Monday, April 28, 2008

MENIMBANG KURIKULUM IAIN: Kasus Kurikulum 1995 dan 1997

Masykuri Abdillah
Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta didik. Definisi lain, "suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya."l Ralp Tayler dalam Basic Principles of Curriculum and Instruction, berpendapat ada empat faktor penentu dalam perencanaan kurikulum, yakni faktor filosofis, sosiologis, psikologis dan epistimologis.2 Faktor-faktor ini, terutama faktor sosiologis, mengalami perkembangan sangat dinamis, sehingga menuntut evaluasi untuk melakukan pengembangan serta perubahan kurikulum secara periodik. Namun, karena aspek sosiologis ini juga berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, maka di samping penyeragaman kurikulum secara nasional, perlu juga pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi dan potensi lokal masing-masing lembaga pendidikan.
Dalam konteks Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang memiliki spesialisasi dalam studi Islam, faktor filosofis di atas bisa dilihat dari tujuan pendidikan dan pengajaran di IAIN sendiri, yakni sebagai sarana untuk melakukan transfer nilai-nilai Islam dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia (transfer of values); transfer pengetahuan (transfer of knowledge), terutama bidang studi agama Islam; dan transfer keterampilan (transfer of skills). Bentuk transfer nilai dan pengetahuan memang sudah cukup mapan, tetapi bentuk transfer keterampilan yang memang berkaitan dengan lapangan pekerjaan, nampaknya masih dalam proses pencarian. Hanya beberapa jurusan yang sudah memiliki bentuk agak jelas, seperti bidang pendidikan Islam dan peradilan agama. Meskipun secara esensial tidak ada perubahan dalam tujuan IAIN, rumusannya mengalami beberapa perkembangan atau perubahan, yang umumnya mengacu kepada tujuan pendidikan tinggi sebagaimana terdapat dalam PP No. 30/ 1990.
Semula pendirian IAIN (PTAIN) hanya merupakan kelanjutan dari pendidikan Islam tradisional; dan dalam konteks ketenagakerjaan hanya dimaksudkan untuk mempersiapkan tenaga-tenaga yang dapat mengisi tugas-tugas di bidang keagamaan. Kini rumusan tujuan tersebut sudah berkembang dimaksudkan agar IAIN/ Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)- di samping dapat mengembangkan ilmu agama yang kajiannya sejajar dan bahkan terintegrasi dengan ilmu umum dapat pula menghasilkan alumni yang tidak hanya bisa memasuki pekerjaan yang berkaitan dengan tugas-tugas di bidang keagamaan, tetapi juga bidang-bidang non-keagamaan.
Masing-masing IAIN dan (STAIN) 3 pun diberi kebebasan untuk merumuskan tujuan ini. IAIN Syarif Hidayatullah misalnya, merumuskan tujuannya: "(1) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan agama Islam, dan (2) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama Islam serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional."4 Sedangkan STAIN Pekalongan merumuskan tujuannya "menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang bernafaskan Islam."5 Tujuan yang dirumuskan oleh IAIN Jakarta ini memang tepat, tetapi tujuan yang dirumuskan oleh STAIN Pekalongan tidak tepat, karena IAIN/STAIN, yang hanya memiliki spesialisasi dalam bidang ilmu agama Islam, tidak mungkin mampu menghasilkan alumni yang dapat mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Faktor sosiologis merupakan dinamika masyarakat, terutama keinginan dan kecenderungan mereka untuk semakin maju, meskipun dalam beberapa hal juga disertai dengan sejumlah ekses yang tidak diharapkan, baik di bidang ekonomi maupun sosial budaya. Di antara kecenderungan paling menonjol adalah tuntutan ekonomi yang semakin besar sejalan dengan proses modernisasi dan industrialisasi yang semakin pesat, sehingga pendidikan sering diidentikkan dengan pembangunan sumber daya manusia yang siap terjun di bidang ekonomi. Sedangkan faktor psikologis adalah peserta didik yang menjadi obyek dari proses belajar mengajar. Dalam konteks IAIN/STAIN peserta didik adalah mahasiswa yang nota bene sudah memasuki usia dewasa, yang berarti sudah mengalami kematangan emosional dan intelektual, sehingga mereka tidak hanya perlu diisi materi pelajaran saja, tetapi juga diberi kesempatan untuk dapat mengembangkan diri.6 Adapun faktor epistimologi berkaitan dengan hakekat ilmu yang diajarkan yang dalam hal ini adalah bidang studi ilmu agama.
Fenomena saat ini menunjukkan bahwa bidang studi ilmu pengetahuan umum dan teknologi, yang didasarkan hanya pada rasionalisme dan empirisme, mengalami perkembangan atau perubahan secara cepat. Di sisi lain, meskipun juga mengalami perkembangan (al-tathawwur), bidang studi ilmu agama yang dasar utamanya adalah wahyu di samping rasionalisme dan empirisme nampak berjalan lambat, karena ada dimensi tertentu dalam ilmu agama yang bersifat abadi atau tetap (al-tsubut).
Kemajuan cepat dalam ilmu pengetahuan umum dan teknologi mengakibatkan adanya kesenjangan antara ilmu pengetahuan agama yang bersifat normatif dan berdimensi ubudiyah dengan ilmu pengetahuan umum dan teknologi yang bersifat rasional, dinamis dan berdimensi ekonomis. Hal ini selanjutnya menuntut adanya upaya mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum, dan bahkan menuntut adanya keterkaitan antara materi pendidikan dengan dunia ketenagakerjaan yang merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap orang. Dalam kenyataannya, kurikulum IAIN 1995 belum sepenuhnya mampu merespons perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan masyarakat yang semakin modern. Hal ini disebabkan karena kurikulum 1995 menunjukkan kakunya kompartementalisasi (pengkotakan) sejak semester-semester awal serta terlalu banyaknya pencabangan ilmu sehingga beban yang dipikul peserta didik terlalu berat. 7 Di samping itu, dalam kurikulum 1995 belum ada keterpaduan antara program S1, S2 dan S3, sehingga terkadang muncul ketidakserasian antara program-program tersebut. Seperti terkesan selama ini, program S1 mengarah kepada spesialisasi, sementara program S2 dan S3 justru mengarah kepada kajian yang lebih bersifat general. Semua ini membawa kesulitan bagi pengelola dan dosen IAIN untuk mengembangkannya sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Termasuk faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah berlangsungnya proses belajar mengajar di IAIN yang masih menitikberatkan pada bentuk pengajaran dengan pendekatan normatif. Ini tentu saja kurang menunjang proses pembentukan mahasiswa yang memiliki kemampuan analitis dan mampu memberi pemecahan masalah. Meskipun pada dasawarsa 90-an perkembangan kegiatan akademik IAIN sudah menunjukkan kemajuan yang berarti, --yang antara lain dapat dilihat dari semakin banyaknya dosen, alumni dan mahasiswa IAIN yang menulis buku dan artikel di media massa-- secara umum orientasi IAIN sebagai lembaga dakwah masih lebih besar daripada sebagai lembaga akademis. Akibatnya, iklim akademis pun belum terwujud sepenuhnya sesuai dengan yang diinginkan. Di sisi lain, bidang studi agama yang menjadi spesialasi IAIN sedikit banyak membatasi upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dengan iptek, dan sekaligus upaya untuk menghasilkan lulusan IAIN yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan tuntutan dunia ekonomi. Lebih jauh, hal ini berakibat pada sempitnya kiprah alumni dalam memasuki dunia pekerjaan, karena umumnya mereka hanya bisa mengisi pasar kerja (formal) pada instansi-instansi yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Padahal bidang ini sangat terbatas, tidak semua lulusan IAIN terserap ke lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan bidang keagamaan.
Pengembangan kurikulum
Menyadari perlunya revisi kurikulum secara periodik, maka pada 30 Juni 1997 Menteri Agama, H. Tarmizi Taher, telah meresmikan kurikulum nasional baru IAIN/STAIN. Peresmian kurikulum baru ini dimaksudkan untuk menyempurnakan kurikulum 1995 yang dinilai sudah kurang relevan dengan perkembangan dan pembangunan nasional yang cukup dinamis. Ada beberapa hal baru yang terdapat dalam kurikulum 1997 ini, terutama yang terpenting adalah dekompartementalisasi, penekanan pada penguasaan metodologi kajian Islam, bahasa Inggris, serta penekanan kurikulum lokal yang berkaitan dengan dunia ketenagakerjaan.
Pengembangan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas keberadaan dan peran IAIN terutama dalam dunia akademik, yang sekaligus dapat berpengaruh pada keberadaanya dalam masyarakat. Peningkatan peran dalam dunia akademik ini berarti menjadikan IAIN sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri yang bergengsi secara akademik dan setara dengan lembaga pendidikan tinggi negeri lain, dengan tanpa meninggalkan kekhasan bidang kajiannya.8 Peningkatan ini diharapkan berdampak pada peningkatan kemampuan IAIN dalam menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional terutama di bidang keagamaan; dan sekaligus pada kepercayaan pengguna jasa akan kemampuan alumni IAIN untuk mengisi lapangan pekerjaan di luar bidang keagamaan.
Namun demikian, masih ada beberapa hal yang menentukan efektivitas kurikulum tersebut, terutama silabus dan tenaga pengajar. Dalam kenyataannya, adanya silabus ini telah menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. Misalnya tentang metodologi studi Islam, apa sebenarnya yang dimaksud dengan mata kuliah baru ini. Penyusunan silabus dengan berdasarkan pemikiran di atas tentu tidak sederhana. Hal ini memerlukan wawasan yang luas bagi penyusunnya, tidak hanya berkaitan dengan ajaran-ajaran (teks-teks) Islam tetapi juga konteks historis, baik pada masa klasik, pertengahan maupun kontemporer. Oleh karena itu, kerja penyusunan ini tentu saja tidak cukup dilakukan secara sambil lalu, tapi perlu melibatkan para ahli, baik di bidang ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Pelibatan para ahli ilmu umum juga berkaitan dengan beberapa bidang studi ilmu umum yang masuk dalam kurikulum IAIN, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu komunikasi dsb.
Kualitas tenaga pengajar juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan efektivitas kurikulum baru ini. Betapapun baiknya kurikulum dan silabus, jika tidak didukung tenaga pengajar yang berkualitas akan sulit mencapai hasil yang optimal. Selama ini Departemen Agama telah banyak mengupayakan peningkatan kualitas tenaga pengajar IAIN, misalnya dengan menetapkan kualifikasi minimal S2 dan dorongan agar mereka memiliki ijazah S3, baik melalui program pasca sarjana di dalam mapun luar negeri ataupun melalui program doktor bebas terkendali. Namun menurut data statistik Ditbinperta, jumlah dosen IAIN yang telah menempuh program pasca sarjana masih sangat sedikit; Pada 1994/1995 dosen IAIN seluruh Indonesia yang berijazah S2 (magister) berjumlah 288 orang (8,57%) dari jumlah keseluruhan dosen 3.007 orang, sedangkan yang berijazah S3 (doktor) jumlahnya hanya 71 orang (2, 36 %). Memang statistik ini belum memasukkan perkembangan lima tahun terakhir ini, tetapi dapat diperkirakan bahwa prosentase dosen yang menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 itu masih belum memadai.
Di samping itu, telah dilakukan pula upaya verifikasi rekrutmen tenaga pengajar, tidak hanya bagi mereka yang memiliki disiplin ilmu agama Islam, tapi juga tenaga pengajar yang memiliki disiplin ilmu sosial dan humaniora. Termasuk di dalamnya pengiriman tenaga-tenaga pengajar IAIN untuk melanjutkan S2 di universitas umum atau dalam bidang studi umum. Bentuk rekruitmen tenaga pengajar bidang umum ini semakin penting dengan adanya keinginan pengembangan kurikulum lokal yang lebih berorientasi pada dunia kerja, serta keinginan untuk mengembangkan beberapa IAIN sebagai universitas. Keinginan ini tentu tidak dapat dipenuhi dengan dosen-dosen yang berlatarbelakang pendidikan ilmu agama.
Dekompartementalisasi
Kalau menurut kurikulum 1995 sejak semester-semester awal mahasiswa sudah dikotakkan ke dalam jurusan masing-masing, maka kurikulum 1997 berusaha untuk menghilangkan pengkotakan yang kaku ini. Menurut kurikulum terakhir ini, pada tahun pertama dan kedua semua mahasiswa dari semua fakultas (Adab, Da'wah, Syari'ah, Tarbiyah dan Ushuluddin) harus mengkaji doktrin-doktrin dan peradaban Islam secara komprehensif, walaupun masih bersifat garis besar, yakni dengan pemberian mata kuliah komponen institut, yang masing-masing disebut mata kuliah umum (MKU) dan mata kuliah dasar keahlian (MKDK). MKU yang berjumlah 24 SKS itu terdiri atas mata kuliah Pancasila, Kewiraan, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Ilmu Alam Dasar (IAD), Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan Ilmu Budaya Dasar (IBD), dan Metodologi Studi Islam. Sedangkan MKDK yang berjumlah 30 SKS itu tediri atas mata kuliah Ushul Fiqh, Ulumul Hadits, Ulumul Quran, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Filsafat Umum, Metode Penelitian, Fiqh, Hadits, Tafsir, serta Sejarah dan Peradaban Islam.
Baru pada tahun berikutnya diberikan spesialisasi dalam fakultas dan jurusan masing-masing, yakni dengan pemberian mata kuliah keahlian (MKK) yang berjumlah 33 SKS. MKK tersebut memberikan arah masing-masing jurusan/program studi secara jelas. Kalau dalam kurikulum lama beberapa fakultas tertentu, seperti Fakultas Syari'ah dan Fakultas Dakwah tidak banyak berbeda antara satu jurusan dengan jurusan lain, maka dalam kurikulum baru ini tampak sekali perbedaannya, meskipun sekaligus juga membawa dilema tersendiri. Dalam kasus di Fakultas Syari'ah, misalnya, menurut kurikulum lama semua jurusan mempelajari mata kuliah yang berkaitan dengan peradilan agama. Di samping itu, setiap jurusan juga mengajarkan mata kuliah yang menjadi spesialisasi bagi jurusan lain, seperti Jurusan Al-Ahwal al-Syakhshiyah (AH) yang disamping mendalami hukum perkawinan (munakahat), juga mempelajari fiqh mu`amalah dan fiqh siyasah yang masing-masing sebenarnya merupakan spesialisasi bagi Jurusan Mu'amalat dan Jurusan Jinayah Siyasah. Menurut kurikulum 1997, bidang-bidang studi ini hanya diajarkan di jurusan masing-masing. Materi kuliah yang berkaitan dengan peradilan agama pun hanya diajarkan di jurusan AH, yang berarti hanya alumni dari jurusan inilah yang bisa menjadi hakim agama. Hal ini menimbulkan dilema: apakah akan tetap konsisten dengan penjurusan, dengan konsekuensi alumni jurusan lain tidak berhak menjadi hakim agama, atau memberikan mata kuliah tambahan tentang peradilan agama agar mereka bisa menjadi hakim agama.
Namun demikian, dalam kurikulum yang lebih baru ini belum juga memuat arah masing- masing strata (S1,S2 dan S3). Memang, saat ini Departemen Agama terus mengupayakan penataan kembali program pascasarjana yang terintegrasi dengan program S1. Ada isyarat yang jelas akan penataan arah, yakni kompartementalisasi sejak mulai masuk program pascasarjana, ini merupakan kelanjutan dari perkuliahan tahun-tahun akhir program S1 dengan menekankan mata kuliah dasar keahlian. Arah masing-masing strata bisa dirumuskan, misalnya, program S1 diarahkan untuk menghasilkan peserta didik yang mengetahui Islam secara komprehensif dan mendalami suatu bidang ilmu agama Islam tertentu; program S2 diarahkan untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai suatu bidang ilmu agama Islam dan mampu mengajarkannya di Program S1; sedangkan program S3 diarahkan untuk menghasilkan peserta didik yang menguasai suatu bidang ilmu agama Islam dan mengajarkannya serta mampu melakukan penelitian secara mandiri, dan bahkan mampu merumuskan ide-ide baru dalam salah satu bidang ilmu agama Islam. Dalam bahasa agama, seorang alumni Program S3 diharapkan mampu menjadi seorang majtahid di bidangnya.
Sejalan dengan upaya dekompartementalisasi ini adalah pengembalian beberapa bidang studi "pecahan" ke "ilmu induknya." Misalnya, kalau dalam kurikulum tercantum tafsir I, II, III, IV pada Jurusan Tafsir Hadits (E) dengan bobot 8 SKS, maka kini cukup disebutkan tafsir dengan jumlah SKS yang agak besar (6 SKS). Contoh lain adalah tafsir ahkam pada semua jurusan di Fakultas Syari`ah. Menurut kurikulum lama ia terdiri atas tafsir ahkam I,II, III dengan bobot 6 SKS atau tiga semester, tetapi dalam kurikulum baru hanya diberikan bobot 3 SKS atau satu semester. Dosenlah yang menerjemahkan mata kuliah ini dan membagi-bagi materi perkuliahan secara rinci dengan mengacu kepada silabus nasional serta dinamika masyarakat. Pemadatan memang bisa membawa pengaruh berkurangnya materi yang diberikan jika dosen kurang mampu melakukan pemadatan isi.
Di segi lain, dekompartementalisasi ini bisa membawa konsekuensi penting lain. Pada semester-semester awal mahasiswa kini belum didaftarkan di fakultas dan jurusan, sebagaimana terjadi selama ini. Baru pada tahun kedua atau ketiga mahasiswa dipersilakan memilih fakultas dan jurusan masing-masing, sesuai dengan minat mereka setelah mengikuti perkuliahan selama setahun. Memang pengaturannya rumit, tetapi mahasiswa dapat memilih bidang studi yang diminatinya setelah mereka mengetahui secara jelas arah masing-masing fakultas atau jurusan. Kalau secara teknis hal ini menyulitkan, maka bisa dicarikan jalan keluar, misalnya mahasiswa diberi hak pindah fakultas atau jurusan, meskipun disertai juga dengan persyaratan tertentu.
Penguasaaan metodologi
Salah satu kritik yang dialamatkan pada kajian Islam di IAIN adalah lemahnya penguasaan metodologi, terutama metodologi kajian historis-empiris.9 Oleh karena itu, kurikulum 1997 ini memuat beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan metodologi. Dalam komponen MKU, Mata Kuliah Metodologi Studi Islam, MKDK, mata kuliah metodologi penelitian, maupun MKK, metode penelitian khusus sesuai jurusan atau program studi masing-masing: seperti metodologi penelitian sejarah, hukum, dsb. Mata kuliah Metode Studi Islam merupakan pengantar tentang metodologi kajian Islam, baik secara doktriner maupun secara historis. Hal ini sangat penting, karena pada umumnya metodologi kajian doktriner dan empiris diberikan secara terpisah yang tidak ada hubungannya satu sama lain.
Dalam studi ilmu agama (Religionswissenschaft) terdapat dua bentuk kajian Islam: secara substantif dan fungsional, atau dalam istilah lain secara doktriner dan historis-empiris. Bila metodologi kajian doktriner, adalah ulumul Qur'an, ulumul Hadits dan ushul fiqh, maka metodologi kajian historis-empiris, adalah metode penelitian sosial dan sejarah. Dengan pengintegrasian kedua metodologi ini diharapkan ada kemajuan dalam studi Islam di Indonesia. Selama ini kajian Islam di Indonesia lebih menekankan aspek doktriner dan normatif, maka perlu diimbangi dengan kajian historis-empiris.10 Untuk mendukung hal ini, perlu juga diupayakan kedekatan (reapproachement) antara ilmu-ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Hal ini bisa dilakukan dengan menjadikan ilmu-ilmu sosial dan humaniora sebagai bidang studi pelengkap (minor) bagi kajian Islam.11 Di samping itu, mata kuliah filsafat umum yang dimasukkan dalam MKDK juga sangat menunjang bagi pengembangan metodologi studi Islam.
Untuk lebih detail, metodologi kajian bidang tertentu diberikan di tiap jurusan atau program studi, agar mahasiswa di masing-masing jurusan dapat mengetahui lebih dalam metodologi penelitian di bidangnya. Namun, sayangnya, ada beberapa jurusan yang tidak memberikan mata kuliah tersebut, seperti Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) Fakultas Dakwah, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Jurusan Profesi Kependidikan Islam (KI) di Fakultas Tarbiyah. Padahal akan lebih baik kalau di Jurusan BPI itu diberikan juga mata kuliah metodologi penelitian agama, sedang di Jurusan PAI dan KI metodologi penelitian pendidikan. Sementara di Fakultas Syari`ah muncul istilah yang berbeda-beda tentang metodologi penelitian, yakni metodologi penelitian mu`amalat untuk Jurusan Mu`amalat (M) dan metodologi penelitian siyasah untuk Jurusan Siyasah-Jinayah (SJ). Di Jurusan Al-Ahawal al-Syahshiyah (AH) terdapat metodologi penelitian hukum, dan untuk Jurusan Perbandingan Hukum dan Mazhab (PMH) bahkan hanya metodologi penelitian. Padahal akan lebih jelas jika semua itu disatukan dalam metodologi penelitian hukum dengan mengambil contoh atau kasus sesuai masing-masing jurusan atau program studi.
Penguasaan Bahasa Asing
Dalam kurikulum 1997, bahasa asing (Arab dan Inggris) kembali menjadi perhatian penting, masing-masing berjumlah 6 SKS. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengembangan kemampuan akademik bidang agama Islam tidak mungkin tanpa penguasaan kedua bahasa tersebut. Pada tahun ajaran 1997/1998 sudah direncanakan untuk memakai bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahan di program S2 dan S3 IAIN, namun pelaksanaan perkuliah bahasa asing ini belum berjalan sesuai dengan harapan. Barangkali di masa mendatang akan lebih baik kalau perkuliahan bahasa asing didasarkan pada placement test karena tingkat kemampuan mahasiswa tidak sama. Sehingga, sangat mungkin seorang mahasiswa tidak wajib mengikuti perkuliahan bahasa jika ia memang sudah memiliki kemampuan yang disyaratkan program S1.
Untuk menggalakkan kemampuan dua bahasa di atas nampaknya perlu diberikan berbagai dorongan. Misalnya dengan mewajibkan mahasiswa yang menyelesaikan program S1 memiliki nilai TOEFL 450 dan nilai bahasa Arab setara dengan nilai 450. Nilai ini ditetapkan sebagai persyaratan pengambilan ijazah. Demikian dalam pembuatan paper atau skripsi mahasiswa bisa diharuskan menggunakan rujukan buku-buku berbahasa asing minimal 50 persen. Di samping, bisa juga diberikan insentif berupa hadiah bagi mahasiswa yang menulis artikel dalam bahasa asing di media massa yang diakui (misalnya memiliki ISSN). Persyaratan serupa juga akan lebih baik kalau diberlakukan bagi mahasiswa yang memasuki program S2 dan S3, misalnya dengan nilai 475 untuk program S2, dan nilai 500 untuk program S3.
Kurikulum lokal
Tampaknya Kurikulum 1997 tetap mempertahankan adanya kurikulum nasional, sebanyak 60% (87 SKS), dan kurikulum lokal sebanyak 40% (57 SKS). Ini dimaksudkan agar masing-masing IAIN/STAIN dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengar potensi yang ada di daerahnya. Hanya saja, bedanya, dalam kurikulum baru ini kurikulum lokal sangat ditekankan untuk memiliki keterkaitan dengan pasar kerja. Meskipun, dalam kenyataannya, hal tersebut tidak mudah direalisasikan, terutama pada pengembangan kurikulum yang terkait dengan dunia ketenagakerjaan. Penanaman kurikulum demikian memang dapat memberikan keuntungan ganda. Di satu segi ia dapat mempersiapkan mahasiswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan dunia kerja, di segi lain ia bisa menjadi cikal bakal berdirinya fakultas umum di lingkungan IAIN, jika kelak IAIN menjadi universitas.
Ada beberapa alternatif untuk menerapkan kurikulum lokal ini. Pertama, pemberian mata kuliah yang dianggap penting untuk menunjang bidang studi di jurusan tetapi tidak terdapat dalam kurikulum nasional. Sebagai misal, mata kuliah metodologi penelitian pendidikan untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Jurusan Kependidikan Islam (KI) dalam Fakultas Tarbiyah, atau mata kuliah fiqh al- mawarits untuk Jurusan Al-Ahwal al-Syakhsyiyah (AH) di Fakultas Syari`ah.l2 Kedua, pemberian mata kuliah yang mengarah kepada profesi tertentu dan menjadi spesialisasi jurusan lain tetapi masih dalam satu fakultas, seperti mata kuliah pendidikan agama Islam, yang sebenarnya menjadi spesialisasi Jurusan PAI-bisa diberikan di Jurusan KI. Sehingga, alumni KI nantinya dapat menjadi guru agama. Contoh lain adalah mata kuliah yang berkaitan dengan peradilan agama, yang menjadi spesialisasi Jurusan AH. Ia bisa diberikan di Jurusan Perbandingan Hukum dan Mazhab (PHM) dan Jurusan Siyasah Jinayah (SJ) agar alumni kedua jurusan ini bisa menjadi hakim agama.
Ketiga, pemberian mata kuliah yang memang sejalan dengan jurusan atau program studi tertentu dan terkait dengan dunia kerja. Dalam hal ini misalnya mata kuliah tentang ilmu-ilmu komunikasi atau jurnalistik bagi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Ia diberikan agar alumni jurusan ini bisa memasuki lapangan kerja yang terkait dengan komunikasi atau jurnalistik. Contoh lain, mata kuliah perbankan Islam bagi Jurusan Mutamalat (M) untuk mencetak alumni yang bisa memasuki lapangan kerja perbankan Islam. Keempat, pemberian mata kuliah yang sama sekali tidak terkait dengan jurusan, tetapi terkait dengan dunia kerja, misalnya mata kuliah tentang informatika (komputer), manajemen kesekretariatan, dst. Dengan demikian, pada alternatif ketiga dan keempat ini seluruh kurikulum lokal (57 SKS) diisi dengan ilmu-ilmu yang terkait dengan dunia kerja. Namun, bentuk alternatif ketiga dan keempat ini memerlukan kerjasama dengan para pengguna jasa di bidang-bidang dimaksud. Dan kelima, pengisian kurikulum lokal sepenuhnya dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora-meskipun tidak terkait secara langsung dengan dunia kerja. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan mahasiswa mampu mengembangkan kajian Islam dalam berbagai pendekatan ilmu sosial.
Penutup
Penyempurnaan kurikulum IAIN/STAIN 1997 merupakan jawaban terhadap dinamika internal IAIN serta tantangan yang berkembang dalam masyarakat, baik dalam konteks nasional maupun global. Penyempurnaan ini memiliki sasaran ganda: meningkatkan kualitas akademik IAIN setara dengan pendidikan tinggi negeri lainnya, dan sekaligus mengkaitkan pendidikan di IAIN dengan dunia ketenagakerjaan. Namun kurikulum 1997 ini tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan ketersediaan silabus yang komprehensif, yang berfungsi memberikan arahan tentang pelaksanaan kurikulum ini.Penyusunan silabus, dengan demikian merupakan hal yang urgen untuk lebih dimatangkan. Di samping itu, kurikulum baru ini memberikan ruang kepada para pengelola maupun pengajarnya untuk melakukan improvisasi terutama dalam hal pengembangan kurikulum lokal. Namun, melihat latar belakang sumber daya manusia dilingkungan IAIN/STAIN, baik latar belakang bidang pendidikan maupun tingkat pendidikan, tampaknya perlu ada acuan umum dalam pengembangan kurikulum lokal ini. Masalah lain yang mungkin tidak kalah penting adalah kemauan politik (political will) pemerintah untuk memperbaiki mutu akademik IAIN --khususnya pendanaan yang memadai sebagaimana yang diberikan pada Perguruan Tinggi Negeri lain--dan kesediaan menerima alumni IAIN di lapangan pekerjaan termasuk dalam sektor pelayanan umum, sehingga bisa mengisi tidak hanya terbatas di bidang keagamaan. Jika faktor-faktor pendukung tetap tidak memadai, makna perubahan dan perbaikan yang dikandung dalam Kurikulum 1997 tidak akan ada bedanya dengan Kurikulum 1995, bahkan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Catatan akhir
1. S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara cet. II, 1995), halaman 5.
2. S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran.
3. STAIN merupakan nama baru dari IAIN- IAIN cabang, yang kini berjumlah 33 buah. Peresmian nama baru dilakukan pada 30 Juni 1997 oleh Menteri Agama RI, H. Tarmizi Tahir bersamaan dengan peresmian kurikulum nasional program S1 IAIN/STAIN.
4. Buku Pedoman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (1995/1996), halaman 8.
5. Leaflet Sekolah Ttnggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan (1997/1998).
6. Karena melihat tingkat kematangan emosional dan intelektual mahasiswa yang dianggap sudah cukup tinggi, maka ada beberapa Perguruan Tinggi di Barat, seperti Goddard College yang memberikan kebebasan kepada para mahasiswa untuk merumuskan sendiri kebutuhan dan program-program pendidikannya. Meskipun sistem ini mendapatkan dukungan dari para ahli, tetapi banyak juga mereka yang mengkritiknya jika sistem ini diterapkan di program sarjana muda atau program S1 (undergraduate program), karena mereka sebenarnya masih memerlukan bimbingan dari pada kebebasan. Lihat Cliffon F. Conrad, The Undergraduate Curriculum: A Guide to Innavation and Reform (Boulder, Colorado: Westview Press, 1978), halaman 24-27.
7. Lihat "kronologi Penyusunan Penyempurnaan Kurikulum Nasional IAIN/STAIN" yang merupakan lampiran Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 383/1997 tentang Kurikulum Nasional Program Sarjana (S1) IAIN/STAIN.
8. Dalam beberapa kali kesempatan, antara lain pada acara Dies Natalis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 29 Juli 1997, Menteri Agama RI, H. Tarmizi Taher menegaskan tekadnya untuk menjadikan posisi IAIN, yang kini dianggap sebagai Perguruan Tinggi Negeri kelas III di bawah universitas negeri dan IKIP negeri, sebagai Perguruan Tinggi Negeri kelas II.
9. Menteri Agama 1983-1993, H. Munawir Sjadzali, dalam berbagai kesempatan sering mengatakan kelemahan ini, sehingga salah satu argumentasinya terhadap kritik tentang pengiriman dosen-dosen IAIN ke negara-nagara Barat adalah agar mereka mempelajari metodologi kajian Islam yang baik, sejajar dengan metodologi kajian ilmu-ilmu lainnya.
10. Kalau kajian Islam di Timur Tengah lebih menekankan pada kajian doktriner, dan kajian di Barat lebih menekannya kajian historis empiris, maka kajian Islam di Indonesia ideal menggabungkan kedua pendekatan ini.
11. Dalam mata kuliah umum (MKU) memang diberikan mata kuliah ilmu alamiah dasar (IAD) ilmu sosial dasar (ISD) dan ilmu budaya dasar (IBD) yang berjumlah 3 SKS. Kata "dan" disini ternyata menimbulkan kesulitan tersendiri, karena tidak mungkin dengan 3 SKS (satu semester) saja dapat diberikan tiga macam ilmu dasar. Di samping itu, juga merupakan kesulitan mencari dosen yang menguasai ketiga bidang ini. Oleh karena itu, mungkin akan lebih mudah kalau "dan" diinterpretasikan sebagai "atau." Artinya masing-masing jurusan dapat mengambil salah satu dari ketiga ilmu dasar ini, sesuai dengan bidang studinya, misalnya, Fakultas Adab lebih dekat dengan IBD, sedangkan Fakultas Syari`ah lebih dekat dengan ISD.
12. Mat
http://www.ditpertais.net/artikel/masykuri01.asp

No comments: