Saturday, May 3, 2008

IMAM MALIK DAN KITABNYA AL-MUWATTHA

Oleh: Lisfa Sentosa Aisyah

Abstrak:

Imam Malik adalah seorang ulama besar yang dikenal sebagai pendiri mazhab Maliki yang merupakan salah satu mazhab fikih terbesar di dunia Islam. Keahliannya dalam bidang fikih, tidak diragukan lagi, demikian pula keahliannya di bidang Hadis. Karya monumentalnya dalam bidang Hadis adalah kitabnya yang berjudul al-Muwattha. Kitab ini sangat sarat dengan Hadis-Hadis hukum, karena secara definisi ilmu Hadis, al-Muwattha adalah kitab Hadis yang disusun berdasarkan bab fiqih dan masih bercampur dengan qaul sahabat dan tabi’in. Bercampurnya Hadis Rasulullah dengan qaul sahabat dan tabi’in ini membuat keshahihan Hadis dalam kitab al-Muwattha menjadi diragukan.

Para ahli Hadis banyak yang melakukan penelitian tentang keshahihan Hadis yang ada dalam kitab al-Muwattha ini. Salah satunya adalah Ibnu Abdi al-Barr, seorang ulama Hadis yang bermazhab Maliki. Dari hasil penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa Hadis-Hadis dha’if yang tercantum dalam kitab al-Muwattha termasuk qaul sahabat dan tabi’’in-nya adalah bersambung sanadnya dari jalur lain. Maka, seluruh Hadis yang ada dalam kitab al-Muwattha karya imam Malik ini adalah shahih.

Pendahuluan

Imam Malik adalah salah seorang ulama fiqih yang terkenal sebagai pendiri mazhab Maliki dalam bidang fiqih. Mazhab ini cukup berkembang di dunia internasional, terutama di Andalusia. Selain sebagai ulama fiqih, ia pun dikenal sebagai ahli Hadis. Salah satu karyanya yang monumental dalam bidang Hadis adalah al–Muwattha. Kitab ini merupakan kitab Hadis yang sangat klasik, sehingga menarik untuk dikaji.

Keahlian imam Malik dalam meriwayatkan Hadis dapat kita lihat dalam kitabnya ini. Apakah sistem periwayatannya memenuhi kriteria kesahihan Hadis menurut jumhur muhadditsin atau tidak. Kitab ini pun sangat sarat dengan qaul sahabat dan tabi’in, sehingga sebagian orang mengkategorikan kitab ini sebagai kitab fiqih, bukan kitab Hadis. Meskipun demikian, jumhur muhadditsin berpendapat bahwa kitab ini dipandang sebagai kitab Hadis karena metode penyusunannya berdasarkan sistem periwayatan Hadis.

Tetapi, sebagai kitab Hadis, kitab ini perlu diteliti keshahihannya. Karenanya, penulis mencoba mengkaji seberapa jauh keshahihan Hadis dalam kitab al-Muwattha ini. Keshahihan sebuah Hadis dapat kita lihat dari metode periwayatan yang digunakan Imam Malik dalam kitabnya, sanad yang digunakannya, serta ketelitian redaksi matannya. Dalam hal ini, penulis hanya akan mengkaji sistem periwayatan dan sanad yang dipakai oleh imam Malik dalam al-Muwattha-nya.

Pembahasan

A. Biografi Imam Malik ibn Anas al-Asbuhy

1. Nasabnya

Ia adalah Imam Dar al-hijrah Abu Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn ‘Amr ibn al-Harits ibn Ghaiman ibn Khutsail ibn ‘Amr ibn al-Harits. Nasabnya terhenti pada Ya’kub ibn Yasyjub ibn Qahthan al-Asbuhy.[1] Banyak perbedaan pandangan dalam nasab asbuhynya. Al-Qadhi ‘Iyadh, dalam kitabnya “al- Madarik” mengutip banyak pendapat tentang hal ini. Ia berpendapat bahwa tidak ada pertentangan dalam nasabnya ke Qahthan, karenanya Imam Malik adalah orang Arab asli dari Arab Yaman, bukan orang Taimiy sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ishaq, tetapi keluarga Imam Malik memang bermitra dengan Utsman ibn Ubaidillah at-Taimiy, saudara Thalhah.[2]

Kakeknya Abu Amir adalah sahabat Rasulullah SAW. dan ikut berjihad pada semua peperangan bersama beliau kecuali perang Badar. Malik, kakeknya yang lain, termasuk ulama tabi’in dan salah seorang yang membawa Utsman RA. ke pemakaman pada malam hari.

Ayah Imam Malik, yaitu Anas ibn Malik bukanlah pembantu Rasulullah SAW. yang terkenal itu. Ayahnya tidak dikenal sebagai seorang yang tekun dalam menuntut ilmu, meskipun ia punya keinginan yang kuat untuk melakukannya dan ia mengetahui beberapa Hadis. Sedangkan ibu Imam Malik bernama ‘Aliyah binti Syarik al-Ajdiah. Dan paman-pamannya adalah Abu Suhail, Nafi’, Uwais, al-Rabi, al-Nadhr, dan anak-anak Abi Amir. Keluarga Imam Malik semuanya menekuni Hadis dan fatwa.[3]

2. Perjalanan Hidup dan Sifatnya

Menurut pendapat yang paling dapat dipercaya, Imam Malik dilahirkan pada tahun 93 H. yaitu tahun wafatnya Anas, pembantu Rasulullah SAW., setelah dikandung ibunya selama tiga tahun.[4]

Di masa kecilnya, ia sudah menghafal al-Qur’an, al-Hadis, mempelajari fatwa sahabat, fikih, dan menolak orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Ia rajin menuntut ilmu, dan Allah telah mengaruniainya kekuatan hafalan. Pada awalnya ia dikenal sebagai orang yang miskin, kemudian setelah itu ia dikaruniai rizki yang melimpah oleh Allah SWT.

Imam Malik belajar fikih dari Rabi’ah. Rabi’ah adalah seorang tabi’in yang cerdas. Nama aslinya adalah Abu Utsman Rabi’ah ibn Abi Abd al-Rahman al-Qurashi, ia disebut juga dengan Rabi’ah al-Ra’yi, karena ia terkenal dalam argumentasi dan analoginya, dan ia juga dikenal sebagai orang yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit di kalangan orang Madinah di samping juga sebagai ketua tim fatwa. Para ulama juga bersepakat tentang ke-tsiqah-an dan ketinggian ilmunya. Karena ketinggian ilmunya itulah, maka Imam Malik sampai berkata : “Manisnya fikih hilang setelah meninggalnya Rabi’ah”. Rabi’ah wafat di Madinah -ada juga yang mengatakan di Irak- pada tahun 136 H.[5] Setelah wafatnya Rabi’ah, Imam Malik menuntut ilmu dari banyak guru sehingga al-Nawawi berpendapat bahwa guru Imam Malik berjumlah 900 orang, 300 di antaranya dari kalangan tabi’in dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in. Di antara gurunya yang paling cerdas adalah Abdurrahman ibn Hurmuz al-A’raj dan Nafi’ Maula Abdillah ibn Umar.

Imam Malik belajar dari sejak muda yaitu sekitar umur 17 tahun. Ia memilih masjid Rasulullah SAW. (Masjid Nabawi) di Madinah sebagai tempat belajarnya, tepatnya di tempat yang biasa diduduki khalifah Umar ibn al-Khatab sebagaimana juga biasa diduduki oleh Rasulullah SAW. juga. Dalam perjalanan menuntut ilmu ini, ia tidak pindah belajar ke rumahnya sampai ia terkena sakit. Imam Malik sangat tekun dalam menuntut ilmu sehingga ia sangat cerdas. Oleh karena itu, banyak orang berduyun-duyun mendatanginya untuk menimba ilmu darinya. Bahkan ia mempunyai martabat yang tinggi di kalangan banyak orang.[6] Dasar-dasar mazhabnya sama dengan Imam yang lain: al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, qiyas, ‘amal ahli Madinah, dan al-Mashalih al-Mursalah. Menurut Imam Malik, ‘amal ahli Madinah lebih kuat daripada Hadis ahad, jika Hadis ahad bertentangan dengan ‘amal ahli Madinah maka ‘amal ahli Madinah lebih didahulukan.[7]

Imam Malik menikah dengan gadis budak. Ia sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Dari pernikahannya ia dikaruniai tiga putera dan satu puteri yaitu Muhammad, Hammad, Yahya, dan Fatimah. Fatimah hafal dan menguasai kitab ayahnya al-Muwattha, karena ia suka ikut dan mendengarkan orang yang belajar kepada bapaknya. Puterinya inilah yang mencapai martabat keilmuan yang tinggi yang kemudian disusul oleh anaknya yang lain.[8]

Imam Malik berkulit putih kemerah-merahan, berbadan tinggi, kepala dan jenggotnya beruban, dan bermata biru. Ia suka mengenakan pakaian yang bagus dan sopan serta memakai wewangian.[9] Imam Malik sering shalat di masjid, baik shalat wajib, shalat Jum’at, maupun shalat jenazah. Ia juga sering menjenguk orang yang sakit, menunaikan segala kewajibannya, dan bergaul bersama para sahabatnya.

Majelis Imam Malik adalah majelis yang penuh khidmat. Ia adalah orang yang mulia, sehingga dalam majelisnya tidak ada sedikitpun perdebatan dan suara yang keras. Banyak orang asing yang belajar kepadanya. Ia juga mempunyai seorang sekretaris yang mencetak buku-bukunya, sekretarisnya itu bernama Abu Muhammad Habib ibn Abi Habib. Habib inilah yang suka membacakan Hadis kepada murid-murid Imam Malik.

Imam Malik terkena mihnah pada tahun 147 H. yang menyebabkannya terkena siksaan fisik. Mengenai sebab terjadinya mihnah ini terdapat perberbedaan pendapat, ada yang mengatakan karena ia berfatwa tentang tidak adanya talak mukrah karena mereka membenci orang yang bersumpah talak ketika bai’at sehingga mereka berpendapat bahwa fatwa Imam Malik membuat orang-orang menghalalkan orang yang membatalkan bai’at. Ada juga yang mengatakan bahwa sebabnya berawal dari pertanyaan ibn al-Qasim kepada Imam Malik tentang kebolehan dibunuhnya orang yang membangkang. Imam Malik menjawab pembangkang itu boleh dibunuh jika mereka keluar seperti Umar bn Abdi al-Aziz. Jika tidak demikian, biarkanlah mereka diazab Allah. Fatwa inilah yang menyebabkan terjadinya mihnah kepada Imam Malik dengan mendapat 70 pukulan oleh algojo khalifah al-Manshur di Madinah. Tetapi mihnah ini terjadi tanpa sepengetahuan khalifah al-Manshur, maka ketika berita ini sampai kepada khalifah, ia sangat marah kepada algojonya.[10]

Imam Malik menghasilkan fatwanya setelah penelitian yang lengkap dan ijtihad yang dalam. Ia tidak menganggap fatwanya itulah yang paling benar, bahkan ia menyuruh orang-orang untuk mengecek kembali kebenaran pendapatnya itu, seperti yang dikatakan Abu Nu’aim di bawah ini :

حدثان محمد بن عاصم قال : سمعت المفضل بن محمد الجندى يقول : سمعت مالك بن أنس يقول : " ماأفتيت حتى شهد لى سبعون أنى أهل لذلك. " ويقول الإمام مالك : " إن نظن إلا ظنا وما نحن بمستيقنين."[11]

“ Diceritakan pada kami oleh Muhammad ibn ‘Ashim, ia berkata: saya mendengar al-Mufaddhal ibn Muhammad al-Jundi berkata: saya mendengar Imam Malik ibn Anas berkata: Aku tidak berfatwa sampai tujuh puluh orang mengakui kalau aku orang yang ahli dalam hal itu. Kemudian Imam Malik membaca ayat: “ yang kami kira ini hanyalah prasangka dan kami bukanlah orang yang dapat diyakini.”

Imam Malik sakit selama 22 hari, kemudian wafat pada hari Ahad tanggal 10 -ada juga yang mengatakan tanggal 14 -Rabi’ul Awal tahun 179 H., dan dimakamkan di al-Baqi.[12]

3. Guru dan Muridnya

Imam Malik belajar dari banyak guru, yaitu sekitar 900 orang. Di antara mereka adalah: Rabi’ah al-Ra’yi ibn Abi Abdi al-Rahman (wafat 136 H.) yang dikenal keahliannya dalam fikih dan Hadis, Abdurrahman ibn Hurmuz Abu Bakar ibn Abdillah ibn Yazid (wafat 148 H.), Ibnu Syihab al-Zuhri (wafat 124 H.) yang dianggap sebagai tokoh yang mengkodifikasi Hadis, Nafi’ ibn Sarj Abu Abdillah al-Dailami Maula Abdillah ibn Umar, Ja’far ibn Muhammad ibn Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib al-Madani (wafat 148 H.)[13], Ibnu al-Munkadir, dan lain-lain.

Murid Imam Malik berjumlah sekitar 1000 orang yang mangambil Hadits darinya. Di antaranya Ahmad ibn Ismail Abu Huzafah al-Sahmi al-Madani, Hamad ibn Salamah, Khalid ibn Makhlad al-Gatfani, Daud ibn Abdullah al-Ja’fari, Sufyan al-Tsauri, sufyan ibn ‘Uyainah, Syu’bah ibn al-Hajaz, Abdullah ibn al-Mubarok, al-Laits ibn Sa’ad, Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit, Waqi’ ibn al-Jarah, Yahya ibn Sa’id al-Anshari, anaknya Yahya, Yahya ibn Sa’id al-Qatthan, Abu ‘Urwah al-Zubairi, dan putri Imam Malik yang bernama Ummu al-Banin, dan lain-lain.[14]

4. Perhatiannya Terhadap Hadis Nabi

Para ulama bersepakat akan keahlian dan keagungan Imam Malik dalam Hadis, meneliti perawi, dan menetapkan hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan sanadnya dalam periwayatan Hadis dianggap sebagai ashahhu al-asanid (sanad yang paling shahih) menurut ulama Hadis, sehingga ia dijuluki dengan silsilah al-dzahab (jalur emas), mereka juga bersepakat bahwa Imam malik adalah seorang perawi yang tsiqah, ‘adil, dhabit, dan teliti dalam menerima Hadis.[15]

Imam Malik teguh dalam memegang Hadis, mengetahui rijal Hadis, sehingga banyak guru dan teman-temannya yang menerima Hadis darinya. Ia tinggal di Madinah sebagai tempat bersumbernya Hadis dan wahyu sehingga Imam Malik tidak melakukan rihlah ke negara lain. Oleh karena itu, kita akan menemukan kebanyakan riwayatnya dari ahli al-Hijaz dan sedikit sekali dari negeri lain. Orang-orang dari segala penjuru dunia banyak yang mendatangi Imam Malik untuk belajar Hadis dan menanyakan berbagai masalah kepadanya karena kecerdasannya dalam ilmu Hadis dan fikih.

Salah satu indikasi kecintaannya kepada Hadis Rasulullah SAW. adalah makruhnya meninggikan suara ketika belajar Hadis. Ia berdalil dengan firman Allah pada surat al-Hujurat ayat 2 sebagai berikut:

يا أيها الذين امنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبى

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah engkau tinggikan suaramu di hadapan nabi”

Kecintaan Imam Malik kepada Hadis mencakup kecintaannya kepada para sahabat Rasulullah SAW.

Berikut ini komentar para ulama tentang ketinggian dan kecerdasan Imam Malik:

1. Ibnu Mahdi berkata: “tidak ada seorangpun yang lebih tinggi dari Imam malik dalam keshahihan Hadis”.[16]

2. Imam Syafi’i berkata: “Jika datang Hadis, maka Imam Maliklah bintangnya”. Ia juga berkata: “Jika disebut para ulama, maka Imam Maliklah bintangnya.”[17]

3. Al-Bukhari berkata: “Sanad yang paling shahih adalah Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar”.[18]

Imam Malik sangat tawadhu dan sangat mencintai Rasulullah SAW. hingga ia tidak pernah mengendarai atau menunggang kuda di Madinah sebagai penghormatan kepada tanah tempat dikuburkannya jasad Rasulullah SAW. Hal ini menunjukkan kecintaan dan penghormatannya kepada Rasulullah SAW. Salah satu contoh aplikatif perhatiannya terhadap Hadis nabi adalah karyanya yang monumental dalam bidang Hadis yaitu kitab al-Muwattha yang menghimpun Hadis-Hadis Rasulullah SAW.[19]

5. Karya-Karyanya

Imam Jalaluddin al-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya Tazyin al-Mamalik, bahwa Imam Malik mengarang beberapa kitab, di antaranya kitab al-Muwattha dalam bidang Hadis dan fikih, kitab tafsir Gharib al-Qur’an al-Karim, kitab al-Surur, Risalah Fi al-fatwa , Risalah Fi al-Nujum, Risalah Fi al-Aqdhiyah, Risalah Fi al-Qadar Wa al-Raddu ’ala al-Qadariyah, risalah fi al-Wa’zhi ila al-Khalifah Harun al-Rasyid. Tetapi karya-karya Imam Malik ini masih diragukan kebenarannya kecuali kitab al-Muwattha.

B. Mengenal Kitab Al-Muwattha

1. Definisi al-Muwattha

Al-Muwattha secara etimologi berarti yang dipermudah dan dipersiapkan. Dikatakan dalam kamus :

ووطأه : هيأه ودمثة وسهله.

“Disiapkan dan dimudahkan”.[20]

Lafaz al-Muwattha juga bermakna yang dibentangkan dan diperbaiki (dibetulkan).[21]

Sedangkan al-Muwattha secara terminologi di kalangan ahli Hadis berarti:

الكتاب المرتب عل الأبواب الفقهية, ويشتمل عل الأحاديث المرفوعة والمو قوفة والمقطوعة, فهو "كالمصنف" تماما وان اختلفت التسمية.

“Kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, dan mencakup Hadis-Hadis marfu, mauquf dan maqthu’. Istilah ini sama dengan istilah al-mushannaf meskipun namanya berbeda.”[22]

2. Sebab Penyusunannya

Sebab penamaan kitab ini dengan “al-Muwattha” karena pengarangnya memudahkannya untuk orang-orang. Adapula yang mengatakan bahwa sebab Imam Malik menamakan kitabnya dengan al-muwattha sebagaimana yang diriwayatkan darinya bahwasanya ia berkata :

"عرضت كتابى هذا على سبعين فقيها من فقهاء المدينة. فكلهم واطأنى عليه-أى وافقنى عليه-,فسميته الموطأ"

“Saya sampaikan kitabku ini kepada tujuh puluh fuqaha Madinah, kemudian mereka semua menyetujuiku, kemudian aku menamakannya “al-Muwattha”.[23]

Di samping itu, Abu Ja’far al-Mansur, salah seorang khalifah Abbasiyah, meminta Imam Malik untuk menghimpun Hadis-Hadis yang ada padanya, agar menyusunnya pada satu buku, dan menyampaikannya kepada orang-orang. Kemudian Imam Malik menyusun kitabnya yang kemudian diberi nama “al-Muwattha”.

Di samping sebab-sebab di atas, kondisi pada masa Imam Malik hidup itu menuntutnya untuk menyusun Hadis dalam sebuah buku, tidak dalam lembaran yang dikhawatirkan tercecer seperti pada abad I Hijriyah. Pada saat yang bersamaan, banyak ulama lain di belahan dunia Islam seperti Mesir, Syam, Irak, Yaman, Khurasan, dan lain-lain juga melakukan hal yang sama dengan Imam Malik.[24]

Imam Malik sangat bersungguh-sungguh dalam menyusun kitabnya ini, sampai ada yang mengatakan ia menyusunnya selama empat puluh tahun sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abdi al-Barr dari Umar ibn Abdi al-Wahid al-Auza’i, katanya:

عرضنا على مالك الموطأ فى أربعين يوما فقال: كتاب ألفته فى أربعين سنة أخذتموه فى أربعين يوما ما أقل ما تفقهون فيه.

“Kami belajar kitab al-Muwattha kepada Imam Malik selama empat puluh hari, lalu Imam Malik berkata: “Kitab yang saya susun selama empat puluh tahun hanya akan engkau pelajari selama empat puluh hari. Betapa sedikit yang kalian kuasai darinya.”[25]

3. Jumlah Hadis al-Muwattha

Para ulama berbeda pendapat dalam menghitung jumlah Hadis dalam kitab al-Muwattha. Ibnu al-Habbab berpendapat bahwa Imam Malik meriwayatkan seratus ribu Hadis, sepuluh ribu di antaranya dihimpun dalam al-Muwattha, kemudian disesuaikan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan atsar sehingga tinggal lima ratus Hadis. Abu Bakar al-Abhari berpendapat bahwa jumlah atsar Nabi, sahabat, dan tabi’in dalam al-Muwattha, seluruhnya seribu tujuh ratus dua puluh Hadis. Dari jumlah tersebut, yang musnad ada enam ratus Hadis, dua ratus dua puluh dua Hadis mursal, enam ratus tiga belas Hadis mauquf, dan dua ratus delapan puluh lima qaul tabi’in.

Sementara itu, Ibnu Hazm berpendapat bahwa ia menghitung Hadis dalam al-Muwattha dan Hadis Sufyan ibn ‘Uyainah jumlahnya lima ratus Hadis musnad pada setiap kitab tersebut, tiga ratus lebih Hadis mursal, tujuh puluh Hadis lebih yang tidak diamalkan oleh Imam Malik sendiri, dan ada juga Hadis yang dianggap dha’if oleh para ulama.[26]

Perbedaan pendapat ulama dalam menghitung Hadis al-Muwattha ini karena perbedaan perawinya. Ulama yang menghitung Hadis tersebut menghitung sesuai dengan riwayat yang ia terima. Oleh karena itu, al-Suyuthi dalam kitab Tadrib al-Rawi mengutip perkataan al-Hafiz Shalahuddin al-‘Alai sebagai berikut:

روى الموطأ عن مالك جماعات كثيرة وبين رواياتهم اختلاف من تقديم وتأخير وزيادة ونقص ومن أكبرها زيادات رواية ابن مصعب يعنى نحو مائة حديث. كذلك فى رواية محمد بن الحسن مائة وخمسة وسبعون حديثا زادها من غير طريق مالك منها ثلاثة عشر عن أبى حنيفة و أربعة عن أبى يوسف والباقى عن غيرهما. ومن ذلك اختلفت اقوال الناس فى عد أحاديث الموطأ.

“Banyak orang yang meriwatkan al-Muwattha dari Imam Malik, dan terdapat perbedaan dalam periwayatan mereka tersebut seperti ada yang dimajukan, diakhirkan, tambahan, dan pengurangan. Riwayat yang paling banyak tambahannya adalah riwayat Ibnu Mus’ab, yaitu sekitar seratus Hadis. Begitu juga dengan riwayat Muhammad ibn al-Hasan ada sekitar 175 Hadis yang ditambahkan bukan lewat jalur Imam Malik, di antaranya 13 dari Abu Hanifah, 4 dari Abu Yusuf, dan sisanya selain dari keduanya. Oleh karena itu, orang-orang berbeda pendapat dalam menghitung Hadis-hadis al-Muwattha.

4. Riwayat-Riwayat al-Muwattha

Terdapat banyak naskah al-Muwattha, dan yang terkenal mencapai sekitar 30 naskah dengan berbagai perbedaan tambahan dan pengurangan sesuai dengan perawinya. Imam Al-Suyuthi menyebutkan ada 14 naskah yang terkenal, di antaranya: naskah Yahya ibn Yahya al-Laitsi al-Andalusi, Naskah Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al-Qasim Qadhi Madinah, naskah Imam Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani pengikut Abi Hanifah, naskah Ibnu Wahab, Naskah Ibnu Bakir, naskah Muhammad ibn Mubarak al-Shuri, dan lain-lain.[27]

Dari naskah-naskah al-Muwattha tersebut di atas, riwayat Yahya ibn Yahya ibn Katsir al-Laitsi al-Andalusi lah yang dianggap paling shahih dan paling masyhur. Kitab al-Muwattha yang ada sekarang adalah riwayat Yahya tersebut. Riwayat yang paling besar adalah riwayat Abdullah ibn Muslim al-Qa’nabi, dan riwayat yang paling banyak tambahannya adalah riwayat Abi Mus’ab Ahmad ibn Abi Bakr al-Qurasyi al-Zuhri Qadhi Madinah. Jumlah Hadis yang paling banyak terdapat pada riwayat Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani, dan pada riwayat ini banyak Hadis-Hadis mudah yang diriwayatkan bukan dari Imam Malik serta tambahan dari riwayat yang masyhur tetapi juga tidak mencantumkan beberapa Hadis yang jelas termaktub pada riwayat lain.[28]

5. Syarah al-Muwattha

Para ulama banyak yang men-syarah-kan (memberikan penjelasan) kitab al-Muwattha, di antaranya:

a. al-Hafiz Abu Umar ibn Abdi al-Barr al-Namiri al-Qurthubi (wafat 463 H.) yang mengarang dua syarah, yaitu “al-Tamhid Lima fi al-Muwattha min al-Ma’ani Wa al-Asanid” yang disusun berdasarkan nama guru (syekh) Imam Malik secara abjad. Dan yang kedua berjudul “Kitab al-Istidzkar fi Syarh Madzahib ‘Ulama al-Amshor”.

b. Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H.) yang mensyarah dengan judul “Kasyf al-Mughattha fi Syarh al-Muwattha” yang kemudian diringkasnya dalam “Tanwir al-Hawalik”.

c. Muhammad ibn Abd al-Baqi al-Zarqani al-Mishri al-Maliki (wafat 1014 H.) yang mensyarah dalam tiga jilid buku yang cukup besar.

d. Abu al-Walid Sulaiman ibn Khalaf al-Baji al-Andalusi yang menamakan syarahnya dengan “al-Istifa”.[29]

6. Sanad dan Perawi dalam al-Muwattha

Sanad yang digunakan Imam Malik dalam meriwayatkan Hadis musnad yang terdapat pada kitab al-Muwattha adalah:

a. Hadis Ibnu Umar dari Nabi SAW., biasanya ia riwayatkan dari Nafi’, Abdullah ibn Dinar, dan terkadang Ibnu Umar meriwayatkan dari ayahnya dari Nabi SAW.

b. Hadis Aisyah dari Nabi SAW. -biasanya diriwayatkan melalui jalur Ibnu Syihab dari ‘Urwah, atau melalui Qasim dari Aisyah, dari Hisyam ibn ‘Urwah dari ayahnya, dari Aisyahnya sendiri, atau melalui Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari Aisyah.

c. Hadis Abu Hurairah dari Nabi SAW. diriwayatkannya dari beberapa guru, di antaranya: Ibnu Syihab dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah, Ibnu Syihab dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, Abu al-Zanad dari al-A’raj dari Abi Hurairah, al-‘A’la ibn Abdirrahman dari ayahnya dari Abi Hurairah, Yahya ibn Sa’id dari Sa’id ibn al-Musayyab dari Abi Hurairah, Suhail ibn Abi Shalih dari ayahnya dari Abi Hurairah, Sumayya dari Abi Shalih dari Abu Hurairah, dan Sa’id ibn Abi Sa’id dari ayahnya dari Abi Hurairah.

d. Hadis Anas dari Nabi SAW. diriwayatkannya dari Ibnu Syihab al-Zuhri, Ishaq ibn Abdillah ibn Abi Thalhah, dan Humaid.

e. Hadis Jabir dari Nabi SAW. diriwayatkan melalui tiga orang tanpa perantara, mereka itu adalah Abu al-Zubair, Wahab ibn Kaisan, dan Humaid al-Thawil, semuanya langsung dari Jabir. Di samping itu, Imam Malik juga meriwayatkan dari Ja’far ibn Muhammad dari ayahnya dari Jabir.

f. Hadis Abi Sa’id al-Khudri dari Nabi SAW. diriwayatkan melalui Abdurrahman ibn Abdullah al-Mazini dari ayahnya dari Abi Sa’id, ‘Amr ibn Yahya al-Mazini dari ayahnya dari Abi Sa’id, dan Muhammad ibn Abdillah ibn Abi Sha’sha’ah dari ayahnya dari Abi Sa’id.

g. Hadis Sahl ibn Sa’ad dari Nabi SAW. biasanya diriwayatkan dari Abi Hazim dari Sahl ibn Sa’ad.

Hampir lima ratus Hadis yang diriwayatkan Imam Malik dengan sanad di atas. Hadis-Hadis tersebut merupakan Hadis yang paling shahih di segala penjuru dunia. Adapun riwayat Imam Malik dari Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn Abbas jumlahnya sangat sedikit. Hal ini karena mereka berdua tidak menetap di kota Imam Malik dan ia juga tidak pernah bertemu rijal Hadisnya. Meskipun demikian, ia telah meriwayatkan beberapa Hadisnya.

Imam Malik biasanya meriwayatkan Hadis Ali ibn Abi Thalib melalui Ibnu Syihab dari Abdullah dan al-Hasan, keduanya anak Muhammad ibn al-Hanafiyah dari ayah mereka berdua. Adapun Hadis Ibnu Abbas dari Nabi SAW. biasa diriwayatkan melalui Ibnu Syihab dari Ubaidillah ibn Abdillah ibn ‘Utbah dari ibn Abbas.[30]

Al-Muwattha juga memuat banyak sanad yang disebut “Ashahhu al-Asanid” (Sanad yang paling shahih) oleh para ulama. Beberapa sanad itu adalah:

a. Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Dalam al-Muwattha, sanad ini berjumlah sekitar enam puluh lima Hadis.

b. Malik dari Abi al-Zanad dari al-A’raj dari Abi Hurairah. Dalam al-Muwattha, sanad ini tertulis sekitar lima puluh empat Hadis.

c. Malik dari al-Zuhri dari Salim ibn Abdillah ibn Umar dari ayahnya. Sanad ini berjumlah sekitar enam Hadis.

d. Malik dari al-Zuhri dari Ibnu al-Musayyab dari Abi Hurairah. Sanad ini kira-kira ada sembilan Hadis.

e. Malik dari al-Zuhri dari ‘Urwah ibn al-Zubair dari Aisyah. Sanad ini sekitar dua belas Hadis.

f. Malik dari al-Zuhri dari Anas sekitar lima Hadis.[31]

7. Derajat Hadis al-Muwattha

Imam Malik hanya meriwayatkan Hadis dari orang yang ‘adil dan terpercaya dalam sikap, akidahnya, kecerdasan, dan tingkah lakunya. Imam Malik pernah berpesan agar jangan menimba ilmu dari empat golongan, yaitu: dari orang yang dikenal bodoh meskipun terpandang, orang yang sering berdusta meskipun tidak dituduh berdusta kepada Rasulullah SAW., orang yang mengikuti hawa nafsunya sehingga mengajak orang lain untuk menuruti hawa nafsunya, dan juga dari seorang guru meskipun dikenal rajin ibadah dan keagungannya jika ia tidak mengetahui apa yang ia ucapkan.

Di antara kehati-hatiannya dalam menyeleksi perawi yang tsiqah adalah bahwa Imam Malik pernah menemukan tujuh puluh perawi yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda demikian, dan mereka adalah orang yang amanah (dapat dipercaya) sehingga jika salah satu dari mereka dipercaya untuk menjaga bait al-mal pasti mereka amanah. Tetapi tidak boleh menimba ilmu dari mereka karena mereka bukan orang yang ahli di bidang Hadis dan fatwa. Dalam bidang Hadis dan fatwa ini dibutuhkan orang yang bertakwa, wara’, profesional, cerdas dan pintar, sehingga mengetahui secara jelas.[32]

Imam Malik dikenal sebagai seorang yang tasyaddud (teliti dan ketat) dalam meriwayatkan Hadis, sehingga ia mensyaratkan perawi Hadis haruslah dapat menghafal kitab sampai dia meyakini bahwa yang ada dalam kitab itu adalah Hadisnya. Banyak metode dalam meriwayatkan Hadis, tetapi dari beberapa metode itu ada kemungkinan terjadi perubahan Hadis atau kurang teliti. Oleh karena itu, Imam Malik hanya menggunakan beberapa metode saja dalam meriwayatkan Hadis. Di antaranya adalah metode sima’, qira’ah kepada syekh (guru), mukatabah, dan munawalah. Semua metode ini yang baik dalam periwayatan Hadis. Tetapi Imam Malik tidak membolehkan metode ijazah, yaitu guru mempersilahkan muridnya untuk meriwayatkan semua atau sebagian Hadisnya secara detail tanpa terjadi perubahan. Ia menolak metode ­ijazah ini karena ia memberikan syarat agar si al-mujaz lah (murid) yang menerima hadis ini merupakan orang yang menguasai Hadis sehingga tidak mungkin terjadi perubahan atau penyimpangan. Di samping itu, ia juga mensyaratkan supaya Hadis yang diriwayatkan dari kitab syekhnya sesuai dengan yang dimiliki gurunya seolah sama persis. Syarat ketiga yaitu guru yang memberikan ijazah hendaklah orang yang menguasai Hadis yang diriwayatkannya, tsiqah dalam agama dan periwayatannya, serta dikenal mahir.

Setelah mengetahui ketelitian Imam Malik dalam meriwayatkan Hadis di atas, tak heran jika para ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa semua Hadis dalam al-Muwattha adalah shahih, semua sanadnya bersambung, dan semua Hadis mursal dan munqathi’ di dalamnya, sanadnya bersambung dari jalur lain.

Ibn Abdi al-Barr mengarang kitab yang menyambungkan Hadis-Hadis mursal, munqathi’ dan mu’addhal dalam al-Muwattha. Ia berkata:

ما فيه من قوله "بلغنى " ومن قوله "عن الثقة" عنده مما لم يسنده أحد وستون حديثا كلها مسندة من غير طريق مالك إلا أربعة لا تعرف:

أحدها : إنى لا أنسى ولكن أنسى لأسن (أخرجه فى كتاب السهو، حديث 2)

والثانى: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أرى أعمار الناس قبله، أو ما شاء الله من ذلك، فكأنه تقاصر أعمار أمته أن لا يبلغوا من العمل مثل الذى بلغ غيرهم فى طول العمر، فأعطاه الله ليلة القدر خير من ألف شهر (أخرجه فى كتاب الاعتكاف، حديث 15)

والثالث: أن معاذ بن جبل قال: آخر ما أوصانى به رسول الله صلى الله عليه وسلم حين وضعت رجلى فى الغرز أن قال "أحسن خلقك للناس، يا معاذ بن جبل (أخرجه فى كتاب حسن الخلق، حديث 1).

والرابع : إذا أنشأت بحرية ثم تشاءمت فتلك عين غديقة (أخرجه فى كتاب الاستسقاء، حديث 5).[33]

“Semua perkatan Imam Malik seperti “balaghani” (telah sampai kepadaku) dan “‘an al-tsiqah” yang tidak disambungkan ada 61 Hadis, semuanya bersambung bukan lewat jalur Imam Malik kecuali empat Hadis yang tidak diketahui, yaitu:

Pertama, Sesungguhnya Aku tidak lupa, tetapi Aku lupa ..... (diriwayatkan dalam Bab Sahwi, Hadis kedua)

Kedua, Sesungguhnya Rasulullah SAW. diperlihatkan umur orang-orang sebelumnya, apapun yang Allah kehendaki terhadap hal itu, seolah Allah mengurangi umur umatnya sehingga tidak dapat mencapai amal seperti orang-orang lain yang berumur panjang. Kemudian Allah memberikan lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan kepada Rasulullah SAW. (diriwayatkan dalam bab i’tikaf, Hadis kelima belas)

Ketiga, Mu’adz Ibn Jabal berkata: Pesan terakhir yang diwasiatkan Rasulullah SAW. kepadaku ketika aku meyimpan kakiku ke kaki beliau bersabda: “Baguskanlah akhlakmu kepada semua orang, hai Mu’az Ibn Jabal. (diriwayatkan dalam kitab Husn al-khuluq, Hadis pertama)

Keempat, Jika menggumpal di laut, kemudian malang, maka itu adalah hujan lebat (diriwayatkan dalam kitab al-Istisqa, Hadis kelima).”

Akan tetapi, keempat Hadis di atas sudah disambungkan sanadnya oleh Imam ibn al-Shalah, sehingga semua Hadis dalam al-Muwattha shahih. Oleh karena itu, jumhur muhadditsin berpendapat bahwa kedudukan al-Muwattha berada setelah shahihain atau setelah Shahih Bukhari dan Muslim. [34]

Penutup

Al-Muwattha sebagai kitab Hadis, perlu diteliti keshahihannya. Keshahihan sebuah Hadis dapat kita lihat dari metode periwayatan yang digunakan Imam Malik dalam kitabnya, sanad yang digunakannya, serta ketelitian redaksi matannya.

Imam Malik hanya meriwayatkan Hadis dari orang yang ‘adil dan terpercaya dalam sikap, akidahnya, kecerdasan, dan tingkah lakunya. Di antara kehati-hatiannya dalam menyeleksi perawi, ia hanya menerima perawi dengan derajat tsiqah.

Imam Malik dikenal sebagai seorang yang tasyaddud (teliti dan ketat) dalam meriwayatkan Hadis, sehingga ia mensyaratkan perawi Hadis haruslah dapat menghafal kitab sampai dia meyakini bahwa yang ada dalam kitab itu adalah Hadisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Ta’liq dan Takhrij al-Muwattha (Kitab al-Syu’ab),

Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah Al-Dainuri, Abu Muhammad, al-Ma’arif, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H./1987 M., Cet. 1

Ahmad ibn Abdullah al-Asfahany, Abu Nuaim, Hilyah al-Aulia Wa Thabaqat al-Ashfiya, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Juz VI

Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Al-Hafiz, Taqrib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M., Cet. 1, Jil. II

………………………………………………, ditahqiq oleh Abdul Mukti Amin Qal ‘Ahji, Silsilah Al-Dzahab Fi ma Rawahu al-Imam al-Syafi’i ‘An Malik ‘An Nafi’ ‘An Ibnu Umar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1402 H/1982 M Cet. 1

Al-Atsir, Ibn, al-Kamil Fi al-Tarikh, Beirut: Dar al-Fikr, 1402 H./1982 M., Jil. VI, h. 147. dan Hajy Khalifah, Kasyf al-Zhunun ‘An Asamial-Kutub Wa al-Funun, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H./1990 M., Jil. VI

Ali ibn al-Husain ibn Ali al-Mas’udi, Abi al-Hasan, Muruj al-Dzahabi, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Jil. III

Al-Suyuthi, Jalaluddin, Tanwir al-Hawalik, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Juz I

Al-Syirbasi, Muhammad, Yas’alunaka Fi al-din Wa al-Hayat, Beirut: Dar al-Jaiy, 1401 H/1981 M., jil. VI

Al-Thahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1403 H/1983 M., Cet. 5

Anis, Ibrahim dkk. al-Mu’jam al-Wasith , Beirut: Dar al-Fikr, tt., juz 2

Baliq, Izzuddin, Minhaj al-Shalihin Min Ahadits Wa Sunnati Khatam al-Anbiya Wa al-Mursalin, Beirut: Dar al-Fatah, 1398 H./1978 M. Cet. 1

Chalil, Moenawar, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992 M., Cet. 8

Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. 3, Jil. III

Fauzi Abdul Muthalib, Rif’at, Kutub al-Sunnah, Dirasah Tautsiqiyyah, Maktabah al-Khanji, 1399 H/1979 M, Cet. 1, Juz I

Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1

Ibn Ahmad ibn Utsman al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad, Siyar A’lam al-Nubala , Beirut: Muassasah al-Risalah, 1410 H/1990 M., Cet. 7, Juz VIII

Ibn Ja’far al-Kattani, Muhammad, al-Risalah al-Mustathrafah Li Bayan Masyhur Kutub al-Sunnah al-Musyarrafah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1400 H, Cet. 2

Ibn Katsir al-Laitsi al-Andalusi, Yahya ibn Yahya, al-Muwattha’ Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H./1989 M., Cet. 1

………………. , al-Bidayah Wa al-Nihayah, Jil. I

Ibn Sa’id al-Tanuji, Sahnun, al-Mudawwanah Al-Qubra li al-Imam Malik ibn Annas al-Asbuhy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H/1994 M., Cet. 1, Juz I

Rahman, Fatchur, Ikhtishar Mushthalah al-Hadis, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987, Cet. 5

Samsuddin Muhammad al-Dzahabi, Abu Abdillah, Kitab Tazkirah al-Huffazh, Beirut: Dar Al-Kutub al-‘ilmiyah, 1955 M., Juz I

Yusuf ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdi al-Bar ibn Asyim al-Namiri al-Qurtubi, Abu Umar, al-Tamhid Lima Fi al-Muwattha min al-Ma’ani wa al-Asanid, Maroko: Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1402 H./1982 M., Cet. 2, Juz III

………………. , Tajrid al-Tamhid Lima Fi al-Muwattha Min al-Ma’ani Wa al-Asanid Au al-Taqasshi Li Hadits al-Muwattha Wa Syuyukh al-Imam Malik , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah

[1] Abu Umar Yusuf ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdi al-Bar ibn Asyim al-Namiri al-Qurtubi, al-Tamhid Lima Fi al-Muwattha min al-Ma’ani wa al-Asanid, Maroko: Wizarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, 1402 H./1982 M., Cet. 2, Juz III, h. 89-90. al-Imam Sahnun Ibn Sa’id al-Tanuji, al-Mudawwanah Al-Qubro Llal-Imam MalikiIbn Annas al-Asbuhy, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H/1994 M., Cet. 1, Juz I, h. 50

[2] Al-Imam Abu Abdillah Samsuddin Muhammad al-Dzahabi, Kitab Tazkirah al-Huffazh, Beirut: Dar Al-Kutub al-‘ilmiyah, 1955 M., Juz I, h. 207

[3] Al-Imam Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman al-dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala , Beirut: Muassasah al-Risalah, 1410 H/1990 M., Cet. 7, Juz 8, h. 49

[4] Al-Imam Sahnun ibn Sa’id al-Tanuji, Op.Cit., h. 8. Lihat juga Abi al-Hasan Ali ibn al-Husain ibn Ali al-Mas’udi, Muruj al-Dzahabi, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Jil. III, h. 350. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalah al-Hadis, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1987, Cet. 5, h. 320. dan KH.Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992 M., Cet. 8, h. 84

[5]Al-Dzahabi, Op.Cit. h. 62-63. Lihat juga Muhammad al-Syirbasi, Yas’alunaka Fi al-din Wa al-Hayat, Beirut: Dar al-Jaiy, 1401 H/1981 M., jil. VI, h. 545-546

[6]Ibid, h. 547

[7]‘Izzuddin Baliq, Minhaj al-Shalihin Min Ahadits Wa Sunnati Khatam al-Anbiya Wa al-Mursalin, Beirut: Dar al-Fatah, 1398 H./1978 M. Cet. 1, h. 987-988

[8] Ibnu Abdil Barr, Op.Cit., h. 88

[9] Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah Al-Dainuri, al-Ma’arif, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H./1987 M., Cet. 1, h. 279. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Juz I, h. 3

[10] Muhammad Abu Zahwu, Op.Cit., h. 289. Lihat juga Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. 3, Jil. III, h. 14

[11] Abu Nu’aim Ahmad ibn Abdullah al-Asfahany (wafat 430 H.), Hilyah al-Aulia Wa Thabaqat al-Ashfiya, Beirut: Dar al-Fikr, tt., Juz 6, h. 316

[12] Al-Hafiz Ahmad ibn AliiIbn Hajar al-Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M., Cet. 1, Jil. II, h. 153-154. Lihat juga Ibnu al-Atsir, al-Kamil Fi al-Tarikh, Beirut: Dar al-Fikr, 1402 H./1982 M., Jil. VI, h. 147. dan Hajy Khalifah, Kasyf al-Zhunun ‘An Asamial-Kutub Wa al-Funun, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H./1990 M., Jil. VI, h. 10

[13] Riwayat Yahya ibn Yahya ibn Katsir al-Laitsi al-Andalusi, al-Muwattha’ Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H./1989 M., Cet. 1, h. 5

[14] Al-Imam Sahnun ibn Sa’id Al-Tanuji, Op.Cit, h. 17-34

[15] Muhammad Abu Zahwu, Op.Cit, h. 288

[16] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. 1, h. 196

[17] Al-Hafizi ibn al- Katsir, al-bidayah Wa al-Nihayah, Jil. I, h. 174

[18] Al-Hafiz ibn Hajar al-Atsqalani (wafat 852 H) ditahqiq oleh Abdul Mukti Amin Qal ‘Ahji, Silsilah Al-Dzahab Fi ma Rawahu al-Imam al-Syafi’i ‘An Malik ‘An Nafi’ ‘An Ibnu Umar, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1402 H/1982 M Cet. 1, h. 60

[19] Muhammad Abu Zahwu, Op.Cit, h. 290

[20] Ibrahim Anis,dkk. al-Mu’jam al-Wasith , Beirut: Dar al-Fikr, tt., juz 2, h. 1041

[21] Al-Imam Jalaluddin Al-Suyuthi, Op.Cit., Juz I, h. 7

[22] Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1403 H/1983 M., Cet. 5, h. 135

[23] Ibid, h. 135-136

[24] Rif’at Fauzi Abdul Muthalib, Kutub al-Sunnah, Dirasah Tautsiqiyyah, Maktabah al-Khanji, 1399 H/1979 M, Cet. 1, Juz I, h. 10

[25] Al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Op.Cit., h. 6

[26] Ibid. Lihat juga M. Abu Zahwu, Op. Cit., h. 248-249

[27] Muhammad Fuad Abdul Baqi (ta’liq dan takhrij), al-Muwattha (Kitab al-Syu’ab), h. 9-15

[28] Muhammad ibn Ja’far al-Kattani, al-Risalah al-Mustathrafah Li Bayan Masyhur Kutub al-Sunnah al-Musyarrafah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1400 H, Cet. 2, h. 11

[29] Muhammad Abu Zahwu, Op. Cit., h. 250-251

[30] Rif’at fauzi Abdul Muthalib, Op. Cit., h. 15-17

[31] Ibid., h. 17-18

[32] Ibnu Abdil Barr, al-Tamhid Lima Fi al-Muwattha min al-Ma’ani wa al-Asanid, Jilid I, h. 57

[33] Abu Umar Yusuf ibn Abdillah ibn Abdil Barr al-Namiri al-Qurthubi (wafat 463 H), Tajrid al-Tamhid Lima Fi al-Muwattha Min al-Ma’ani Wa al-Asanid Au al-Taqasshi Li Hadits al-Muwattha Wa Syuyukh al-Imam Malik , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, h. 245-258

[34] ‘Izzuddin Baliq, Op. Cit., h. 989-990

No comments: