Wednesday, March 19, 2008

Tantangan Tranformasi Madrasah

Oleh: Muhammad Ikhsan

PENDAHULUAN


Pasca tumbangnya pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto menjadikan bangsa Indonesia berjalan kearah perbaikan-perbaikan di segala bidang. Semangat untuk berubah ke arah yang lebih baik dikenal hingga saat ini dengan istilah "reformasi". Istilah tersebut merupakan sebuah fakta bahwa bangsa Indonesia berusaha berbenah diri dan berusaha keluar dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya.
Reformasi dan reposisi ternyata tidak hanya terjadi di bidang-bidang yang menjadi dasar hidup negara saja, seperti ekonomi dan sosial, melainkan mencakup wilayah pendidikan nasional. Pendidikan ternyata harus menerima kecaman dari bangsa sendiri sebagai faktor yang gagal dalam menciptakan bangsa yang berkualitas dan berkarakter. Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem pendidikan yang amburadul dengan kenyataan lapangan pekerjaan yang tidak sesuai menyebabkan banyaknya pengangguran serta meningkatnya angka kriminalitas baik dikalangan atas maupun bawah.
Madrasah adalah salah satu bagian dari pendidikan nasional yang menciptakan para lulusannya sebagai sumber daya yang berilmu dan berakhlak. Di samping itu, madrasah memiliki peranan penting dalam sejarah pendidikan bangsa ini di mana ia merupakan bentuk pendidikan yang berbasis kemasyarakatan dengan upaya mencerdaskan masyarakat serta para peserta didiknya kebanyakan adalah dari kaum dengan ekonomi menengah ke bawah.
Arus reformasi dan reposisi dalam bidang pendidikan menjadikan negara mengambil sebuah langkah inovatif. Langkah itu adalah otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan. Upaya ini tentunya memiliki implikasi yang cukup signifikan terhadap masa depan madrasah dimana keberadaannya sendiri masih sangat lemah serta dituntut harus bergerak cepat menyesuaikan diri dengan zaman dan teknologi yang berkembang saat ini, sementara kesiapan SDM dan manajemen yang sederhana tentu saja semakin menyebabkan madrasah semakin tenggelam dan kehilangan arah. Sehingga menyebabkan pendidikan Islam disimpang jalan di era globalisasi saat ini.

PEMBAHASAN


Pendidikan Islam Dalam Era Globalisasi Dan Transformasi Pendidikan
Kemajuan–kemajuan yang diraih oleh sebagian besar bangsa-bangsa barat saat ini tidak lepas dari sistem globalisasi yang mereka canangkan. Sistem ini tentu saja mereka sambut baik karena sumber daya serta sistem kehidupannya yang memang sudah sangat siap untuk bersaing. Era ini disebut juga dengan era globalisasi. Era yang lahir berkat kemajuan-kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Globalisasi informasi contohnya mempunyai dampak yang besar pada aspek kehidupan kita. Informasi tentang turunnya nilai dollar terhadap yen, misalnya, segera terlihat dampaknya terhadap berbagai hal, antara lain dalam perubahan harga barang-barang impor dari Jepang, dalam arus wisata asing yang berkunjung ke Jepang, dalam jumlah hutang luar negeri Indonesia dinyatakan dalam rupiah, dan dalam hubungan dagang antara Amerika Serikat dan Jepang. Implikasinya selain terhadap kedua negara tentu saja terhadap perekonomian. politik, dan sosial Negara-negara yang terkait dengannya.
Pada akhirnya, era globalisasi ini membuat setiap masyarakat modern tidak mungkin untuk hidup secara menyendiri, secara terisolasi. Dalam era globalisasi ini setiap masyarakat modern harus selalu bersentuhan dengan masyarakat modern yang lain, baik dalam kehidupan ekonomi, maupun kehidupan politik, sosial atau pun kultural. Persentuhan-persentuhan antar bangsa dalam era ini bisa saja dalam bentuk sebuah kerjasama, tetapi bisa saja dalam bentuk persaingan (kompetitif). Bangsa kita dituntut untuk dapat hidup dengan bangsa lain secara kooperatif dan kompetitif. Untuk dapat hidup seperti itu, maka diperlukan penguasaan terhadap berbagai alat-alat intelektual. Bagaimana suatu bangsa dapat bersaing dengan bangsa lain dalam kehidupan industri kalau bangsa tadi tidak menguasai berbagai teknologi yang menjadi landasan dari industri modern? bagaimana suatu bangsa dapat menjalin kerjasama ekonomi dan politik yang baik dengan bangsa lain kalau bangsa tadi tidak menguasai tatakrama politik dan ekonomi yang berlaku dalam pergaulan bangsa?

Ada beberapa persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat untuk bisa bertahan dalam era globalisasi, yaitu :
1. Penguasaan "the basics", yaitu penguasaan pengetahuan yang bersifat dasar di bidang-bidang bahasa, matematika, pengetahuan alam, dan sosial.
2. Kemampuan belajar (learning capability), yaitu kemampuan untuk belajar dalam tatanan-tatanan non formal, non-formal, dan informal.
3. Memiliki pengetahuan dasar dalam sains dan teknologi.
4. Memiliki jiwa berusaha (entrepreneurship).
5. Memiliki etos kerja yang dapat dihandalkan.

Untuk membentuk masyarakat yang memenuhi persyaratan di atas tentu saja merupakan tugas dari pendidikan kita. Salah satu indikasi ke arah sana ditunjukkan oleh munculnya sekolah-sekolah "elite" atau "favorite" serta "full day-school". Ide-ide tersebut lahir berkat ketidakpuasan sebagian kalangan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan uniformis dan kemudian melahirkan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan.
Fenomena-fenomena di atas dapat disebut sebagai "Tranformasi Pendidikan". Yang dimaksud di sini adalah perubahan watak serta bentuk pada sekolah-sekolah kita. Dari sekolah tempat menghafal menjadi sekolah tempat belajar berfikir. Dari kelas-kelas yang berdesak-desakan menjadi sekolah yang memberi keleluasaan bergerak. Dari sekolah yang tidak akrab dengan lingkungan lokalnya menjadi sekolah yang dikenal, dicintai dan dibanggakan lingkungan lokalnya.
Ada empat perubahan pokok yang harus terjadi untuk mewujudkan transformasi ini, keempat perubahan itu adalah :
1. Penyusutan jumlah murid per kelas, dari 50 menjadi 30 murid perkelas.
2. Adanya perpustakaan sekolah
3. Adanya pusat bimbingan sekolah (bimbingan dan konseling).
4. Perbaikan penghasilan guru sehingga dapat bekerja optimal dan profesional.

Madrasah sebagai bentuk pendidikan Islam mengalami berbagai permasalahan dalam mewujudkan prinsip-prinsip di atas. Keterbatasan dana, sistem kurikulum, dan mutu tenaga kependidikan yang berkompeten di bidangnya menyebabkan madrasah sebagai pencipta sumber daya manusia Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam mengalami kebingungan dan tertancam keberadaannya di masa depan. Bagaimana mungkin dengan kondisi tersebut mampu menciptakan bangsa yang berakhlak sekaligus menguasai tekonologi serta dapat bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi sekarang ini?. Disatu sisi nilai-nilai moral yang terkandung dalam muatan pelajaran keagamaan sangat berat, kemudian harus juga menguasai ilmu non agama dan teknologi dengan sarana, dana, dan pendidik yang terbatas.
Terhadap era globalisasi yang menuntut adanya pergaulan serta pengenalan antar budaya antar bangsa, dunia madrasah sebagai institusi pendidikan Islam belum memberikan dasar-dasar yang dibutuhkan di dalamnya. Tidak mengherankan jika pengetahuan siswa tentang hal-hal yang esensial dan mendasar sifatnya dalam kehidupan sehari-hari sangatlah minim kalau dibandingkan pengetahuan tentang soal-soal yang kurang esensial. Contohnya pengetahuan tentang artis dan bintang film tenar, lagu-lagu barat, atau gossip yang sedang marak lebih kaya dibanding pengetahuannya tentang kondisi geografis, sistem politik, dan ekonomi.
Kondisi memprihatinkan pada pendidikan Islam khususnya dan nasional pada umumnya juga ternyata dipengaruhi oleh sistem yang sebenarnya telah lama dikritik namun tetap mempertahankan keberadannya. Diantaranya adalah penerimaan ilmu pengetahuan dan penggunaannya yang berbeda disebabkan oleh orientasi sekolah yang salah, mata pelajaran dan jurusan-jurusan yang ditempuh tidak applicable di masyarakat dalam jangka waktu dekat, dana pendidikan yang minim, dan tidak ada alternatif keterampilan bagi lulusan tingkat menengah bila tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena yang dipandang untuk dapat bekerja hanyalah lulusan perguruan tinggi padahal dari lulusan sekolah menengah hanya sedikit yang melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Madrasah Dalam Pendidikan Nasional ; Dilema Dan Prospek
Perlahan namun pasti, dikotomi antara madrasah dan sekolah umum mulai pudar ketika ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan 29 Tahun 1990 tentang pendidikan Dasar dan Menengah, serta diberlakukannya Kurikulum 1994, dimana madrasah berubah statusnya menjadi sekolah berciri khas Islam. Dengan demikian, madrasah sekarang ini memiliki kedudukan yang sama dengan sekolah-sekolah umum lainnya.
Perkembangan tersebut berimplikasi pada eksistensi madrasah secara signifikan. Ia dipandang sebagai sebuah institusi pendidikan keagamaan, sekarang ini, di satu sisi mengalami pengkayaan fungsi dan peran dengan mengklaim dirinya sebagai " sekolah umum plus", sementara di sisi lain, karena tuntutan untuk memperkaya peran dan fungsinya, madrasah mendapatkan beban tambahan yang cukup berat, yaitu kurikulum sekolah umum yang setingkat secara penuh, juga memberikan materi esensial keislaman secara optimal. Terlebih lagi upaya menjembatani antara dua keilmuan diatas serta pengetahuan teknologi yang berkembang saat ini.
Beratnya beban yang diemban oleh madrasah tersebut masih ditambah dengan rendahnya kualitas sumber daya pembelajaran. Disamping sumber guru yang umumnya masih belum sesuai dengan kualifikasi guru mata pelajaran (khususnya pelajaran-pelajaran umum), minimnya fasilitas pembelajaran seperti labolatorium bahasa, labolatorium fisika dan kimia, ruang computer, perpustakaan dan yang lainnya. Institusi madrasah juga memiliki kendala manajemen. Kendala manajemen ini terutama berkaitan dengan bagaimana memaksimalkan dan mengembangkan sumber daya yang ada, serta kemampuan untuk mencari sumber-sumber baru dan gagasan-gagasan baru yang bersifat inovatif lainnya. Termasuk kendala ini adalah masih rendahnya visi dan orientasi para pengelola madrasah dalam kaitannya dengan mutu pendidikan.
Ketika persoalan-persoalan di atas masih dicarikan penyelesaiannya, madrasah sebagaimana yang dihadapi oleh lembaga-lembaga pendidikannya, sebagai institusi sosial, harus dihadapkan oleh tuntutan yang berkembang di masyarakat. Madrasah yang tidak memilki kekuatan dan tidak berdiri di atas dasar-dasar yang kokoh akan mudah terombang-ambing oleh kekuatan-kekuatan disekitarnya seperti kekuatan politik dan kepentingan jangka pendek pihak lain. Maka, ketika madrasah dituntut untuk memiliki kekuatan dalam internnya, juga harus dapat menjawab tantangan sosial-budaya yang dinamis dan berubah. Ketika madrasah tidak mampu menjawab tantangan-tangan di atas, maka semakin ramai dibicarakan bahwasanya program pendidikan yang diselenggarakan oleh madrasah tidak relevan dengan kemajuan zaman.
Namun, dibalik keprihatinan-keprihatinan kita akan dilema dan problema yang dialami oleh madrasah, terdapat kajian dan survei mutakhir di berbagai dunia muslim yang menunjukkan gejala terjadinya kebangkitan madrasah. Bahkan di negara-negara di mana madrasah pernah dinasionalisasikan, seperti di Mesir, atau bahkan disekularisasikan di Turki, madrasah dilaporkan kembali menemukan momentumnya. Kenyataan seperti ini berkaitan dengan fenomena kegagalan sekolah-sekolah umum dalam memberikan pelajaran agama bagi anak didiknya serta meningkatnya antusias global terhadap agama Islam yang akan diekspresikan ke dalam rekonstruksi dan revitalisasi lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.
Di Indonesia prospek ini terlihat pada minat beberapa kalangan dalam mendirikan madrasah-madrasah unggulan. Tujuannya sudah jelas, yaitu untuk mencapai keunggulan (excellence) di bidang ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga dalam bidang ilmu-ilmu umum. Berbarengan dengan minat-minat tersebut, dalam upaya meningkatkan penguasaan sains-teknologi, pendidikan nasional mengharuskan-khususnya Madrasah Aliyah-untuk lebih mengembangkan jurusan-jurusan umum dalam konteks mentransmisi ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan. Dengan interaksi dan integrasi antar ilmu umum dan ilmu keagamaan, maka peserta didik tidak hanya menguasasi perspektif keilmuan yang integratif dan komprehensif, tetapi juga pengetahuan dan keahlian yang memadai untuk menghadapi masa industri dan pascaindustri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan seorang pejabat Depag dalam dialog di Metro Tv tentang upaya memperhatikan madrasah dan meletakkan posisinya dalam menjawab tantangan sosial-budaya secara naturalis di era globalisasi ini. Hal tersebut sesuai dengan program MBS dan KBK dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi yang bercermin pada filsafat naturalis dalam pendidikan miliknya Herbart yang bersifat humanistik.




Kurikulum Madrasah Di Era Otonomi Daerah
Otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22/1999 telah menimbulkan perubahan besar, bukan hanya dalam pemerintahan dan birokrasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan umum yang berada di bawah Depdiknas ikut mengalami desentralisasi, sementara pendidikan agama yang berada di bahwa Departemen Agama masih belum jelas; apakah tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan pusat atau juga didesentralisasikan, berada di bawah pengawasan, koordinasi,dan wewenang pemerintah daerah. Pilihan mana yang diambil jelas memiliki konsekuensi dan dampak masing-masing .
Sebagaimana kita ketahui, kurikulum merupakan pemandu utama bagi penyelenggaraan pendidikan secara formal bahkan merupakan pengejawantahan dari tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Untuk itu, sekolah (madrasah) sebagai tempat untuk melatih akal, hati dan keterampilan harus memiliki kurikulum yang berbeda pada setiap jenjangnya. Misalnya pada MI dan MTs lebih menekankan pada transfer ilmu pengetahuan dan pembentukan watak (kognitif dan afektif). Sedangkan pada MA selain kedua hal tersebut juga ditekankan pembentukan dan pembinaan keterampilan atau life-skills (harmonisasi kognitif, afektif, dan psikomotorik). Kemudian dalam konteks desentralisasi pendidikan, hendaknya perlu mengembangkan kurikulum pendidikannya, seperti melalui celah "muatan lokal" ataupun penambahan waktu belajar khusus materi keislaman. Muatan kurikulum yang diberikan oleh Depdiknas dan Depag harus ditinjau kembali dan didesentralisasikan oleh para stakeholders madrasah di daerah. MBS merupakan salah satu solusi bagi madrasah dalam mengembangkan keunggulan dan kualitas pendidikan disamping perhatian serius pemerintah daerah dan peran serta masyarakat secara aktif.







PENUTUP


Pada era globalisasi saat sekarang ini, perkembangan kecerdasan manusia sudah dapat dikatakan sebagai faktor penggerak segala kemajuan dan inovasi. Oleh karena itu, pembaharuan dan pengembangan pendidikan secara dinamis merupakan hal pokok yang harus diperhatikan oleh kita bersama. Karena dengannya, akan lahir generasi yang akan siap bersaing dan bekerjasama dengan bangsa lain dalam bidang informasi, sains dan teknologi.
Kemajuan-kemajuan di atas tak luput juga harus disertai dengan peningkatan dan pengembangan pendidikan spiritual dalam hal ini pendidikan keagamaan. Madrasah sebagai salah satu bentuk pendidikan Islam hendaknya senantiasa mampu menjawab segala tantangan sosial-budaya yang berkembang serta memecahkan segala permasalahan yang ada di masyarakat.
Adanya inovasi-inovasi di dunia pendidikan nasional mau tidak mau menuntut kesiapan pendidikan Islam untuk selalu tetap bertahan dan mampu menjembatani antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu umum serta berupaya menjadikan kedua tetap berinteraksi dan berintegrasi sehingga akan menjadikan lulusannya sebagai orang yang menguasai ilmu agama dan terampil di bidang sains, teknologi dan industri.
Semua pemikiran-pemikiran tersebut tentunya hanya akan menjadi sebuah wacana akademik dan wacana imajiner para pemerhati pendidikan bila tidak ada keseriusan dan konsistensi kita dan pemerintah dalam mempertahankan eksistensi madrasah yang sejak dulunya telah berperan sebagai pencipta generasi Indonesia yang berilmu dan berakhlak, mampu berkompetisi dan berperan aktif dalam pergaulan dunia.






Sumber diambil dari :


Azra Azyumardi, Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi Dan Demokratisasi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2002

Buchori Mochtar, Tranformasi Pendidikan, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995

Hardjosusono E.J.S, Analisa Problematik Pendidikan-Pengajaran Di Indonesia, Belgia, Perhimpunan Pelajar Indonesia, Tanpa Tahun.

No comments: