Oleh; Jamaluddin Mohammad, aktivis LAKPESDAM NU Cirebon; staf pengajar di PP Babakan Ciwaringin Cirebon.
Dalam momen-momen pemilu/pilkada, kiai sering dijadikan target silaturahmi politik. Kiai masih dianggap memiliki pengaruh dan karisma yang luar biasa di masyarakat sehingga menarik perhatian banyak politisi/calon. Mereka beramai-ramai “meminta doa dan restu” dari sang kiai agar kelak dipilih masyarakat.
Fenomena kiai yang dipikat banyak politisi untuk dijadikan komoditas politik adalah sisi lain wajah perpolitikan bangsa Indonesia. Ketika musim pemilu/pilkada, seolah-olah kedudukan kiai ditinggikan sekaligus diistimewakan. Kiai sering dikunjungi calon/tim sukses untuk sekadar dimintai nasihat dan doanya. Namun, setelah pemilu usai dan atau calon itu terpilih, doa dan nasihat sang kiai tidak lagi dibutuhkan.
Biasanya, kiai yang diperlakukan seperti itu adalah “kiai kampung”: kiai yang sehari-hari ikhlas ngopeni santri, berkutat dengan problem-problem yang dihadapi masyarakat, dan memiliki akar pijakan lokal yang kuat. Umumnya, sang kiai sebetulnya tidak sadar dirinya sedang “dimanfaatkan” orang.
Ketidaksadaran tersebut disebabkan kejujuran, keikhlasan, dan kejernihan hati sang kiai sehingga tidak mudah suudzon (buruk sangka) kepada orang lain, apalagi punya pikiran buruk untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi.
Namun, ada juga kiai yang senang bersolek ke sana kemari. Terlebih ketika musim pemilu/pilkada. Mereka sibuk memikat calon/tim sukses untuk sekadar mendapatkan uang atau jabatan.
Misalnya, menggalang dukungan dan memobilisasi massa, mengadakan khalaqoh ulama, atau sekadar mengadakan doa bersama untuk salah satu kandidat. Mereka menggadaikan kekiaiannya untuk tujuan-tujuan duniawiah. Pada umumnya, kiai model seperti itu sudah tahu atau minimal merasakan manisnya kekuasaan.
Dua model kiai yang disebutkan di atas sudah pernah disinggung Abu Hamid al-Ghazali. Hanya, al-Ghazali menggunakan kategori dan istilah sendiri. Sang Hujatul Islam tersebut membagi kiai/ulama ke dalam dua kategori: ulama su’ dan ulama akhirat. Yang pertama ialah ulama yang memanfaatkan keulamaannya untuk mencari kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Antitesisnya ialah ulama akhirat yang memiliki sifat dan karakteristik sebaliknya (Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, juz I hal 80).
Ulama su’ menganggap kekuasaan (politik) dan kekayaan sebagai tujuan. Berbeda dengan ulama akhirat yang menjadikan keduanya sebagai “musuh” yang harus diwaspadai. Ulama akhirat percaya bahwa harta dan kedudukan tidak perlu dicari, melainkan datang sendiri. Sebab, keduanya merupakan cobaan yang diberikan Allah SWT.
Nabi Isa AS mengilustrasikan ulama su’ ibarat sebatang pohon yang terjatuh ke mulut danau: ia akan terapung dan tidak bisa meninggalkan air untuk berpijak ke tanah. Artinya, ulama su’ sebetulnya tidak memiliki prinsip dan komitmen yang jelas sehingga mudah tergoda dan terombang-ambing oleh pesona duniawiah. Atau, ia seperti telur busuk yang tampak dari luar mulus tetapi di dalamnya busuk.
Al-Ghazali menambahkan, ciri ulama akhirat -di samping tidak suka harta dan kekuasaan-, mereka pada umumnya enggan mendekati penguasa, apalagi sampai bergaul dengan mereka. “… jangan pernah mendekatinya (penguasa) sama sekali. Selagi ada kesempatan untuk menghindar, maka menghindarlah. Bahkan, sebaiknya jangan pernah bergaul dengan mereka, kendati mereka sendiri yang mengajak. Sesungguhnya dunia itu manis dan kendalinya ada di tangan penguasa,” kata al-Ghazali.
Statemen al-Ghazali sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang juga mengecam prilaku ulama yang “melacurkan diri” kepada penguasa. “Ulama adalah pemegang amanat para Rasul selagi mengambil jarak dengan kekuasaan. Jika mendekati penguasa, sesungguhnya mereka telah mengkhianati para Rasul. Jika demikian, jauhi dan tinggalkan mereka!” tegas Nabi SAW (HR. Anas).
Kategorisasi ulama yang disampaikan al-Ghazali masih relevan sampai sekarang. Terlebih untuk membaca fenomena banyaknya kiai/ulama yang terjerembap ke dalam politik praktis sehingga banyak umatnya yang terbengkalai. Sebetulnya, bukan berarti kiai/ulama haram berpolitik. Politik yang dianut kiai/ulama adalah politik kerakyatan, bukan politik kekuasaan.
Dengan demikian, kerja-kerja kiai/ulama yang sesungguhnya adalah memberdayakan masyarakat, mengontrol dan mengawasi jalannya kekuasaan, sekaligus membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang diperjuangkan banyak Nabi menjadi tidak terwujud. Bukankah ulama adalah pewaris para Nabi? Wallahu a’lam bisawab. (telah dipublikasikan di jawa pos, 17/03/08)
No comments:
Post a Comment