Monday, April 28, 2008

FIKIH PROGRESIF MUHAMMAD AL-GHAZALI

(Studi Tentang Metodologi Hukum Dalam Gerakan Dakwah)

Oleh: Ahmad Yani



Abstrak:

Muhammad al-Ghazali selalu menekankan pemikirannya pada terjalinnya keseimbangan antara akal dan naql (teks wahyu). Jika kita memperhatikan beberapa penalaran hukum dari berbagai persoalan keagamaan yang dihadapinya, yang kemudian dengan lancar dituangkan dalam banyak karya tulisnya, akan tampak bahwa Muhammad al-Ghazali adalah figur yang memadukan antara unsur tradisional dan rasional. Di samping itu, salah satu titik tolak pemikiran fikih al-Ghazali adalah bahwa fikih selayaknya berkhidmat kepada dakwah Islam. Fikih yang ditawarkannya sangat berorientasi kepada menampilkan Islam yang teduh dan simpatik sehingga menarik minat banyak orang di luar Islam. Ia ingin manusia cinta terhadap risalah Islam dan agar wajahnya yang menarik dan simpatik lebih bisa dinikmati oleh banyak orang, non muslim sekalipun.



Pendahuluan

Salah satu persoalan penting yang terus mengemuka dalam kehidupan individu dan sosial adalah persoalan fikih. Ini disebabkan karena fikih terkait langsung bahkan boleh dikatakan melekat pada kegiatan praktis manusia dalam hubungannya dengan Khalik. Pertumbuhan dan perkembangan fikih selama berabad-abad, seperti yang terekam dalam sejarah Hukum Islam sangatlah dinamis. Dinamika tersebut terus bergulir mengawal semangat perubahan dan perkembangan zaman.

Pada masa Rasul, fikih memang cenderung tidak kelihatan geliatnya. Sebab hampir semua persoalan dikembalikan kepadanya. Fikih yang muncul ketika itu adalah yang dijelaskan Rasul atau yang diputuskan Rasul. Oleh karena itu, fikih pada masa awal ini dikenal dengan istilah fikih Nabawi. Fikih yang sepenuhnya dikembalikan kepada Rasul sebagai pemegang otoritas tertinggi keagamaan atau spritual power.

Perkembangan fikih berikutnya, pasca Rasul, baru menunjukkan geliatnya. Sebuah fakta yang sangat monumental dalam perkembangan Hukum Islam adalah apa yang dilakukan Khalifah Umar ibn al-Khattab. Terobosan pemikiran Umar ketika menghadapi berbagai persoalan Hukum Islam (baca: fikih) cukup menjadi bukti bahwa fikih seharusnya dinamis dan terus merespon dinamika zaman. Pada masa sahabat dan tabi’in, fikihpun bergulir dengan cepat sampai akhirnya lahir berbagai pandangan fikih yang berbeda-beda. Perbedaan ini, seperti yang diungkap banyak pemerhati Hukum Islam, merupakan sesuatu yang seharusnya terjadi. Oleh karena banyak hal yang melatarbelakanginya, sebut saja misalnya perbedaan kultur sosial, dan kapasitas keilmuan.

Seiring dengan laju perkembangan permasalahan dan kompleksitasnya, seakan terasa tidak memadai lagi hasil ijtihad fukaha masa silam dan kerja keras ilmiah mereka. Hal ini sangat dirasakan tidak hanya beberapa dekade sekarang ini tetapi juga telah mulai terasa beberapa dekade sebelumnya. Hanya kualitas permasalahan fikih dewasa ini semakin variatif dan bobotnya sangat signifikan. Fakta yang tak terbantahkan adalah bagaimana dewasa ini para fukaha harus merespon dan merumuskan fikih ekonomi, sebuah rumusan yang diharapkan mampu menghadapi pesatnya perkembangan dunia transaksi ekonomi. Belum lagi persoalan fikih lainnya yang semakin marak seiring dengan era globalisasi dan modernisasi.

Sebagai tokoh pemikir keagamaan yang cukup mapan dewasa ini, Muhammad al-Ghazali, sebagaimana pemikir keagamaan lainnya, cukup gamang dan serius melihat realitas sosial. Ia juga berusaha keras untuk merespon perkembangan dan kompleksitas permasalahan keagamaan. Ia cenderung tegas tetapi juga realistis, obyektif, moderat, dan akomodatif.



Pembahasan

A. Riwayat Hidup

Muhammad al-Ghazali dilahirkan di Bahirah, Mesir pada tahun 1917 M. Dalam rentang sejarah pemikiran di dunia Islam daerah bahirah memang dikenal sebagai daerah yang telah banyak melahirkan ulama besar pada masanya, antara lain Mahmud Syaltut, Muhammad al-Madani, Hasan al-Banna dan Muhammad Abduh

Muhammad al-Ghazali sejak kecil memang sudah terlihat mempunyai antusias yang sangat tinggi terhadap Islam. Ia telah mampu menghafal al-Qur’an secara keseluruhan ketika menginjak usia 10 tahun.

Muhammad al-Ghazali, seperti diungkap Yusuf Qardhawi adalah pribadi yang cerads, berakhlak mulia, dan rendah hati. Setiap orang mengenalnya sebagai pribadi yang tulus, jujur, ikhlas, dan dewasa dalam berfikir. Ia juga seorang yang memiliki keberanian yang luar biasa dalam membela kebenaran.

Pendidikan akademis Muhammad al-Ghazali dimulai dengan memasuki Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah pada tahun 1937. Ia mampu menyelesaikan pendidikan tingginya beberapa tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1941.

Syekh Muhammad al-Ghazali berpulang ke rahmatullah di medan pertempuran, demikian kata Syekh Yusuf Qardhawi. Medan pertempuran yang dimaksud Qardhawi adalah kegigihannya dalam merespon keangkuhan dunia Barat. Saat menghadiri seminar tentang Islam dan Barat di Festival Kebudayaan al-Janadriya di Riyadh, Muhammad al-Ghazali dipanggil yang Maha Kuasa. Media dunia menyiarkan kematian Muhammad al-Ghazali akibat serangan jantung kronis yang telah cukup lama dideritanya.

Allah memang sudah mempunyai rencana mulia bagi Muhammad al-Ghazali. Sudah sejak lama ia ingin dekat dengan Rasulullah SAW. Dan kematiannya di Madinah menghantarkannya ke pemakaman Baqi’ yang hanya beberapa meter dari makam Rasulullah. Bahkan menurut sumber media yang dapat dipercaya, makamnya di Baqi’ persis di antara makam Imam Malik (peletak dasar mazhab Maliki), dan Imam Nafi’ (ahli hadis).[1]



B. Aktifitas Keilmuannya

Karir Muhammad al-Ghazali lebih banyak dihabiskan di medan dakwah. Materi ceramahnya begitu hangat dan membangkitkan semangat keislaman pendengarnya. Ia tidak hanya dikenal sebagai da’i di kawasan Mesir tetapi juga di banyak belahan dunia Islam lainnya seperti Saudi Arabia.

Kecuali sebagai da’i, Muhammad al-Ghazali juga tampil sebagai akademisi yang ulung. Dalam setiap kali memberikan kuliah, ruang kuliah selalu sesak dengan mahasiswa. Ia selalu mengajarkan mahasiswa untuk keseimbangan (balance), yaitu keseimbangan dalam menggunakan akal dan sumber agama atau naql dan dalam memandang dunia dan agama.

Muhammad al-Ghazali bukan tipe orang yang mencari-cari pembenaran agama demi meluluskan sebuah kepentingan dunia. Ia juga bukan orang yang anti terhadap modernisme dan kemajuan. Al-Ghazali begitu moderat, berada di tengah-tengah antara dunia dan agama dan antara akal dan naql. Ia sering berteriak lantang kepada siapa saja yang tampil sebagai pembaharu Islam, mengapa kalian tidak menuntut kemajuan sambil menjadi Islam?.

Karena perbedaan penalaran, pendapat dan fatwa Muhammad al-Ghazali tidak jarang menjadi sasaran kritik. Namun kata Yusuf Qardhawi, dalam mengungkapkan pendapatnya, Muhammad al-Ghazali tidak pernah bertentangan dengan ijma’.

Memang jika dicermati, kadang beberapa ucapan dan pemikiran Muhammad al-Ghazali sangat tajam. Itu terjadi karena kecemburuannya terhadap Islam begitu kental, sehingga pikiran dan hatinya kerap terbakar terhadap berbagai masalah yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam.

Muhammad al-Ghazali telah menghabiskan hidupnya demi membela Islam. Menurutnya seorang muslim seharusnya selalu berhati-hati terhadap musuhnya, baik dari dalam maupun dari luar. Seorang muslim katanya harus siap untuk membela bahkan jika perlu menyerang. Sebab menyerang adalah salah satu strategi pertahanan.

Muhammad al-Ghazali berjuang dalam dua medan sekaligus. Pertama, terhadap musuh-musuh yang membenci dan memerangi Islam. Menurutnya musuh-musuh ini terdiri atas kekuatan internasional non-Muslim. Mereka adalah jaringan Zionisme, Kristen, dan Komunisme. Sekalipun agama mereka berbeda namun mereka bersatu untuk memerangi dan menghancurkan Islam.

Kedua, adalah umat Islam yang tidak mengetahui hakikat Islam tetapi mengklaim dirinya sebagai ahli Islam. Mereka tidak lebih berbahaya dari kelompok pertama. Al-Ghazali menyebut mereka sebagai kelompok pemecah belah, karena mereka dalam aktifitasnya selalu memecah belah umat dengan memunculkan isu-isu sepele. Biasanya mereka mengangkat masalah khilafiyah dalam fikih.[2]

C. Beberapa Hasil Karyanya.

Dalam beberapa kesempatan, Muhammad al-Ghazali sempat mengkhawatirkan munculnya banyak pemikir yang tidak banyak mengetahui prinsip-prinsip Islam. Menurutnya banyak ahli hadis menjadi ahli fikih, meskipun mereka tidak ahli dalam bidang tersebut. Ironisnya lagi, kecuali mereka banyak berbicara tentang Islam, juga banyak di antara mereka yang menulis karya tentang Islam dan dibaca banyak orang. Al-Ghazali juga kerap kali mengecam para pemikir yang tidak mengetahui prinsip-prinsip umum Islam, seperti soal tata negara dan sistem ekonomi Islam.

Al-Ghazali dikenal keras dalam bersikap. Jika berdebat, ia dikenal tajam. Ia menderu bagai ombak. Menggelegar bak halilintar, dan mangaum bak singa yang siap menerkam mangsanya, namun demikian ia berhati lembut dan mudah menitikkan air mata

Dalam menulis, ia bagaikan seorang tentara yang sedang perang. Saat itu pena di tangannya serta merta menjadi pedang. Sehingga banyak tulisannya yang muncul merupakan respon terhadap keprihatinannya yang mendalam.

Tulisan Muhammad al-Ghazali tidak kurang dari 20 judul buku. Kajiannya sangat bervariasi dan bertebaran dalam banyak bidang mulai dari soal sumber-sumber keislaman sampai masalah politik kenegaraan. Buku Muhammad al-Ghazali tentang sumber keislaman antara lain Kaifa Nata’ammal Ma’a al-Qur’an. Sedang dalam bidang ekonomi, al-Islam wa al-Auda al-Iqtishadiyah. Buku ini sepenuhnya adalah respon al-Ghazali terhadap kecenderungan sikap penguasa yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil.

Dunia politik global juga sempat menjadi incaran pembahasan yang mendalam oleh Muhammad al-Ghazali. Kajiannya yang serius mengenai hal tersebut menghasilkan buku al-Ta’asub wa al-Tasamuh Bain al-Masihiyyah wa al-Islam dan Islam Arab dan Yahudi Zionisme.

Demikian juga tak ketinggalan soal keprihatinan al-Ghazali terhadap etika muslim yang acap kali terlihat mulai terkontaminasi dunia Barat dan modernisasi. Komentar dan pandangannya tentang hal tersebut dikupas tuntas al-Ghazali dalam buku Khuluq al-Muslim dan Mulai Dari Rumah: Wanita Muslim dalam Pergumulan Tradisi dan Modernisasi.

Dari sekian banyak buku yang lahir dari tangan Muhammad al-Ghazali, buku yang berjudul al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadis merupakan buku best seller yang cukup populer. Buku ini mengupas tuntas tentang beberapa hadis yang diragukan keotentikannya dan tidak dipahami sesuai dengan proporsinya. Dan buku inilah pula yang paling banyak mendulang kritik tajam dari berbagai kalangan, khususnya Fukaha karena dianggap anti kemapanan terhadap hal-hal yang telah menjadi kesepakatan mereka tentang kualitas Hadis Nabi SAW.[3]







D. Metodologi Pemikiran Fikih Muhammad al-Ghazali

Sebagai seorang pemikir yang sangat kritis dalam menanggapi berbagai pemikiran keIslaman, tak jarang al-Ghazali seakan terlihat ketat dalam menggunakan sumber-sumber keIslaman.

Tentang al-Qur’an sebagai sumber utama Hukum Islam, Muhammad al-Ghazali cenderung berpandangan bahwa nash-nash ayat harus dipahami dalam teksnya sendiri, bukan semata berpedoman pada konteks dan turunnya ayat.

Dalam kaitan ini, dalam buku al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20 menegaskan bahwa ia sama sekali tidak sepakat dengan pandangan yang menyatakan bahwa bagian waris laki-laki dan perempuan disamakan, padahal jelas-jelas nash memutuskan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.[4]

Persamaan bagian tersebut dengan dalih bahwa keadaan pada waktu turunnya nash telah berubah, maka nash pun harus turut berubah mengikuti perubahan keadaan. Dengan kata lain, pengamalan nash lebih diarahkan kepada jiwa nash bukan pada teks nash.

Mengenai hal tersebut, Muhammad al-Ghazali berkomentar bahwa pandangan tersebut sengaja dihembuskan oleh kaum kolonial untuk menegaskan bahwa nash-nash al-Qur’an ternyata usang dan tak mampu mengawal berbagai kondisi perubahan. Sebab tidak hanya soal waris, berikutnya akan muncul pula pernyataan dengan adanya pajak zakat tidak lagi perlu, shalat dan puasa menghambat produksi, sehingga boleh ditinggalkan, daging babi diharamkan karena pada waktu itu pemeliharaannya kotor . Kalau itu terjadi, maka mudah sekali nash ditinggalkan. Dan lambat laun tidak lagi mengindahkan Syari’at Ilahi. Itu berarti pula permulaan meninggalkan ibadah, sejarah, sastra dan bahasa al-Qur’an.

Pandangan Muhammad al-Ghazali yang demikian ketat terhadap teks nash ditegaskannya bukan berarti fanatik dan berpegang kaku pada harfiyah hukum fikih, bahkan sebaliknya jumhur ulama harus berusaha menggalinya secara serius dengan tetap menjaga kemaslahatan umat, dan menghormati semua kaidah yang mengatur cara berfikir mengenai penetapan hukum syari’at.

Sementara tentang Hadis Nabi SAW. sebagai sumber Hukum Islam, menurut Muhammad al-Ghazali harus dicermati dari dua sisi, yaitu sisi sanad dan sisi matan. Yang harus diperhatikan dalam kajian sanad adalah bahwa hadis sahih, perawinya hanya mempunyai dua syarat, yaitu pertama, Perawi harus penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang diterimanya dari Nabi, ini disebut dengan dhabit. Kedua, Perawi harus mantap kepribadiannya, bertakwa kepada Allah serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan dan penyimpangan, ini sering disebut ‘adil. Persoalan syudzudz dan ‘illat atau kecacatan, menurut Muhammad al-Ghazali bukan persyaratan pada sanad tetapi lebih diarahkan pada matan.

Muhammad al-Ghazali ternyata juga tidak mensyaratkan ketersambungan sanad sebagai syarat Hadis sahih. Padahal jumhur muhaddisin sangat jelas mensyaratkan hal tersebut. Barang kali pada tataran inilah terlihat jelas perbedaan metodologi al-Ghazali dengan ulama lainnya tentang Hadis.[5]

Dengan demikian terlihat jelas bahwa Muhammad al-Ghazali cenderung lebih longgar dalam menetapkan kesahihan sanad Hadis. Implikasinya kemudian adalah banyak Hadis yang telah dinyatakan sahih menurut kriteria muhaddisin justru ditolak oleh Muhammad al-Ghazali.

Sebagai kelanjutan dari penalarannya di atas, pada prakteknya Muhammad al-Ghazali lebih mengarahkan penelitiannya pada matan Hadis. Dengan kata lain, baginya isnad yang kuat tak banyak berguna jika matan atau teks hadis mempunyai kecacatan.

Pembahasan Muhammad al-Ghazali tentang Hadis Nabi SAW. sebagai sumber Hukum Islam banyak menuai kritik tajam, karena secara diametral nampak bertentangan dengan banyak pandangan sebelumnya.

Kecuali menempatkan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam (Fikih), Muhammad al-Ghazali juga mendudukkan maslahah mursalah (maslahat yang tidak tercantum dalam al-Qur’an) sebagai sumber Fikih dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan Nash yang tegas.

Dalam kaitan tersebut, Muhammad al-Ghazali telah menulis kajian menarik dengan judul Baina al-Nash wa al-Mursalah dalam buku Dustur al-Wihdah al-Tsaqafiyyah. Di dalamnya, al-Ghazali mengkritik tajam orang-orang yang menempatkan maslahah mursalah sebagai argumen hukum meskipun nyata-nyata bertentangan dengan Nash. Di antara catatan al-Ghazali tentang hal ini, seperti diungkap Yusuf Qardhawi: “Lidah terbiasa melontarkan ucapan yang tidak jelas sumbernya bahwa Umar ibn al-Khattab telah menyingkirkan sebagian Nash, atau tidak mempraktikkannya lagi karena beliau melihat ada kemaslahatan.”

Ucapan ini, kata Muhammad al-Ghazali sangat berbahaya, sebab Nash kadang bertentangan dengan maslahat umum dan bahwasanya manusia dalam keadaan seperti ini boleh menyimpang dari nash atau menyingkirkannya. Ungkapan semacam ini, tegas al-Ghazali adalah dusta dan harus ditolak sebab tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan maslahat dan tidak ada seorang manusiapun yang berhak menghapus Nash.

Menurut sebagian pendapat, dicontohkan bahwa Umar telah melarang zakat dibagikan kepada mu’allaf dengan alasan bahwa Islam tidak butuh lagi menjinakkan hati mereka. Pemahaman bahwa tindakan Umar ini sebagai pemandulan terhadap pelaksanaan Nash adalah kesalahan besar. Sebab Umar tidak memberikan zakat kepada kelompok ini karena menurut Nash mereka tidak lagi tergolong orang yang berhak menerima zakat, bukan karena masa berlakunya Nash sudah habis.

Sebagai contoh, al-Ghazali beralasan, beasiswa di perguruan tinggi yang diberikan kepada para mahasiswa yang berprestasi. Ternyata sebagian di antara mereka itu ada yang tidak lagi berprestasi, dan beasiswanya diberhentikan. Pertanyaannya, apakah pemberhentian beasiswa ini dianggap sebagai penghapusan beasiswa itu sendiri? Tentu saja tidak, tegas al-Ghazali, beasiswa akan tetap terus berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat untuk menerimanya. Demikian pula ketika memahami langkah Umar. Zakat terhadap mu’allaf tetap terus berlaku sepanjang yang bersangkutan memenuhi syarat.

Masalah lain juga dikemukakan, bahwa Umar katanya telah menghapus hukuman untuk pencuri pada musim kelaparan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan Nash. Al-Ghazali dalam hal ini menegaskan, bahwa orang lapar yang mencuri untuk makan, atau agar anak-anaknya bisa makan, menurut kesepakatan ulama hukuman potong tangan tidak lagi berlaku. Jadi ketentuan syari’at mana yang dilanggar Umar?

Memotong tangan pencuri yang dengan sengaja merampas dan menzalimi hak orang lain adalah hukuman dari Allah yang akan berlaku sampai akhir zaman. Umar dan sahabat lainnya tidak akan mampu menghapus hukum Allah. Untuk memberlakukan had harus dipenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan. Pencurian di bawah nisab tidak ada potong tangan. Tetapi tidak boleh kemudian disimpulkan bahwa hukuman had tersebut tidak lagi berlaku. Yang benar ketika itu hukuman had pencurian belum berlaku.

Jadi, Umar dan para khalifah lainnya mustahil memandulkan Nash dan terlalu berani berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keputusan Allah dan Rasul-Nya. Jadi, kata al-Ghazali, tindakan Umar dan mungkin sahabat lainnya harus dikaji dengan mendalam sehingga tuduhan tidak mudah terlontar ke permukaan publik begitu saja.

Tegasnya, bagi Muhammad al-Ghazali, maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai argumen hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Nash yang tegas. Menurutnya, harus tetap digalakkan supaya Fikih atau Hukum Islam tidak terkesan pukul rata dan cukup merespon berbagai persoalan hukum dengan bijak.[6]



E. Corak Pemikiran Fikih Muhammad al-Ghazali.

Muhammad al-Ghazali berpandangan bahwa memang benar Ushul Fikih adalah ilmu yang tinggi nilainya, tetapi sayang, ilmu Ushul Fikih membeku di dalam kitab-kitabnya. Proses kehidupan umat, lanjut al-Ghazali, selama beberapa abad terakhir hampir kosong dari ilmu tersebut. Dunia Islam dikuasai oleh hukum yang ditetapkan berdasarkan pendapat atau hasil ijtihad sekelompok orang. Dari semuanya itu terbentuklah tradisi pemikiran yang berakar. Ironisnya, tradisi itu diidentikkan dengan Islam.

Sebagai seorang pemikir sekaligus da’i tentu saja Muhammad al-Ghazali tidak mau terkungkung dengan tradisi pemikiran fikih hasil ijtihad masa lampau. Baginya tradisi pemikiran tersebut cukup menjadi referensi yang dapat diandalkan jika memang tetap aktual dan membawa kepada kemaslahatan, tetapi jika tidak, tentu saja hal demikian perlu ditinjau ulang bahkan dikritisi secara mendalam.

Muhammad al-Ghazali sempat menyaksikan beberapa golongan masyarakat yang menahan anak gadisnya untuk dipinang, hanya karena alasan si pelamar tidak sekufu’. Bagi mereka, yang penting asal keturunan mulia, punya kedudukan, dan berharta. Masalah kufu’ ini celakanya memang didukung dan diperkuat oleh mazhab fikih tertentu. Muhammad al-Ghazali tidak sependapat dengan pandangan di atas, alasannya karena dalil argumen yang dijadikan dasar tidak sahih dan cenderung hanya mempertahankan tradisi.

Seperti telah disinggung di muka, Muhammad al-Ghazali selalu menekankan pemikirannya pada terjalinnya keseimbangan antara akal dan naql (teks wahyu). Melulu mempertimbangkan dan memposisikan akal pada penalaran teks, lambat laun akan menggeser posisi teks menjadi marginal dan pada gilirannya akan meninggalkan teks itu sendiri. Dan ini sangat berbahaya dalam beragama.

Memperhatikan beberapa penalaran hukum dan berbagai persoalan keagamaan yang dihadapinya, yang kemudian dengan lancar dituangkan dalam banyak karya tulisnya, sangat tampak bahwa Muhammad al-Ghazali adalah figur yang memadukan antara unsur tradisional dan rasional. Dengan kata lain Muhammad al-Ghazali sangat dekat dengan teks tetapi juga tidak menafikan konteks.



F. Respon Muhammad al-Ghazali terhadap Beberapa Persoalan Fikih.

Dalam kata pengantar buku Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam dalam Abad 20, ia menegaskan bahwa Islam adalah agama yang sungguh besar. Namun sejak beberapa abad silam, para politisi yang memerintah atas nama Islam tidak meningkatkan diri setaraf dengan kebesaran agamanya, kecuali beberapa orang yang memperoleh naungan Ilahi. Oleh karena itu umat Islam harus meningkatkan kegiatan ilmu pengetahuan terus-menerus, jujur, dan berani. Harus sanggup membantah berbagai macam tuduhan, meluruskan yang bengkok dan meratakan penyebaran hidayah dan rahmat Allah ke seluruh belahan dunia, agar manusia dapat sampai kepada Tuhannya dengan jalan satu-satunya yang terhormat yaitu pikiran terbuka, logika yang toleran, dan diskusi yang baik.

Selanjutnya Muhammad al-Ghazali menegaskan, adalah malapetaka jika atheisme yang pincang telah mencapai kemajuan pesat, sementara hidayah yang lurus tertinggal jauh di belakang hanya karena pengembannya lalai dan bermalas-malasan.[7]

Di dalam buku yang sama, Muhammad al-Ghazali memaparkan pandangan fikihnya yang cukup kritis, namun terlihat nyata masih berpijak pada kekuatan Nash.

Pandangan-pandangan fikihnya yang sempat peneliti amati antara lain:

1. Posisi Wanita dalam Islam.

Sejatinya seorang wanita dalam Islam memiliki kedudukan dan penghormatan yang sangat tinggi. Seorang wanita ketika ia hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga adalah merupakan tugas yang sangat mulia. Seorang isteri dapat saja meninggalkan rumah untuk suatu aktifitas pekerjaan tertentu, tetapi betatapapun pentingnya pekerjaan tersebut, ia tidak boleh mengalahkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Sebab tugas ibu rumah tangga tak pernah bisa tergantikan oleh orang lain.

Beliau menegaskan, dalam kehidupan masyarakat terdapat jenis-jenis lapangan kerja tertentu yang memerlukan banyak tenaga wanita, seperti dalam bidang perawatan dan kesehatan. Untuk itu, sangat dibutuhkan sejumlah dokter wanita yang cakap dan ahli dalam bidang pekerjaan seperti rontgen, farmasi, kebidanan, dan lain lain. Demikian pula pekerjaan dalam bidang pendidikan dan pengajaran dari tingkat yang rendah sampai tingkat tinggi. Semua pintu tersebut tidak boleh tertutup untuk wanita, kecuali dalam bidang tertentu yang tidak sesuai dengan kekhasan sifat-sifatnya sebagai wanita.

Dalam keadaan seperti itu, prinsip spesialisasi harus diterapkan bagi kaum pria dan wanita. Masing-masing harus diarahkan kepada bidang pekerjaan yang sesuai dengan batas kesanggupan dan pengalamannya.

Muhammad al-Ghazali mencontohkan betapa gemparnya ketika Dr. Toha Husein membuka Fakultas Sastra khusus mahasiswi. Penyebabnya adalah karena kebekuan dan kekakuan sementara orang yang berbicara atas nama Islam dalam berpegang pada pengertian ilmu fikih. Setelah mereka sadar, ternyata sudah jauh tertinggal dari wanita yang ada di wilayah lain.

Hanya saja Muhammad al-Ghazali menekankan Islam tetap menghendaki wanita yang terjaga kehormatannya dan kenal malu, bukan seperti wanita Barat yang bangga mempertontonkan tubuh dan mendorongnya agar pandai merayu.

Islam menolak segala bentuk pergaulan bebas antara pria dan wanita. Peradaban masa kini tidak mengindahkan hal tersebut. Peradaban modern malah mendorongnya untuk semakin dekat dan erat baik dalam bentuk kerja yang serius maupun hanya sekedar main-main.

Muhammad al-Ghazali pada masalah ini sedikit mempertanyakan mengapa setiap direktur harus ada sekretarisnya yang wanita dan mengapa pelayan-pelayan di udara juga harus ada wanitanya. Pertanyaan ini hakikatnya untuk menggambarkan ketidaksetujuannya terhadap posisi pekerjaan wanita yang mengarahkannya sangat dekat dan akrab dengan pria, seperti yang telah dipelopori oleh budaya Barat.[8]

2. Pelaksanaan hukuman had.

Dalam pandangan Muhammad al-Ghazali, had, sekalipun merupakan ketentuan Allah, dalam pelaksanaannya sedini mungkin dapat dihindari, maksudnya adalah dalam rangka tetap membuka pintu taubat bagi pelakunya.

Alasannya, kata al-Ghazali, Rasulullah pernah sekeras tenaga ingin menghindari pelaku zina yang melapor kepadanya dari hukuman had. Rasulullah berpandangan bahwa kelak taubat orang tersebut bisa membersihkan dirinya kembali. Tetapi karena pelaku zina tersebut memaksakan diri untuk menerima had zina, maka Rasulullah melakukan had tersebut.

Tetapi tentu saja, kata al-Ghazali, juga harus hati-hati khususnya terhadap pelaku kejahatan yang mengguncangkan keamanan masyarakat umum atau jika hakim berpandangan bahwa pelaku kejahatan orang yang kejam dan dikhawatirkan bisa mengancam keselamatan masyarakat, maka untuk itu pelakunya harus dijatuhi hukuman had agar masyarakat terhindar dari kejahatannya.

Hukuman had adalah suatu kebenaran yang perlu ditegakkan sepanjang zaman. Pada dasarnya, berbagai tanggapan yang mengatakan bahwa hukuman had itu amat kejam, sesungguhnya adalah cemoohan belaka. Betapa pentingnya hukuman had itu sebenarnya dapat diketahui dengan jelas manakala dilihat keadaan masyarakat yang mengingkari pentingnya hukuman itu atau meninggalkannya sama sekali.

Muhammad al-Ghazali mencontohkan, masyarakat Amerika secara tidak terang-terangan pada dasarnya membutuhkan hukuman had. Pentingnya hukuman ini, mengingat bahwa ternyata tidak terjaminnya keamanan pejalan kaki yang membawa uang banyak dari pelaku penodongan yang tidak segan-segan melukai sasarannya. Kondisi semacam ini sudah sangat dimaklumi oleh masyarakat Amerika dan orang luar sekalipun.

Kendatipun hukuman had ada dalam Islam, namun dalam praktiknya sedikit sekali dilaksanakan karena Rasulullah sendiri selaku pemegang otoritas pengadilan lebih mendorong dan memotivasi pelakunya untuk bertaubat dan memperbaiki diri.

Kecuali itu, pelaksanaan hukuman had tidak begitu saja dapat diterapkan, dalam kasus pencurian misalnya, hukuman had tidak dapat dikenakan terhadap pelaku yang terpaksa mencuri karena kelaparan. Hukuman tersebut hanya dapat diberlakukan terhadap pelaku yang merampas hasil jerih payah orang lain dan seluruh tingkahnya merusak dan bersifat zalim.

Bahkan dalam pengamatan Muhammad al-Ghazali, had terhadap pelaku zinapun terlalu sulit untuk dipraktikkan karena harus menghadirkan saksi mata sejumlah empat orang sebagaimana ketentuan syari’at, kecuali jika pelaku zina memang secara terang-terangan melakukannya di muka umum.[9]

3. Qishas terhadap muslim yang membunuh kafir zimmi.

Di antara pendapat fikih yang pernah dilontarkan al-Ghazali dan mendapat lontaran kritik tajam dari banyak pihak adalah karena ia memilih pandangan mazhab Hanafi tentang disyari’atkannya membunuh seorang muslim sebagai qishas terhadap pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang kafir zimmi.

Alasan kritik tajam terhadap al-Ghazali adalah karena ia dipandang tidak memperhatikan Hadis riwayat Imam Bukhari dan yang lainnya tentang seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh kafir.

Menanggapi hal tersebut, al-Ghazali mengatakan bahwa ia tidak bermaksud melemahkan Hadis yang mungkin ditetapkan sahih. Ia hanya ingin agar Hadis tersebut dipraktikkan berdasar petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Hadis ahad akan kehilangan otoritasnya karena adanya kejanggalan (syudzudz) ataupun alasan yang melemahkannya (illat qadihah), meskipun sanadnya sahih.

Dan tegas al-Ghazali, Hadis tentang seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir adalah cacat karena secara prinsip bertentangan dengan al-Qur’an surat al-Ma’idah: 45 bahwa jiwa dibalas dengan jiwa.

Al-Ghazali lebih memilih pandangan mazhab Hanafi, karena pandangan ini lebih mendekati semangat keadilan, deklarasi hak-hak manusia, dan penghormatan yang tinggi terhadap jiwa manusia. Ia tidak pernah melakukan diskriminasi antara kulit hitam dan kulit putih, kemerdekaan dan perbudakan, atau kekufuran dan keimanan.

Al-Ghazali kemudian menegaskan, apabila ada seorang filosof membunuh tukang sapu, maka ia juga harus dibunuh. Nyawa harus diganti dengan nyawa. Lagi pula pondasi pergaulan muslim dengan non- muslim dalam kehidupan bermasyarakat adalah sama. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan nada bertanya, al-Ghazali melontarkan, lalu bagaimana bila darah orang yang terbunuh dari mereka tidak dipedulikan ?.[10]

Ketegasan al-Ghazali dalam masalah di atas, lagi-lagi menunjukkan bahwa seharusnya wajah Islam tampil cantik dan toleran terhadap hak hidup orang lain.

Dengan tetap menjaga hak hidup non-muslim sekalipun, umat lain akan merasa lebih simpatik dan tertarik untuk lebih mengenal Islam lebih jauh dan bukan tidak mungkin akan memeluk Islam, karena penghargaannya yang tinggi terhadap hak asasi manusia.







4. Besar diyat (denda) karena membunuh wanita

Bagi Muhammad al-Ghazali, dalam pandangan Islam tegas-tegas dinyatakan bahwa laki-laki dan wanita mempunyai kedudukan dan harkat martabat yang sama.

Atas dasar prinsip umum inilah kemudian al-Ghazali berpandangan bahwa diyat atau denda membunuh wanita adalah sama dengan diyat atau denda membunuh laki-laki.

Al-Ghazali menolak keras pandangan yang membedakan diyat karena perbedaan jenis kelamin. Pandangan demikian, tegas al-Ghazali sama saja dengan menyatakan bahwa darah wanita lebih murah dan lebih rendah dari pada darah laki-laki.

Kritikan tajam tak ayal menyerang al-Ghazali. Mereka yang beda pandangan menyatakan bahwa al-Ghazali jelas-jelas tidak melihat, memperhatikan, dan mengamalkan Hadis Nabi SAW., bahwa dalam masalah nyawa, diyat karena membunuh wanita adalah separuh dari diyat membunuh laki-laki.

Kritikan pedas tersebut dijawab oleh al-Ghazali bahwa Hadis yang dijadikan pedoman tentang separuh diyat membunuh wanita adalah tidak sahih. Hadis ini memang diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib, tetapi status periwayatannya munqati’ atau terputus.[11]

Menurut al-Ghazali, persoalan diyat karena membunuh laki-laki atau wanita dirasa cukup dengan mengedepankan prinsip umum al-Qur’an tentang kesetaraan derajat dan harkat martabat laki-laki dan wanita.

Tegasnya, bagi al-Ghazali, dengan tidak menajamkan diskriminasi antara laki-laki dan wanita dalam masalah diyat akan lebih menarik simpatik non-muslim dan turut memperlancar akselerasi dakwah Islamiyah ke suluruh belahan dunia.

Banyak lagi persoalan fikih yang dikupas tuntas oleh Muhammad al-Ghazali yang tidak penulis turunkan dalam penelitian ini. Tetapi intinya, semua pembahasan fikih yang ditawarkannya sangat berorientasi kepada menampilkan Islam yang teduh dan simpatik sehingga menarik minat banyak orang di luar Islam untuk turut bergabung merespons positif dakwah Islam.



G. Relevansi Pemikiran Fikih Muhammad al-Ghazali dengan Gerakan Dakwah.

Di dalam buku Syekh Muhammad al-Ghazali Yang Saya Kenal, Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi mengidentifikasi bahwa salah satu titik tolak pemikiran fikih al-Ghazali adalah bahwa fikih selayaknya berkhidmat kepada dakwah Islam. Jangan sampai fatwa-fatwa parsial akan menjadikan non- muslim semakin jauh dari Islam atau semangat keinginan bertaubat seorang muslim yang berdosa menjadi padam. Dengan kata lain, paradigma pemikiran fikih Muhammad al-Ghazali adalah fikih yang berbasis dakwah.

Muhammad al-Ghazali, lanjut Yusuf Qardhawi, sangat tidak setuju bahkan mengkritik pedas orang-orang yang ingin menghilangkan khilafiyah lalu berusaha mengumpulkan manusia pada satu pendapat, padahal itu adalah pendapatnya sendiri, sementara perselisihan itu sendiri telah ada sejak zaman sahabat, bahkan zaman Nabi SAW., sebab usaha semacam itu justru makin memperhebat perselisihan bukan menguranginya.

Sungguhpun demikian, al-Ghazali juga menolak memperbesar masalah khilafiyah yang akan menyibukkan manusia dengan menyerang orang-orang yang berbeda pendapat. Lagi pula katanya, perselisihan hanya terjadi pada masalah-masalah sekunder yang akan diperbesar oleh orang-orang yang kacau pikirannya.

Misalnya, lanjut al-Ghazali, mempertegas sebagian pendapat orang yang mempersoalkan minum sambil duduk atau berdiri. Dengan setengah bertanya, ia berseloroh, apa sih artinya minum sambil duduk atau berdiri ?

Persoalan ini muncul karena ada riwayat Hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabat sekali waktu pernah minum sambil berdiri. Sementara ada juga periwayatan yang menegaskan bahwa Rasulullah melarang minum sambil berdiri. Atas dasar inilah para ahli fikih kemudian menyimpulkan kalau demikian minum sambil berdiri hukumnya mubah, tetapi lebih utama jika dilakukan sambil duduk.

Dalam hal ini, Muhammad al-Ghazali berpandangan bahwa kondisi seseoranglah yang akhirnya menentukan cara ia menikmati minumannya. Tidak ada keharusan dilakukan sambil duduk dan tidak ada salahnya jika dilakukan sambil berdiri.

Menikmati minuman boleh sambil duduk dan juga sambil berdiri adalah sebuah fenomena sosial yang biasa terjadi di masyarakat luas. Alangkah sempitnya Islam jika salah satunya dibolehkan sementara satunya lagi dilarang. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak pasti akan menghambat mobilitas dakwah Islam di kalangan masyarakat non-muslim.[12]

Pada kesempatan lain, Muhammad al-Ghazali juga membolehkan nyanyian dan musik atas pendapat Ibnu Hazm, selama musik tersebut tidak bersinggungan dengan hal-hal yang diharamkan syari’at.

Muhammad al-Ghazali menegaskan bahwa ia tahu betul bahwa ratusan juta bahkan boleh jadi milyaran orang di belahan dunia sangat menggandrungi jenis kesenian ini. Karena itu, tegasnya, tidak ada alasan untuk menghalangi peminat musik untuk mengenal Islam hanya karena ada pendapat yang mengharamkan musik.[13]

Demikianlah Syekh Muhammad al-Ghazali memasuki dunia fikih dari pintu dakwah. Ia selalu menyusun persoalan fikih dengan tujuan berkhidmat kepada risalah Islam. Ia ingin manusia cinta terhadap risalah Islam dan agar wajahnya yang menarik dan simpatik lebih bisa dinikmati oleh banyak orang, non-muslim sekalipun.

Muhammad al-Ghazali menolak segala pemikiran yang tidak sesuai dengan keagungan Islam, prinsip-prinsipnya, keadilan hukumnya, dan keluhuran tujuan-tujuannya. Dengan kata lain, pemikiran fikihnya hanya berangkat dari al-Qur’an dan al-Hadis yang sahih.

Paradigma pemikiran fikih berbasis dakwah Islam Muhammad al-Ghazali bukan tanpa tantangan dan kritikan pedas dari berbagai kalangan. Namun ia tetap konsisten memperjuangkan pemikirannya. Dan inilah rahasia di balik panasnya pergumulan al-Ghazali dengan orang-orang yang ingin memisahkan fikih dari dakwah. Dalam pandangan al-Ghazali, orang-orang ini tidak terlalu peduli dengan akibat dari pandangan-pandangan fikih mereka terhadap jiwa para obyek dakwah, terutama mereka yang tinggal di luar daerah-daerah Islam.

Muhammad al-Ghazali memandang persoalan fikih dengan mata seorang da’i. Karena itulah ia sangat tidak menyukai persoalan-persoalan khilafiyah dan hal-hal yang sepele dalam agama dibesar-besarkan sehingga menghalangi manusia untuk memeluk agama Allah.

Tegasnya, kata Muhammad al-Ghazali, pemecahan persoalan fikih seharusnya tetap mempertimbangkan kelancaran dan mendukung keberhasilan misi dakwah Islamiyah secara keseluruhan.



Penutup

Dari uraian hasil penelitian ini, penulis berkesimpulan bahwa Syekh Muhammad al-Ghazali merupakan seorang ulama’ yang mumpuni, kecuali menekuni dunia akademis, ia juga menekuni dunia dakwah.

Oleh karena Muhammad al-Ghazali menekuni dua bidang sekaligus, akademik dan dakwah, maka kajiannya tentang Hukum Islam atau Fikih sangat komprehensif dan tajam. Ia tidak hanya merespon pandangan-pandangan yang menurutnya tidak proporsional tetapi juga mengupas tuntas persoalan hukum dengan tetap berpedoman kepada ayat al-Qur’an yang tegas, Hadis Nabi SAW. yang sahih dan tidak cacat matan (substansi matan), juga mengedepankan prinsip maslahat sepanjang tidak bertentangan dengan Nash yang tegas.

Pembahasan hukum Islam atau fikih Muhammad al-Ghazali sangat berorientasi kepada bagaimana agar dakwah Islam tetap eksis dan direspon positif oleh banyak kalangan, khususnya dari luar Islam, sehinga diharapkan mereka tidak hanya mengerti tentang posisi hukum Islam tetapi juga tertarik untuk memasuki dan meyakini kebenaran Islam.

Penghargaan Muhammad al-Ghazali yang tinggi terhadap kedudukan dan peran wanita dalam kancah publik, minatnya yang serius tentang pemeliharaan hak azasi manusia (human right), dan selektifitasnya terhadap penerapan beberapa jenis hukuman had (hukuman yang telah ditentukan syari’at) adalah cukup menjadi bukti betapa fikih yang ingin dikembangkannya adalah fikih yang berwawasan, berorientasi, dan bernuansa dakwah Islam. Fikih yang responsif dan sekaligus ramah dan membawa rahmat bagi seluruh penduduk dunia. Barangkali di sinilah nampak jelas relevansi pemikiran Fikih Muhammad al-Ghazali dengan dakwah Islam yang sepanjang hayat ditekuninya.



DAFTAR PUSTAKA



Al-Ghazali, Muhammad,, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Bandung: Mizan, 1991

-------------,Islam yang Ditelantarkan; Keprihatinan Seorang Seorang Juru Dakwah, Bandung: Mizan, 1984

--------------,Al-Islam wa al-Auda al-Iqtishadiyah, Misr: Matba’ah al-Sa’adah, 1947

--------------, Menjawab 40 Soal Islam Abad 20, Terj Muh Thahir,

Bandung: Kharisma, 1994

--------------,Nazarat fi al-Qur’an, Baghdad: Maktabah al-Musanna, 1961

Al-Qardhawi, Yusuf, Al-Ghazali, dalam majalah Dwi Mingguan UMMAT, edisi 15 April 1996.

-------------, Syekh Muhammad al-Ghazali Yang Saya Kenal, Jakarta: Robbani Press, 1999

No comments: