Saturday, May 17, 2008

aliansi strategis, solusi meningkatkan pasar perbankan syariah

Oleh: yoki kuncoro

Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), aset bank syariah sampai dengan bulan Oktober 2006 mencapai Rp 25,06 Triliun. Hasil itu menunjukkan petumbuhan sebesar 33,8 persen dari 18,732 triliun pada Oktober 2005. Bila dibandingkan dengan total pasar perbankan nasional, ternyata aset perbankan syariah masih sangatlah kecil, yaitu kurang dari 2 persen. Untuk itu, penerapan strategi yang tepat dalam menciptakan pangsa pasar yang lebih besar bagi perbankan syariah adalah hal yang sangat perlu dilakukan.

BI sebagai regulator sebenarnya telah memahami permasalahan ini. Karena itu, melalui Kebijakan yang dikeluarkannya baru-baru ini, BI ingin melakukan akselerasi pengembangan perbankan syariah. Salah satu dari program itu adalah membuat kebijakan office channeling bagi perbankan konvensional yang ingin membuka divisi unit syariah tanpa perlu melakukan investasi dalam pembangunan kantor cabang khusus syariah.

Kebijakan ini jelas sangat membantu ekspansi pasar perbankan syariah di daerah-daerah. Karena, berdasarkan hasil riset yang dilakukan BI sebelumnya, kedekatan lokasi bank menjadi salah satu faktor dominan masyarakat dalam menggunakan jasa perbankan.

Namun, kebijakan office channeling ini tidak serta merta membuat pangsa pasar meningkat secara signifikan. Menurut penulis, selain office chanelling, dibutuhkan sebuah aliansi strategis antara perbankan konvensional, perbankan syariah, maupun institusi lain seperti misalnya kantor pos, agar pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia bisa meningkat secara signifikan dan berkesinambungan.

Namun, yang perlu dijawab sekarang adalah bentuk aliansi strategis seperti apa yang tepat untuk diterapkan? Bagaimana cara penerapannya di lapangan sehingga kebijakan office chanelling dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah.

Jadi, makalah ini dimaksudkan untuk memberikan paparan mengenai aliansi strategis sebagai solusi dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas yang pada akhirnya dapat memenangkan pasar perbankan di Indonesia.

I. Perbankan Syariah di Indonesia

1.1 Spiritual Perceived Value Sebagai keunggulan Perbankan Syariah

Salah satu cara terbaik melihat kemampuan daya saing sebuah produk atau perusahaan adalah dengan mengukur atau mengetahui seberapa besar value yang diterima customer. Tidak terkecuali pada industri perbankan. Karena itu, mengetahui keunggulan-keunggulan perbankan syariah dibandingkan perbankan konvensional akan sangat penting. Dan, menjadi akurat bila ditelusuri melalui sejarah berdirinya perbankan syariah di Indonesia.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1990. Saat itu, diselenggarakan sebuah lokakarya ekonomi syariah oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasilnya, MUI mengajak BI untuk turut serta mengembangkan perbankan syariah. Kemudian dilanjuti secara nyata melalui studi banding ke negara-negara yang telah mengembangkan perbankan syariah terlebih dahulu seperti Iran dan Malaysia.

Pada tahun 1992, ide ekonomi syariah telah dimasukan dalam revisi Undang-Undang Perbankan Indonesia. “Saat itu belum ada keberanian untuk menyatakan sebagai ’bank syariah’ karena ada reluctancy di bidang politik. Saat itu baru ada istilah bank bagi hasil,” papar Siti Kalimah Fajriah, SE, MM, Wakil Deputi Gubernur BI, bidang Pengawasan Bank dan Pengembangan Usaha.Namun akhirnya, pada tahun yang sama berhasil didirikan Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama yang menerapkan sistem bagi hasil.

Pada tahun 1998, konsep perbankan syariah telah benar-benar masuk dalam Undang-Undang Perbankan di Indonesia. Pemerintah pun telah percaya akan ketangguhan sistemnya dalam mempertahankan kinerja perbankan syariah ketika terjadi krisis ekonomi. Kemudian, pada tahun 2000, BI mulai serius untuk mengembangkan perbankan syariah. Maka mulailah berdiri berbagai unit syariah. Juga, pada tahun yang sama, berdiri Jakarta Islamic Index sebagai indeks acuan saham-saham yang ’lulus’ dalam kategori syariah.

Jadi, keberhasilan sistem bagi hasil pada saat krisis ekonomi tahun 1997-1998 telah menjadi sebuah bukti akan keunggulan perbankan syariah dibandingkan perbankan konvensional. Artinya, telah timbul sebuah kepercayaan dalam benak masyarakat dan pemerintah akan kemampuan perbankan syariah. Kalau mengacu pada konsep spiritual perceived value, maka nasabah perbankan syariah telah mengalaminya. Maksudnya, yang diterima nasabah tidak sebatas functional benefit, dalam hal ini, keuntungan-keuntungan fungsional menabung seperti keamanan dan bagi hasil, tetapi juga emotional benefit yaitu kepercayaan dari sistem yang halal dan experience dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi.

Pada hakikatnya, spiritual perceived value (SPV) bisa dinterpretasikan sebagai total get dibagi dengan total give. Komponen total get terdiri dari functional benefit (Fb) dan emotional benefit (Eb). Sedangkan total give terdiri dari price (P) dan Other expenses (Oe),Hal ini bisa telihat jelas pada formula di bawah ini.

Formula ini menunjukan bahwa, value yang diterima seorang nasabah tidak hanya terdiri dari functional benefit atau emotional benefit saja, tetapi harus meliputi kedua-duanya. Dan Perbankan syariah terbukti telah memiliki kedua-duanya.

1.2 Pangsa Pasar Perbankan Syariah di Indonesia

Sejak tahun 1999-2004, perbankan syariah mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini bisa terlihat dari total asset yang meningkat sampai dengan 95 persen dengan nominal mencapai Rp 15,31 triliun. Dan dalam kurun waktu yang sama, jumlah kantornya sudah mencapai 443 kantor. Namun memasuki tahun 2005 terjadi perlambatan. Total aset hanya terjadi peningkatan sebesar Rp 36,38 persen menjadi Rp 20,88 triliun dengan jumlah kantor 531.

Pada tahun 2006 ini, aset bank syariah sampai dengan bulan Oktober 2006 mencapai Rp 25,06 Triliun. Hasil itu menunjukkan petumbuhan sebesar 33,8 persen dari 18,732 triliun pada Oktober 2005.

Pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah sejak Juni 2005 sampai dengan juni 2006 bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

1.3 Kebijakan Office Channeling

Pada umumnya, office channeling didefinisikan sebagai layanan yang terdapat di cabang. Dalam hal perbankan syariah, berarti setiap bank konvensional berkesempatan memiliki cabang layanan syariah di cabang-cabangnya yang konvensional.

Layanan syariah melalui office channeling ini tertuang dalam peraturan Bank Indonesia No. PBI 8/3/2006. Pada Bab I pasal 1 ayat 20 dijelaskan bahwa layanan syariah merupakan kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan oleh Kantor Cabang dan atau Kantor di bawah Kantor Cabang untuk dan atas nama Kantor Cabang Syariah pada Bank yang sama. Jadi, nasabah atau masyarakat tidak perlu lagi mencari-cari cabang syariah, tetapi cukup datang ke kantor cabang konvensional di bank yang bersangkutan.

Biasanya yang banyak menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan demikian tabungan masyarakat tidak bercampur antara yang syariah dengan yang konvensional?

Dalam hal ini, perlu dijelaskan secara teknis mekanismenya. Yaitu, di setiap kantor cabang konvensional, sebuah bank harus memiliki dua user ID untuk masuk ke dalam sistem IT. Satu user ID untuk membuka rekening konvensional, dan satu user lagi untuk membuka rekening syariah. Dengan begitu, maka masyarakat yang ingin membuka rekening syariah di cabang konvensional cukup membuka rekening di user ID syariah. Dengan demikian, akan terhindar dari pencampuran operasional keuangan dalam perbankan.

Ini berarti, setiap bank yang ingin memiliki office channeling untuk layanan syariah cukup memperhatikan kesiapan teknologi informasi. Tanpa harus membangun infrastruktur yang memakan biaya yang besar. Namun perlu juga diingat bahwa, sosialisasi dan proses komunikasi office channeling ini harus bisa dipahami oleh masyarakat luas. Terutama masyarakat pedesaan. Karena, kantor cabang perbankan paling banyak terdapat di daerah-daerah.

II. Aliansi Strategis dan Channeling

2.1 Competitive Alliance

Spekman dkk, menjelaskan dalam bukunya Alliance Competence: Maximizing the Value of Your Partners bahwa An Alliance is a close, collaborative relationship between two, or more, firms with the intent of accomplishing mutually compatible goals that would be difficult for each to accomplish alone.

Mereka juga menjelaskan bahwa aktivitas aliansi dapat menstimulasi sebuah pertumbuhan antara lain dengan:

Memfokuskan perhatian perusahaan pada aktivitas yang menjadi inti bisnis perusahaan;

Meleverage kemampuan partner untuk mengembangkan dan mengenalkan produk atau jasa baru, memasuki segmen pasar baru, memasuki daerah pasar baru

Mempercepat kesempatan-kesempatan revenue dengan mendapatkan return dari pelanggan, channel, dan produk yang sudah ada melalui penambahan kelengkapan skill dan keahlian.

Dengan memanfaatkan aliansi strategis, maka sangat memungkinkan bagi perusahaan dalam mengembangkan competitive advantage melalui leveraging kemampuan dan kapabilitas partner-nya untuk meningkatkan performan dari nilai perusahaan. Perusahaan tidak lagi berkompetisi sebagai individual companies, tetapi mereka berkompetisi sebagai sekelompok perusahaan yang bekerjasama dalam memberikan nilai yang terbaik kepada pelanggannya.

2.2 Channel Value Alignment

Berdasarkan model channel value alignment di atas terlihat adanya tingkatan kerjasama: dari channel cooperating (bersifat transactional relationship) ke value chain interfacing (bersifat operational partnership) hingga ke tingkatan strategic integration (kebijakan bersifat strategis).

Pada tingkatan channel operating, kerjasama lebih didasarkan pada differentiation, marketing mix, dan selling. Contoh pola hubungan seperti ini adalah kerjasama Carefour dengan para supplier-nya. Sedangkan pada tingkatan value-chain interfacing tidak lagi sekadar transaksi, tetapi sudah sampai tingkat operasional. Karena itu tingkatan ini lebih didasarkan pada brand, service, dan process. Hal ini bisa kita lihat pada kerjasama antara Astra dengan Toyota.

Pada tingkatan strategic integration, proses operasional, dan channel-nya sudah tidak ada bedanya lagi. Pada hubungan ini, strategi yang dijalankan, target-target penjualan dan operasional, serta segmentasi dan targeting atas segmen pasar, dan positioning atas produk-produknya akan persis sama. Karena itu, kerjasama pada tingkatan ini lebih didasarkan pada segmentation, targeting, dan positioning. Contohnya adalah PT. Indofood Sukses Makmur dengan Indomarco atau PT Kalbe Farma dengan PT. Enseval Putra Megatrading.

III. Penerapan Aliansi Strategis dan Channel Value Alignment Perbankan

Setidaknya ada dua solusi yang bisa diterapkan melalui konsep aliansi strategis dan office channeling berdasarkan konsep channel value alignment. Yaitu, aliansi strategis perbankan syariah dengan mitra aliansinya dan aliansi strategis perbankan konvensional yang menerapkan office channeling unit syariah.

3.1 Aliansi Strategis Perbankan Syariah

Sampai saat ini, contoh bank syariah yang telah menerapkan pola aliansi strategis adalah Bank Muamalat. Yaitu melakukan aliansi strategis dengan seluruh jaraingan kantor pos di indonesia ketika meluncurkan dan menjual produk Shar-E. Dengan berbagai kemudahan dan jaringan yang luas sampai ketingkat kelurahan, maka aliansi strategis dengan kantor pos menjadi solusi ampuh dalam meningkatkan pasar perbankan syariah di Indonesia.

Memang, Shar-E Card ditujukan untuk menjadi brand yang dapat digunakan oleh mitra aliansi Bank Muamalat. Baik mitra yang berupa bank maupun lembaga keuangan lainnya. Misalnya Shar-E Pegadaian, multi finance, maupun bank-bank konvensional yang ingin mengelola dana nasabahnya secara syariah tanpa harus membuka unit syariah, melainkan cukup dengan beraliansi dengan Bank Muamalat.

Selain itu, dengan berbagai kemudahan dan jaringan yang luas, karena bekerjasama dengan kantor pos di seluruh daerah di Indonesia, maka produk Shar-E akan bisa meningkatkan loyalitas nasabah Bank Muamalat.

Agar loyalitas nasabahnya terus meningkat dan sustainable, Bank Muamalat juga berusaha untuk selalu memberikan berbagai kemudahan. Misalnya dengan memberikan kemudahan kepada pemegang kartu Shar-E sehingga dapat mengaktivasi nomor rekening pada kartu tersebut dan memiliki nomor rekening di Bank Muamalat. Dengan kemudahaan tersebut, pengguna Shar-E juga dapat mengakses 18.000 Debit BCA dan memperoleh akses penarikan tunai secara halal dan free of charge pada 4.885 ATM BCA dan ATM Bersama.

Jadi, yang dilakukan Bank Muamalat adalah aliansi strategis dengan PT Pos Indonesia dalam melakukan penjualan sampai ke daerah-daerah dan aliansi strategis dengan Bank BCA dalam penarikan tunai melalui ATM BCA. Hal ini sangat cerdas dilakukan Bank Muamalat mengingat tanpa perlu mengeluarkan investasi yang besar untuk membuka cabang-cabang yang banyak dan mengadakan mesin-mesin ATM, Bank Muamalat telah berhasil menjangkau masyarakat sampai tingkat kelurahan. Aliansi strategis Bank Muamalat bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

Bila mengacu pada konsep value chain alignment, maka pola kerjasama Bank Muamalat ini baru sampai pada tingkat channel operational yang bersifat transactional pertnership. Karena pola kerjasama ini masih didasarkan pada kerjasama marketing mix, dan selling.

Lalu, yang perlu dilakukan oleh perbankan syariah lainnya seperti Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, maupun BPR-BPR syariah adalah dengan terus melakukan aliansi strategis dalam meningkatkan pangsa pasar sampai masuk ke komunitas-komunitas masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia. Aliansi yang sama yang telah dilakukan oleh Bank Muamalat.

4.2 Aliansi Strategis Perbankan Konvensional yang Menerapkan Office Channeling

Bila melihat banyaknya cabang perbankan konvensional di daerah-daerah, maka penerapan office channeling diprediksi bakal meningkatkan pangsa pasar. Namun, dibutuhkan waktu untuk melakukan edukasi dan memberikan informasi sehingga bisa timbul pemahaman masyarakat mengenai sistem ini. Untuk itu, dibutuhkan aliansi strategis dengan pemerintah daerah, ulama-ulama maupun perbankan syariah dalam hal edukasi dan informasi kepada masyarakat di daerah-daerah.

Selain itu, tetap juga perlu dilakukan aliansi strategis dengan lembaga keuangan lain, dan institusi seperti kantor pos, pegadaian maupun lembaga multi finance. Karena, seperti tujuan di awal, untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah secara signifikan dan berkesinambungan.

Contoh yang terus melakukan office channeling di cabang-cabangnya adalah BNI. Jika saja BNI tertarik melakukan aliansi strategis dengan BRI yang telah dipercaya di masyarakat pedesaan dan petani, maka akan tercipta sebuah kerjasama yang tidak hanya bersifat transactional partnership, tetapi sampai pada tingkatan strategic integration.

Kalau kita amati gambar di bawah, maka perbankan konvensional dengan office channeling dapat melakukan aliansi strategis dengan berbagai lembaga atau institusi. Sesuai dengan pemaparan mengenai tujuan aliansi strategis sebelumnya, selama saling menguntungkan, maka semakin banyak melakukan aliansi strategis, akan semakin banyak tercipta pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia.

Jika bisa terjadi hal ini, maka secara signifikan, masyarakat di daerah-daerah dan pedesaan yang jumlahnya sangat banyak akan menjadi nasabah perbankan syariah. Alhasil, pangsa pasar perbankan syariah bisa meningkat secara signifikan dan menjadi salah satu pemain utama di industri perbankan nasional.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan awal dan pemaparan dalam makalah ini, bahwa aliansi strategis setelah office channeling antar perbankan syariah, perbankan konvensional, dan lembaga atau institusi lainnya dapat meningkatkan pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah secara signifikan di daerah-darah di seluruh Indonesia. Berawal dari konsep aliansi strategis yang saing menguntungkan dengan memanfaatkan keunggulan partner, maka akan bisa tercapai tujuan bersama yang berkesinambungan. Dan mau tidak mau, agar perbankan syariah semakin berkembang dengan pangsa pasar yang besar, aliansi strategis harus menjadi sebuah solusi terbaik yang bisa diterapkan para pelaku perbankan syariah.

Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, Oktober 2006.

Bank Indonesia, Program Akselerasi Pengembangan Perbankan Syariah dimulai, No. 8/63/PSHM/Humas , Desember 2006.

Bank Indonesia, Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Pulau Jawa, Ringkasan Pokok-pokok Hasil Penelitian, Desember 2000.

Seminar dan kolokium Ekonomi syariah 2006, ITB, Oktober 2006

Kartajaya, H., et all., Rethinking Marketing, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003

Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah, Direktorat perbankan Syariah, Juli 2006.

Spekman, Robert E., Lynn A. Issabella and Thomas C. MacAvoy., Alliance Competence: Maximizing the Value of Your Partners, John Willey & Sons, Inc, (2000).

Mussry, Jacky, et all., MarkPlus on Marketing: The Second Generation., Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2007.

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: