Monday, April 28, 2008

NABI MUHAMMAD SAW SOSOK GURU YANG SEMPURNA

Oleh

Bunyamin

A. Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah, guru senantiasa diceritakan sebagai orang yang memegang peranan penting. Dalam sejarah Mesir Kuno guru-guru itu adalah para filosof yang menjadi penasihat raja. Kata-kata guru menjadi pedoman dalam memimpin negara. Dalam zaman kegemilangan falsafah Yunani, Socrates, Plato dan Aristoteles adalah guru-guru yang mempengaruhi perjalanan sejarah Yunani. Aristoteles adalah guru daripada Iskandar Zulkarnain yang menjadi Kaisar Yuanani sampai meninggalnya di benua Asia dalam usahanya hanya untuk meluaskan kekuasaannya, oleh karenanya Aristoteles disebut oleh para filosof Arab sebagai guru pertama dan al-Farabi orang yang paling mengetahui filsafat Aristoteles digelari dengan guru yang kedua.[1]

Dalam konteks pendidikan Islam, guru dikenal dengan pendidik yang merupakan terjemahan dari berbagai kata yakni murabbi, mu’allim dan mua’did[2] Ketiga term itu, murabbi, mu’allim dan mua’did mempunyai makna yang berbeda, sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam konteks tertentu mempunyai kesamaan makna.

Kata murabbi misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah kepada pemeliharaan , baik yang bersifat jasmani atau rohani, pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya, mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta ahlak yang terpuji.

Sedangkan untuk istilah mu’allim, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Adapaun istilah muaddib lebih luas dari istilah mua’llim dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.

Dalam sejarah Islam, guru dan ulama itu selalu bergandengan, seorang ulama itu juga seorang guru. Nabi sebagai penerima wahyu mengajarkan wahyu itu kepada para pengikutnya. Mula-mula di rumahnya sendiri dan di rumah al-Arqam bin Arqam, dan setelah hijrah ke Madinah mengajarkan wahyu-wahyu itu di masjid-masjid yang merupakan institusi sosial yang merangkum berbagai fungsi, tempat ibadah, pendidikan, mahkamah, tempat latihan tentara dan lain-lain fungsi masjid tersebut.[3]

B. Tugas Kerasulan

Keberadaan Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang guru sekaligus materi pendidikannya yang merupakan tugas kerasulan beliau sudah dirancang dan persiapkan oleh Allah SWT. seperti Firman Allah dalam Q.S. al-Jumu’ah ; 2

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(2)

“ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”

Senada dengan ayat di atas adalah firman Allah SWT. dalam Q.S. Ali Imran ayat 164 :

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(164)

“ Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW. diutus oleh Allah SWT. kepada umatnya untuk menanamkan ilmu sekaligus mensucikan jiwa mereka. Mensucikan berarti membersihkan dari sifat-sifat buruk yang merupakan kebiasaan sebagian besar masyarakat Makkah pada masa itu, seperti syirik, dengki, takabur serta prilaku buruk lainnya seperti ,mabuk-mabukan, merampas hak orang lain dan lain-lain. Nabi Muhammad SAW. membongkar pola pikir masyarakat penyembah berhala hingga mereka menyadari akan kewajiban-kewajibannya menyembah Allah SWT. sebagai pencipta, pengatur, pemelihara umat manusia. Pensucian jiwa dan penyadaran sikap bertauhid dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dengan pengajaran dan pendidikan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat pada waktu itu.

Kedudukan Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang pendidik (guru), beliau nyakatan sendiri dengan sabdanya :

إِنَّ الله بَعَثَنِى مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا

“ Sesungguhnya Allah yang mengutsku sebagai seorang mualim dan pemberi kemudahan”

Rasulullah SAW. telah bersunguh-sungguh dalam mendidik para sahabat dan generasi muslim, hingga mereka memiliki kesempurnaan ahlak, kesucian jiwa dan karakter yang bersih.

Dalam prespektif psikologi pendidikan, mengajar pada prinsipnya berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat orang lain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi prilakunya. Prilaku itu meliputi tingkah laku yang bersifat terbuka seperti keterampilan membaca (ranah karsa), juga yang bersifat tertutup, seperti berfikir (ranah cipta) dan berperasaan (ranah rasa).[4]

Sebagai seorang guru, Nabi Muhammad SAW. tidak hanya berorientasi kepada kecakapan-kecakapan ranah cipta saja, tetapi juga mencakup dimensi ranah rasa dan karsa. Bahkan lebih dari itu Nabi Muhammad SAW. sudah menunjukan kesempurnaan sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar, karena beliau dalam pelaksanaan pembelajarannya sudah mencakup semua aspek yang ditetapkan oleh oleh para ahli pendidikan bahwa pendidikan harus bersifat kognitif (Rasulullah SAW. menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain), bersifat psikomotorik (Rasulullah SAW. melatih keterampilan jasmani kepada para sahabatnya), bersifat afektif (Rasulullah SAW. selalu menanamkan nilai dan keyakinan kepada sahabatnya).

C. Kesempurnaan Nabi Muhammad Sebagai Guru

Nabi Muhammad SAW. adalah sesosok guru yang telah memenuhi semua sifat dan syarat seorang guru yang telah ditetapkan oleh para ahli pendidikan. An-Nahlawi misalnya, menetapkan sepuluh sifat dan syarat bagi seorang guru yaitu : Pertama, harus memiliki sifat rabbani, artinya seorang guru harus mengaitkan dirinya kepada Tuhan melalui ketaatan pada syariatnya. Kedua, harus menyempurnakan sifat rabbaniahnya dengan keikhlasan, artinya aktivitas pendidikan tidak hanya utntuk sekedar menambah wawasan melainkan lebih dari itu harus ditujukan untuk meraih keridaan Allah SWT. serta mewujudkan kebenaran. Ketiga, harus mengajarkan ilmunya dengan sabar. Keempat, harus memilki kejujuran, artinya yang diajarkan harus sesuai dengan yang dilakukan. Kelima, harus berpengetahuan luas dibidangnya. Keenam, harus cerdik dan trampil dalam menciptakan mertode pengajaran yang sesuai dengan materi. Ketujuh, harus mampu bersikap tegas dan meletakan sesuatu sesuai dengan proporsinya. Kedelapan, harus memahami anak didik baik karakter maupun kemampuannya. Kesembilan, harus peka terhadap fenomena kehidupan. Kesepuluh, harus bersikap adil terhadap seluruh anak didik. [5]

Guru yang baik menurut Ibnu Sina adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui cara mendidik ahlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan bermain-main dihadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, suci murni, menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam membimbing anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan umnat daripada kepentingan dirinya sendiri.[6]

Al-Qarashi, menetapkan sedikitnya 25 sifat dan tanggung jawab seorang guru, antara lain; bahwa seorang guru harus mempersembahkan aktivitas kedisiplinan mereka hanya kepada Allah SWT., amal mereka harus ditujukan untuk perbaikan generasi muda kaum muslimin, harus memiliki keimanan yang luar biasa kepada Allah SWT., harus menghindari pekerjaan yang hina, harus membersihkan tubuh mereka serta melaksanakan kegiatan membersihkan diri mereka lainnya, harus sederhana dalam pakaian, sederhana dalam makanan, sederhana tempat tinggal, harus mampu mengampuni dan memaafkan kesalahan muridnya, harus menyadari tingkat pemahaman murid-muridnya, harus mampu menyediakan waktu untuk muridnya.[7]

Seorang guru yang baik (ideal) menurut al-Ghazali adalah guru yang memiliki sifat-sifat umum yaitu cerdas dan sempurna akalnya, baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan ahklaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, serta dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tuga mengajar atau mendidik dan dapat mengarahkan murid-muridnya dengan baik.

Sedangkan sifatsifat khusus yang harus dimilki oleh seorang guru adalah, pertama, memilki rasa kasih sayang terhadap murid-muridnya dalam melaksanakan praktek mengajar, sehingga akan menimbulkan rasa tentram dan rasa percaya diri pada diri murid terhadap gurunya. Kedua, Mengajar hendaknya didasarkan atas kewajiban bagi setiap orang yang berilmu, sehingga ketika mengajar yang menjadi tujuan utamanya adalah ibadah kepada Allah SWT. Ketiga, dapat berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Keempat, dalam mengajar hendaknya seorang guru menggunakan cara-cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, yang dapat menimbulkan prustasi bagi murid-muridnya. Kelima, seorang guru yang baik harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya, harus bersikap toleran dan menghargai keahlian orang lain. Keenam, memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual dan memperlakukan sesuai dengan tingkat perbedaan tersebut. Ketujuh, guru dapat mehami bakat, tabi’at dan kejiwaan murid sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang dapat berpegang terhadap apa yang diucapkannya, serta berupaya untuk dapat merealisasikan ucapannya dalam prilaku kesehariannya.[8]

Al-Mawardi, memandang seorang guru yang baik adalah guru yang tawadhu (rendah hati), menjauhi sikap ujub (besar kepala) dan memiliki rasa ikhlas. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya seorang guru harus dilandasi dengan kecintaan terhadap tugasnya sebagai guru, kecintaan ini akan benar-benar tumbuh dan berkembang apabila keagungan, keindahan dan kemuliaan tugas guru itu sendiri benar-benar dapat dihayati.

Selanjutnya Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motof ekonomi. Dalam pandangannya bahwa mengajar dan mendidik merupakan aktivitas keilmuan, sementara ilmu itu sendiri mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi, yang tidak dapat disejajarakan dengan materi. Tugas mendidik dan mengajar dalam pandangan Al-mawardi adalah tugas luhur dan mulia, itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-mata mengharap keridhaan Allah SWT. Apabila dalam yang dituju dari tugas mengajar nya itu adalah materi, maka ia akan mengalami kegoncangan ketika ia merasa bahwa kerja yang dipikulnya tidak seimbang dengan hasil yang diterimanya.[9]

Tanggungjawab, sifat dan syarat seorang guru yang ditetapkan oleh beberapa ahli pendidikan (khususnya pendidikan Islam), semuanya sudah ada dalam diri Nabi Muhammad SAW., bahkan lebih sempurna dari apa yang ditetapkan oleh para ahli tersebut. Seperti halnya dalam materi dan tujuan pendidikan Islam, sangat mungkin poin-poin yang ditetapkan oleh para ahli pendidikan yang berhubungan dengan tanggungjawab, sifat dan syarat seorang gurupun merupakan hasil kajian terhadap sosok Nabi Muhammad SAW. sebagai seorang guru yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT.

Dalam menyampaikan misi yang diembankan kepadanya, Nabi Muhammad SAW. benar-benar telah tampil sebagai sosok guru yang sempurna, guru yang pantas menjadi tauladan para guru, tidak ada perkataan beliau yang tidak sesuai dengan perbuatannya, Nabi Muhammad SAW. selalu memulai dari diri sendiri, prilaku yang dia tampilkan mengandung materi ajar dengan sendirinya. Kesederhanaan , kejujuran, kecerdikan, kesabaran, keadilan dan kepekaan Nabi Muhammad SAW. terhadap para sahabat adalah sifat-sfat beliau yang dengan sendirinya menjadi materi pembelajaran yang perlu ditauladani.

Kajian yang berakhir pada kesimpulan akan keberhasilan pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. tidak saja dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang yang beragama selain Islam, salah satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dr. James E. Royster dari Island State University yang telah melakukan riset intensif tentang peran Muhammad SAW. sebagai seorang guru teladan dan manusia ideal.

Royster membahas kesan-kesan kaum muslimin terhadap nabi mereka. Bagi Royster, Nabi Muhammad SAW. telah mengajarkan kebenaran dengan ucapan dan mengamalkan kebenaran itu dalam kehidupannya, salah satu kesimpulan Royster yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dari hasil penelitiannya berjudul “Muhammad as. A Teacher and Exampler” ialah :

“ Muhammad a teacher, exampler and ideal man fulfills in Islam a role that can hardly be overestimated. From him hundreds of milions of Moslem derive both meaning for personal existence and means for character development and spiritual achivement. In terms of continuing influence on the list of those who have shaped the world. Surely it would be markedly diferenct had he not been.

Salah satu kesimpulan Royster di atas menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW. tidak hanya menjadi guru bagi generasi masanya saja, tetapi juga bagi seluruh kaum muslimin pada masa sekarang, dengan kata lain sang guru itu adalah Nabi Muhammad SAW. dan murid-muridnya adalah seluruh kaum muslimin di dunia Islam. Ketika itu Nabi Muhammad SAW. merupakan seorang guru yang aktual bagi para sahabatnya, bagi kaum muslimin berikutnya Nabi Muhammad SAW. menjadi seorang imaginary educator.[10]

Sebagai utusan Allah SWT. segenap aktivitas yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. tentu saja selalu berada dalam pengawasan sekaligus bimbingan Allah SWT., akan tetapi bukan berarti hal ini menunjukan bahwa Nabi Muhammad SAW. sebagai orang yang pasif, karena Allah SWT. hanya menunjukan hal-hal yang bersifat umum dan global, sedangkan pemaknaan dari perintah dan petunjuk Allah SWT. tersebut membutuhkan kreativitas dan kecerdasan tertentu.

Nabi Muhammad SAW. tidak saja kreatif dan cerdas, akan tetapi sebagai utusan Allah SWT. ia sangat sempurna membingkai kekreatifan dan kecerdasannya itu dengan sifat kejujuran, ketauladanan, kehangatan, keramahan, kebijaksanaan , keadilan dan sifat-sifat baik lainnya serta ditopang oleh ghirah perjuangan yang tak kunjung padam, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengatakan dan tidak mengakui keagungan Nabi Muhammad SAW. sebagai sosok guru yang ideal.

D. Nabi Muhammad SAW. Guru Teladan

Nabi Muhammad SAW. adalah panutan terbaik bagi seluruh umatnya, pada diri beliau senantiasa ditemukan tauladan yang baik serta kepribadian mulia. Sifat-sifat yang ada pada diri Rasulullah SAW., yakni siddik, amanah, tabligh dan fathonah. Prilaku Rasululah SAW dalam segala hal adalah prilaku yang dipastikan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, tetapi justru prilaku Rasulullah SAW. itulah cerminan isi kandungan al-Qur’an.

Seyogianya, setiap guru (pendidik) dapat tampil seperti apa yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW. Dalam proses pendidikan berarti setiap pendidik harus berusaha menjadi teladan peserta didiknya. Teladan dalam semua kebaikan dan bukan sebaliknya. Meniru sikap Rasulullah SAW. dalam setiap hal merupakan keharusan bagi segenap umatnya, termasuk bagi para pendidik atau guru, jika meniru strategi yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. niscaya akan memperoleh keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan.

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-Hasyir ; 7

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا....…

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”

Ayat di atas berkenaan dengan pembagian rampasan perang yang langsung dibagi oleh Rasulullah SAW. akan tetapi potongan ayat tersebut tidaklah salah jika dianalogikan dengan hal lain yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW. telah meninggalkan banyak hal sebagai contoh baik yang dapat dilaksanakan oleh setiap pendidik.

dan juga firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab; 21

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا(21)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

Pada ayat di atas, Allah SWT. menegaskan kepada manusia bahwa manusia dapat memperoleh teladan yang baik dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW adalah sosok manusia yang kuat imannya, pemberani, penyabar, tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya dengan sepenuhnya kepada segala ketentuan-ketentuan Allah SWT. dan iapun memiliki ahklak yang sangat mulia, jika manusia ingin bercita-cita ingin menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat, tentulah mereka akan mencontoh dan mengikuti Nabi Muhammad SAW. [11]

Dalam hal pendidikan Rasulullah SAW. telah memberikan banyak pelajaran bagi para pendidik berkenaan dengan metode pendidikan, yang bisa di implementasikan oleh para pendidik di lembaga formal (sekolah) maupun di rumah oleh orang tua yang memberikan pendidikan pada anak-anaknya.

Seorang pendidik tidak dapat mendidik murid-muridnya dengan sifat utama kecuali apabila ia memiliki sifat utama dan ia tidak dapat memperbaiki mereka kecualai apabila ia shalih, karena murid-murid akan mengambil keteladan darinya lebih banyak dari pada mengambil kata-katanya.[12] (Al-Hamd, 2002 :27)

Pada hakekatnya di lembaga pendidikan peserta didik haus akan suri tauladan, karena sebagian besar hasil pembentukan kepribadian adalah keteladanan yang diamatinya dari para pendidik. Di rumah, keteladanan akan diperoleh dari kedua orang tua dan dari orang-orang dewasa yang ada dalam keluarga tersebut. Sebagai peserta didik, murid-murid secara pasti meyakinkan semua yang dilihat dan didengarkannya dari cara-cara pendidiknya adalah suatu kebenaran. Oleh sebab itu para pendidik hendaknya menampilkan akhlak karimah sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Ibnu Khaldun pernah mengutip amanah Umar bin Utbah yang disampaikan kepada guru yang akan mendidik anak-anaknya sebagai berikut “ sebelum engkau mendidik dan membina anak-anakku, hendaklah engkau terlbih dahulu membentuk dan membina dirimu sendiri, karena anak-anakku tertuju dan tertambat kepamu. Seluruh perbuatanmu itulah baik menurut pendangan mereka. Sedangkan apa yang engkau hentikan dan tinggalkan, itu pulalah yang salah dan buruk di mata mereka” (Ihsan, 2003 :158)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati prilaku anak-anak yang meniru prilaku orang lain yang menjadi pujaannya, seperti meniru gaya pakaian, meniru gaya rambut, meniru gaya bicara. Hal serupa juga terjadi di sekitar lembaga-lembaga pendidikan, seorang siswa yang meniru guru yang ia senangi, seperti meniru cara menulis, cara duduk, cara berjalan, cara membaca dan lain sebagainya. Semua ini membuktikan bahwa pada hakekatnya sifat meniru prilaku orang lain merupakan fitrah manusia, terutama anak-anak. Sifat ini akan sangat berbahaya jika peniruan dilakukan juga terhadap prilaku yang tidak baik.

Ada dua bentuk strategi keteladanan; pertama, yang disengaja dan dipolakan sehingga sasaran dan perubahan prilaku dan pemikiran anak sudah direncanakan dan ditargetkan, yaitu seorang guru sengaja memberikan contoh yang baik kepada muridnya supaya dapat menirunya. Kedua, yang tidak disengaja, dalam hal ini guru tampil sebagai seorang figur yang dapat memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari.(Syahidin, 1999 164)

Untuk dapat menjadikan “teladan” sebagai salah satu strategi, seorang guru dituntut untuk mahir dibidangnya sekaligus harus mampu tampil sebagai figur yang baik. Bagaimana mungkin seorang guru menggambar bisa mengajarkan cara menggambar yang baik jika ia tidak mengusai tehnik-tehnik menggambar, seorang guru ngaji tidak akan dapat menyuruh siswanya fasih membaca al-Quran jika dirinya tidak menguasai ilmu membaca al-Qur’an dengan baik, guru matematika akan dapat memberi contoh cara menghitung yang baik jiak iapun menguasai cara menghitung dengan baik, jangan harap seorang guru bahasa Indonesia akan dapat mengajar membaca puisi dengan baik jika dirinya saja tidak mahir dalam bidang ini, demikianlah seterusnya dengan disiplin ilmu yang lain.

E. Penutup

Selain mahir dibidangnya, seorang guru tentu saja dituntut untuk menjadi figur yang baik, prilaku seorang guru senantiasa menjadi sorotan masyarakat terutama para muridnya, tidak sedikit murid yang mengagumi gurunya bukan hanya karena kepintaran dibidang ilmunya, tetapi justru karena prilakunya yang baik, bersikap ramah, adil dan jujur kepada murid-muridnya.

Hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang guru agar dapat menjadi teladan yang baik adalah dengan selalu mengadakan muhasabah pada diri sendiri, mengoreksi akan kekurangan-kekurangan diri dan berusaha untuk memperbaikinya karena bagaimana mungkin guru akan menjadi teladan sedangkan dirinya penuh dengan kekurangan, bagaimana mungkin guru dapat menundukan kekurangan-kekurangan itu sedangkan dirinya cenderung kepada akhlak yang tercela, bagaimana mungkin guru dapat menasehati murid-muridnya sedangkan dirinya belum mencerminkan kesempurnaan akhlak.

Seorang Bijak bersyair tentang pentingnya keteladanan :

Wahai orang yang mengajar selainnya !

Mulailah pengajaran itu dari dirimu,

Kau resepkan obat sedangkan kau lebih membutuhkannya,

Kau mengobati orang sakit sedang kau sendiri sakit,

Mulailah dengan dirimu, jauhkan ia dari kesesatannya,

Jika itu sudah dilakukan, berarti kau orang bijak,

Sejak itu akan diterima nasihatmu, jika kau memberi nasihat

Dan ia akan meniru ucapannmu dan menerima pengajaran.

Pribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari” atau kata “guru” dimaknai dengan “digugu dan ditiru”, menunjukan betapa sosok seorang guru dituntun untuk selalu memperlihatkan prilaku yang baik, karena disadari atau tidak, kata-kata dan prilaku seorang guru akan menjadi panutan bagi murid-muridnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mas’udi, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Gema Media, Yogyakarta

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001

An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (terj.), Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Sebuah Analisa Psikologi dan Pendidikan), Al-Husna, Jakarta, 1995

Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Ma’al Mu’alim (terj.), Darul Haq, Jakarta, 2002

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, PT. Ramaja Rosdakarya, Bandung, 2001

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2002

Tim, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid VII, UII, 1990

No comments: