Oleh: Muhammad Ikhsan
Pengantar
Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks. Kepribadian dan hakikat diri manusia itu sendiri sangat unik bahkan sangat sulit dipahami oleh manusia itu sendiri. Sehingga kajian-kajian untuk memahami manusia sesungguhnya banyak melahirkan disiplin-displin keilmuan yang beragam seperti sosiologi, psikologi, dan antropologi. Manusia sebagai subjek dan objek alam melahirkan proses yang berkesinambungan yang menciptakan ragam budaya dan corak kehidupan yang berbeda-beda. Begitu banyak dimensi yang ditemukan dalam diri manusia sehingga studi terhadap manusia semakin lama semakin berkembang dan dinamis.
Dalam sudut pandang agama, manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Begitu banyak karunia dan kelebihan yang dimilikinya sehingga peran manusia di bumi menjadi sangat sentral dalam merancang kesinambungan kosmos dimana manusia hidup. Dengan kondisi yang sempurna, maka ada tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Sebagai makhluk yang sempurna, maka ada amanat tersendiri bagi manusia yang harus dijalankan dengan merujuk pada petunjuk Tuhan yang terangkum dalam kitab-kitab-Nya.
Islam melihat manusia sebagai kepanjangan tangan Allah yang memelihara kehidupan. Begitu pula dalam Islam manusia digambarkan sebagai makhluk yang kompleks dengan berbagai macam potensi dan kodrat alamiah atau lebih lanjut sebagai fitrah. Dari kedua bentuk inilah tugas dan fungsi manusia di jalankan.
Dalam filsafat pendidikan Islam, karunia yang diberikan Allah kepada manusia akan bermuara kepada implikasi bagaimana pendidikan Islam yang akan diterapkan mengarah pada konsep pembentukan manusia seutuhnya sesuai amanat yang diberikan Allah kepada manusia.
Manusia Dalam Al-Qur'an
Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai potret yang utuh dan komprehensif mengenai sosok manusia melalui tiga istilah yang digunakannya. Ketiga istilah tersebut adalah al-insan, al-Basyar, dan al-nas. Kata insan apabila dilihat dari asal kata anasa mempunyai arti melihat, mengetahui, dan meminta izin, mengandung pengertian akan adanya kemampuan penalaran. Apabila dilihat dari kata nasiya yang berarti lupa menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Apabila dikaitkan dengan kata al-Uns atau anisa, maka berarti jinak. Dari analisis kebahasaan tersebut dapat dilihat bahwa kata insan menunjuk pada suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar, baik secara sosial maupun alamiah.
Kata insan dan yang serumpun dengannya digunakan oleh al-Qur'an untuk menyatakan manusia dalam kegiatan yang amat luas. Antara lain digunakan: (1) untuk menyatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. 96: 1-5), (2) mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan. (Q.S. 12: 5). (3) Sebagai makhluk yang dapat memikul amanah dari Tuhan (Q.S 33: 72), (4) sebagai makhluk yang harus pandai menggunakan waktu untuk beriman dan beramal saleh. (Q.S. 103: 1-3 (5) Sebagai makhluk yang hanya akan mendapat bagian dari apa yang telah dikerjakannya. (Q.S. 53:39), (6) sebagai makhluk yang mempunyai keterikatan dengan moral atau sopan santun.
Dari berbagai pemaknaan yang diambil, kata al-Insan sesungguhnya mengacu pada arti hakiki bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan negatif. Kemudian hendaknya seluruh aktifitasnya baik fisik dan psikis diarahkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan, yakni Islam.
Kata basyar dalam al-Qur'an disebutkan pada beberapa tempat. Kata basyar digunakan untuk menyebutkan pada semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriah yang menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamiah. Kata basyar disini berarti manusia sebagai makhluk biologis yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk lain walau struktur organnya berbeda (Q.S 15: 28). Manusia hidup dan tumbuh sesuai dengan gerakan dan pertumbuhan alam. Dengan kata lain, manusia sangat bergantung pada alam sekitar dan kehidupan yang melingkupinya.
Dalam al-Qur'an, kata Basyar disebutkan sebanyak 36 kali dengan pengertian lahiriahnya, yang antara lain : pengertian kulit manusia (Q.S. 74: 27029), persentuhan kulit laki-laki dan perempuan atau persetubuhan, proses penciptaan yang bermula dari tanah, dan untuk menyatakan tentang kematiannya.
Kemudian kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur'an sebanyak 240 kali. Dan tersebar dalam 53 surat. Kata al-Nas menunjukkan pada eksistensi manusia keseluruhan sebagai makhkluk social, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya.
Manusia dalam konteks al-Nas dipahami sebagai penunjukkan yang lebih umum dibanding kata al-Insan. Dari sini manusia dipotret keberadaan dirinya sebagai makhkuk sosial yang berdamping-dampingan dan memiliki kecenderungan untuk melakukan maslahat maupun mafsadat, mampu melakukan perubahan sosial, dan kemampuan untuk memimpin.
Dari kategori-kategori yang dinyatakan oleh al-Qur'an tentang eksistensi manusia di bumi, maka dapat dilihat bahwa terdapat gambaran yang komprehensif dengan potret yang menyeluruh dengan unsur-unsur kemanusiaan yang diciptakan. Sehingga agama Islam menilai bahwa kehidupan manusia diarahkan pada pengembangan potensi-potensi yang dimilikinya. Potensi-potensi itu adalah potensi fisik biologis, potensi intelektual dan spiritual, dan potensi sosiologis. Ketiga potensi inilah yang hendaknya dikembangkan secara bersamaan, seimbang dan harmonis.
Fungsi dan Tugas Manusia
Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuknya dan dikaruniakan kemampuan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Kemampuan itu kemudian disyukuri dan dimanfaatkan untuk kebaikan manusia sendiri, kemudian menemukan jati dirinya serta kebenaran sesungguhnya tentang penciptaan diri dan tugas-tugasnya di muka bumi.
Manusia menurut fungsi dan tugasnya secara umum terbagi dua, yakni :
1. Manusia sebagai Khalifah
Al-Qur'an menyatakan bahwa Allah telah menunjuk manusia sebagai khalifah (Q.S.2: 30). Allah memberikan mandat berupa kekuasaan dan kemampuan kepada manusia untuk memimpin dan mengelola alam. Sebagai pemimpin, mengandung arti bahwa manusia dan alam memiliki hubungan harmonis kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah, bukan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukan, antara tuan dan hamba. Adapun kemampuan manusia untuk mengelolanya bukan karena akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi akibat Tuhan menundukkannya pada manusia
Khalifah sebagai pengganti pemegang kepemimpinan dan kekuasaan pada dasarnya memiliki implikasi moral, karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, eksistensi khalifah yang dimiliki manusia harus dipahami sebagai hal yang bersifat sementara dan lebih menitikberatkan pada sisi moral kepemimpin dengan segala syarat-syarat potensi yang harus dimilikinya sebagai seorang pemimpin seperti pengetahuan, mental, dan keterampilan.
Manusia sebagai khalifah serta syarat-syarat potensial yang harus dimilikinya kemudian dijalankan dengan mengelola alam ini sesuai dengan yang diembankan kepadanya. Sekali lagi, pemanfaatan wewenang ini berlandaskan prinsip moral dan harus sesuai dengan garis hukum (sunnatullah) yang telah ditetapkan oleh Allah seperti menciptakan keseimbangan alam dan pengelolaannya dengan baik dan benar.
2. Manusia sebagai 'Abd (hamba Allah)
Fungsi manusia sebagai 'Abd memilki arti bahwa manusia memiliki tugas-tugas individual sebagai hamba Allah. Dari sini dipahami bahwa 'Abd adalah sebuah tingkat religiusitas seorang manusia kepada Tuhan. Hal ini diisyaratkan dengan bentuk pengabdian seorang hamba dalam bentuk ritual kepada Allah (Q.S 51: 56). Manusia juga memiliki kewajiban untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan pasrah atas kehendak dan kekuasaan-Nya.
Esessensi dari 'Abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu layak diberikan kepada Tuhan. Namun secara luas, konsep 'Abd pada hakikatnya meliputi seluruh aktivitas manusia dalam hidupnya. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat dinilai sebagai ibadah manakala aktifitas itu memang ditujukan untuk mencari ridha Allah SWT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh dimensi kehidupan manusia di dunia - sebagai 'Abd - adalah untuk beribadah kepada Allah dan mencari ridha-Nya.
Untuk menjalankan peran dan fungsi manusia sebagai khalifah dan 'Abd, maka manusia dibekali potensi-potensi yang senantiasa dikembangkan untuk mencapai kemaslahatan dunia, baik potensi biologis, intelektual, spiritual, dan sosial. Dua pengertian tersebut harus dijalankan bersama-sama dan tidak dipetakan secara dikotomis. Apabila khalifah dipahami sebagai pengganti pemegang kepemimpinan dan mendapat kepercayaan untuk memimpin, berarti sebagai pemimpin ia mempunyai wewenang untuk menentukan pilihan dan bebas untuk menggunakan akalnya, sedangkan 'Abd adalah seseorang yang kehilangan wewenangnya untuk menentukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Essensi khalifah adalah kebebasan dan kreativitas, sedangkan 'Abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
Pengaruh Konsep Manusia terhadap Pendidikan Islam.
Umumnya para ahli pendidikan Islam bersepakat bahwa teori dan praktek pendidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar manusia. Artinya, untuk menentukan arah dan tujuan serta materi pendidikan Islam dalam menciptakan manusia seutuhnya dan sesuai fitrahnya. Pemahaman pengembangan manusia sebagai individu dan sosial harus ditemukan secara jelas konsepnya, sehingga ketika konsep dasar dan utama ditemukan, maka pendidikan Islam akan lebih jelas terlihat arahnya.
Dari uraian-uraian singkat di atas, maka setidaknya ditemukan dua hal yang berhubungan antara filsafat tentang manusia dengan pendidikan Islam, yakni:
1. Sebagai makhluk yang terdiri dari komponen materi dan immateri serta potensi-potensi yang dimilikinya. Maka hendaknya pendidikan diarahkan pada pengembangan dan realisasi komponen-komponen tersebut. Komponen-komponen itu harus dibangun secara integral sehingga seorang muslim nantinya bukan hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga secara moral, memiliki fisik yang sehat, dan jiwa sosial yang baik.
2. Dengan potensi-potensi yang dimiliki manusia, maka dua fungsi dan tugas manusia yaitu sebagai khalifah dan 'Abd akan dapat dijalankan. Dengan pendidikan Islam, misi penting itu dapat dilaksanakan dengan mengembangkan potensi-potensi dan mengarahkannya secara maksimal sehingga realisasi fungsi dan tujuan dapat tercapai dengan baik.
Dengan demikian, pendidikan sebagai sarana mengarahkan manusia menemukan jati diri sesungguhnya harus direalisasikan sesuai dengan konsep penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dengan menjadikan program pendidikan yang integral. Pendidikan yang integral menghendaki pengembangan potensi-potensi manusia secara bersama-sama, seimbang, dan alami, antara aql, qalb, dan 'amal.
Penutup
Pendidikan merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan dan budaya. Pendidikan berupaya membentuk dan mengarahkan pribadi-pribadi setiap individu untuk tumbuh secara alamiah dan menemukan jati dirinya sebagai manusia.
Adapun pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk manusia seseuai dengan fitrahnya. Fitrah ini dalam al-Qur'an secara garis besar berarti pengembangan kemampuan fisik biologis, intelektual, spiritual, dan sosial. Semua komponen ini kemudian dikembangkan secara sistematis dan integral menuju garis yang telah diamanatkan Allah SWT kepada manusia, yaitu fungsi manusia sebagai Khalifah dan 'Abd.
Sebagai khalifah manusia memiliki wewenang dan kebebasan untuk mengelola dan memelihara alam untuk kemaslahatan manusia sendiri, dengan catatan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral sebagai khalifah. Sebagai 'Abd, semua yang diusahakan manusia berorientasi pada ibadah dan ridha Allah sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam yang membentuk serta mengembangkan manusia dari berbagai komponennya secara integral haruslah mengacu pada konsep manusia yang dirumuskan oleh ajaran agama Islam.
Bibliografi
Abdul Mujib, dan Muhaimin. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1993.
al-Ishfahany, Al-Raghib. al-Mufradat fi gharb al-Qur'an, Beirut: Dar al-mA'arif, tt.
Asy'ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam al-Qur'an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Nata, Abuddin. Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta: Grasindo, 2001
____________, Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, Dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur'an, Bandung: Mizan, 1992.
No comments:
Post a Comment