Oleh:Ahmad Taufik Hidayat
Abstrak:
Sistem pendidikan nasional kita sepantasnya banyak berterima kasih kepada lembaga yang bernama Pesantren dan Surau. Dari dua lembaga inilah lahir para generasi penerus bangsa yang mumpuni dan berpengaruh pada bangsa ini. Pesantren dan Surau merupakan embrio sistem pendidikan yang kemudian sangat komperehensif, tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu umum. Sampai saat ini terutama Pesantren mengajarkan ilmu-ilmu agama sebanyak seratus persen dan juga ilmu-ilmu umum seratus persen dalam kurikulum pengajarannya.
Dalam perjalan sejarah, tercatat terdapat berbagai macam pengaruh yang melingkupi baik Pesantren maupun Surau, sementara akibat dari adanya pengaruh tersebut banyak pula usaha yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut untuk tetap eksis dalam rangka memenuhi fungsinya sebagai lembaga pendidikan. Banyak Pesantren yang tidak mampu bertahan sesuai perjalanan sejarah, mereka hilang ditelan sejarah waktu, namun banyak juga yang bisa bertahan bahkan mampu mengembangkan dan menyesuaikan jaman. Sementara posisi Surau harus rela menerima kepahitan, mereka tidak mampu bertahan atau menyesuaikan dengan jaman. Banyak faktor berbeda yang menyebabkan kedua lembaga tersebut mampu bertahan atau tidak mampu bertahan, faktor-faktor inilah yang akan dibahas secara luas dan dalam oleh penulis.
Pendahuluan
Pesantren di Jawa dan Surau di Minangkabau secara sederhana merupakan dua institusi pendidikan tradisional yang melembaga dalam sub-kultur masyarakat Indonesia. Keduanya dapat dianggap sebagai referensi awal bagi perkembangan dan kontinuitas –termasuk dalam hal ini pembaharuan- format, sistem dan metode pendidikan Islam pada masa-masa selanjutnya.
Lebih dari itu, Pesantren dan Surau adalah dua institusi pendidikan yang “terislamkan” melalui proses panjang sejarah islamisasi di Nusantara ini. Ia dilestarikan menjadi lembaga pendidikan Islam melalui saluran dinamisasi paradigma sosial, yang berangkat dari kebutuhan praktis masyarakat di mana keduanya muncul, dan menjadi tapal batas antara pendidikan yang bernuansa pra-Islam ke masa Islam. Oleh karena itu, bila dilihat dari kacamata sejarah, Pesantren dan Surau pada dasarnya adalah bagian dari tradisi pra-Islam yang dijadikan “kendaraan” bagi transformasi ajaran-ajaran Islam ke jantung kebudayaan pra-Islam itu sendiri.
Pada permulaan abad 20 ini, Pesantren dan Surau ikut berevolusi secara dinamis dan menyerap unsur-unsur baru dari dinamika perkembangan sistem pendidikan Islam, sekalipun pada tahap tertentu, keduanya masih tetap mempertahankan aspek pemahaman tradisional. Dominannya yang terakhir ini dikarenakan bahwa keduanya memang menjadi “cikal-bakal” madrasah di Jawa dan Sumatera Barat, yang pada dasarnya memiliki konsepsi pemahaman fiqhiyah yang relatif bersifat tradisional pula, dan dalam jangka waktu yang lama, kedua lembaga ini dijadikan lahan pemekaran faham bagi kalangan tradisi. Sekalipun berhaluan sama, tetapi untuk menyebut kedua institusi pendidikan Islam ini identik tentu terlalu berlebihan. Terdapat perbedaan di sana-sini, termasuk dan terutama menyangkut vision dü monde masyarakat Jawa di satu sisi dan masyarakat Minang pada sisi lain yang membentuk karakter institusi pendidikan Pesantren dan Surau. Karena itu, ketika perubahan mengharuskan institusi ini untuk berbenah menyesuaikan diri dalam tatanan baru, resistensi masing-masing sangat berbeda. Pesantren boleh dibilang bisa bertahan, sementara Surau benar-benar menampakkkan rona ketuaan dan sudah berada diambang kepunahan. Tema ini-lah yang menjadi starting point makalah ini.
Pembahasan
A. Islamisasi Pesantren dan Surau
Terbentuknya lembaga pendidikan Islam Pesantren tidak lepas dari proses islamisasi yang melanda Jawa dan kepulauan Nusantara. Ada banyak dugaan dan teori yang berupaya menggagas cara seperti apa penyebaran Islam di Nusantara umumnya dan kepulauan Jawa secara khusus. Tetapi secara umum dapat ditarik sebuah benang merah bahwa kedatangan Islam ke Nusantara seiring dengan aktivitas perdagangan.[1] Sekalipun ada teori yang dikemukakan oleh A.H. John, bahwa Islam menyebar di kepulauan Nusantara melalui aktifitas tarekat-sufi, namun ini tidak bisa membantah kecenderungan umum seperti kesimpulan pertama. Kedua teori ini sesungguhnya dapat dikompromikan. Tidak menutup kemungkinan para pedagang yang datang dari Timur Tengah juga membawa misi dakwah. Di samping urusan perdagangan, mereka juga mengikutsertakan ulama—bahkan juga sufi—dalam rombongan dagang mereka.
Para pedagang dan ulama tersebut disamping berdagang, mereka juga melaksanakan berbagai ajaran Islam, sesuai dengan mazhab yang diyakini.[2] Sedangkan pengamalan ajaran Islam itu sendiri adalah salah satu bentuk penyebaran Islam. Keduanya menciptakan iklim dakwah yang sangat kultural sehingga mudah diterima di Nusantara.
Spirit kultural yang dibawa oleh ulama dan pedagang Timur Tengah dan (mungkin juga dari Bengal) merekomendasikan sebuah sistem pendidikan yang bersifat kultural juga. Untuk point ini perlu juga melihat ke belakang. Ternyata sistem pendidikan pesantren jauh sebelum Islam hadir di Indonesia juga sudah dilaksanakan dalam tradisi Hindu-Budha.[3]
Bentuk dan praktek pendidikan masa Hindu-Budha nyaris tidak dirobah dalam tradisi pesantren era Islam. Termasuk dalam hal ini posisi letak lembaga pendidikan era Hindu yang jauh dari keraton dan pusat keramaian, juga diwarisi oleh pesantren kuno Jawa era Islam, yang umumnya berada di daerah pedalaman.[4] Untuk keterangan ini banyak didapat dalam naskah-naskah kuno Jawa. Dalam Negarakertagama [5] misalnya disebut secara panjang lebar kisah perjalanan Hayam Wuruk dari satu pertapaan ke pertapaan lain. Ia diikuti oleh para bhiksu pengikutnya. Di tempat pertapaan mereka dijamu, dan pada malam harinya mereka membicarakan pokok-pokok filsafat dengan guru-guru di pertapaan itu. Kebiasaan ini juga ditradisikan di kalangan murid-murid pertapa. Sangat menarik, dalam sebuah naskah berbahasa Sunda yang berjudul Bujangga Manik juga ditemukan informasi serupa. Kitab ini banyak mengisahkan perjalanan seorang resi dari Pasundan yang pergi ke daerah Timur pulau Jawa guna mengunjungi sejumlah pertapaan. Untuk jangka waktu yang lama kebiasaan ini cenderung dipertahankan. Adalah kebiasaan santri-santri Sunda menuntut ilmu di Jawa Tengah atau Jawa Timur yang dikenal lebih dalam kajiannya. Bahkan bahasa Jawa sebagai bahasa penjelas kitab-kitab berbahasa Arab dalam waktu yang sangat lama memiliki gengsi tersendiri di kalangan para santri. Jika belum menguasai bahasa penjelasan ini, maka santri bersangkutan dianggap belum dalam ilmunya.
Ikatan bersejarah antara santri pada era Islam dengan santri (baca: dharma) era Hindu dapat juga dilihat dari tradisi hubungan yang terjalin antara guru-guru yang telah memperoleh lisensi untuk mengajar, dan telah mendirikan cabang di tempat lain. Pada waktu-waktu tertentu, semisal haul, mereka mengadakan pertemuan di pesantren induk sekedar untuk berkumpul dan bertukar informasi. Dalam pertemuan itu juga diadakan apa yang sekarang kita kenal lokakarya, seminar dan semacamnya. Kegiatan reuni dengan segenap aksesori acara yang meramaikan kegiatan inti dewasa ini pada dasarnya hanya menghidupkan pola kuno ini.
Seluruh sistem, pola dan bentuk pesantren era Hindu yang tergambar di atas tetap dipertahankan setelah Islam, tapi tentunya dengan materi dan praktik yang bermuatan Islam pula. Bisa dikatakan mirip dengan pemanfaatan dakwah melalui media wayang yang dilakukan oleh Sunan Kali Jaga. Ini mungkin strategi paling baik dalam proses islamisasi, karena masyarakat Jawa tidak merasa asing dengan kedatangan Islam yang hanya memberi warna baru dalam tradisi yang sudah lama mengakar.
Proses pendidikan pesantren dengan demikian diakselerasi dengan penerimaan penduduk lokal. Baik pesantren era Hindu, maupun pesantren masa Islam keduanya memiliki fungsi yang relatif sama, yakni membentuk pribadi paripurna. Percepatan ini didukung pula oleh faktor individu juru dakwah Islam—sebagian besar diantara mereka juga berprofesi sebagai pedagang—yang banyak melakukan dakwah bil hâl dalam kehidupan nyata, baik sebagai pedagang, maupun sebagai warga masyarakat.[6]
Bekal milieu urban-rural yang kaya dan luas itu, menjelma dalam bentuk tradisi sosial yang mudah beradaptasi. Pesantren dari format awalnya, tidak diragukan lagi telah membentuk sebuah komunitas yang “cair” dengan lingkungan sekitar. Sementara para santri yang mondok, juga berkepentingan untuk mempertahankan hidup dengan cara berdagang. Hasil dari berdagang itu mereka pergunakan selain untuk keperluan hidup, membeli buku, juga memperlancar mobilitas dakwah. Sikap mandiri yang demikian memerlukan kemampuan individu dalam bersosialisasi.[7] Karena itu, selain menguntungkan dakwah Islam, pesantren tradisional abad 18 hingga paroh pertama abad 20 mendapat sambutan hangat dikalangan masyarakat. Setidaknya menurut prespektif dari interval waktu itu, terutama berkenaan dengan aktifitas di atas, pesantren secara internal telah mengkonsolidasikan diri secara penuh sebagai sebuah komunitas yang mendapat tempat di hati masyarakat. Orang tidak hanya menerima dan untuk selanjutnya menyerahkan putera-puteri mereka di pesantren sebagai lembaga pendidikan semata, lebih dari itu mereka juga menerima lembaga ini sebagai pusat penggemblengan diri dalam hal kemandirian, pembentukan akhlak, ketaatan dan terutama kemampuan berdakwah. Perlu diingat, seorang pendakwah (kiyai) pada waktu yang kita sebut di atas luar biasa kharismanya di mata masyarakat.
Sementara itu, hampir mirip dengan sejarah kelahiran Pesantren, Surau[8] pada umumnya terislamkan melalui islamisasi sistem nagari era Hindu-Budha. Akan tetapi, pada aspek kelembagaan, kelihatannya, surau lebih menyatu dalam sistem kenagarian tersebut. Untuk lebih merinci sejarah perkembangan islamisasi Surau, perlu kiranya dirunut melalui kajian islamisasi di Minangkabau.
Jika ditarik lebih kebelakang maka islamisasi di Minangkabau, sudah dimulai semenjak kedatangan Islam itu sendiri pada abad 12[9] sampai dengan tersebarnya dalam kehidupan praktis masyarakat pada abad 16, telah terjadi proses panjang transmisi corak keislaman ke dalam unsur lokal. Sehingga unsur lokal di Minangkabau diberi nuansa Islam yang kaya. Akan tetapi untuk mengungkap transmisi corak keislaman ke dalam unsur, baik secara sosial maupun secara kelembagaan pada abad-abad itu tidaklah mudah, dikarenakan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan masalah ini memang sangat langka,[10] sehubungan dengan tradisi penulisan yang baru muncul pada abad-abad 17 dan 18.
Ketiadaan data-data sejarah tertulis sebelum abad 17 juga berkaitan dengan ketidakadaan sistem aksara masyarakat Minang. Namun ini tidak berarti bahwa kondisi tersebut dapat mementahkan kajian yang berkaitan dengan tema-tema Islamisasi di daerah ini.
Pemetaan pertama persoalan Islamisasi di Minangkabau yang sangat berkaitan erat dengan proses transformasi Surau pada masa Hindu-Budha ke Islam mungkin dapat diawali melalui sejarah kerajaan Minangkabau. Hal ini memungkinkan kita melihat sejauh mana batas-batas penetrasi Hindu-Budha teradap dinamika masyarakat Minang dan bagaiamana kelanjutannya pada masa Islam. Sejauh ini, dikalangan sejarawan, terdapat pertanyaan yang terus menggelitik, apakah Kerajaan Minangkabau merupakan kerajaan Hindu-Budha atau kerajaan Islam? Sumber-sumber artefak, prasasti maupun napak tilas sejarah kerajaan Minangkabau yang banyak dilakukan penulis Belanda pada permulaan abad 20 ini, menghasilkan beberapa prediksi, di antaranya yang terpenting adalah bahwa kerajaan Minangkabau didirikan pertama kali oleh seorang pembesar Jawa yang bernama Adityawarman.[11] Ia dikirim oleh kerajaan Majaphit pada tahun 1339 ke Sumatera, berkemungkinan untuk mencari jalur perdagangan dan merebut wilayah otorita kerajaan Hindu-Budha yang dulu dikuasai oleh kakeknya. Jalur perjalanan pembesar Jawa ini konon ditemukan di sepanjang sungai Batanghari yang melintang dari hulu Muara Siat Jambi hingga wilayah Sungai Dareh, Sitiung hingga ke pedalaman Pulau Punjung Sumatera Barat,[12] yang sekarang termasuk ke dalam kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Seterusnya, jejak perjalanan Adityawarman juga ditemukan di daerah Tanah Datar sekarang. Konon, di daerah Pariangan sekarang-lah pada akhirnya kerajaan Minangkabau didirikan, yang sebelumnya dipindahkan dari hulu Sungai Batanghari. Kesimpulan ini bukan tanpa silang pendapat. Khusus menyangkut sumber-sumber lokal yang jauh dari otentik mengklaim bahwa raja Adityawarman bukanlah raja Minangkabau, melainkan penguasa yang datang dari luar. Jadi, statusnya adalah semacam tamu agung, dikawinkan dengan puteri kerajaan dan dijadikan urang sumando di wilayah kerajaan Minangkabau Pagaruyuang. Tidak cukup sampai di situ, jika memang Adityawarman bukanlah raja Minangkabau pertama, tentu bisa diasumsikan bahwa wilayah Minangkabau telah memiliki teritorial dan kerajaan yang defenitif. Di samping itu, tentu bisa juga diasumsikan bahwa mereka telah memeluk agama tertentu, apakah Islam, atau animisme seperti kebanyakan suku anak dalam di wilayah Nusantara ini. Sejauh ini belum ada jawaban tuntas tentang masalah tersebut.[13]
Terlepas dari simpang siur mengenai keberadaan agama tertentu di Minangkabau pada masa-masa Adityawarman yang masih terus bergulir, tidak perlu dikeragui lagi bahwa pembesar Majapahit ini memang pernah menetap dan berkuasa. Adapun sebesar apa bentuk kekuasaannya belum diperoleh informasi yang jelas. Yang penting diketengahkan di sini adalah bahwa sulit menghilangkan dugaan, bahwa ia juga membawa pengaruh Hindu-Budha yang besar terhadap dinamika kemasyarakatan. Mungkin saja secara kelembagaan dengan meletakkan dasar-dasar struktur dan lembaga pemerintahan. Penulis menduga, sepanjang keberadaannya di Minangkabau, nuansa Hindu-Budha juga mewarnai kehidupan masyarakat Minang, sekalipun pembentukkan sistem pemerintahannya dibantu oleh pembesar lokal. Jika kita setuju dengan argumentasi bahwa gelarnya sebagai raja di Minangkabau hanya sebagai penghormatan, sedangkan aturan sistem pemerintahan yang menyangkut lembaga-lembaga sosial diatur oleh dua orang datuk; Prapatih nan Sabatang dan Ketemanggungan, seperti yang diyakini selama ini, maka persoalannya adalah tidak mungkin sistem dan aturan yang mereka terapkan bertolak belakang dengan kemauan Adityawarman. Karena bagaimanapun, kekuasaan Adityawarman pada waktu itu, tetap diakui oleh kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Minangkabau, walaupun bukan sebagai raja mereka seperti yang ditulis dalam sumber lokal.[14]
Sebagian besar kerajaan-kerajaan kecil di wilayah kekuasaan Minangkabau ini sampai sekarang masih belum jelas kedudukannya. Namun ada kecenderungan kuat bahwa wilayah yang dulunya merupakan kerajaan kecil tersebut adalah apa yang kita kenal dengan sebutan Nagari. Menarik sekali untuk dikorek lebih jauh, bagaimana sistem Nagari ini beradaptasi pada era Adityawarman? dan kemudian apa yang berobah setelah kekuasaan Hindu-Budha lenyap dari ranah Minang? Nagari di wilayah Minang merupakan sistem pemerintahan dalam skala kecil. Setiap distrik disebut nagari. Karena itu kata nagari tersebut mengandung pengertian pemerintahan otonom yang memiliki struktur kepemimpinan tersendiri. Bahkan Schrieke berani menyebut nagari tersebut dengan istilah a number of territorial republic dalam masyarakat Minang.[15] Jumlahnya di wilayah Minangkabau sangat banyak sekali.
Jika sebelum pengaruh Islam terdapat ketetapan adat bahwa, sebuah Nagari[16], harus “bacupak bagantang, baradat balimbago, bataratak bakapalo koto, babalai, balabuah bagalanggang, batapian tampek mandi.” (memiliki lumbung Nagari, adat istiadat dan lembaga, memiliki sentral Nagari, memiliki pasar rakyat, ada jalan dan arena untuk upacara adat maupun aktifitas yang bersifat hiburan semacam pertandingan ketangkasan, dan memiliki pemandian umum). Maka pasca pengaruh Islam formulasinya berubah dengan penambahan setelah kata “babalai”, ada kata “bamusajik”[17], yakni di samping memiliki balai tempat musyawarah juga ada Surau.[18]
Tentunya harus diyakini pula, dengan pengaruh Islam yang demikian dominan, Surau bukanlah satu-satunya perubahan krusial dalam sistem Nagari. Aturan-aturan sosial yang selama ini berdasar pada adat, pada era peralihan dari Hindu-Budha ke Islam mesti mengakomodasi tata nilai Islam, yang tentunya berdampak pula pada lahirnya pranata kelembagaan yang ditengarai memiliki landasan filosofis dan kebijakan operasional untuk kepentingan tegaknya syari’at untuk berdampingan dengan adat. Misalnya saja terbentuknya lembaga panghulu nan 20, dan bahkan secara kelembagaan peranan datuk serta perangkat-perangkat sosial yang berfungsi menata kehidupan masyarakat Minang, mendapat nuansa dan aspirasi baru dari pembaharuan tokoh-tokoh Minang yang kembali dari Mekkah. Perangkat-perangkat tersebut me-redefenisikan kembali eksistensi mereka di tengah-tengah paham adat yang demikian kuat di Minang. Hal mana yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal antara pendukung adat di satu sisi dan pendukung syari’at (agama) pada sisi lain.[19]
Pada masa transisi ini-lah berkemungkinan, Surau yang dulunya terletak di bukit-bukit dan terpisah dari keramaian, diintegrasikan dalam sistem tata ruang sebuah nagari, sehingga letaknya tidak lagi terpisah. Jika sebelum Islam, Surau dijadikan tempat pertapaan, tempat berlatih silat, tempat penggemblengan individu dalam soal-soal metafisis, pada masa Islam formulanya berubah dan diberi nuansa Islam yang kaya, disamping tetap mempertahankan aspek budaya dan tradisi.
Surau-Surau pada masa Islam akhirnya juga memiliki murid-murid, sedangkan otoritas jurisdiksi dipegang oleh seorang Syeikh. Dengan format yang agak berbeda dengan kemandirian ala pesantren, cara hidup yang kurang mandiri di Minangkabau dilakoni oleh pakiah-pakiah[20] (asalnya faqih/orang yang faham fiqih) zaman dahulu. Mereka juga nyantri dari Surau ke Surau. Tetapi cara mereka bukan dengan berdagang, melainkan mendapat bantuan keperluan hidup dari swadaya masyarakat yang menghormati ahli agama ini sebagai sedekah.[21]
Jika keterangan di atas mengarahkan kita pada eksistensi Surau dalam sistem ke-nagari-an, ada juga keterangan yang mengungkap bahwa bangunan surau dimaksudkan untuk melengkapi bangunan Rumah Gadang. Tidak lengkap bangunan Rumah Gadang jika tidak memiliki Surau.
Mengutip Sidi Gazalba, Azyumardi menjelaskan: “Surau merupakan bangunan peninggalan kebudayaan masyarakat Minang sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minang di samping keberadaannya sebagai bagian dari Nagari, ia juga kepunyaan kaum, suku yang seperut menurut garis matrilineal. Ia didirikan oleh suatu kaum tertentu sebagai bangunan pelengkap rumah gadang, dimana berdiam beberapa keluarga yang saparuik di bawah pimpinan seorang Datuk (penghulu/kepala suku).[22]
Patut diungkap di sini, bahwa realitas budaya alam Minangkabau turut memberi sumbangsih terhadap eksistensi Surau sebagai institusi pendidikan Islam. Di samping pakiah-pakiah yang merasakan manfaat keberadaan Surau-surau tersebut, pada umumnya, Surau dijadikan tempat bermukim anak laki-laki di Minang. Sebagaimana dimaklumi, dalam konsepsi matrilinieal yang menjadi aturan domestik Rumah Gadang, anak laki-laki memang tidak diberi kamar seperti layaknya anak wanita. Karena itu, sudah menjadi kewajaran bagi anak laki-laki di Minang, apabila telah dianggap cukup mampu untuk mandiri dan bersosialisasi dalam pengertian yang amat sederhana, misalnya bisa mengurus kebutuhan standar sehari-hari, sudah mengerti tatakrama seperlunya, mereka sebenarnya sudah bisa dilepas hidup di luar. Karena itu, sasaran pertama tempat—meminjam istilah Mochtar Naim—“merantau”[23] anak laki-laki Minang adalah Surau.
Berbeda dengan pesantren pada masa pra-Islam yang khusus difungsikan sebagai tempat pertapaan resi-resi dan tempat penggemblengan santri-santri yang menuntut ilmu, Surau memiliki fungsi sosial yang lebih beragam. Di samping fungsi yang disebut di atas, surau juga lazimnya berfungsi sebagai tempat berkumpul, rapat dan pemukiman bagi orang tua yang telah uzur. Hal yang terakhir ini juga terkait erat dengan sistem matriarkhi orang Minang. Orang tua laki-laki, biasanya harus meninggalkan rumah setelah anak-anak gadisnya menikah dan tinggal di Rumah Gadang.
Setelah mendapat pengaruh dari Islam, fungsi latin tersebut tidak berubah sepenuhnya. Surau tetap dijadikan tempat bernaung remaja laki-laki Minang, hanya saja dengan aktifitas keagamaan yang padat. Fungsi Surau diperluas menjadi tempat pengajaran dan pengembangan agama Islam, seperti tempat shalat, belajar al-Qur’an di samping tetap melestarikan budaya yang dianggap baik bagi anak laki-laki seperti latihan beladiri, belajar kebudayaan dan sebagainya.
Seiring dengan meluasnya fungsi Surau tersebut, kebutuhan akan pengetahuan keagamaan dikalangan masyarakat Minang semakin meningkat pula. Lambat-laun, Surau-Surau di Minangkabau dengan sendirinya mengalami proses seleksi. Semakin banyak murid di satu Surau tertentu, semakin populer Surau tersebut. Hal itu tentunya sangat dipengaruhi oleh faktor patron saint yang memegang otoritas Surau tersebut. Dalam konteks ini figur-figur suci tersebut adalah syekh-syekh yang menjadi pimpinan surau. Syekh Burhanuddin dianggap sebagai orang yang pertama kali menciptakan sistem pendidikan Islam yang bercorak tarekat, dan memekarkan fungsi Surau dari yang semula hanya bangunan kecil, menjadi semacam padepokan seperti Pesantren di Jawa yang memang ditujukan untuk belajar agama.[24] Dalam kaitan ini, Azyumardi menyebut fungsi Surau yang integral ini dengan istilah “pesantrennya orang Minang.”
Sekalipun populer di kalangan sejarawan bahwa Surau Syekh Burhanuddin lebih condong kepada ajaran tarekat, namun melihat dari perkembangan Surau-Surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin yang telah lulus, kelihatannya, di Surau Syekh Burhanuddin sendiri, sebenarnya juga diberikan materi pendidikan keagamaan yang beragam. Materi-materi tersebut memang tidak terlacak, karena sumber-sumber tertulis dari abad ke 17 dan 18 mengenai pendidikan Islam di Minangkabau memang sepertinya mengarahkan kepada pendapat sejarawan di atas. Hanya karya-karya yang bercorak tarekat yang dapat ditemukan hingga dewasa ini, dan yang sangat populer adalah tarekat Syatariyyah yang digurui oleh Syekh Burhanuddin sendiri.
Ketiadaan sumber tertulis mengenai materi lain belum bisa dianggap tidak diajarkan dalam aktifitas pendidikan di Surau Syekh Burhanuddin. Mahmud Yunus berpatokkan pada aspek realitas masyarakat Minangkabau yang pada waktu itu gemar melakukan maksiat. Maka dari itu, keberadaaan Surau di tengah-tengah masyarakat yang seperti itu jelas menjadi penawar dalam aspek-aspek pengetahuan keagamaan. Lebih jauh, Mahmud Yunus merujuk eksistensi Surau-Surau lain yang didirikan oleh ulama-ulama populer di Minangkabau yang memang mendukung argumentasi tersebut. Surau Paninjauan yang didirikan oleh Tuanku Mansiang Nan Tuo, Surau Batuhampar yang didirikan oleh Syekh Abdurrahman dan lain-lain ternyata menerapkan variasi pelajaran yang beragam, tercatat beberapa kategori keilmuan diantaranya: Ilmu Fiqh, Manthiq, Ma’ani dan tafsir.[25] Padahal, mendukung argumentasi ini, Surau-Surau tersebut kebanyakan terlahir dari murid-murid yang pernah belajar pada Syekh Burhanuddin.
B. Analisis terhadap Perkembangan Surau dan Pesantren
Pada tahun 1988, Abdurrahman Wahid mengangkat wacana kemandekan intelektual orang Minang.[26] Dalam harian Singgalang 7 Oktober 1988, Mochtar Na’im mengamini sinyalemen tokoh yang akrab disebut Gus Dur tersebut. Bahkan yang terakhir ini menegaskan bahwa kemandekan intelektual masyarakat Minang disebabkan tidak adanya pendidikan agama yang melahirkan cendikiawan, seperti halnya Surau-Surau zaman dahulu. Sejauh ini belum ada tulisan atau bahkan penelitian yang mengaitkan antara kemunduran intelektualitas orang Minang dengan meredupnya peran Surau sebagai lembaga pendidikan Islam, setidaknya dalam 70 tahun belakangan ini.[27]. Sedangkan, pada sisi lain, dengan fungsi yang sama, Pesantren di Jawa berhasil melestarikan peranannya dalam menjaga kontinuitas khazanah tradisi keilmuan Islam. Padahal, sebagaimana yang disebutkan pada bagian prolog di muka, keduanya memiliki garis haluan pendidikan yang sama, tradisional.
Hingga pada tahun 1933, sekalipun secara kuantitas Surau lebih unggul dari sekolah modern yang dipelopori oleh PGAI, namun tidak lagi diminati oleh masyarakat Minang. Indikasi itu terlihat dari laporan Belanda[28] pada angka tahun tersebut sebagai berikut:
No.
Jenis Sekolah
Jumlah Sekolah
Jumlah Murid
1.
Surau kaum tua (pend. agama murni)
589
9.285
2.
Madrasah kaum muda (pend. Agama dan umum)
452
25.292
3.
Sekolah sekuler plus pelajaran agama
132
44.577
4.
Sekolah sekuler murni
35
824
Dari keterangan laporan tersebut, jelas sekali menunjukkan memperlihatkan prospek buram kehadiran Surau di Minangkabau. Tidak demikian halnya dengan Pesantren yang hingga dewasa ini masih terasa gairahnya.
Apa yang sesungguhnya menyebabkan hal itu? Sejauh ini banyak tudingan yang menunjuk kepada demografi masyarakat Minang. Karakter masyarakat yang dinilai cenderung oportunis dalam menangkap perubahan zaman, plus akibat banjir bah orientasi resource materialistik yang sangat dominan. Misalnya seperti kesimpulan Ary H. Gunawan[29] setelah mempelajari politik etis Belanda terhadap pendidikan. Menurutnya, sekalipun Belanda tidak menegaskan tujuan pendidikan, tetapi jelas bahwa mereka mencoba menawarkan sebuah sistem pendidikan yang berorientasi kepada ketersediaan tenaga kerja demi kepentingan kaum pemodal Belanda. Dengan demikian, menurut Ary, Belanda telah sukses membentuk opini bahwa pendidikan pada awal abad 20, tidak saja untuk membentuk kelas elit, tetapi juga menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh mereka. Hal ini sangat mungkin mengakibatkan kepada perubahan paradigma pendidikan orang Minang.
Pada kasus pendidikan di Pesantren, tantangan lembaga pendidikan modern ala Belanda ini tidak mudah menggoyah hubungan simbiosis Santri dengan kiyai yang melekat selama berabad-abad. Bahkan didukung dengan kultur yang tradisional, Pesantren tidak saja menjadi lahan pendidikan semata, tetapi juga difungsikan untuk menjaga stabilitas distribusi paham keagamaan tradisional ke tengah-tengah masyarakat Jawa dan keberlangsungan generasi kiyai untuk masa-masa berikutnya. Hingga awal abad XX, komunitas santri sudah memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain. Di samping perayaan pesta, seperti haul, peringatan hari kematian seorang kiyai yang secara berkala mengumpulkan masyarakat sekitar ataupun bekas santri yang tersebar di seluruh nusantara ikut mempererat hubungan ini. Selain itu, perkawinan di antara anak para kiyai atau para santri teladan, serta tradisi yang mengharuskan seorang santri pergi dari satu pesantren ke pesantren lainnya sangat menambah kemesraan hubungan internal mereka.[30] Semua ini merupakan faktor-faktor yang bisa dianggap mengikat di kalangan masyarakat pesantren. Sesuatu yang mungkin tidak ditemukan dalam sistem pergaulan murid-murid Surau di Minangkabau.
Faktror lain yang menyebabkan mundurnya institusi Surau adalah terputusnya mata rantai literatur berupa karya-karya nyata syeikh-syeikh di Minangkabau. Untuk materi keagamaan, termasuk dalam hal ini tarekat, sejauh ini tidak ditemukan karya tertulis syeikh-syeikh tersebut. Kitab-kitab yang dipelajari pada umumnya memang karya penulis-penulis legendaris tokoh-tokoh Islam di luar Minangkabau. Misalnya literatur tentang pelajaran tarekat, memakai kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ilâ Rûh al-Nabiy,[31] karya seorang guru asal Gujarat, juga karya al-Ghazali Sayr Sâlikîn dan Ihyâ ‘Ulûmu al-Dîn. Demikian juga dalam materi pelajaran lain, seperti Tafsir al-Jalâlain dan Fâth al-Qarîb dalam bidang tafsir, Ummu al-Barâhîn dan ‘Aqîdah al-Sanûsiyyah dalam bidang Ushuluddin dan seterusnya. Sedangkan dalam tradisi keilmuan pesantren tradisional Jawa, “komunikasi” literal antara seorang kiyai dengan kiyai masa selanjutnya berkesinambungan dengan baik. Di samping menggunakan referensi di atas sebagai pemahaman dasar tradisional, para kiyai juga kreatif menulis karyanya yang diwariskan kepada generasi sesudahnya. Misalnya karya-karya KH. Hasyim Asy’ari sendiri, antara lain:
1. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim. Berisi mengenai standarisasi moral yang harus dimiliki oleh setiap santri dan guru.
2. Ziyadah Taliqat, juga berisi pesan moral, walaupun sejatinya kitab ini merupakan sanggahan Hasyim terhadap pernyataan Syeikh Abdullah ibn Yasin al-Pasuruwani, yang beliau anggap dapat melemahkan warga NU.
3. Al-Tanbihat al-Wajibat. Berisi peringatan kepada para santri dan umat Islam terhadap hal-hal yang wajib.
4. Al-Risalah al-Jami’ah. Berisi penjelasan keadaan orang yang wafat, tanda-tanda hari kiamat serta penjelasan tentang pemahaman sunnah dan bid’ah.
5. Al-Nur al-Mubin. Berisi tentang makna cinta kepada Nabi dan upaya untuk menghidupkan sunnah Beliau.
6. Al-Durar al-Muntastirah fi Masail al-Tis’ah ‘Asyaroh. Berisi tentang 19 permasalahan thariqat.
7. Al-Tibyan fi Nahyi an Muqatha’at al-Ikhwan. Berisi larangan memutuskan sillaturahmi antara sesama muslim.
8. Al-Risalah al-Tauhidiyah. Point-point penting mengenai paham tauhid ahlusunnah waljama’ah.
9. Al-Qalaid. Berisi tentang akidah.[32]
Disambung oleh karya generasi berikutnya, yakni KH. Ali Maksum pendiri pesantren al-Munawwir Krapyak, yang menulis karya-karyanya, yakni:
1. Mizan al-Uqul fi Ilm al-Manthiq, berisi tentang logika
2. Al-Sharf al-Wadhih. Morfologi bahasa Arab yang jelas.
3. Hujjah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Genre lanjutan dari tulisan para pendahulu kalangan tradisionalis tentang paham Ahlu Sunnah wal-Jama’ah.
Pada aspek yang terakhir ini, Pesantren-Pesantren di Jawa berhasil mengkonsolidasikan diri dalam sebuah payung organisasi masanya yakni NU. Perubahan ditanggapi dengan sangat dinamis, dikarenakan mereka memiliki sumber masa yang sangat besar, dan tokoh-tokoh yang bisa menjelaskan secara verbal pada sisi mana mereka berdiri di tengah gelombang perubahan tersebut. Ambisi seperti itu, sebenarnya juga dimiliki oleh kalangan tradisionalis yang menangani pendidikan Surau di Minangkabau. Mereka juga menerbitkan majalah, seperti yang dilakukan kalangan modernis; Suluh Melayu di Padang yang terbit tahun 1933, juga majalah al-Mizan di Maninjau yang terbit tahun 1928. Bahkan, menanggapi kemunculan ormas Muhammadiyah dan NU yang lebih dahulu muncul, mereka juga mendirikan ormas Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada tanggal 20 Mei 1930 yang dipelopori oleh Syeikh Abbas dari Padang Lawas, Syeikh Sulaiman al-Rasuli dari Candung dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho dari Padang Panjang.[33] Namun nampaknya usaha ini tidak mendapat respons yang positif dari masyarakat Minang secara umum, sehingga Surau dengan payung Perti-nya, tidak mampu mengangkat posisi tradisi pendidikan tradisional Minangkabau pada level yang memuaskan. Ia tetap termarginalkan baik secara lokal maupun nasional.
Demikian pula pada aspek ketokohan Syeikh di Minangkabau. Mata rantai regenerasi Syeikh di Minangkabau seolah terputus begitu saja. Setidaknya pada generasi pendiri Perti itu sendiri. Sedangkan dalam tradisi Pesantren, peralihan generasi berjalan dengan sangat baik. Hingga dewasa ini masih banyak tokoh-tokoh yang lahir dari rahim pendidikan tradisional Pesantren. Untuk masalah ini, erat sekali kaitannya dengan konsepsi alam minangkabau tentang kepemimpinan yang hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Artinya sekalipun dengan predikat Syeikh, orang tersebut boleh saja dikritik dan dipertanyakan kepemimpinannya. Tidak demikian halnya dengan Kiyai di Pesantren Jawa. Mereka dan lingkungannya dianggap keramat dan sangat dihormati, yang dalam lelucon kalangan pembaharu, sekalipun seorang Kiyai kentut, tetap harum juga bagi santrinya.
Penutup
Surau dan Pesantren merupakan dua institusi pendidikan tradisional yang tumbuh dalam ranah pergaulan yang berbeda. Akibatnya, ketika perubahan terjadi, resistensi keduanya menghadapi hal tersebut sangat berbeda. Surau akhirnya mengalah pada gelombang perubahan dan pembaharuan dengan berbagai alasan, sedangkan Pesantren mampu menghadapi perubahan tersebut dan mepertahankan citra tradisionalnya. Kenyataan ini tidak lain dipicu oleh realitas demografis masyarakat, di mana orang Minang lebih dapat menerima perubahan sehingga meninggalkan sistem lama yang kurang “laku” untuk urusan kehidupan mereka. Mengutip Azyumardi Azra: “sangat jelas bahwa aliran yang terus menerus dari gagasan dan kecenderungan baru yang melanda Minangkabau adalah penentu utama kebangkitan dan kemerosotan pendidikan Surau. Keterbukaan Minangkabau terhadap gagasan-gagasan baru membangkitkan dorongan yang konstan terhadap pembaharuan demi memperjelas jalan menuju kemajuan.”[34] Satu hal yang belum kelihatan dalam perkembangan masyarakat Pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, School and Politics: The Kaum Muda Movements in West Sumatera, New York: Ithaca, 1971
…………………., Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987
Al-Attas, Muhammad Naquib., tt. Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu, Jakarta: Mizan, tth.
Amran, Rusli., Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
…………………, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara, Bandung: Mizan, 1999
............................, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan Modernisasi, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003
……………........, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaharuan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2004, edisi revisi
Bazel, Van., 1680, Dagregister, Laporan kerja
Bulliet, Richard W., Conversion to Islam and Emergence of a Muslim Society in Iran. dalam Conversion To Islam, editor: Nehemia Levtzion, New York-London: Homes & Meier Publisher, Inc, 1979
Dobbin, Christine., Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847. London: 1983
Feillard, Andree., NU vis-à-vis Negara. Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: Lkis, 1999
Gunawan, Ary., Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1995
Hamid, Shalahuddin Drs. MA dkk., 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: PT. Intimedia Cipta Nusantara, 2003
Hidayat, Ahmad Taufik., Sumber-Sumber Sejarah Minangkabau, makalah Program Doktor Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah belum dipublikasikan, 2005
Kartodirjo, Sartono., Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992
Krom, N.J., Hindoe-Javaanche Geschiedenis, Den Haag: 1926
Lombard, Denys., Nusa Jawa Silang Budaya, bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Naim, Mochtar., Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984
Pigeud,Th., De Tantu Panggelaran, uitgegeven, vertaald en toegelicht, Den Haag: 1962
Saleh, Abdul Azis., Masyarakat Sumatera Barat dan Kehidupan Intelektual. Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, edisi Agustus-Oktober 1995.
Schrieke, B., Indonesian Sosiological Studies, Bandung: Sumur Bandung, 1960
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984
………….................., Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986
Teew, A dan Th. P. Galestin dkk., (Translitor), Śiwāratrikalpa of Mpu Tanakung (kakawin), 1969
Yunus, Mahmud., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1979
Zoetmulder., Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983
[1]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur eingah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, edisi revisi, h. 2-19.
[2]Dari sini juga dapat diketahui distribusi mazhab dalam proses Islamisasi yang dapat menjelaskan rute penyebaran Islam di Nusantara, seiring dominannya mazhab Syafi’i. Misalnya seperti yang dilakukan Richard W. Bulliet yang mencoba membuat pola-pola Islamisasi melalui nama-nama dominan dari penduduk lokal yang berhasil dikonversi ke Islam. Keunggulan mazhab Hanafi di wilayah Utara India mengindikasikan pengaruh bangsa Turki dari Asia Tengah, karena nama-nama orang-orang yang terIslamkan di sana banyak serupa dengan nama-nama khas Turki dan Asia Tengah. Demikian pula di pantai India Selatan, mazhab Syafi’i dibawa langsung dari tanah Arab. Adapun dominannya mazhab Syafi’i di Nusantara sangat boleh jadi karena pengaruh Islam di wilayah itu sebagian besar datang dari tanah Arab dan India Selatan (bukan dari Bengal yang bermazhab Hanafi seperti yang selama ini diduga oleh sementara sejarawan). Richard W. Bulliet, Conversion to Islam and Emergence of a Muslim Society in Iran dalam Nehemia Levtzion (ed.) Conversion To Islam, New York-London: Homes & Meier Publisher, Inc., 1979, h. 30-50
[3]Ini terutama dari istilah pesantren itu sendiri yang berasal dari bahasa Jawa-Hindu. Santri, sebagai unit satuan siswa dalam pendidikan pesantren, juga berasal dari kata chantrik yang berarti seorang murid yang tengah dalam penggemblengan pertapaan dalam sistem ajaran Hindu-Budha. Lihat p.j. Zoetmulder, Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Penerbit Djambatan. 1983. hal. 257. Sedangkan setelah Islam, kata santri dalam pengertian spesifik menurut Clifford Geertz adalah kaum pedagang, yang menjalankan agama Islam murni, bertakwa dan keras dalam konteks ortodoksi terhadap paham keagamaan. Dikarenakan tradisi kultural mereka serta aktifitas yang mereka lakukan. Tetapi pengertian santri yang ditawarkan Geertz ini dalam memformulasikan tripartis masyarakat Jawa; santri, priyayi dan abangan sekedar meluluhkan kedalaman historis dan menyingkirkan segala analisa tentang kelas. Denys Lombard menyebut ketiga istilah yang ditawarkan Geertz tidak pernah tergabung menjadi suatu sistem dalam konteks budaya aslinya. Di luar itu, mereka sepakat bahwa kaum santri atau dalam istilah Lombard kaum putihan merupakan ujung tombak bagi perkembangan agama Islam di Jawa. Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, bagian II: Jaringan Asia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000, h. 85. Ada juga maknanya yang lain, yakni seorang pria pergi ke tempat kediaman pengantin wanita. Tetapi terlalu jauh dari konteks makalah ini.
[4]Mpu Tanakung, Śiwāratrikalpa (kakawin). Transliterasi oleh Prof. A. Teeuw dan Th. P. Galestin dkk. dengan Judul Śiwāratrikalpa of Mpu Tanakung, 1969. tempat-tempat pertapaan itu tidak saja jauh dari keraton dan keramaian, tetapi juga memiliki panorama alam yang sangat indah.
[5]lihat Negarakertagama, pupuh 17-38. di dalam kitab ini disebut sebanyak 183 nama tempat pertapaan. Disunting oleh Th. Pigeud, Den Haag, 1962 dengan judul De Tantu Panggelaran, uitgegeven, vertaald en toegelicht. Lihat juga dalam Denys Lombard, bagian II: Jaringan Asia, h. 130-139. Juga bisa dilacak dalam Babad Diponegoro h. 21-25. lihat juga keterangan ini dalam Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984, h. 154.
[6]Hal inilah yang meyakini Karel A. Steenbrink bahwa pesantren , sebagai pusat pendidikan dan dakwah, memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di pedalaman pulau Jawa. Bahkan ada kemungkinan beberapa pesantren mengambil alih pusat-pusat keagamaan pra-Islam. lihat: Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986, h. 61
[7]Di penghujung tahun 80-an, praktek demikan masih berlangsung di sejumlah amat kecil pesantren di Jawa dan Sumatera. Dan pada awal 90-an, aktifitas semacam itu boleh dikata lenyap sama sekali.
[8]Pengertian dasar surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk penyembahan arwah nenek moyang. Biasanya, ia dibangun di puncak bukit atau dataran yang lebih tinggi dari lingkungannya, berkemungkinan juga di daerah-daerah pedesaan. Lihat Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h.117
[9]Mengenai perdebatan ini lihat Ahmad Taufik Hidayat: Sumber-Sumber Sejarah Minangkabau, makalah Program Doktor Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah 2005 belum dipublikasikan, atau lihat juga Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara, Bandung: Mizan,1999, h. 37.dan Muhammad Naquib al-Attas. Islam Dalam Sejarah Dan Kebudayaan Melayu. Jakarta: Mizan, Jakarta, tt. h. 35
[10]Sebagaimana yang diakui oleh Sartono Kartodirjo, bahwa penulisan sejarah lokal di Nusantara pada umumnya memang terkendala dengan terbatasnya sumber-sumber. Dikarenakan cakupan-nya yang relatif lebih kecil, penulisan sejarah lokal menurutnya membutuhkan metodologi khusus, kerangka konsep yang lebih rumit sehingga pola-pola mikro dapat diekstrapolasikan. Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, h. 74
[11]Menurut sebuah sumber, Adityawarman dibesarkan di istana kerajaan Majapahit, seorang keturunan pembesar Istana yang kawin dengan Dara Jingga. Dara Jingga sendiri adalah anak dari penguasa Darmasraya, anak kerajaan Sriwijaya. Sebelum kerajaan Pagaruyung didirikan oleh Adityawarman, kerajaan Darmasraya memainkan peran penting di wilayah Sumatera, terutama dalam bidang ekonomi di sungai Kuntu dan Kampar yang kaya dengan Lada. Kerajaan ini berpusat di hulu Batang Hari dan rajanya adalah Mauliwarmadewa. Jadi, Adityawarman adalah cucu dari raja Darmasraya yang konon dicaplok oleh kerajaan Melayu. Sekitar tahun 1275 diadakan semacam program ekspedisi dari Singosari ke kerajaan Melayu yang telah mencaplok Darmasraya. Ekspedisi ini dinamakan Pamalayu. Tapi setelah Adityawarman berhasil menguasai jalur ekonomi wilayah ini, dan mendirikan kerajaan Minangkabau ia membangkang kepada kerajaan Majapahit yang waktu itu dikuasai oleh Gajah Mada. Lihat dalam Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,1981, h. 29-30
[12]Dikarenakan terlalu luasnya Kabupaten ini, sekarang bagian timur Sawahlunto memekarkan diri menjadi kabupaten dengan nama Darmasraya. Nama kerajaan yang dahulunya melegenda di kawasan tengah Sumatera.
[13]Penting juga diketengahkan disini, sekalipun belum ada kejelasan tentang agama yang dianut oleh kerajaan Minangkabau, tapi ada indikasi yang cukup kuat bahwa pengaruh Islam sudah nyata di wilayah ini. Enam tahun pasca Pamalayu, terdapat beberapa nama Muslim yang dikirim sebagai delegasi resmi ke Cina oleh kerajaan Melayu, seperti: Syamsuddin dan Sulaiman. Lihat dalam Rusli Amran, h 70, ia mengutip N.J. Krom, Hindoe-Javaanche Geschiedenis, Den Haag: 1926, h. 334
[14]Ada sumber Belanda yang menyebut bahwa sekitar tahun 1680, kerajaan Minangkabau “rubuh” disebabkan oleh perselisihan faham dan perebutan kekuasaan tiga calon raja setelah mangkatnya Raja Alif. Sesuai dengan namanya, ditengarai, pada masa itu, atau bahkan jauh sebelum itu, kerajaan Minangkabau sebenarnya sudah Islam. Tetapi pengaruh Hindu-Budha di daerah ini menurut sumber tadi jelas ada, sekalipun dalam tahap yang tidak terlalu signifikan. Bisa dilacak dalam laporan Van Bazel, Dagregister, 1680, h. 125, 716, 721.
[15]B. Schrieke, Indonesian Sosiological Studies, Bandung: Sumur Bandung, 1960, h. 95
[16]Konsepnya lebih mirip seperti republik dalam ukuran mini yang memiliki kelengkapan alat-alat pemerintahannya. Stibbe, seorang sarjana Belanda, mengatakan bahwa nagari itu: zelfstanding territoriaal gemeenschap met haar eigen vertegenwoordigend bestuur, haar eigendommen, vermogen en gronden. En in tegenstelling met de desa op Java, had reeds een zelfstanding bestuur lang voor onzekomst ter Sumatra’s Westkust. Yang diterjemahkan dengan sangat baik oleh Rusli Amran: “Nagari merupakan masyarakat suatu daerah yang berdiri sendiri dengan alat-alat perwakilannya, hak milik, kekayaan dan tanah-tanahnya sendiri. Berlainan dengan desa di Jawa yang telah berdiri sebelum kedatangan kita (baca:Belanda) di Sumatra Barat.” Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, h. 62
[17]Istilah yang sama bagi kata Surau dalam konsepsi masyarakat Minang era Islam, tetapi ia lebih kecil dari ukuran mesjid dan biasanya tidak digunakan untuk shalat Jum’at. lihat dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, 1999, h. 118
[18]Taufik Abdullah menekankan bahwa kedua lembaga ini, balai wadah untuk memusyawarahkan masalah-masalah sekuler dan pemerintahan, dan mesjid tempat melaksanakan segala aktifitas keagamaan yang berkaitan dengan ibadah dan kewajiban adalah tempat mengintegrasikan apa yang dinamakan komunitas. Karena itu Nagari sebagai lembaga yang memerintah, menurutnya harus melambangkan integrasi dari dua komponen, yaitu ketentuan adat dan hukum agama. Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987, h. 116
[19]Pada akhirnya, konflik ini memuncak dengan terjadinya perang Paderi pada paroh pertama abad 19. Sebelum akhirnya formulasi pedoman adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Syara’ mangato, adat mamakai. Camin nan indak kabua, palito nan indak padam, diakui oleh kedua belah pihak, pernah juga ditawarkan oleh penghulu adat rumusan pepatah: adat basandi syara’, syara’ basandi adat. Dengan sangat baik Azyumardi menyebut proses ini sebagai upaya masyarakat Minang merumuskan kembali konsepsi alam Minangkabau yang sesuai dan selaras dengan ajaran-ajaran Islam. Lihat, Azyumardi Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi Dan Modernisasi, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2003, h. 3-6
[20]Bandingkan dengan Pesantren-Pesantren di Jawa era Islam, muridnya disebut dengan santri, sedangkan pimpinan tertinggi dipegang oleh Kiyai. Sementara di Surau-Surau Minangkabau muridnya dikenal dengan nama Pakiah dan otoritas pimpinan dipegang oleh Syeikh.
[21] Lihat Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2003, h. 141
[22]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 1999, h. 130
[23]Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1984, h. 19, terutama tentang kedudukan laki-laki dalam sistem adat Minangkabau..
[24]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1979, h. 20
[25]Azyumardi Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional, h. 10
[26]Abdul Azis Saleh, Masyarakat Sumatera Barat. Jurnal Kebudayaan Genta Budaya, edisi Agustus-Oktober 1995, h. 11
[27]Semenjak diperkenalkannya sekolah modern HIS (Hollandsch Indlandsche School) oleh Belanda pada tahun 1850, orang tua semakin banyak yang tidak mau menyerahkan anak-anak mereka ke Surau. Lihat dalam Azyumardi Azra, Surau, Pendidikan Islam Tradisional, hal. 18. Semenjak itu pula Surau banyak beralih menjadi madrasah-madrasah yang bercorak tradisional, tetapi identitas Surau nyaris tidak disebut lagi. Pesantren di Jawa juga mengalami evolusi ini, dengan menerapkan sistem madrasah di dalamnya. Tetapi madrasah, hanya sebagai bagian dari unit sistem pendidikan Pesantren tersebut, dan tidak merubah format pendidikan tradisionalnya, yakni tetap menggunakan nama pesantren dan memelihara sistem lama.
[28]Source Mailrapport 881x (1939) dalam Taufik Abdullah, School and Politics: The Kaum Muda Movements in West Sumatera. New York: Ithaca, 1971, h. 213
[29]Ary Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta,1995, h.20
[30]Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. Yogyakarta: Lkis, 1999, h. 7
[31]Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847. London: 1983, h. 124
[32]Shalahuddin Hamid dkk., 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: PT Intimedia Cipta Nusantara, 2003, h. 19-20
[33]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:1979, h. 102-116
[34]Azyumardi Azra, Surau, h. 134
No comments:
Post a Comment