Oleh : M. Ma’rifat Iman KH.[1]
I. PENDAHULUAN
Ciri-ciri manusia adalah selalu ingin mengetahui rahasia alam, memecahkannya dan kemudian mencari teknologi untuk memanfaatkannya, dengan tujuan memperbaiki kehidupan manusia. Kualifikasi tanaman pangan, penangkaran ternak, dan perbaikan teknologi berburu atau mencari ikan adalah satu manifestasi ciri manusia tersebut. Semuanya dikembangkan dengan menggunakan akal, atau rasio, yang merupakan salah satu keunggulan manusia dibanding makhluk hidup lainnya. Sampai sekarangpun ciri watak manusia itu masih terus berlangsung. Satu demi satu ditemukan teknologi baru untuk memperbaiki kehidupan manusia agar lebih nyaman, lebih menyenangkan, dan lebih memuaskan.
Tanaman pangan dan ternak yang dipelihara selalu direkayasa agar menghasilkan produk pangan yang lebih baik, lebih enak dan lebih banyak. Dikembangkan teknologi kawin silang, hibrida, cangkok, dan sebagainya untuk mencapai keinginan itu. Dengan ditemukannya alat-alat bantu yang lebih canggih, seperti misalnya mikroskop dan media pembiakan di laboratorium, rekayasa itu dilakukan dalam tingkat yang lebih kecil, sehingga ditemukan tanaman pangan tahan lama dan ternak dengan reproduksi susu yang lebih tinggi. Itulah awal dari pengembangan rekayasa genetika, kemudian dunia menjadi gempar setelah munculnya publikasi tentang kloning biri-biri “Dolly”[2], terutama menyangkut bagaimana pandangan agama terhadap kloning manusia. Walaupun kloning manusia belum diumumkan ada, atau tidak ada, atau minimal rencana bagi para ilmuwan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah boleh dilakukan atau tidak?
Pada makalah ini akan dkemukakan tentang apakah kloning itu, lalu bagaimana proses bioteknologi tersebut, dan bagaimana pandangan ulama, atau kajian tentang hukum Islam terhadap kloning manusia tersebut.
II. ISTILAH KLONING DAN PROSESNYA
Istilah loning atau klonasi berasal dari kata clone (bahasa Greek) atau klona, yang secara harfiah berarti potongan/pangkasan tanaman. Dalam hal ini tanam-tanaman baru yang persis sama dengan tanaman induk dihasilkan lewat penanaman potongan tanaman yang diambil dari suatu pertemuan tanaman jantan dan betina. Melihat asal bahasa yang digunakan, dapat dimengerti bahwa praktek perbanyakan tanaman lewat penampangan potongan/pangkasan tanaman telah lama dikenal manusia. Karena tidak adanya keterlibatan jenis kelamin, maka yang dimaksud dengan klonasi adalah suatu metode atau cara perbanyakan makhluk hidup (atau reproduksi) secara aseksual. Hasil perbanyakan lewat cara semacam ini disebut klonus/klona, yang dapat diartikan sebagai individu atau organisme yang dimiliki genotipus yang identik.[3]
Dalam perkembangannya, klonasi tidak hanya dikerjakan dengan memanfaatkan potongan tanaman yang umumnya berbentuk batang yang mengandung titik-titik tumbuh calon ranting dan daun, tetapi juga memanfaatkan hampir semua jaringan tanaman untuk menghasilkan tanaman sempurna. Dengan teknologi biakan jaringan, potongan daun atau sekeping jaringan dari batang tanaman lengkap. Dari sini terlihat bahwa klonasi pada dasarnya memanfaatkan sel-sel tanaman yang masih memiliki kemampuan untuk memilah-milah diri menghasilkan berbagai jenis tanaman, seperti akar, batang dan daun dengan fungsinya masing-masing.[4] Kemampuan semacam ini ternyata semakin menurun seiring dengan meningkatnya status organisme. Pada organisme tinggi, misalnya mamalia, sel-sel jaringan telah kehilangan totipotensinya, sehingga apabila tanaman hanya mampu menghasilkan sel sejenis, tetapi tidak mampu memilah diri lagi untuk menghasilkan organ atau sel dengan fungsi yang lain. Berbeda dengan tanaman, klonasi mamalia tidak dapat dikerjakan, misalnya dengan menanam sel atau jaringan dari bagian tubuh, seperti tangan, kaki, jantung, hati untuk menghasilkan individu baru. Dengan demikian, klonasi pada organisme tingkat tinggi hanya dapat dikerjakan lewat sel yang masih totipoten, yaitu sel pada aras embrio atau mudghah.
Dari pemahaman tentang sifat sel organisme tadi, jika ditinjau secara umum sesuai dengan aras kehidupan organisme, maka klonasi dapat dikerjakan pada berbagai aras, yaitu klonasi pada aras sel, aras jaringan dan aras individu. Pada organisme sel tunggal atau unisel seperti bakteri, perbanyakan diri untuk menghasilkan individu yang baru, berlangsung lewat klonasi sel. Dalam hal ini klonasi sel sekaligus juga merupakan klonasi individu pada hewan dan manusia dapat juga terjadi, misalnya pada kelahiran kembar satu telur. Masing-masing anak di sini merupakan klonus yang memiliki susunan genetis identik.
Dalam perkembangan biologi molekuler, sekarang dimungkinkan klonasi pada aras yang lebih kecil daripada sel, yaitu aras gena. Kemampuan manusia melakukan klonasi gena memunculkan bidang ilmu baru, yang disebut rekayasa genetika. Untuk pertama kalinya suatu gena berhasil diklonasi dengan teknik DNA[5] rekombinan pada tahun 1973. Hanya dalam selang waktu tiga tahun, teknologi ini sudah dikomersialkan oleh suatu perusahaan di California USA, yaitu Genentech. Sebetulnya klonasi gena juga terjadi secara alami pada beberapa mikroorganisme. Misalnya beberapa mikroorganisme yang semula rentan terhadap antibiotika berubah menjadi klon mikroorganisme yang kebal antibiotika. Klona ini terjadi akibat perbanyakan diri lebih lanjut mikroorganisme induk yang telah kemasukan gena kebal tadi.
Kloning terhadap manusia adalah merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia. Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu organisme. Klon adalah keturunan aseksual dari individu tunggal. Setelah keberhasilan kloning domba bernama Dolly pada tahun 1996, para ilmuwan berpendapat bahwa tidak lama lagi kloning manusia akan menjadi kenyataan. Kloning manusia hanya membutuhkan pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel telur atau sperma) dari seseorang, kemudian DNA dari sel itu diambil dan ditransfer ke dalam sel telur seseorang wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua karakteristik genetisnya dengan cara membuang inti sel (yakni DNA) yang ada dalam sel telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai membelah.[6] Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita yang ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
Teknologi kloning diharapkan dapat memberi manfaat kepada manusia, khususnya di bidang medis. Beberapa di antara keuntungan terapeutik dari teknologi kloning dapat diringkas sebagai berikut:
- Kloning manusia memungkinkan banyak pasangan tidak subur untuk mendapatkan anak.
- Organ manusia dapat dikloning secara selektif untuk dimanfaatkan sebagai organ pengganti bagi pemilik sel organ itu sendiri, sehingga dapat meminimalisir risiko penolakan.
- Sel-sel dapat dikloning dan diregenerasi untuk menggantikan jaringan-jaringan tubuh yang rusak, misalnya urat syaraf dan jaringan otot. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Di kemudian hari akan ada kemungkinan tumbuh pasar jual-beli embrio dan sel-sel hasil kloning.
- Teknologi kloning memungkinkan para ilmuan medis untuk menghidupkan dan mematikan sel-sel. Dengan demikian, teknologi ini dapat digunakan untuk mengatasi kanker. Di samping itu, ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning.
- Teknologi kloning memungkinkan dilakukan pengujian dan penyembuhan penyakit-penyakit keturunan. Dengan teknologi kloning, kelak dapat membantu manusia dalam menemukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung, atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan.
III. KAJIAN KLONING DALAM HUKUM ISLAM
Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut:
... فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ ... (الحج: 5).
"… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …" (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur'an tentang penciptan manusia mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas.[7]
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan "tidak", berdasarkan pada pernyataan al-Qur'an bahwa Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan Nabi 'Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللهِ كَمَثَلِ ءَادَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران: 59).
"Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia" (QS. 3/Ali 'Imran: 59).
Pada surat yang sama juga dikemukakan:
إِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ. وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَمِنَ الصَّالِحِينَ. قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ قَالَ كَذَلِكِ اللهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران: 45- 47).
"(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya al-Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh. Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia" (QS. 3/Ali 'Imran: 45-47).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan 'Isa As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan Allah SWT.[8]
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.[9]
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral, budaya dan hukum.[10]
M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta juga berpendapat teknik kloning diharamkan, dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).[11]
Dari sudut agama dapat dikaitkan dengan masalah nasab yang menyangkut masalah hak waris dan pernikahan (muhrim atau bukan), bila diingat anak hasil kloning hanya mempunyai DNA dari donor nukleus saja, sehingga walaupun nukleus berasal dari suami (ayah si anak), maka DNA yang ada dalam tubuh anak tidak membawa DNA ibunya. Dia seperti bukan anak ibunya (tak ada hubungan darah, hanya sebagai anak susuan) dan persis bapaknya (haram menikah dengan saudara sepupunya, terlebih saudara sepupunya hasil kloning juga). Selain itu, menyangkut masalah kejiwaan, bila melihat bahwa beberapa kelakuan abnormal seperti kriminalitas, alkoholik dan homoseks disebabkan kelainan kromosan. Demikian pula masalah kejiwaan bagi anak-anak yang diasuh oleh single parent, barangkali akan lebih kompleks masalahnya bagi donor nukleus bukan dari suami dan yang mengandung bukan ibunya.[12]
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai berikut:
1. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
2. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke negri Cina sekalipun).
3. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat QS. 96/al-'Alaq).
4. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.[13]
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.[14]
Dalam mencari batas "keseimbangan" antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejuh mana para ilmuan, budayawan dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat orang "tertipu" dan "kecewa". Dari situ barangkali perlu dipikirkan format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[15] Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara' tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.
Untuk menentukan apakah syari'at membenarkan pengambilan manfaat terapeutik dari kloning manusia, kita harus mengevaluasi manfaat vis a vis mudharat dari praktek ini. Dengan berpijak pada kerangka pemikiran ini, maka manfaat dan mudharat terapeutik dari kloning manusia dapat diuraikan sebagai berikut:
- Mengobati penyakit. Teknologi kloning kelak dapat membantu manusia dalam menentukan obat kanker, menghentikan serangan jantung, dan membuat tulang, lemak, jaringan penyambung atau tulang rawan yang cocok dengan tubuh pasien untuk tujuan bedah penyembuhan dan bedah kecantikan. Sekedar melakukan riset kloning manusia dalam rangka menemukan obat atau menyingkap misteri-misteri penyakit yang hingga kini dianggap tidak dapat disembuhkan adalah boleh, bahkan dapat dijustifikasikan pelaksanaan riset-riset seperti ini karena ada sebuah hadits yang menyebutkan: "Untuk setiap penyakit ada obatnya".[16] Namun, perlu ditegaskan bahwa pengujian tentang ada tidaknya penyakit keturunan pada janin-janin hasil kloning guna menghancurkan janin yang terdeteksi mengandung penyakit tesebut dapat melanggar hak hidup manusia.[17]
- Infertilitas. Kloning manusia memang dapat memecahkan problem ketidaksuburan, tetapi tidak boleh mengabaikan fakta bahwa Ian Wilmut, A.E. Schieneke, J. Mc. Whir, A.J. Kind, dan K.H.S. Campbell harus melakukan 277 kali percobaan sebelum akhirnya berhasil mengkloning "Dolly". Kloning manusia tentu akan melewati prosedur yang jauh lebih rumit. Pada eksperimen awal untuk menghasilkan sebuah klon yang mampu bertahan hidup akan terjadi banyak sekali keguguran dan kematian. Lebih jauh, dari sekian banyak embrio yang dihasilkan hanya satu embrio, yang akhirnya ditanam ke rahim wanita pengandung sehingga embrio-embrio lainnya akan dibuang atau dihancurkan. Hal ini tentu akan menimbulkan problem serius, karena nenurut syari'at pengancuran embrio adalah sebuah kejahatan.[18] Selain itu, teknologi kloning melanggar sunnatullah dalam proses normal penciptaan manusia, yaitu bereproduksi tanpa pasangan seks, dan hal ini akan meruntuhkan institusi perkawinan.[19] Produksi manusia-manusia kloning juga sebagaimana dikemukakan di atas, akan berdampak negatif pada hukum waris Islam (al-mirâts).
- Organ-organ untuk transplantasi. Ada kemungkinan bahwa kelak manusia dapat mengganti jaringan tubuhnya yang terkena penyakit dengan jaringan tubuh embrio hasil kloning, atau mengganti organ tubuhnya yang rusak dengan organ tubuh manusia hasil kloning. Manipulasi teknologi untuk mengambil manfaat dari manusia hasil kloning ini dipandang sebagai kejahatan oleh hukum Islam, karena hal itu merupakan pelanggaran terhadap hidup manusia.[20] Namun, jika penumbuhan kembali organ tubuh manusia benar-benar dapat dilakukan, maka syari'at tidak dapat menolak pelaksanaan prosedur ini dalam rangka menumbuhkan kembali organ yang hilang dari tubuh seseorang, misalnya pada korban kecelakaan kerja di pertambangan atau kecelakaan-kecelakaan lainnya. Tetapi, akan muncul pertanyaan mengenai kebolehan menumbuhkan kembali organ tubuh seseorang yang dipotong akibat kejahatan yang pernah dilakukan.[21]
- Menghambat Proses Penuaan. Ada sebuah optimisme bahwa kelak kita dapat menghambat proses penuaan berkat apa yang kita pelajari dari kloning. Namun hal ini bertentangan dengan hadits yang menceritakan peristiwa berikut:
Orang-orang Baduy datang kepada Nabi SAW, dan berkata: "Hai Rasulallah, haruskah kita mengobati diri kita sendiri? Nabi SAW menjawab: "Ya, wahai hamba-hamba Allah, kalian harus mengobati (diri kalian sendiri) karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menyediakan obatnya, kecuali satu macam penyakit". Mereka bertanya: "Apa itu?" Nabi SAW menjawab: "Penuaan".[22]
- Jual beli embrio dan sel. Sebuah riset bisa saja mucul untuk memperjual-belikan embrio dan sel-sel tubuh hasil kloning. Transaksi-transaksi semacam ini dianggap bâthil (tidak sah) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Seseorang tidak boleh memperdagangkan sesuatu yang bukan miliknya.[23]
2. Sebuah hadits menyatakan: "Di antara orang-orang yang akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Akhir adalah orang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasilnya".[24]
Dengan demikian, potensi keburukan yang terkandung dalam teknologi kloning manusia jauh lebih besar daripada kebaikan yang bisa diperoleh darinya, dan karenanya umat Islam tidak dibenarkan mengambil manfaat terapeutik dari kloning manusia.
IV. PENUTUP
Dari uraian di atas, penulis sekedar membuat rumusan sebagai berikut:
1. Kloning sebagai pengembangan IPTEK, termasuk hasil perkembangan fikiran manusia yang patut disyukuri dan dimanfaatkan bagi peningkatan taraf hidup manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih terhormat.
2. Hasil pemikiran manusia dengan agama akan seimbang bila hasil pemikiran tersebut didasarkan pada sistem dan metode pemikiran yang benar, dan agama digali dengan daya ijtihad yang benar pula. Keduanya saling kuat-menguatkan.
3. Klonasi ditinjau dari segi aspek teologis memperluas wawasan pengenalan terhadap kodrat iradat Ilahi, bahkan klonasi itu sebagai bukti kecanggihan sunnah Allah yang tertuang dalam ciptaan-Nya dan membuktikan ke Maha Kuasaan-Nya.
4. Klonasi terhadap manusia dengan tujuan untuk dijadikan cadangan transplantasi organ tubuh manusia dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan syara'.
5. Klonasi jaringan sel dan organ tubuh manusia, selama dibenarkan oleh ilmu pengetahuan dan sesuai dengan tujuan syara' dipandang sangat membantu bagi penyembuhan dengan jalan transplantasi.
6. Implementasi klonasi terhadap manusia dipandang bertentangan dengan nilai-nilai ketinggian martabat manusia dan bertentangan pula dengan tujuan syara', karena dipandang kemungkinan terjadinya kekacauan hukum keluarga dan hubungan nasab, serta ketidakpastian eksistensinya.
7. Keadaan darurat tidak dapat dijadikan alasan untuk melaksanakan implementasi klonasi manusia, karena tidak ada yang merasa terancam, baik dari segi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta karena tidak melaksanakan klonasi.
Ciputat, Akhir April 2005.
Penulis,
M. Ma'rifat Iman KH.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, "Kloning Ditinjau dari Aspek Kalam Era Modern: Upaya Mencari Titik Temu Keseimbangan antara Ilmu dan Agama", dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 1977.
Dâwud, Abû, Sunan Abî Dâwud, "Kitâb al-Thibb".
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin, "Organ Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View", diterjemahkan oleh Mujiburrahman, Kloning, Euthanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan: Telaah Fikih dan Bioetika Islam, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004.
_______, Abortion, Birth Control and Surrogate Parenting: An Islamic Perspective, Indianapolis: American Trust Publication, 1991.
_______, "Biomedical Issues, Islamic Perpective", diterjemahkan oleh Sari Meutia, Isu-isu Biomedis dalam Perspektif Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Hughes, T.P., Dictionary of Islam, Lahore: Premier Book House, t. th.
Jacob, T., "Aspek-apek Klonasi dalam Problematika Kemanusiaan di Masa Depan", dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 1997.
Jurnal Ilmiah, Nature, 27 Februari 1997.
Kuswandi, M., "Bioteknologi Kloning: Kloning Manusia dan Agama", dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 1997.
Mâjah, Ibnu, Sunan Ibn Mâjah, "Kitâb al-Ruhun".
Muhammad, Kartono, "Aplikasi Medis dan Masa Depan Kemanusiaan, dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 1997.
Muslim, Shahîh Muslim, "Kitâb al-Salâm".
Al-Qur'an al-Karim.
Sofro, Abdul Salam M., "Dampak Kloning terhadap Ekosistem Genetis, dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 1997.
Surat Kabar Nasional, Republika, 9 Maret 1997.
Surat Kabar Arabia, al-Muslimûn, 9-15 Rabiulakhir 1406 H./21-28 Desember 1985 M.
Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1341 H.
Syed, Ibrahim B., "Human Cloning", dalam Hamdard Islamicus, Karachi: Bait al-Hikmah, 1999.
[1] Dosen PTAI, pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.
[2] Seorang ilmuwan Inggris bernama Dr. Ian Wilmut telah berhasil mengkloning seekor domba yang diberi nama Dolly, yang lahir pada awal bulan Juni 1996, yang identik dengan ibu genetiknya. Rahasia itu baru terungkap setelah ia mendaftarkan hak paten sebagai langkah untuk mengamankan hasil temuannnya. Laporan hasil penelitian mereka baru diketahui secara luas setelah dimuat dalam jurnal, lihat Nature, 27 Februari 1997. Fenomena itu disusul oleh keberhasilan Dr. Don Wulf, ahli biologi Oregon – Amerika Serikat yang membuat kloning monyet dari embrio, yang diumumkan seminggu kemudian, setelah pengumuman keberhasilan kloning domba Dolly, lihat Republika, 9 Maret 1997.
[3] Abdul Salam M. Sofro, “Dampak Kloning atau Klonasi terhadap Ekosistem Genetis”, dalam Tarjih, (Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemkiran Islam), Yogyakarta: Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, 1977), Edisi ke-2 Desember 1997, hal. 8.
[4] Ibid.
[5] DNA berasal dari bahasa Latin Deoxyribose Nucleic Acid (bahan informasi genetik), yakni inti sel.
[6] Lihat Ibrahim B. Syed, "Human Cloning", dalam Hamdard Islamicus, (Karachi" Baot al-Hikmah, 1999), hal. 11.
[7] Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Organ Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View, diterjemahkan oleh Mujiburrahman, Kloning, Euthanasia, Trnasfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan: Telaah Fikih dan Bioetika Islam, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), Cet. I, hal. 109.
[8] Ibid, hal. 115.
[9] Lihat T.P. Huges, Dictionary of Islam, (Lahore: Premier Book House, t.th.), hal. 297-310. Di dalam kamus Islam itu dijelaskan kerusakan tatanan kewarisan akibat tindankan kloning manusia.
[10] M. Kuswandi, "Bioteknologi Kloning, Kloning Manusia dan Agama, dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 1997), hal. 16-17.
[11] Ibid, hal. 19.
[12] Ibid, hal. 20.
[13] Kartono Muhammad, "Aplikasi Medis dan Masa Depan Kemanusiaan, Dilema Kloning dan Teknolohgi Biomedik Lainnya", dalam Jurnal Tarjih, op. cit., hal. 30.
[14] M. Amin Abdullah, "Kloning Ditinjau dari Aspek Kalam Era Modern: Upaya Mencari Titik Keeimbangan antara Ilmu dan Agama", dalam Jurnal Tarjih, ibid, hal. 33.
[15] Al-Syatibi, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1341 H.), Juz I, hal. 15.
[16] Muslim, Shahih Muslim, "Kitab al-Salam", hadits no. 68, vol. 5, hal. 51.
[17] Menurut fatwa yang ditujukan kepada Asosiasi Medis Islam Afrika Selatan oleh Dâr al-Iftâ', Riyad, Arab Saudi, tidak diperbolehkan menggugurkan janin yang cacat. Fatwa no. 2484, tertanggal 16 Rajab 1403 H.
[18] Tentang konsekuensi hukum pembunuhan janin, lihat Abul Fadl Hosen Ebrahim, Abortion, Birth Control and Surrogate Parenting: An Islamic Perspektive, (Indoianapolis: American Trust Publication, 1991), hal. 97-102. Lihat pula dalam tulisannya yang lain, "Biomedival, Issues, Islamic Perspektive", diterjemahkan oleh Sari Meutia, Isu-isu Biomedis dalam Perspektif Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 165.
[19] Ikatan perkawinan mengharuskan dipenuhinya sunnah Nabi SAW yang dipandang sangat penting untuk diteladani.
[20] Mengorbankan hidup seorang manusia hasil kloning untuk keuntungan kita sendiri sama saja dengan pembunuhan. Lihat QS. 5/al-Mâidah: 32.
[21] Sebagai contoh, tangan seorang pencuri dipotong sebagai suatu bentuk hukuman. Lihat QS. 5/ al-Mâidah: 41.
[22] Redaksi hadits itu dinyatakan sebagai berikut:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيْكٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَدَوَوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْيَضَعْ دَاءً اِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرِ دَاءً وَاحِدٍ الْهَرَمُ (رواه ابو داود). Lihat Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, "Kitab al-Thibb", hadits no. 3357.
[23] Ibid, hal. 3.
[24] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, "Kitab al-Ruhun", hadits no. 4, vol. 2, hal 816. Lihat pula dalam surat kabar Saudi Arabia, 9-15 Rabiulakhir, 1406 H/ 21-28 Desember 1985, hal. 85.
No comments:
Post a Comment