Oleh: Drs. H.M. Ma'rifat Iman KH., M.Ag.
A. Pendahuluan
Persoalan pendidikan di Indonesia adalah persoalan yang rumit, yang dimaksud di sini mengandung banyak macam problematika. Kerumitan ini tak hanya menyangkut persoalan konsep, berbagai peraturan, anggaran, tetapi juga persoalan pelaksanaan dari berbagai sistem dan aturan yang menyangkut dengan dunia pendidikan di Indonesia. Sejak bergulirnya era reformasi banyak kalangan terperanjat terhadap problem pendidikan Indonesia. Hal ini bermula dari penilaian banyak orang terhadap keluaran hasil pendidikan. Dua hal yang menjadi sorotan terhadap out put pendidikan adalah bahwa memang bangsa ini telah melahirkan banyak orang pintar, tetapi pada sisi lain orang-orang pintar itu ternyata pintar keblinger. Artinya, dalam kenyataan orang-orang pintar itulah yang menjadi biang perilaku korupsi. Orang pintar itulah yang menjadi penyebab kerusakan terhadap negeri.
Pada sisi lain, sejak kemerdekaan bangsa Indonesia, diharapkan anak-anak bangsa mampu survive dalam menghadapi segala tantangan zaman. Demikian juga ketika mereka memasuki era globalisasi. Pendidikan memiliki peran signifikan dalam memberi bekal kepada anak bangsa dalam menghadapi tantangan zamannya. Namun dalam kenyataannya, ketika dunia memasuki era globalisasi bangsa Indonesia tak mampu bergerak untuk masuk dalam dunia persaingan tersebut, dengan kata lain "kemandirian bangsa tak terbangun". Akibat tak ada kemandirian itu, bangsa Indonesia akhirnya mengalami kemunduran yang panjang. Bangsa Indonesia tak lagi masuk dalam ukuran negara berkembang, apalagi maju, tetapi malah menjadi negara yang terbelakang. Ini sungguh sangat ironis, padahal Indonesia adalah negeri yang amat kaya, yang terkenal dengan sebutan "jambrut khatulistiwa".
Hal inilah yang membuat keprihatinan bagi beberapa kalangan yang sempat mencurahkan perhatiannya dalam dunia pendidikan, mereka melihat bahwa telah ada yang salah dalam pendidikan di Indonesia. Perbaikan secara menyeluruh terhadap masalah pendidikan adalah sangat penting. Ada hal yang selama ini terlupakan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia, bahwa sistem pendidikan di Indonesia selama ini belum merupakan satu kesatuan. Pendidikan Indonesia semestinya satu kesatuan sistem, baik dalam konsep maupun aplikasi dan implementasinya, satu kesatuan sistem, baik dari pusat pemerintahan sampai ke pelosok masyarakat luas.
Satu kesatuan ini juga berlaku dalam memperlakukan secara adil terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan yang dikelola oleh masyarakat (swasta). Sejak dekade belakangan ini, perlakuan ketidakadilan antara pendidikan negeri dan swasta nampak kentara, sekolah swasta bagai anak tiri, kurang mendapat perhatian. Di Indonesia, warga negara bagaikan tamu di negeri sendiri, berbeda dengan negara jiran (Malaysia), perlakuan swasta hanya diberikan kepada anak keturunan bangsa lain, sementara pribumi adalah anak negeri, tidak ada istilah swasta bagi pribumi. Pertanyaan mendasar adalah hendak dibawa kemana arah pendidikan Indonesia itu? Ini pertanyaan yang sangat sederhana, tetapi tak menjadi sederhana dalam menjawab dan menanggulanginya.
B. Masalah Fundamen
Arti dari kesatuan sistem itu adalah suatu cara yang disusun secara makro dari tingkat perencanaan hingga implementasinya ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan. Dari sinilah tergambar bagaimana sesungguhnya visi pendidikan itu sendiri. Visi pendidikan seharusnya tak diarahkan semata hanya berupaya melahirkan manusia-manusia Indonesia yang cerdas, ber-IQ tinggi. Jika ini yang menjadi perhatian, keadaan bangsa sekarang telah menjadi bukti dari kegagalan pendidikan yang hanya terfokus melahirkan orang cerdas, tetapi kecerdaan mereka tak didukung oleh moralitas keagamaan. Kemerosotan moral bangsa menjadi sumber kerusakan bangsa tersebut. Memang benar visi pendidikan nasional yang dicanangkan melahirkan anak bangsa yang cerdas, terampil dan taqwa, tetapi tak menjadi satu kesatuan dalam implementasinya. Karenanya, diperlukan suatu perangkat yang menyatu antara konsep pendidikan (kurikulum), yang terdiri dari pencerdasan dan moralitas, peningkatan IQ juga ESQ-nya,[1] antara satu dengan yang lain mesti seimbang. Oleh sebab itu, perumusan kembali visi pendidikan menjadi penting. Perumusan visi ini mesti ditindaklanjuti dengan berkomitmen untuk mengimple-mentasikannya dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Melahirkan anak didik yang cerdas dan bermoral adalah suatu kemestian. Cerdas berkualitas dan berakhlakul karimah itulah sesungguhnya arah pendidikan anak bangsa.
Apa yang hendak dicapai dalam tujuan pendidikan itu harus dikembangkan melalui perangkat-perangkatnya. Kondisi sekarang sebenarnya kita telah memiliki perangkat tersebut, khususnya dalam berbagai perundang-undangan, maupun perencanaan pendidikan. Termasuk dalam hal ini sejak era reformasi menguasai panggung politik, ada kemauan politik dari pemimpin era reformasi untuk memperhatikan dunia pendidikan yang selama ini kurang menjadi perhatian. Ada kehendak untuk memberi porsi lebih besar pada anggaran pendidikan, tetapi apa yang dikomitmenkan itu masih sebatas kemauan saja, belum dibuktikan dalam realitasnya, sebab anggaran pendidikan masih belum memadai sebagaimana yang dijanjikan. Selain itu, belakangan telah dibentuk RUU Guru. Semoga akan menjadi Undang-undang yang tersusun dengan baik sesuai yang diharapkan seluruh masyarakat selama ini.
C. Masalah Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan memiliki peran penting untuk bisa tercapainya cita-cita atau tujuan pendidikan dapat tercapai. Sejak dahulu pemerintah baru sekedar memberikan janji untuk meningkatkan anggaran pendidikan, namun itu masih sebatas gembar-gembor. Sekali lagi persoalan anggaran pendidikan juga seharusnya tidak ada perbedaan antara negeri dan swasta, sekurang-kurangnya kesenjangan jangan terlalu jauh. Anggaran pendidikan sangat berpengaruh besar pada proses penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan bermoral, termasuk juga profesionalisme guru. Guru selama ini dituntut untuk berkhidmat secara sempurna dalam melahirkan anak-anak berkualitas. Dengan rendahnya anggaran pendidikan membuat penghargaan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu menjadi rendah. Guru itu merupakan sosok manusia yang sangat disiplin menjalankan tugasnya. Mereka juga sosok yang memiliki pengetahuan yang lebih bila dibandingkan dengan pegawai-pegawai lainnya, demikian halnya kepribadian guru adalah suri tauladan yang baik, tetapi tak dapat dipungkiri gaji guru sangat rendah dibandingkan dengan karyawan lainnya. Fenomena gaji guru sangat jauh tertinggal bila dibanding dengan negeri tetangga. Gaji seorang profesor di Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding di negara lain. Belum lagi usia pensiun seorang profesor di Indonesia berbeda dengan karyawan lainnya, mereka baru memasuki pensiun di usia 70 tahun. Apalagi kalau kita perhatikan kesejahteraan guru-guru di tingkat bawah, lebih-lebih para guru swasta. Mereka sangat mengalami kesusahan secara material. Akibatnya tentu saja sangat berpengaruh dengan tingkat profesionalisme dan kesuritauladannya. Tak mustahil didapati guru yang akhirnya ngobyek demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Situasi ini tentu saja sangat tak baik bagi guru sebagai pendidik anak bangsa tersebut, yang akan berpengaruh terhadap proses pendidikan generasi penerusnya.
D. Masalah Kompetensi Guru
Persoalan guru memang tak hanya menyangkut dengan kesejahteraannya. Profesionalisme guru juga sangat berkaitan dengan kompetensi seorang guru. Adalah sangat tidak layak bila seorang guru tingkat dasar mengajar dengan beragam mata pelajaran. Mereka mengajar berhitung, tetapi juga mengajar bahasa, atau juga mengajari ilmu pengetahuan alam. Kemampuan seseorang itu sesungguhnya terbatas. Kompetensi guru akan membawa dampak terhadap hasil proses pendidikan. Oleh sebab itu, seorang guru harus selalu meningkatkan kompetensinya dengan studi lanjut agar ia benar-benar memahami benar akan ilmu yang dikuasainya, dan selalu berlatih diri untuk meningkatkan metodologi dan teknik pembelajaran agar ia dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran dengan sebaik-baiknya. Dalam hal ini masih banyak kita dapati guru-guru yang belum memiliki kompetensi dalam bidangnya dan kurang memiliki pengalaman serta kematangan dalam memberikan beragam metode dan teknik pembelajaran, sehingga terkadang guru menjadi bingung menghadapi murid yang nakal, malas, dan sebagainya. Akibatnya, proses pendidikan tidak memperoleh hasil yang diharapkan.
E. Masalah Sarana Pendidikan
Pendidikan untuk semua juga masih dalam batas tataran janji. Sejak orde baru telah dicanangkan program pendidikan untuk semua melalui program wajib belajar (wajar). Dengan wajar, maka diharapkan tak ada lagi masyarakat Indonesia yang tak pernah menyelesaikan pendidikan dasarnya. Program wajib belajar membebaskan anak didik dari kewajiban membayar uang sekolah. Istilah populernya sekolah gratis. Dalam kenyataannya, ternyata tak ada yang tanpa biaya. Justru biaya sekolah SD semakin mencekik, hingga sekarang di era pasca reformasi, biaya sekolah dasar tak ada yang gratis. Tidak jarang biaya yang dikeluarkan orang tua yang anaknya sekolah di SD negeri bisa sama dengan yang di SD swasta, bahkan ada kecenderungan sekarang ini lembaga pendidikan negeri dengan alasan swastanisasi, biaya sekolah lebih mahal dari sekolah swasta. Komitmen pemerintah memang masih dalam batas lip service. Harian Republika mengutip bagaimana komitmen pemerintah Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, maupun Singapura terhadap pendidikan dasar dan menengah. Belum lagi persoalan gedung-gedung SD dan SMP, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Tak sedikit gedung sekolah yang hancur, bukan saja yang jauh dari ibukota negara, bahkan di Jakarta sendiri banyak gedung sekolah rusak belum diperbaiki. Lalu bagaimana pula dengan gedung-gedung sekolah yang rusak dan hancur karena bencana?
Hal yang lain menyangkut sarana dan prasarana belajar. Persoalan buku umpamanya, ini juga menjadi masalah yang akhirnya menjadi beban masyarakat. Tiap tahun buku pelajaran berganti, biaya sekolah menjadi sangat mahal, yang akhirnya menyulitkan bagi orang tua. Berbeda dengan zaman dulu, di mana pemerintah punya kepedulian terhadap pengadaan buku pelajaran. Anak-anak didik mendapat buku tersebut secara cuma-cuma, atau sekurang-kurangnya mendapat pinjaman. Tiap sekolah memiliki perpustakaan yang lengkap, sehingga murid-murid dapat memanfaatkan dan membaca buku di perpustakaan. Laboratorium merupakan bagian dari sarana yang sangat menunjang kualitas pendidikan. Realisasinya, tidak semua sekolah di negeri ini memiliki sarana laboratorium yang memadai. Yang prinsip atau yang primer saja persoalan sarana ini belum semua dapat terealisir, apalagi sarana lain yang merupakan penunjang, seperti halnya sarana olah raga, kesenian, dan lain sebagainya, tidak semua lembaga pendidikan di Indonesia dapat melengkapinya.
F. Upaya Mencari Jalan Keluar
Berbagai problematika pendidikan yang dapat dikemukakan di atas adalah sebagian dari yang sempat tersorot, problem yang lain masih sangat banyak. Problematika pendidikan merupakan satu sistem yang tidak berdiri sendiri, antara yang satu dengan yang lain saling terkait. Karenanya mesti dalam satu kesatuan, demikian halnya dalam menanggulangi dan memperbaikinya.
Kesatuan sistem penanganan pendidikan mulai dari kebijakan pihak yang berwenang, dalam hal ini tentu saja pemerintah. Pemerintah mesti bertanggung jawab penuh terhadap problem pendidikan, sekaligus diperlukan suatu perangkat perundangan yang walaupun sudah terbentuk, namun masih terkesan belum memenuhi harapan. Sebab itu perlu ada perbaikan dan usaha untuk menyempurnakannya. Selain pemerintah, tentu saja semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Di samping itu, para penyelenggara pendidikan dari tingkat pusat sampai ke bawah harus memiliki kekonsistenan dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan itu. Kemauan dan kepedulian itu harus ditunjukkan melalui pelaksanaan dan kontrol yang kuat. Sehingga dengan demikian bangsa ini diharapkan kelak dapat menghasilkan anak didik yang bermutu dan bermoral. Kuncinya adalah kesatuan dan kebersamaan. Penanggulangan sistem pendidikan di Indonesia mesti dilakukan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab bersama dan bersatu dalam kebersamaan tersebut.
Jakarta, 1 Desember 2005.
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=36
No comments:
Post a Comment