oleh Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Masalah pendidikan merupakan masalah yang tak habis-habisnya dibicarakan serta menjadi perdebatan para pakar ilmu pendidikan hingga masyarakat umum. Keberadaan pendidikan di Indonesia yang saat ini mulai menggeliat dan mencoba bangkit dari keterpurukannya dengan melakukan cukup banyak upaya-upaya inovatif baik dari segi manajemen hingga metode-metode mengajar yang efektif seperti munculnya kurikulum berbasis kompenetensi (KBK) hingga KTSP, disentralisasi pendidikan, otonomi pendidikan dan lain sebagainya. Baik dari segi manajemen dan metode-metode mengajar tidak sedikit yang mengadopsi dari metode barat dalam upaya bangsa barat meningkatkan kualitas pendidikan negara-negara mereka. Demikian pula bangsa-bangsa timur yang juga cukup gigih menggali sistem pendidikan yang bersandar pada kultur dan nuansa kerakyatan dalam upaya mereka mengembalikan pendidikan sebagai sistem yang naturalis.
Ketika kita melirik ke dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, maka dengan sedikit memotret perjalanan sejarah dapat kita temukan perjalanan yang sangat panjang bagi pendidikan Islam. Pendidikan keagamaan yang mulanya hanya dirintis dengan pengajaran membaca al-Qur'an, melafalkan serta mempelajari huruf-huruf Arab hingga akhirnya melembaga menjadi pusat-pusat pendidikan Islam yang muncul sebagai institusi milik umat serta masyarakat lapis bawah atau "akar rumput" yang berbasis kerakyatan serta bukan dari paket program kebijakan topdown dari pemerintah pusat atau daerah. Kini, dengan munculnya berbagai undang-undang dalam konteks inovasi pendidikan, maka, posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi dilematis dan terancam terdegradasi. Contohnya saja madrasah yang menjadikan dirinya "sekolah umum plus", kini harus kerepotan dengan tuntutan peran dan fungsinya dalam upaya membagi pengetahuan umum dan materi-materi keislamannya ditambah lagi rendahnya kualitas sumber-sumber daya pembelajaran, baik sumber daya guru dan minimnya fasilitas pembelajaran.
Kondisi-kondisi di atas tentu saja berimplikasi pada metode-metode yang dipakai tenaga pengajar dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada para siswanya. Dengan kondisi "terjepit" maka terjadi upaya-upaya mendidik dengan metode yang terkesan memaksa dan menjejal-jejalkan ilmu pengetahuan ke dalam otak siswa. Penekanan pendidikan ke ranah kognitif dengan menafikan ranah afektif dan psikomotorik siswa pun tak terhindarkan lagi. Akibatnya, sekolah maupun lembaga pendidikan seperti "pabrik" yang mencetak manusia-manusia mesin siap kerja. fenomena ini berlaku juga pada pendidikan Islam dalam hal pengajaran bahasa asing khususnya Arab. Bahasa Arab yang merupakan sebuah sarana untuk menghantarkan para siswanya memahami dan menghayati materi-materi keislaman disampaikan dengan cara-cara serupa di atas. Banyaknya beban materi pelajaran bahasa Arab dan kurangnya kreatifitas guru dalam menggunakan metode mengajar menjadikan bahasa Arab sebagai momok bagi siswa bahkan bagi mahasiswa perguruan tinggi Islam sendiri. Pelajaran bahasa Arab terkesan dingin dan kaku dan pada akhirnya hanya melahirkan sebuah verbalisme bahkan aktivisme, sehingga tidak heran wacana perdebatan simbol agama dan penggunaan bahasa Indonesia dalam sholat mungkin saja berakar dari jauhnya bahasa Arab dari jangkauan masyarakat kita sehingga memerlukan metode pengajaran yang baru dan lebih fresh ke depan.
Pendidikan Yang Humanis
Sebenarnya trend humanisme dalam segala bidang termasuk pendidikan yang kembali marak pada akhir tahun 90-an dan awal tahun 2000 tidak lepas dari rentetan perjalanan sejarah yang sangat panjang. Sebagaimana kita ketahui, ide-ide pembaharuan dan usaha untuk lebih menghargai akal dan kemanusiaan lahir dari pemberontakan pada nilai-nilai Gereja abad tengah atau lebih kita kenal era Renaisance. Al-Jabiri dalam bukunya tercantum bahwa kebangkitan Eropa modern yaitu mekanisme kembali ke "prinsip-prinsip dasar" sebagai acuan dan titik tolak dengan cara menghidupkan kembali warisan Yunani-Romawi abad 12 M yang kemudian menandai era bangkitnya "Humanisme". Era Humanisme berupaya melihat secara jernih masa lalu, menggali serta melampauinya untuk kepentingan masa depan. Dari sini dapat kita lihat lahirnya para pemikir dan filosof yang mengusung teori-teorinya yang humanis. Misalnya Herbart yang menyatakan untuk melihat kembali bahwa pendidikan itu adalah bentuk yang natural alamiah dan harus dikembalikan dalam bentuk yang natural pula.
Seorang pakar matematika, fisika, dan filsafat, tetapi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan, A.N.Whitehead, berpendapat bahwa ada tertib di alam semesta, yaitu bahwa ada hukum alam yang mengatur segala sesuatu di dalam jagad raya ini. Hukum ini adalah hukum kemajuan dan perkembangan. Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini, maka ia juga terkena hukum perkembangan. Menurutnya, perkembangan yang disebut ritme kehidupan itu menjurus ke tahap perkembangan yang lebih tinggi. Lebih sederhananya, bahwa setiap anak memiliki potensi bawaan menuju kemajuan dan perbaikan dan akan berjalan lambat tanpa intervensi luar yaitu pendidikan dan sosialisasi. Pendidikan hanyalah pelengkap pertumbuhan dan tidak dapat mengganti pertumbuhan itu dari dalam. Ia sangat mengecam anggapan bahwa akal budi manusia hanya bersifat reseptif dan responsif terhadap stimulus.
Dari pandangan di atas dapat kita pahami bahwa pendidikan memiliki memiliki tujuan, yaitu perubahan dan perkembangan dalam diri seorang peserta didik dan dalam perilaku. Pendidikan memiliki tujuan yang lebih luas dari hanya sekedar perkembangan kognitif dimana yang dituntut banyaknya hafalan dan penguasaan materi di dalam otak peserta didik. Kita harus mengakui bahwa aspek kognitif merupakan elemen yang mendasar dalam pertumbuhan individu, namun tidak menjamin akan adanya perubahan dan pertumbuhan. Hendaknya kita dapat memandang bahwa sebuah proses belajar adalah sebuah proses yang bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam mengorganisir dunianya baik dari sisi internal maupun eksternal.
Motivasi merupakan sandaran utama dalam pendidikan yang humanis. Hal ini dikemukakan oleh Abraham Maslow bahwa pendidikan pada dasarnya adalah pengembangan motivasi. Di dalamnya dituntut peranan seorang tenaga pengajar dapat meningkatkan motivasi para peserta didiknya dalam mengaktualisasikan diri. Dalam proses belajar-mengajar terdapat proses-proses pengembangan motivasi, memahami diri, kemauan untuk berubah, kecenderungan akan kebaikan, mampu bekerjasama, serta memahami berbagai cara belajar.
Bagi pendidikan yang humanis, cara-cara belajar berupa pencekokan informasi dan hafalan hanya akan mendorong suatu sistem belajar yang pasif. Proses belajar-mengajar adalah sebuah transaksi manusiawi, para peserta didik dibiasakan belajar dalam kondisi yang menyenangkan tanpa merasakan beban (working under pressure). Bukankah berbeda orang yang letih karena berlari tetapi hatinya senang dan bangga dengan orang yang berlari karena terpaksa?. Pendidikan bukan sekedar proses keterampilan dan pengetahuan akan tetapi mengenai hubungan antar manusia yang berinteraksi untuk meningkatkan kualitas, moral, dan harkat martabat manusia.
Pendidikan Bahasa Arab; Dari Audio-Lingual Ke Psikodinamik
Penulis mencoba menggunakan istilah "Pendidikan" bahasa Arab bukan pengajaran maupun pembelajaran. Hal ini didasarkan karena proses belajar-mengajar bahasa asing bukan sekedar upaya mentransfer materi kebahasaan tetapi terdapat di dalamnya usaha pengembangan diri, motivasi, dan aktualisasi melalui metode belajar yang menyenangkan, dan sikap emphati yang tinggi melalui cross culture understanding.
Begitu banyak upaya-upaya inovatif dalam rangka menjadikan bahasa Arab menjadi pelajaran yang menyenangkan baik dari buku-buku yang menyajikan sistem belajar sistematis hingga metode pembelajaran yang mudah dan cepat dipahami para peserta didik. Ada dua fenomena yang menonjol dalam metode pendidikan bahasa Arab, yang pertama mewakili metode yang telah lama dipakai dan mungkin hingga kini dan menjadi trend pada pertengahan tahun 80-an, yaitu metode audio-lingual. Yang kedua adalah metode yang sempat dibicarakan dan menjadi bahan diskusi dan seminar di Eropa dan Amerika, yaitu metode psikodinamik. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :
1. Metode Audio-lingual
Metode ini lahir dari pandangan dasar mengenai pemahaman bahasa sebagai sistem tanda bunyi yang bermakna dan bersifat arbitrer dan konvensional. Bahasa adalah bunyi-bunyian bermakna yang menjadi sarana komunikasi antar manusia. Metode ini menitik beratkan pada latihan mendengarkan dan mengucapkan terlebih dahulu sebelum melangkah kepada latihan membaca menulis. Ada empat ciri pokok yang menjadi dasar metode audio-lingual, yaitu merujuk pada pendapat John B. Carrol dalam artikelnya "Research on Teaching Foreign Language" dalam buku Handbook of Research Teaching, empat ciri itu adalah :
a. Item-item disajikan dan dipelajari secara normal dalam bentuk percakapan yaitu melatih lidah dan telinga.
b. Metode pengajaran berdasarkan atas analisa perbandingan antara bahasa ibu dan bahasa tujuan secara ilmiah dan cermat.
c. Penggunaan Pattern practice. Yaitu pembentukan dan pelaksanaan kebiasaan, karena dengan kebiasaan, maka, seseorang akan dapat melakukan pembenaran dengan belajar dari kesalahan.
d. Keinginan atau pentingnya belajar ditekankan untuk membuat jawaban-jawaban dalam situasi yang meniru situasi komunikasi "kehidupan sehari-hari" sedapat mungkin.
Penggunaan metode audio-lingual di lembaga-lembaga pendidikan Islam memang telah lama dilakukan dengan mengedepankan kemampuan mengucapkan dan hafalan yang banyak terhadap materi gramatikal bahasa Arab. Di satu sisi, pembentukan kebiasaan dalam berbahasa akan membentuk sebuah instink kebahasaan (dzawq) yang kuat pada peserta didik. Namun tentu saja di sisi lain, seiring perjalanan waktu metode ini mulai dirasakan kurang efektif mengingat sosialisasi bahasa Arab jauh tertinggal di banding dengan bahasa Inggris. Keengganan untuk mempelajari bahasa Arab disebabkan muatan materinya yang berat dan hafalan yang begitu banyak dengan cara yang kurang menyenangkan atau working under pressure, serta pemakaian istilah yang kurang bermanfaat dan jarang dipakai. Buku-buku yang digunakan banyak yang berstandar untuk mereka yang memang sejak kecil telah biasa menggunakan dan mendengar bahasa Arab. Fakta membuktikan bahwa mereka yang menggunakan bahasa Arab secara baik dan fasih adalah mereka yang telah lama tinggal di luar negeri.
Metode instruksi dalam audio-lingual memang terkesan menafikan hubungan emosional antara guru dan siswa akan tetapi di dalamnya masih terdapat upaya reward yang masih dipakai dalam metode inovatif. Metode ini memang hanya akan dapat hidup dan efektif ketika digunakan oleh seorang tenaga pengajar yang kreatif dan inovatif.
2. Metode Psikodinamik
Metode ini lahir sebagai respon terhadap pentingnya pendidikan yang humanis dan pandangan bahwa kegagalan pendidikan bahasa asing disebabkan metode yang diterapkan kurang melihat pada aspek-aspek psikologis peserta didik yang ternyata juga sangat berperan dalam keberhasilan belajar mereka serta sistem belajar-mengajar bersifat ekspositori yang dapat mendorong kepasifan belajar.
Psychodinamics adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang maksudnya "apa yang terjadi dalam diri dan antara manusia". Psikodinamik adalah metode yang sempat menjadi perbincangan di Amerika dan Eropa. Metode ini berusaha melihat pendidikan sebagai upaya pengembangan motivasi diri para peserta didik sebagai salah satu faktor berhasilnya proses belajar-mengajar. Metode yang saat ini sepertinya masih dirintis untuk mencari formula yang tepat seperti munculnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sempat mengkritik cara belajar bahasa yang diterapkan dengan metode audio-lingual . cara belajar yang mengikuti cara anak belajar bahasa pada ibunya dipandang kurang relevan saat ini. Cara belajar yang meniru ucapan dan dilakukan secara berulang-ulang mirip sekali seperti belajar burung beo. Noam Chomsky, seorang ahli bahasa dari Massachussets Institute of Technology, mengatakan bahwa belajar bahasa yang diterapkan yang demikian hanya mementingkan struktur permukaan (surface structure) bahasa ibu saja, sedangkan makna bahasa (deep structure) itu sendiri, yang tersimpan dalam diri si pembicara, terabaikan. Sejak revolusi bahasa Chomsky ini, maka para ahli bahasa mulai mengalihkan perhatiannya pada segi psikologis belajar bahasa. sekurang ada tiga metode yang muncul yaitu :
a. Suggestopedia
Pencetusnya adalah Lozanov, dinamakan juga suggestology. Ialah penerapan suatu sugesti ke dalam ilmu mendidik. Metode ini dipakai di beberapa sekolah di Eropa atau di Amerika yang dimaksudkan membasmi suggesti dan pengaruh negatif yang tak disadari bersemai pada peserta didik dan menghapus perasaan takut (fear), takut salah, perasaan tidak mampu dan menghadapi hal-hal yang baru. Akan tetapi metode ini tidak luput dari kecacatan dan tampaknya kurang tepat diterapkan di sekolah-sekolah formal di Indonesia.
b. Counseling Learning Method (CLM)
Metode ini pertama kali diketengahkan oleh Prof. Charles Curran pada tahun 1961, dan mulai dipakai di Loyola University, Chicago, pada tahun 1967. menurutnya, dengan "counseling", diharapkan timbulnya minat murid untuk memperoleh pandangan-pandangan baru dan munculnya kesadaran pribadi yang dapat memberikan stimulasi terhadap perkembangannya di samping mempererat hubungan dengan orang. "Learning" semata-mata berkenan dengan proses belajar mengajar secara intelektual. Pada metode ini dibidik terhadap munculnya minat belajar yang didorong melalui pengembangan harga diri dan perasaan kebersamaan. Metode ini memiliki ciri khas yaitu " Shared Task Oriented Activity" atau "cara belajar siswa aktif bersama". Dalam metode tersebut murid terlihat menyibukkan dirinya secara ihklas bukan dengan paksaan sampai ia mampu berkomunikasi.
c. The Silent Way
Dr. Gattengno mulai memperkenalkan metode ini lewat bukunya "Teaching Foreign Language in School; A Silent Way" . Metode ini dianggap cukup unik karena bukan hanya guru yang diminta diam 90 % dari alokasi waktu yang dipakai tetapi ada saat-saat tertentu di mana murid juga diam tidak membaca, tidak mengkhayal, tidak juga menonton video, tetapi mereka berkonsentrasi pada bahasa asing yang baru saja didengar. Gattegno berpendapat bahwa salah satu letak ketidaksempurnaan dari kebanyakan pengajaran adalah adanya tuntutan/paksaan untuk memperoleh kesempurnaan seketika. Para murid dibiarkan saja dahulu bersalah dalam berbahasa. Prinsip yang dipegang adalah adanya respek terhadap kemampuan murid untuk mengerjakan masalah-masalah bahasa serta kemampuan mengingat informasi tanpa adanya verbalisasi dan bantuan minimalpun dari guru.
Menurut hemat penulis, tidak semua dari metode-metode psikodinamik di atas dapat applicable di lembaga-lembaga pendidikan yang di dalamnya mengajarkan bahasa asing khususnya bahasa Arab. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala antara lain :
1. Kultur masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah
2. Pola pikir liberalis belum tepat diterapkan pada masyarakat yang menganut pola paternalistik.
3. Keterbatasan media atau sarana pembelajaran.
4. Minimnya profesionalisme guru di Indonesia.
Dari berbagai macam metode-metode yang kita simak di atas, mulai dari metode lama audio-lingual hingga metode psikodinamik yang dicoba diterapkan para humanis tidak terlepas dari cita-cita para ahli bahasa untuk membuat bahasa kedua seseorang menjadi lebih mudah. Belajar bahasa asing tidak sekedar sebuah perkembangan yang bersifat kognitif saja melainkan diharapkan juga dapat menyentuh sisi afektif dan psikomotorik dengan menjadikan proses belajar-mengajar sebagai pengembangan kemampuan akal dan pertumbuhan psikologis yang baik berupa akal budi dan sikap emphatik yang tinggi. Tentu semua ini bergantung pada kreatifitas dan sikap professional tenaga pengajar dalam menyajikan materi. Untuk pendidikan bahasa dibutuhkan seorang pendidik yang berkelayakan (qualified) yang bukan hanya mampu menguasai materi tetapi juga menguasai metode yang efektif serta mampu menjembatani dua budaya yang berbeda dari dua bahasa yang berbeda, serta mampu mengenal secara psikologis para peserta didik dan metode apa yang akan digunakan.
Penutup
Ada pertanyaan yang sangat menarik yang mungkin sering kita dengar, "Mengapa pelajaran bahasa dan pelajaran sejarah menjadi pelajaran yang paling membosankan saat ini?", hal ini terkait dengan jalan pengajaran yang harus ditempuh dan disusun dalam kurikulum pendidikan. jalan pengajaran yang salah satunya disebut dengan pengajaran konsentris, yaitu pelajaran yang dibicarakan dari seluruhnya tiap-tiap tahun dimana bahan pelajaran untuk tahun-tahun berikutnya terdiri atas ulangan dari bahan yang telah diberikan dengan tambahan seperlunya untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan siswa- maka, berdampak terhadap pelajaran-pelajaran bahasa dan sejarah yang menjadi pelajaran membosankan. Metode pengajaran bahasa audio-lingual yang telah hampir habis masanya kini lebih banyak dikritik karena tidak humanis hingga melahirkan tawaran-tawaran metode baru yang lebih efektif dan manusiawi. Hal ini dilandasi oleh pendapat bahwa persoalan pendidikan bukan hanya persoalan transverisasi pengetahuan melainkan hubungan antar manusia yang saling bekerjasama dalam mengembangkan serta mengaktualisasi diri.
Pendidikan dalam Islam merupakan latihan fisik, mental dan moral bagi manusia dalam menunaikan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dalam upaya memahami ajaran-ajaran Islam, tentu saja bahasa Arab menjadi sarana utama. Namun fenomena yang terjadi bahasa Arab justru diajarkan kurang sesuai dengan prinsip agama Islam yaitu agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Akibatnya, bahasa Arab cenderung dihindari dan dijauhi dan tidak populer pada masyarakat Indonesia umumnya. Mudah-mudahan lahirnya metode-metode pendidikan yang inovatif dan humanis dapat membangkitkan minat dan kecintaan kita pada bahasa Arab. lahirnya kurikulum berbasis kompetensi yang mengedepankan metode-metode humanis dapat menjadi langkah inovatif ke depan menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia. Semoga.
No comments:
Post a Comment