Oleh Muhammad Ikhsan
PENDAHULUAN
Di tengah carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara pasca reformasi, muncul keinginan dari berbagai kalangan untuk membangun kembali masyarakat Indonesia yang kian hari kian terpuruk. Perlunya sebuah format sosial baru untuk tetap mampu menjawab berbagai tantangan-tantangan global. Sebab, era teknologi dan era informasi menuntut adanya landasan sosial yang kuat untuk dapat berkiprah dan berkompetisi dalam kancah internasional.
Untuk itu, lahirlah ide tentang masyarakat madani. Konsep ini begitu populer sehingga tidak sedikit ungkapan ini muncul di acara-acara seminar, tulisan, debat, hingga program pelatihan dan pendidikan. Keinginan untuk berubah dan membentuk sistem sosial yang handal begitu kuat, sehingga sampai saat ini, manisnya konsep masyarakat madani masih terasa walaupun sedikit terlupakan akibat berbagai musibah yang dialami bangsa Indonesia.
Konsep masyarakat madani - walau bukan sama sekali baru- merupakan konsep yang masih bersifat universal. Istilah masyarakat madani lahir dengan latar belakang (background) masyarakat yang berbeda dengan masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu adanya upaya sistematis untuk mengadopsi dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani dalam merubah pemikiran dan sikap hidup masyarakat. Sebab, persoalan ini adalah persoalan budaya sehingga tidak mudah dan memerlukan tindakan dan penyusunan konsep yang tepat.
Salah satu tokoh yang turut memperkenalkan konsep masyarakat madani di Indonesia adalah Nurcholish Madjid, beliau dikenal juga sebagai bapak bangsa. Tidak sedikit pemikirannya turut mempengaruhi corak pemikiran intelektual bangsa Indonesia, mulai dari ide sekularisasi hingga masyarakat madani. Ketika masyarakat madani kemudian disejajarkan dengan istilah civil society dari barat, beliau menawarkan ide dengan mengacu pada konsep "negara kota Madinah" yang dibangun Nabi Muhammad Saw pada 622 M. Dalam makalah ini akan disajikan bagaimana pandangan Nurcholish Madjid tentang masyarakat madani serta kontribusinya bagi pemikiran pendidikan Islam sebagai gerakan sistematis menuju masyarakat madani.
PEMBAHASAN
A. Biografi Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid lahir di Jombang, Jawa Timur 17 maret 1939/26 Muharram 1358 H. Ayahnya K.H Abdul Madjid, seorang Kyai jebolan pesantren Tebuireng, Jombang. Ibunya Hj. Mardiyah Fathonah Madjid adalah putri Kyai Abdullah Sadjad teman baik Kyai Hasyim Asy'ari. Sketsa ini menggambarkan bahwa Nurcholish Madjid lahir dari subkultur pesantren. Nurcholish Madjid adalah anak sulung dari lima bersaudara. Pendidikannya dimulai dari pesantren Darul Ulum Rejoso, Jombang selama 2 tahun. Kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya ke KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyyah) di pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sampai tamat pada tahun 1960. setelah tamat dari Gontor sebenarnya ia dipersiapkan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar, Kairo. Tetapi disebabkan beberapa faktor lain sehingga ia melanjutkan studinya di fakultas sastra dan kebudyaan Islam di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan tamat tahun 1968.
Sejak tahun 1978 hingga 1984 melanjutkan Pendidikan doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa; Problem of reason and relevation in Islam (1984) atas beasiswa dari Ford Foundation. Selama kuliah ia aktif diberbagai kegiatan mahasiswa dan terpilih menjadi ketua umum pengurus besar HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) selama dua periode (1966-1969) dan (1969-1971). Jabatan lain : Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (1967-1969) dan wakil sekjen IIFSO (International Islamic Federation Student Organization), direktur LKIS (Lembaga Kajian Islam Samanhudi), dosen Pasca Sarjana IAIN Jakarta, pendiri sekaligus ketua yayasan Paramadina, rektor universitas Paramadina Mulya (1998). Pemikiran Nurcholish Madjid dalam bidang keilmuan sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh di antara dua kutub, Barat dan Islam. Tokoh Islam seperti Muhammad Abduh dan Ibn Taimiyyah, sedang tokoh Barat seperti Robert N. Bellah, Marshall G.S Hodgson, Ernest Gellner, dan Erich Fromm. Sehingga tidak heran apabila buah pemikirannya adalah hasil sintesa atau jalan tengah dari berbagai peradaban. Ia juga dijuluki oleh para ilmuwan lain sebagai tipologi ilmuwan substantivistik dalam kelompok neo-modernis.
B. Asal-Usul Masyarakat Madani
Istilah madani diambil dari kata madinah, dengan akar kata "dana" atau "madana". Secara etimologi. Kata dana berarti ketundukan atau ketaatan, hutang, taqwa, wara', maut (kematian), kemenangan, hari pembalasan, dan sebagainya. Sedangkan madana (mudun, tamaddun), disamping memiliki arti yang sama dengan kata dana, dapat berarti peradaban atau kota. Menurut Nurcholish Madjid, kedua term tersebut sebagai asal kata dari madinah. Kata dana-yadinu mengandung makna ketundukan dan kepatuhan pada ajaran din yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan, bila term madinah secara peristilahan berarti "kota", namun secara kebahasaaan, "madinah" mengacu pada pengertian "pola hidup berperadaban", sehingga "madaniyah" adalah kata-kata Arab untuk "peradaban", sama dengan kata "hadlarat" yang asal maknanya ialah "pola hidup menetap di suatu tempat", bukan pola hidup nomad atau badawah. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah civilization. Term ini berkaitan dengan permasalahan sosial dan budaya. Manusia berkembang dan terorganisir dengan cara hidup dan budaya tertentu. Civilization selalu dikaitkan dengan masyarakat modern dan berperadaban. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, istilah masyarakat madani merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad Saw di kota Madinah. Madinah merupakan kota yang didirikan sebagai sebuah peradaban baru. Ketika hijrah dari Mekkah ke Yatsrib, salah satu agenda utama yang dilakukan Nabi adalah mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Dalam hal ini dipahami bahwa Nabi memiliki tujuan yang sangat mendalam. Perubahan dari Yatsrib menjadi Madinah merupakan manifesto konseptual mengenai upaya Nabi untuk mewujudkan tatanan masyarakat baru, yakni masyarakat madani yang tentunya berbeda dengan gaya hidup masyarakat terdahulu yang nomaden (berpindah-pindah). Upaya ini pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, sikap, proklamasi, bahwasanya di tempat baru itu, Nabi bersama kaum Anshar dan Muhajirin hendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab.
Dari gerakan hijrah dapat ditarik sebuah renungan mendalam, bahwa gerakan tersebut sebuah perubahan sosial yang sangat sistematis. Gebrakan terpenting yang dilakukan adalah mempersaudarakan (al-mu'akhah) antara kaum muslim pendatang (al-Muhajirin) dan kaum muslim penyambut (al-Anshar). Sehingga harmoni antara muslim pendatang dan muslim lokal terjalin erat. Secara keseluruhan, terdapat tiga agenda utama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw : pertama, membina dan merekontruksi hubungan ummat dengan Khaliknya berupa pembangunan masjid sebagai sarana ibadah dan dakwah. Kedua, mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai. Ketiga, menjalin hubungan harmonis antara pemeluk agama yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi sebab Madinah merupakan kota dengan struktur masyarakat yang plural. Sehingga perlu dilakukan ikatan solidaritas yang solid di dalamnya.
Nabi Muhammad Saw bersama seluruh elemen masyarakat Madinah secara kongkrit meletakkan dasar-dasar masyarakat madinah, mengatur kehidupan dan hubungan antar komunitas yang merupakan komponen-komponen masyarakat majemuk di Madinah. Yakni dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal dengan "Piagam Madinah" (Mitsaq al- Madinah), yang dianggap konstitusi tertulis pertama dalam sejarah kemanusiaan. Menurut Nurcholish Madjid, inilah dokumen politik pertama dalam sejarah manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Semua sarjana mengakui intensitas Mitsaq al-Madinah sebagai pilar pertama dan utama dalam mewujudkan masyarakat madani. Piagam Madinah memperkenalkan dirinya sebagai sebuah konstitusi yang menempatkan hak-hak individu secara adil berupa kebebasan memeluk agama, persatuan-kesatuan, persaudaraan, perdamaian dan kedamaian, toleransi, keadilan, tidak diskriminasi, dan menghargai kemajemukan. Nabi diberikan otoritas mutlak sebagai pemimpin tertinggi dan hakim dalam mengatur, memutuskan, menengahi, dan mengadili setiap perselisihan di antara masyarakat.
Dalam diskursus keilmuan di Indonesia dikenal dua istilah, masyarakat madani dan masyarakat sipil (civil society). Banyak kalangan yang menganggap bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris. Keduanya tampak berbeda tetapi sama, berbeda karena memang secara historis keduanya mewakili budaya yang berbeda. Masyarakat madani mewakili sejarah peradaban Islam, sedangkan masyarakat sipil (civil society) mewakili peradaban Barat. Masyarakat madani dalam gambaran masyarakat kota Madinah merefleksikan secara substansial tentang adanya musyawarah, keadilan, dan persaudaraan, sedangkan civil society merupakan gerakan masyarakat kota (berperadaban) dengan kesadaran politiknya untuk bangkit melawan dominasi negara-yang dikuasai oleh pihak gereja dan kerajaan-terhadap peranannya dalam kehidupan masyarakat. Kesamaannya di antara keduanya terletak pada keinginan untuk perubahan sosial yang solid, kesadaran untuk menempatkan hukum di atas berbagai kepentingan dan status sosial, serta tuntutan terhadap kesetaraan hak dan kewajiban.
Makna civil society dan masyarakat madani boleh jadi sebagai perdebatan tiada berkesudahan dari para ilmuwan, akan tetapi nampaknya Nurcholish Madjid berupaya memberi jalan tengah dengan mengidentikkan arti civil society dengan masyarakat madani dalam hal substansi dan semangatnya. Apabila madani diartikan sebagai pola kehidupan yang teratur dan beradab sedangkan civil society berarti masyarakat sopan, beradab dan teratur, maka masyarakat madani atau civil society adalah sebuah konsep sosial yang menggambarkan pola kehidupan sosial yang teratur, sopan, beradab, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh pada peraturan atau hukum. Lebih jauh menurut Nurcholish Madjid, civil society merupakan icon (tanda) bagi kecenderungan demokratisasi global dengan makna toleransi yang tinggi di dalamnya. Civil society merupakan rumah bagi demokrasi.
Di Indonesia, gerakan masyarakat madani atau civil society merupakan gerakan oposisi kaum reformis untuk melawan tirani militerisme. Sehingga nuansa sosial yang tercermin pada waktu itu adalah upaya menuntut pembersihan pemerintahan dari dominasi militer dan menuntut kesetaraan hak dan kewajiban bagi seluruh masyarakat. Nurcholish Madjid memandang bahwa negara yang kuat dengan masyarkat madani di dalamnya bukan berarti tanpa militer, melainkan setiap persoalan diselesaikan dengan keadaban (civility).
C. Konsep Masyarakat Madani
Ada tiga term utama yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam merumuskan konsep masyarakat madani. Yaitu demokrasi, masyarakat madani, dan civility. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, untuk menjalankan demokrasi perlu ruang yang kondusif dan mampu memberi kehidupan untuk berdemokrasi di dalamnya. Ruang atau rumah itu adalah masyarakat madani atau civil society. Adapun civility adalah kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, berupa toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang bertanggung jawab. Kualitas masyarakat madani dapat diukur dari kualitas civility. Semakin terbuka dan bersedia untuk menerima pandangan, pendapat, dan perbedaan, maka semakin tinggi kualitas civility yang dimilikinya.
Lebih lanjut Nurcholish Madjid memandang masyarakat madani merupakan sebuah bentuk bangunan "kebersamaan". Masyarakat memiliki kesetaraan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Hak-hak azasi dan seluruh kewajibannya diakui dan dihormati oleh negara. Semua kalangan memiliki kesadaran penuh akan peran dan tanggung jawab yang diembannya.
Nabi Muhammad Saw telah jauh sebelum munculnya masyarakat modern memberi contoh bagaimana membangun suatu peradaban yang ideal. Dengan hijrah ke Yatsrib, Nabi kemudian melakukan reformasi besar sebagai tandingan peradaban yang dimiliki oleh masyarakat Jahiliyah. Saat itu, masyarakat Arab secara sosio-kultural mengalami krisis kemanusiaan, kering akan nilai etika-spiritual, dan sistem kemasyarakatan yang tidak kondusif. Oleh karenanya, Nabi kemudian dalam dakwahnya melakukan perombakan-perombakan secara sistematis dan gradual (perlahan-lahan) agar masyarakat Arab memiliki kesadaran dan mau kembali kepada ajaran dan petunjuk Ilahi. Proses panjang selama kurang lebih 23 tahun inilah yang menurut Nurcholish Madjid sebagai sebuah proses transformasi menuju masyarakat madani.
Untuk menuju masyarakat madani tentu terdapat beberapa ciri utama yang harus dimiliki masyarakat. Nurcholish Madjid menggambarkan 6 ciri utama yakni :
1. Masyarakat Egaliter
Masyarakat egaliter atau egaliterianisme adalah masyarakat yang mengakui adanya kesetaraan dalam posisi di masyarakat dalam hak dan kewajiban tanpa memandang suku, keturunan, ras, agama dan sebagainya.
2. Penghargaan
Penghargaan yang dimaksud adalah penghargaan kepada orang lain bukan atas dasar prestise, keturunan, ras, dan sebagainya melainkan penghargaan atas prestasi dan kemampuan.
3. Partisipasi dan keterbukaan
Ciri masyarakat madani adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan untuk mendengarkan pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaan ini menurut Nurcholish Madjid memberi peluang bagi adanya pengawasan sosial.
4. Hukum dan keadilan
Hukum dan keadilan harus ditegakkan kepada siapa, kapan dan di mana pun. Keadilan harus benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
5. Toleransi dan pluralisme
Kedua hal tersebut merupakan core (inti) dari civilty, yaitu sikap menghargai berbagai perbedaan yang ada tanpa ada pemaksaan kehendak, pendapat dan pandangan.
6. Musyawarah dan demokrasi
Musyawarah dan demokrasi menjadi unsur utama dalam membentuk masyarakat madani. Masyarakat madani merupakan masyarakat demokratis yang selalu mengedepankan musyawarah. Musyawarah adalah korelasi positif yang dibangun masyarakat dalam mempertemukan visi bersama serta memberikan hak dan kewajiban secara adil dan sejajar.
Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah bangsa Indonesia mengadopsi sistem sosial dalam masyarakat madani ini?. Dalam hal ini Nurcholish Madjid sangat optimis dengan menekankan pada dua azas yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu azas toleransi dan pluralisme. Kedua hal tersebut merupakan prestasi gemilang dalam sejarah umat manusia dimana Nabi mampu menerapkan bentuk keharmonisan dan keadilan di tengah-tengah kemajemukan dan berbagai perbedaan yang ada. Nurcholish Madjid mengingatkan bahwa untuk membentuk masyarakat madani perlu adanya negara yang kuat dan solid. Negara selain memberikan liberasi (kebebasan) namun harus diiringi demokratisasi dan keterbukaan negara sendiri menghadapi partisipasi masyarakatnya.
Nurcholish Madjid dalam setiap pemikirannya selalu berupaya melihat segala sesuatu secara substantif dan memilih jalan tengah dari setiap perdebatan baik secara teoritis dan praktis. Ia banyak terinspirasi pada pemikiran yang mensintesakan pemikiran Barat dan Islam dan berupaya menjembataninya. Oleh karenanya tidak heran ia banyak dikritik tentang pandangannya tentang masyarakat madani sebagai "ijtihad kontemporer" untuk membangun masyarakat ideal di Indonesia dengan mengambil contoh kehidupan Rasulullah dan masyarakat Madinah. Ia di pandang terlalu menitikberatkan pada persoalan kemajemukan dan kurang memperhatikan sistem khas (Islam) yang mengatur tatanan masyarakat Madinah. Sehingga nampak kabur apakah konsep ini lebih dekat pada masyarakat Islam Madinah ataukan kondisi masyarakat Barat dalam civil society-nya. Sebab masyarakat yang dibangun Nabi Saw berlandaskan Aqidah Islamiyyah. Masyarakat atau pun negara bukan dibangun atas dasar kepentingan yang sama, melainkan terbentuk atas dasar perspektif, perasaan, dan misi yang sama.
D. Kontribusi Bagi Pemikiran Pendidikan Islam
Masyarakat madani adalah titik kulminasi dari pemikiran seorang Nurcholish Madjid. Cita-cita membangun masyarakat ideal yakni masyarakat madani perlu diwujudkan secara sistematis. Pendidikan merupakan agen perubahan yang dianggap sebagai saran menuju masyarakat madani. Pendidikan Islam sebagai lembaga alternatif diharapkan mampu menyiapkan kualitas masyarakat yang bercirikan semangat keterbukaan, egaliter, kosmopolit, demokratis, dan berwawasan luas, baik menyangkut aspek spiriltual, maupun ilmu-ilmu modern.
Nurcholish Madjid berupaya tampil untuk memodernisasi pendidikan islam. Usaha ini dilakukan untuk menemukan format ideal sebagai sistem pendidikan alternatif bangsa Indonesia masa depan. Kelebihan dan keunggulan lembaga pendidikan masa lampu dijadikan sebagai kerangka acuan untuk merekonstruksi konsep pendidikan yang dimaksudkan. Sedangkan berbagai bentuk sistem pendidikan yang lama tidak relevan lagi untuk ruang dan waktu, akan ditinggalkan.
Melihat fenomena pendidikan Islam, Nurcholish Madjid memberikan kritik terhadap lembaga pendidikan tradisional dan modern. Menurutnya, lembaga tradisional memiliki kesenjangan dengan dunia luar. Seharusnya lembaga pendidikan tradisional mampu mengaktualisasikan dirinya untuk menjawab tantangan global bukan sebaliknya bersikap apriori. Begitu pula dengan pendidikan modern yang melupakan tradisi keilmuan klasik yang sangat penting. Sehingga jejak intelektualisme keislamannya terasa sangat kurang.
Ketika menelaah dari setiap ide dan gagasannya, Nurcholish Madjid nampaknya berobsesi untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang terpadu dalam upaya menuju masyarakat madani. Keterpaduan itu meliputi unsur keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan.
1. Keislaman
Pendidikan Islam merupakan potensi luar biasa untuk digali saat ini. Ketertinggalannya hanyalah merupakan sebuah pewarisan dari pemahaman yang salah terhadap Islam itu sendiri. Pendidikan Islam di masa kolonial boleh jadi merupakan sebuah perlawanan dam sikap non-kooperatif. Tetapi pendidikan Islam saat ini harus berperan serta aktif untuk berkompetisi.
Nurcholish Madjid sangat mencita-citakan sosok santri yang memiliki sikap egaliter, terbuka, kosmopolit dan demokratis. Islam modern adalah Islam yang mampu secara konstruktif menyikapi kehidupan modern namun tetap pada tatanan nilai-nilai keislaman. Untuk itu diharapkan adanya keselarasan dengan istilah iptek (ilmu pengetahuan) dan imtaq (iman dan taqwa). Perpaduan kedua komponen tersebut diupayakan lewat perpaduan dua sistem pendidikan, tradisional dan modern. Menjadikan pendidikan Islam baru bukan berarti membuang yang lama. Justru ada yang perlu ditumbuhkembangkan kembali. Bahkan Nurcholish Madjid menyerukan untuk melihat kembali kita-kitab lama "klasik".
2. Keindonesiaan
Modernisasi pendidikan dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu lembaga pendidikan yang memiliki identitas kultur sendiri dimana masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai universalitasnya mampu menemukan suatu peradaban masyarakat Indonesia masa depan. Nurcholish Madjid sangat menginginkan pendidikan Islam yang bercirikan keaslian indegeneous (natural) Indonesia. Pendidikan Islam yang lahir dari kultur Indonesia sendiri. Sehingga terbuka peluang untuk melirik kembali lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari kultur Indonesia asli. Pendidikan Islam diharapkan memiliki kontribusi nyata bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Dengan ikut berkompetisi dan merespons pembangunan secara positif.
3. Keilmuan
Persoalan besar yang selalu dihadapi pendidikan Islam adalah masalah dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum (sains). Modernisasi pendidikan yang digagas oleh Nurcholish Madjid pada prinsipnya menghilangkan dualisme pendidikan tersebut. Ia sangat menyadari bahwa di satu sisi, lembaga pesantren sangat ketinggalan dan kalah bersaing dengan lembaga pendidikan umum di bidang teknologi dan bidang exacta. Namun di sisi lain, lembaga pendidikan umum dirasakan kehilangan nilai-nilai etik-spiritualnya dalam kehidupan bermasyarakat. Gagasan yang muncul kemudian adalah integrasi antara kedua kurikulum tersebut. Menurutnya, kurikulum "umum" harus diterapkan di dunia pendidikan Islam yang telah memiliki kurikulum tersendiri. Sehingga yang terjadi nantinya adalah kombinasi dua bentuk unsur keilmuan dalam skala yang utuh. Sehingga pada nantinya akan lahir ilmuwan yang mempunyai wawasan keislaman sekaligus wawasan ilmu sains modern, sebagaimana khazanah keilmuan Islam klasik yang tidak membedakan ilmu umum dan ilmu agama, sehingga mengantarkan umat Islam pada era keemasan dan kemajuan.
Ide yang integrasi kurikulum yang dilontarkan oleh Nurcholish Madjid nampaknya masih sebatas ide filosofis. Saat ini telah banyak lembaga pendidikan Islam yang telah menjadikan kedua kurikulum ini menjadi integral. Namun, tidak sedikit gesekan dan tarik-menarik di antara keduanya. Mulai dari muatan kurikulum yang berat dan bagaimana posisi integral yang seharusnya, sebab menempatkan keduanya secara assosiatif belum dapat menyelesaikan masalah. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah semangat Nurcholish Madjid dalam memasukkan ilmu sains modern dalam khazanah keilmuan Islam.
KESIMPULAN
Nurcholish Madjid seperti menjadi sebuah icon (tanda) bagi gagasan masyarakat madani. Walaupun telah melalui perdebatan yang panjang, masyarakat madani atau civil society merupakan sebuah titik kulminasi dari perjalanan panjang intelektualnya. Sebuah cita-cita untuk membentuk masyarakat ideal dengan tatanan masyarakat yang mencontoh pola kehidupan masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw.
Islam menurut Nurcholish Madjid adalah agama kota. Agama dengan kehidupan yang teratur. Melalui hijrah, Nabi membentuk masyarakat madani, yang bercirikan egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi bukan prestise, keterbukaan dan partisipasi seluruh anggota masyarakat dan penentuan pemimpin melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan.
Masyarakat madani atau civil society adalah rumah bagi tumbuhnya demokrasi dengan ditopang oleh kualitas civility yang dinamis. Untuk menuju hal tersebut, diperlukan negara yang kuat dan solid. Negara, selain memberikan ruang liberasi (kebebasan) bagi rakyat untuk menunaikan hak dan kewajiban secara penuh dan kritis, harus didukung oleh sistem demokrasi yang jujur, terbuka, bijaksana, dan adil.
Pendidikan adalah sarana menuju masyarakat madani. Apabila pendidikan dipahami sebagai agen perubahan, maka diperlukan sistem pendidikan demokratis, partisipatif, responsif, humanis, dan pluralis yang mampu merubah bangsa Indonesia menjadi masyarakat madani sebagaimana yang dicita-citakan. Pendidikan Islam diselenggarakan bukan hanya untuk meredam ekses negatif sebagai dampak dari globalisasi, melainkan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari permasalahan kemiskinan dan keterbelakangan sosiaol-ekonomi serta yang mampu merespon berbagai persoalan global. Sehingga formula integrasi antara keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan diharapkan menjadi landasan utama membentuk generasi Islam yang berwawasan Islam sekaligus berwawasan sains-teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
al-Buthy, Muhammad Sa'id Ramadhan. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiah Manhajiah Terhadap Sejarah Pergerakan Islam Di Masa Rasulullah Saw, terjemah, Jakarta: Robbani Press, 1999.
Gautama, Sidarta dan Aries Budiono. Moralitas Politik Dan Pemerintah Yang Bersih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Hornby, A S. Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press, 1995.
Hidayat, Komarudin. Masyarakat Agama dan Agenda Penegakan Masyarakat Madani, dalam : Taufik Abdullah, dkk., Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Millenium ke-3, Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
Madjid, Nurcholish. Potensi Dukungan Budaya Nasional Bagi Reformasi Sosial-Politik, dalam Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina, 1999.
________, Budaya Nasional, Masyarakat Madani, dan Masa Depan Bangsa, dalam Tim MAULA, Jika Rakyat Berkuasa, Upaya membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Muddlar, Attabi' Ali Ahmad Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996.
Munawwir, Ahmad Warson al-Munawwir. Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Rachman, Budhy Munawar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid; Pemikiran Di Kanvas Peradaban, Vol I & III, Bandung: Mizan, 2006.
Rahardjo, M. Dawam. Masyarakat Madani Di Indonesia Sebuah Penjajakan Awal, Jurnal, Vol I , Jakarta: Paramadina, 1999.
________, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani, dalam Usman, dkk., Membongkar "Mitos" Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Sanaky, Hujair AH. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003.
Sofan, Moh. Pendidikan Berparadigma Profetik : Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ircisod, 2004.
Yasmadi, Modenisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
No comments:
Post a Comment