan harapannya. Bila tuntutan dan harapan tersebut tidak disambut, maka akan lahir kecemburuan social yang meregangkan hubungan banhkan mengakibatkan kemusnahan. Q.S. Muhammad [47] : 36-37 menegaskan bahwa :

Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan kelengahan dan jika kamu beriman serta bertakwa, Dia (Allah) akan menganugrahkan kamu pahala kamu dan Dia tidak akan meminta harta-harta kamu. Jika Dia meminta semuanya kepada kamu lalu Dia mendesak kamu niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkian-kedengkian kamu karena itu Dia hanya meminta sebagian dari apa yang berada dalam genggaman tangan kamu.

Salah satu yang amat perlu diagris bawahi dari ayat-ayat diatas adalah bahwa kekikiran memberi sebagian dari apa yang dimiliki mengakibatkan timbulnya kecemburuan kaum lemah dan ini pada gilirannya akan membinasakan semua pihak sebagaimana ditegaskan oleh lanjutan ayat diatas yang antara lain menyatakan :

dan jika kamu berpaling niscaya Dia sungguh akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu.

Pemberdayaan bermula antar kelompok yang terkecil dalam satu masyarakat, lalu meningkat hingga kelompok bangsa bahkan umat manusia seluruhnya.

Pemberdayaan itu – sebagaimana dicontohkan oleh Rasul tidak terbatas pada pemberian materi yang memenuhi kebutuhan hidup sehari dua hari, tetapi memberinya modal – baik melalui sedekah atau zakat dan keterampilan – yang dapat mengantarnya mampu bekerja dan mandiri sehingga pada saatnya dapat pula memberdayakan selainnya. Bahkan pemberdayaan itu tidak terbatas untuk tujuan peningkatan kemampuan ekonomi semata-mata, tetapi mencakup pemberdayaan dalam berbagai bidang yang dapat dicakup oleh potensi manusiawi. Pemberdayaan adalah sekumpulan dari aneka kegiatan yang bertujuan meraih kadar yang wajar dari kesejahteraan lahir dan batin yang memungkinkan setiap orang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dan hamba Allah di pentas bumi ini.

Dia juga tidak terbatas terhadap sesame muslim tetapi mencakup seluruh warga bangsa bahkan umat manusia. Ketika Nabi ibrahim as berdoa agar melimpahkan kesejahteraan kepada yang beriman saja, Allah swt menegurnya dengan berfirman Yakni yang kafirpun akan dianugrahi Allah kesejahteraan duniawi, walaupun di akhirat nanti dia akan menerima siksa yang pedih (Baca Q.S. Al-Baqarah [2] 126), dari sini juga sehingga Umar Ibnu Al-Khattab r.a. –misalnya- memberi bantuan kepada seorang tua Yahudi yang ditemuinya mengemis. Khalifah ke dua itu menggugurkan kewajiban jizyah atasnya serta menetapkan untuknya bantuan rutin dari Bait Al-Mal. Demikian Umar r.a menilai bahwa Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan hidup warganya.

Firman-Nya dalam surah Muhammad yang dikutip diatas dan jika kamu berpaling niscaya Dia sungguh akan mengganti kamu daengan kamu yang lain mengandung makna bahwa kepunahan masyarakat yang tidak memberdayakan anggotanya yang lemah. Disisi lain dalam konteks tajdid kita tidak dapat lagi memahami kaum yang menggantikan adalah – Persia – sebagaimana sementara mufassir masa lalu memahaminya – oleh Mufti Kuwait beberapa tahun yang lalu, tetapi penggantian itu terbuka bagi siapa saja yang memenuhi tuntutan Ilahi.

VI. PENUTUP

Globalisasi tidak dapat dihindari , namun dampak-dampak buruknya dapat diusahakan untuk dihindari atau paling tidak dibatasi. Tugas penganjur agama adalah memfungsikan kitab suci dengan memahaminya sesuai perkembangan zaman tanpa keluar dari nilai-nilai yang pasti dan langgeng – guna memberi dan memperjuangkan solusi bagi perselisihan-perselisihan manusia. Jangan sampai globalisasi justru mengantar kepada kehancuran planet kecil dan penghuninya itu.

Demikian, Wa Allah A’lam.

[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional, Tajdid Pada Era Globalisasi Untuk Pencerahan Peradaban, yang diadakan oleh Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Pimpinan Pusat Muhammadiyah di yogyakarta 21-22 Mei 2005.

[2] Dalam Konperensi Pemikir-pemikir Islam dan Para Pebisnis yang diadakan di Ibu Kota Qathar Dauhah tgl 11 Nopember 2001 Mahathir Muhammad ( mantan Perdana Menteri Malaysia ) menyatakan : “Globalisasi, tidak lain kecuali ciptaan Negara-negara Atlantik Utara yang bertujuan memperkaya mereka lebih besar lagi serta mengukuhkan penguasaan mereka atas dunia ini, dan maksud pengukuhan penguasaan itu adalah agar mereka lebih yakin bahwa Negara-negara Asia yang besar bahkan negeri-negeri Islam yang kesil pun tidak akan berhasil menentang mereka. [3] Lihat tafsir Ibnu Katsir, Dar Al-Fikr, Beirut 1986, Jilid I hl 391

[4] Lihat Muhammad At-Tumy dalam Almujtama’ Al-Islamy fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar At-Tunisiah Li Annsyar, Tunis th 1986, hl 337

[5] Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzy dan An-Nasaiy dan bernilai Mursal yang dari teks lengkapnya difahami bahwa ia diucapkan Nabi saw. dalam konteks adanya sementara kaum muslimin yang enggan berhijrah dan tetap tinggal dilingkungan kaum musyrik sedang mereka itu memerangi Nabi saw. kandungan hadis ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal [8] :72 yang menegaskan bahwa orang beriman dan tidak berhijrah, tidak memiliki hak untuk di bela sampai mereka berhijrah – kecuali pembelaan dalam hal mempertahankan agama mereka.

[6] Nasheruddin Al-Baidhawy, Anwar At-Tanzil Wa Asrar At-Ta’wil, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet I. 1988 hal 270.

[7] Lihat antara lain Tafsir Al-Maragi, Al-Halaby Mesir cet. I 1946 Juz 26 hal 133

[8] Lihat Ibrahim bin Umah Al-Biqa’iy Tafsir Nazem Ad-Durar Fi Tanasub AL-Ayat Wa Assuwar. Dar Al- Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut Cet. I, 1995 Jilid III hal 237

[9] Lihat Ibnu Al-‘Araby, Ahkam Al-Qur’an, Al-Halaby Mesir Cet. I 1958 Jilid IV hal 1773.

[10] Lengkapnya baca Al-Qurthubi Ahkam Al-Qur’an Dar ‘Ulum Al-Qur’an, tp tempat dan tahun, jilid II 236

[11] Ini serupa dengan kata kana yang dirangkaikan dengan sifat Allah misalnya wa kana Allahu Gafuran Rahima penggalan ayat ini bukan berarti bahwa Allah dahulu Maha Pengampun dan Maha pengasih.,tetapi bahwa kedua sifat itu amat mantap dan bersinambung wujudnya pada zat Allah swt.

[12] Al-Qurthuby Loc Cit Jilid III hl. 24.

[13] Lihat Muhammad Muhamamd Abui Syahbah, As-Sirah An-Nabawiyah Fi Dhau’ Al-Qur’an Wa Assunnah, Dar A-Qalam Damascus, th 1999, jilid II hal 150.

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: