Saturday, May 3, 2008

Kiai dan Fikih Politiknya

Oleh: M Cholil Bisri

SEBELUM saya -merasa terpaksa- harus menjawab pertanyaan, saya ingin mengingatkan Suara Merdeka tentang penulisan nama. Semestinya tidak Rokhmad (dengan khoo dan daal), tapi seharusnya Rohmat (dengan haa dan taa). Boleh jadi daal di sini adalah pengganti taa, berdasarkan atas: "Ahrufu libdaali 'Hada-tu muthiya"; huruf-huruf yang bisa menjadi ganti adalah haa, daal, hamzah, taa, miim, thoo, dan yaa. Namun biarlah; apa sih artinya nama, meski Imam Busyiri mengatakan, "Fa inna lii dzimmatan minhu bitasmiyatii Mohammadan wa hwa aufa lkholqi bi dzdzimami". Sungguh, aku menanggung beban dengan namaku "Mohammad", karena beliau makhluk paling sempurna dalam mengemban tanggung jawab (meski hanya sebuah nama).

Sebagai dasar menjawab pertanyaan, menurut saya, "kiai" hanyalah sebutan, dan tidak seorang "kiai" (beneran) pun yang minta disebut begitu. Kiai juga bukan titel akademis atau kepesantrenan atau jenjang kepangkatan. Orang-orang menyebut seseorang dengan kiai, tidak serta merta, begitu dia lulus (atau puas, menurut istilah pesantren) dari pesantren. Pada saatnya, ketika masyarakat dan orang-orang menyaksikan kiprah lulusan pesantren itu dengan prestasinya, baru mereka menyematkan sebutan kiai.

Prestasi dimaksud, bisa jadi, karena dia tekun "menemani" santri, atau tekun mengajarkan keibadahan kepada masyarakat, atau hal-hal khusus soal spiritual-teologis. Pendek kata, segala hal yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Sesuatu (atau segala sesuatu) yang istimewa. Bahkan besi dan sapi yang istimewa bisa bernama Kiai Pleret, Kiai Nogososro-Sabukinten, Kiai Leburjagat, Kiai Slamet, dan lain-lain.

Kiai juga bukan harkat keturunan. Kalau bapaknya kiai, belum tentu anaknya mesti jadi kiai. Paling banter "gus". Seperti Gus Dur, Dus Mus, Gus Sholah, Gus Mi', Gus 'Umar, Gus Ud, dan sebagainya. Tukang suwuk pun bisa mendapat sebutan kiai, seperti Kiai Dulah Sidik. Jadi, jangan memberi "harga" kiai dengan tarif yang tinggi dulu, kemudian mengidentifikasikan dengan hal-hal mulia, murni mulia. Kiai hanyalah orang yang boleh melakukan kegiatan apa saja, menurut peluang yang didapat.

Adapun pertanyaan "Siapa yang akan mengurusi umat kalau kiai telah terjun ke politik?" Jika yang dimaksud oleh Abu Rokhmad (selanjutnya akan saya sebut Abu saja) dengan kiai adalah dia yang selama ini kita kenal sebagai yang menjadi "jujukan" umat dalam memperoleh jawaban dari problematika mereka, atau dia yang biasa memimpin tahlil, membaca manakib atau khotbah, memberikan nama orok yang baru lahir, dan hal-hal sederhana lain, atau yang dapat memberi legitimasi langkah-langkah kemasyarakatan, maka yang tersisa dari yang memilih menekuni perpolitikan masih tidak kurang. Masih cukup tersedia.

Ketika saya harus bertanya balik, di mana Abu melihat kegelisahan tanpa henti karena ada kiai yang terjun di bidang politik (praktis)? Dia -mungkin- akan menunjuk Rembang. Jika yang ditunjuk Rembang, orang Rembang yang disebut kiai dan terjun di bidang politik hanya Mohammad Cholil Bisri. Dia, sebelum orang-orang menyebutnya kiai, sejak pulang dari pesantren, sudah menekuni politik. Gurunya pernah mengatakan kepadanya, "Politik itu, menurut Imam Syafi'i, adalah bagian dari syariah, karena itu tidak perlu ragu kalau kamu ingin berpolitik."

Tahun 1971 dia memimpin Partai NU untuk tidak digusur habis oleh Golkar (Sekber Golkar yang didukung ABRI). Tahun 1973 memelopori berdirinya sebuah partai dan tahun 1998 menggagas berdirinya partai yang mewadahi aspirasi politik warga NU.

Karier politiknya membawanya ke jenjang Wakil Ketua MPR RI, sampai sekarang. Namun -bertanyalah kepada umat, terutama santri - adakah yang merasa ditinggalkan dan tidak diurus di antara mereka?

Mobil yang dimiliki bukan karena dia larut di bidang itu, atau karena menjadi Wakil Ketua MPR RI. Kijang Krista pemberian salah seorang santrinya yang berhasil dalam berbisnis dan jeep Merci keluaran tahun 1982 bukan hasil kepemimpinan di Majelis. Namun sudahlah.

Ada lagi kiai Rembang yang berpolitik, Kiai Maemun Zuber, saya tidak tahu bagaimana beliau berkiprah. Ngrasani tidak baik.

Pertanyaan: bagaimana masa depan politik kiai? Abu harus tahu, sebenarnya politik (praktis) itu tidak punya masa depan. Karena politik (terutama politik praktis) lebih bersifat temporer. Dia ngambah jalan sesuai dengan zamannya, situasi, dan kondisinya. Di mana ada kepentingan dan kemungkinan, di situ tentu ada politik. Padahal kepentingan umat (baca: orang/masyarakat) terus berkembang sesuai dengan "ramainya pasar". Kepentingan itu -supaya diketahui- sangat sinergis dengan hajat (hidup, kebutuhan niscaya) yang siapa pun tidak bisa mengelak. Boleh saja orang mengatakan, hajat hidup itu bisa dielakkan dengan zuhud, misalnya. Namun zuhud itu masih mungkin dimodifikasi. Dia boleh punya banyak mobil, rumah bagus, sawah luas, dan sebagainya, tetapi dia tidak kumanthil dengan duniawi itu. Dia boleh disebut zahid (orang zuhud). Cirinya, dia tidak bakhil, tidak kikir, meski kikir itu bagian yang tak terpisahkan dari perikehidupan makhluk-manusia. Hanya, beruntunglah orang yang bisa mengatur kekikirannya (Alquran, Surat Al-hasyr: 9).

Berpolitik -menurut Kiai Bisri Mustofa- dapat menumbuhkan kekuatan. Kekuatan politik merupakan alat efisien (dan efektif) yang mampu memproteksi pelakunya dari "rongrongan" pihak-pihak lain. Dan, kekuatan politik punya harga yang signifikan, disegani, dan tidak direndahkan oleh siapa pun.

Politik, menurut kitab kuning (bukan kuning Golkar) adalah: "Assiyasatu hiya 'ibaratun 'ala stishlahi l-ummati bi irsyadihim ila th-thoriqi l-munjiyyi dun-yan wa ukhro": Politik ialah kata lain dari upaya menciptakan kemaslahatan umat dengan cara -antara lain- menuntun mereka ke arah jalan yang menyelamatkan kehidupan mereka di dunia dan akhirat.

Definisi demikian itu yang mesti dijabarkan. Lebih dihargai jika kemudian disistematiskan dalam sebuah "tulisan" (yang barangkali oleh Abu disebut fikih itu).

Sudah barang tentu, kiai yang mempunyai kegiatan multiragam, tidak ada waktu untuk menorehkannya dalam sebuah catatan sekalipun. Namun tidak berarti kiai yang terjun di politik berhenti mengemplentasikannya. Ada yang langsung ke masyarakat dengan sesorah sambil memberikan contoh. Ada pula yang memilih jalan pintas dengan berusaha menerjemahkan tuntunan Syari'ah Ahlis Sunnah wal-Jama'ah ke dalam perjuangan untuk dapat masuk dalam diktum peraturan. Baik itu pasal-pasal undang-undang maupun peraturan daerah. Tentu saja dengan bahasa yang lain sama sekali dari bahasa kitab kuning itu tadi.

Adapun aturan-aturan dasar berpolitik, kiai mempunyai -misalnya- Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Al-Ambrathuriyah Al-Islamiyah, dan sebagainya, kecuali ada pula singgungan-singgungan selintas dari kitab Ihya 'Ulumuddin, Fathalmu'in, Almajmu', dan lain-lain.

Ada pula yang berusaha masuk pada level eksekutif, seperti Kiai Saifuddin Zuhri, Kiai Dahlan, dan Kiai Abdulwahib Wahab. Atau setidaknya punya orang yang ada di eksekutif.

Dari sudut pandang ini, saya bisa bilang, fikih kiai ada dalam batok kepala mereka.

Lalu bagaimana nasib kiai sebagai moral force? Kekuatan moral -tentu Abu sudah memahaminya- hanya dapat diwujudkan jika kiai sebagai komunitas kompak. Untuk kompak diperlukan konsolidasi yang intens. Konsolidasi intens tidak akan bisa dilakukan jika ada kiai (atau beberapa orang) yang "mengaku" kiai tidak ada dalam khalqoh-nya.

Bukankah tidak rahasia lagi jika sebutan kiai itu - sekarang- bisa muncul dari mana saja? Koran, teve, dan parpo, bisa mencetak kiai tanpa halang rintang. Orang awam sudah menengarai itu. Yang bisa tampil dengan hai-ah kiai, jadilah dia kiai. Lilitan surban, ber-hujjah tentang agama (Islam), zikir berlama-lama, menerjemahkan doa secara mendayu-dayu, menyampaikan pesan moral dengan sedikit bumbu dalil, jadilah dia kiai. Hanya, supaya diketahui saja jika saya mengedepankan fakta. Kiai Maemun tidak akan mau duduk dalam satu majelis jika di situ ada Kiai Abdurrahman Khudlori. Kiai Aris Munandar tentu enggan datang jika undangan kumpul-kumpul ada Kiai Imang Manshur. Kiai 'Irfan Zidni tentu ogah-ogahan kumpul dengan sebangsa Kiai Subadar dan seterusnya. Seorang Abdurrahman Wahid dapat membubrahkan konsolidasi seribu kiai yang berkumpul di Batuceper. Namun -meman - upaya berkonsolidasi tidak boleh berhenti saat negara dan bangsa (Indonesia) menghajatkan kekuatan kiai. Dan itu sudah dimulai, dengan atau tanpa institusi.

Kapan lagi kontribusi kiai kepada negara dan bangsanya, jika tidak dimulai dari sekarang meng-ijma'-kan diri dalam satunya kata. Terutama ketika bangsa ini menghajatkan pemimpin yang mampu menegakkan pilar dari keterpurukan yang panjang.

Allah telah memberikan rahmat kemerdekaan dengan potensi Indonesia yang tak terbilang besarnya. Kufru n-ni'mah namanya jika tidak bersicepat bangkit. Laknat Allah bagai bom waktu jika kiai dan warga bangsa ini mendiamkan saja munkarot (yang antara lain berupa korupsi) dan maksiat ini terus merajalela.

Abu hanya ingin saya menulis tentang kiai dan ihwalnya, terbukti dia gamang dengan pendahuluan tulisannya itu. Coba saja simak tulisannya setelah judul: "Fikih Politik" dan seterusnya. Ada semacam paradoks dengan deretan sebelumnya. Semestinya, ketika dia masih bisa membaca tanpa kacamata, jangan membaca dengan memakai kacamata saya. Begitulah. (29c)

-KH M Cholil Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlotut Tholibien Rembang

No comments: