Thursday, May 1, 2008

DIALOG ANTAR AGAMA :

MENITI JALAN MENUJU KEHARMONISAN

PENDAHULUAN

Sejak awal manusia sesungguhnya telah mengalami pluralitas agama dan merupakan sebuah fakta dari realitas. Ini disebabkan karena keberagamaan wahyu Tuhan dan penerimaan serta ekspresi dari manusia terhadapnya dalam akar budaya dan bahasa merupakan yang berbeda. Jadi fenomena pluralitas keagamaan bukan hanya merupakan kondisi historis masa lampau tapi juga merupakan realitas pada kontes sekarang .

Pada dasarnya setiap agama menyerukan pada umatnya untuk berbuat baik kepada sesama, lingkungannya dan lebih- lebih kepada Tuhannya. Agama juga memberikan sangsi kepada penganutnya yang melanggar aturan-aturan normatif-formalistik yang tertulis dalam kitab sucinya. Meskipun setiap agama mempunyai keyakinan yang berbeda-beda tentang Tuhan, Kitab dan Nabi akan tetapi terdapat persamaan yang subtansial menyangkut ajaran-ajarannya walaupun ekspresi yang berbeda-beda dan perbedaan ini telah menyebabkan kecenderungan pemonopolian kebenaran (Truth Claim) dan menganggap yang lain sebagai bi'dah (Henetics). Sikap inilah yang membawa kepada konflik.

Konflik adalah menunjukan bahwa di sana terdapat keterangan yang disebabkan macam problem dalam masyarakat. Namun menurut Franklin Dukes, dalam masyarakat demokratis, konflik merupakan basis untuk perubahan sosial. Nah yang menjadi persoalan konflik yang terjadi adalah konflik kekerasan yang terjadi antar ummat beragama ditanah air ini seperti yang terjadi di Ambon, Aceh, Mataram dan yang lainya. Sehingga peristiwa ini menimbulkan kerugian yang sangat besar, baik material maupun non material, oleh kerena itu dalam makalah ini akan menguraikan konflik dan solusinya.

MEMAKNAI ISLAM SECARA DIALOGIS DAN INKLUSIF

Untuk membangun hubungan antar agama telah banyak upaya-upaya yang dilakukan para tokoh-tokoh agama dan istilah agamapun bermulah sudah cukup lama sekitar pada tahun 631 M yang bermula dari sebuah peristiwa yang disebut mubahala yang diadakan di Madinah. Yang ditandai dengan adanya debat polemic teoligis antara orang-orang Kristen dar Najran dan umat Islam.[i]

Agama dalam panggunng sejarah dunia mempunyai kecenderungan dan fonemena yang unik dan ambigu. Disatu sisi agama biasanya mempunyai klain sebagai wadah (institusi) penjaga perdamaian, sebagai agama kasih bagi semesta, tapi disisi lain agama masih sering terlibat dalam konflik sosial yang kemudian menjadi kekerasan atas nama agama maupun kekerasan yang di atas namakan Tuhan. Jika aspek pertama bersifat universal, inklusif dan humanis maka aspek kedua bersifat partikulr yang eksklusif dan destrukktif.

Al-Qur'an menerima pluralitas agama bahkan merupakan salah satu doktrin penting dan menegaskan kesatuan iman. Untuk hal ini al-Qur'an mengajarkan prinsip-prinsip dalam hubungan antar agama. Ini di jelaskan dalam al-Qur'an surat 5 ayat 48. Jika Allah menghendaki tentu dijadikan oleh-nya hanya satu ummat saja akan tetapi Allah hendak menguj kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Pada prinsipnya, sangat jelas bahwa Allah menciptakan berbagi manusia dengan tujuan agar manusia saling mengetahui, saling mengisi satu dengan yang lainya walaupun beda bahasa, warna kulitnya, budaya dan yang lainya.

Secara sosiologis dunia sekarang berada dalam lingkaran globalisme dan pluralisme etnis maupun agama maka sebuah keharusan bahwa komunitas masyarakat apapun yang hidup di era ini mempunyai visi yang adil dan toleransi terhadap keberagamaan.

Selain itu sebagai landasan untuk sikap keberagamaan yang inklusif dan dialogis, al-Qur'an menyeru kepada pemeluk agama untuk mencari titik temu (common platform). Ini terdapat dalam al-Qur'an surat 3 ayat 64.

Dalam perspektif Nurcholis Majid, Islam bisa memberikan kontribusi yang besar dalam konteks dialog antar agama, kontribusi tersebut hanya dapat tercapai melalui pemahaman "Islam" secara universal, Islam di sini bukan berarti sebuah agama yang dibawa oleh Muhammad tetapi Islam sebagai sebuah sikap ketertundukkan yang merupakan prinsip ajaran para Nabi terdahulu.[ii]

Prinsip dasar dari ide Nurcholis Majid ini berangkat dari keyakinan akan kesatuan kenabian (the unity of prophecy), dan kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity), yang keduanya bertolak dari konsep kemahaesaan Tuhan (the unity of god). Islam dengan yang umum inilah yang oleh al-Qur'an sebagai titik temu dari semua agama-agama ada di dunia. Perbedaan-perbedaan agama sebagai mana dilansir al-Qur'an hanya terletak pada syari'ah (jalan) dan minhaj (metode) belaka.

KESATUAN TRANSENDENTAL AGAMA-AGAMA

Sebagai keperluan teologi yang mencakup ide-ide universal, ide kesatuan agama bisa ditelusuri dalam perspektif perenialisme. Schoun dalam bukunya berpendapat bahwa dalam dataran Eksoteris atau (perwujudan : al-Dhowahir) agama menunjukkan gejala terpisah-pisah, tetapi dalam dataran Esoteris (Hakikat :al-Bawathin) agama mempunyai kecenderungan untuk menyatu dalam manifestasinya menuju kepada realitas mutlak.[iii]

Dalam prespektif perenialisme dataran Eksoteris, setiap agama tidak bisa disatukan karena memang mengandung unsur "Subyektif" salah satu jalan keluar dari "Subyektifitas" itu adalah menuju kepada hal yang "Obyektif" diharapkan bisa menerangi hal "Subyektif", yang obyektif dalam tradisi perenialisme sering diungkapkan dengan terminologi agama primordial yang sering diartikan sebagai warisan intelektual dan spiritual yang asing, isltilah Cak Nur adalah Islam dalam arti generik yaitu sikap pasrah. Agama primordial tersebut merupakan inti dari agama-agama dan tercermin dalam setiap agama, meskipun secara bersama-sama primordialisme tersebut tertimbun dalam tumpukan simbolisme dan kategori-kategori sosiologis.[iv]

DIALOG : MENUJU KERUKUNAN DAN KERJA SAMA

Pluralisme agama sesungguhnya merupakan rahmat Tuhan sekaligus juga merupakan kekayaan umat manusia, mustahil rasanya membayangkan pluralisme agama sebagai malapetaka bagi manusia, sekalipun berbagai fenomena sejarah acapkali mengindikasikan hal semacam itu. Sulit pula diterima akal membayangkan andai kata dalam tempo dekat ini terjadi kiamat, kemudian dilakukan pengadilan akhirat dan hanya satu agama yang benar sementara yang lainnya salah. Mayoritas penghuni dunia akan masuk neraka karena tidak satupun agama yang memiliki mayoritas muntlak. Jadi apakah agama-agama merupakan semacam opsi atau alternatif yang bebas dipilih sesuai dengan nurani masing-masing dan semuanya akan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan hidup di sini dan nanti bila dilakuka secara sungguh-sungguh? Hanya Tuhanlah yang mengatahui jawabannya.

Satu hal yang pasti benar adalah bahwa Tuhan hanya satu, mustahil -dalam arti sesungguhnya- Tuhan satu setengah, dua, tiga, empat atau lebih, dunia manusia hanya satu, tetapi ada banyak agama, dengan tidak sedikit perbedaan tapi juga banyak persamaan. One God many religions, atau One earth many religions, adalah suatu fakta kehidupan yang tidak dapt diingkari oleh siapapun.

Dalam kehidupan yang semakin mengglobalisasi ini, agama-agama menempati posisi dan peranan yang sangat strategis, globalisasi dunia menyebabkan terjadinya pembenturan-pembenturan nilai-nilai dan menumbuhkan berbagai problem baru dalam segi kehidupan masyarakat, nilai-nilai lama digugat dan dipertanyakan, sementara nila-nilai yang baru belum tumbuh dengan mapan. Akibatnya masyarakat hidup dalam semacam kebingungan dan ketidakmenentuan sehingga berada dalam krisis identitas.

Kehidupan zaman modern telah menentang agama-agama dengan banyak permasalahan diantaranya :

  1. Masalah eksistensi agama.
  2. Masalah relevansi ajaran-ajaran agama.
  3. Masalah peran agama
  4. masalah efektifitas agama untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan modern.

Dari beberapa permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan jalan keluar yang bersifat teoritis dan sebagian lagi bersifat praktis, tetapi semuanya haruslah bersifat konseptual, integratif, dan inklusif, sebab pendekatan yang tidak konseptual, parsial dan eksklusif, tidak akan menghasilkan jawaban efektif.

PENUTUP

Prahara dan bahaya yang saat ini tengah dihadapi oleh masyarakat modern adalah suatu bentuk kehidupan yang materialistik secara berlebih-lebihan dan kebingungan moral yang memacu perubahan secara tidak terkendali dan tidak terbayangkan. Di sisi lain, prahara yang dihadapi oleh manusia sekarang adalah sesuatu yang saat ini dikenal dengan istilah "kekosongan spiritual" dan gejala prilaku manusia yang serba membolehkan serta sikap hedonistik pribadi maupun kolektif sebagai motif utama dalam acuan moral dan etika pribadi dan masyarakat.

Situasi dan kondisi perkembangan masyarakat yang telah digambarkan di atas, akan dihadapi oleh seluruh agama dan umatnya. Mereka diharapkan dapat memainkan peranan yang cukup menentukan dalam mengantisipasi dan memecahkan berbagai macam persoalan yang timbul berdasarkan kemampuan masing-masing dengan memadukan antara realitas dan idealitas. Sesuai dengan peran agama sebagai landasan spiritual, moral dan etika pembangunan, maka, umat beragama diharapkan dapat memelihara, mengawal, mengamankan, dan memantapkan kehidupan beragama, antara lain dengan menjembatani jarak antara "Das sollen" dan "Das sein". Disinilah sesungguhnya inilah misi utama agama yang sangat penting, yang dapat dimainkan dalam skala luas maupun kecil sesuai dengan lingkungan mereka masing-masing.

Seberapa jauh misi di atas dapat diaktualisasikan, terutama dalam menghadapi tantangan masa depan, sangat tergantung pada berbagai faktor. Disamping menjadi sebuah tanggung jawab dari masing-masing agama, kerjasama antar agama juga sangat menentukan, sebab tidak ada agama yang dapat bekerja sendirian atau mengisolasi diri tanpa menjalin kerjasama dengan agama-agama lainnya. Disinilah ditemukan arti pentingnya dialog, dalam arti "saling berbagi", atau sharing yang menjadi semangat utama dialog keagamaan. Hal ini menjadi sangat penting, sebab sebuah dialog yang interaktif harus dibangun dan dilanjutkan dengan kerjasama yang konstruktif antar umat beragama.[v]



[i] W. Montgomery Watt, Muhammad at Madinah, London, Oxford University Press, 1956.

[ii] Nurcholis Majid, dkk, Passing Over : Melintas Batas Agama, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1998, hal.14

[iii] Frithjof Schoun, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Jakarta, Yayasan Obor, 1987, hal. 8-17

[iv]Abdurrahman Wahid, dkk, Dialog : Kritik dan Identitas Agama, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1994

[v] Djam'annuri, Makalah disampaikan dalam forum studi komparatif Fakultas Ushuluddin dengan STT Apostolos pada 19 April 2002 di STT Apostolos Jakarta.

No comments: