Saturday, May 10, 2008

INTERAKSI SOSIAL ANTARA ETNIS PENDATANG DAN ETNIS SETEMPAT DI PINGGIRAN KOTA MEDAN:

Studi Analisis Dinamika Kerukunan Hidup Umat Beragama

Parluhutan Siregar (dkk)

Urbanization to outskirts of cities like Medan has recently been growing rapidly. The process which has lasted naturally for a long time has created segregated housings lived by different ethnicities. Limited information on the characteristics of inter-ethnic relationships in the communities is justification for this research. With a qualitative approach, the research explores inter-ethnic relations among communities at the outskirts of Medan in terms of socio-culture and economy. Our findings indicate that the social interactions of heterogeneous communities at the outskirt of Medan are influenced and determined by factors of ethnicity, religions and settlement. Traditional social system plays an important role in establishing integrative network among the heterogeneous communities.

Term Kunci: kerukunan, masyarakat pendatang, masyarakat setempat, interaksi

Dalam situasi perkembangan penduduk yang terus meningkat di kota-kota besar, daerah pinggiran dipandang cukup penting sebagai wilayah pemukiman baru. Tidak seperti perencanaan pembangunan perumahan di pinggiran kota-kota pulau Jawa, pengembangan pemukiman di pinggiran kota Medan umumnya berlangsug secara alamiah. Kini wilayah Kabupaten Deli Serdang, yang mengelilingi kota Medan, menjadi target pemukim baru. Uniknya, seperti kesimpulan penelitian Usman Pelly di Medan, arus urbanisasi ke kawasan pinggir kota ini pada umumnya memakai saluran (channel) famili, kerabat sekampung. Akibatnya, di pinggiran Medan ini tumbuh pemukiman bersifat segregatif yang dihuni oleh kelompok-kelompok etnis. Pemukiman etnis tersebut semakin hari semakin tinggi tingkat homogenitas kesamaan 'primordial sentiment-nya' (Pelly, 1986: 4).

Tidak banyak diketahui bagaimana sifat-sifat hubungan antaretnis yang terjadi di pinggiran kota dan ke arah mana pola-pola hubungan akan tercipta. Satu hal yang dapat dipastikan adalah bahwa proses interaksi berlangsung secara alamiah, tanpa intervensi yang berarti dari pihak luar. Tetapi di sana juga berlangsung tarik-menarik antara kultur setempat dengan kultur pendatang. Karena itu pergerakan interaksi sosial sering tidak dapat diduga atau diramalkan – apakah ke arah integrasi atau sebaliknya. Artinya sulit diduga pola hubungan yang bakal terjadi dari waktu ke waktu. Tidak mustahil, bahwa arah dan pola interaksi sosial itu juga berbeda-beda satu sama lain, sesuai dengan sifat-sifat komunitas etnis yang saling berintekrasi.

Penelitian ini dilaksanakan pada tiga desa atau perkampungan ke arah timur kota Medan. Latar belakang spesifik yang membuat penelitian ini penting adalah pada sifat pemukiman-pemukiman di sana yang dapat menggambarkan situasi interaksi antaretnis yang bisa dilacak proses-prosesnya mulai dari tahap permulaan. Hal spesifik lainnya, adalah pada sifat hubungan antaretnis dalam satu pemukiman, di mana sebelumnya kedua etnis hampir tanpa interaksi yang intens. Lebih dari itu, keragaman etnis di Sumatera Utara yang sangat majemuk adalah alasan lain yang menandai pentingnya penelitian ini dilakukan. Dengan demikian, dalam studi tentang interaksi antaretnis di pinggiran kota Medan, pasti berhadapan dengan banyak tipe-tipe pemukiman yang dapat dipilih dengan bermacam-macam pola hubungan antar etnis.

Sejalan dengan paparan di atas, pokok masalah penelitian ini bertumpu pada usaha menjawab pertanyaan berikut: "Bagaimana pola-pola interaksi sosial antara etnis pendatang dengan etnis setempat di pinggiran kota Medan"? Lebih khusus lagi, pertanyaan pokok ini dapat dirinci pada dua; (1) Bagaiamana pola interaksi sosial antaretnis pada masa awal dan lanjutan persintuhan dua etnis?; dan 2) bagaimana pola interaksi sosial antara etnis-etnis dari penganut agama yang sama dan pola interaksi antara etnis-etnis dari penganut agama yang berbeda?.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan pola-pola interaksi sosial antaretnis pada daerah pemukiman yang berpenduduk heterogen di pinggiran kota. Dari tujuan tersebut, penelitian ini diharapkan akan memiliki signifikansi ke depan dalam rangka perencanaan pemukiman di pinggiran kota yang penduduknya sangat heterogen.

Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan. Ada beberapa alasan utama mengapa pendekatan kualitatif dianggap lebih tepat digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini. Pertama, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami permasalahan yang timbul dari interaksi sosial dalam setting alamiahnya, dan menginterpretasikan fenomena ini berdasarkan pengamatan dan pemaknaan yang diberikan informan. Kedua, realita bersifat multidimensi dan merupakan akibat dari kompleksitas situasi yang beragam. Oleh karena itu, kajian terhadap sebuah fenomena harus dilakukan dengan menganalisa konteks yang mengitarinya, dan ini hannya mungkin dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

2. Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di tiga desa pinggiran kota Medan, yaitu desa-desa Bandar Setia, Kolam, dan Bandar Klippa. Ketiga desa berada pada posisi berdampingan di wilayah Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.

Dari perspektif etnis dan agama, ditetapkan tiga kategori tipe interaksi sebagai sasaran penelitian. Masing-masing desa, sesuai dengan karakteristik penduduknya yang dapat digambarkan pada matrik berikut:

Etnis dan Agama

Pemukim Lama

Pemukim Baru

1

Tipe 1

Bandar Setia

Melayu/Jawa, Islam

Angkola/Mandailing, Islam

2

Tipe 2

Kolam

Jawa, Islam

Batak Toba, Kristen

3

Tipe 3

Bandar Klippa

Jawa, Islam

Tionghoa, Budha

Berdasarkan karakteristik lokasi penelitian ini yang dipilih sebagai subyek sekaligus unit analisis penelitian adalah komunitas-komunitas etnis yang bermukim pada tiga lokasi penelitian. Komunitas-komunitas dimaksud terdiri atas 5 kategori; komunitas Melayu, komunitas Jawa, komunitas Batak Angkola/Mandailing, komunitas Batak Toba, dan komunitas Tionghoa.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tehnik yaitu observasi, wawancara mendalam dan Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion, FGD). Observasi dilakukan secara non partisipan, dimana peneliti berperan hanya sebagai pengamat fenomena yang sedang diteliti. Tehnik ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang kondisi objektif dari masyarakat yang diamati, lingkungan sosial, serta perilaku subjek penelitian berkaitan dengan interaksi sosial.

Sedangkan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview dengan pola semi structured interview. Wawancara dilaksanakan terhadap informan (pemuka masyarakat dan tokoh agama serta adat) dan subjek penelitian (keluarga yang dianggap penduduk lama dan pendatang).

Diskusi Kelompok Terfokus merupakan metode ketiga yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini, dilakukan dengan enam kelompok secara terpisah (8-10 orang dalam setiap kelompok), yaitu satu kelompok dari etnis setempat pada setiap desa, dan satu kelompok etnis pendatang dari setiap desa. Setiap sesi diskusi kelompok akan berjalan selama lebih kurang dua jam.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam kegiatan pengolahan informasi ditempuh beberapa langkah. Langkah pertama, membuat proceeding lengkap secara tertulis dan catatan pinggir (berupa resume) dari semua informasi yang diperoleh dari kegiatan FGD dan in-depth interview. Langkah kedua, melaksanakan seleksi atau validitasi informasi dengan menggunakan teknik trianggulasi sehingga diperoleh data yang akurat dan obyektif, dan dalam waktu bersamaan dilakukan coding data. Langkah ketiga, klasifikasi data ke dalam beberapa kategori data sesuai topik-topik bahasan penelitian.

Kegiatan selanjutnya, dalam proses analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif dan kemudian ditafsirlam dengan menggunakan pendekatan emic yang mengacu pada agama dan budaya sebagai acuan (sebagaimana dijelaskan pada ‘kerangka koseptual’ sebelumnya). Inti penting dari pendekatan emic di sini adalah upaya memahami data berdasarkan pemahaman dan tradisi informan, memberi tafsiran teoritik dari luar.

Temuan Penelitian

Interaksi Sosial dalam Pergaulan Sosial

Umumnya orang-orang di desa-desa penelitian yang tinggal dalam satu dusun saling mengenal satu sama lain, dan sebagian di antara mereka saling mengenal dengan anggota masyarakat dari dusun lain. Pengenalan itu tidak hanya sebatas nama dan alamat rumah, melainkan jauh lebih dalam sampai pada watak dan sifat pribadi seseorang. Hal ini, karena di samping di antara mereka masih banyak keluarga dekat, memang orang-orang di desa ini masih memiliki tradisi yang kuat untuk mengenali orang lain secara lebih mendalam. Jadi, kebiasaan saling menyapa dan sering bercerita antara satu sama lain membuat pengenalan mereka tidak sebatas aspek formalnya saja.

Sebagai sebuah desa di pinggiran kota, interaksi sosial antar anggota etnis di tiga tiga desa penelitian ini berlangsung secara intensif. Pranata-pranata tradisional yang ada di desa dipandang cukup penting dalam proses interaksi antara satu sama lain. Selain rumah-rumah dan perkumpulan keagamaan yang di dalamnya terjadi interaksi terbatas antara anggota satu agama, tempat-tempat berkumpul dan bertemu lainnya, seperti kedai kopi, kedai sampah, pasar tradisional, lapangan olah-raga, halaman atau teras rumah penduduk, dan sebagainya, dinilai cukup fungsional dalam menjalin hubungan antar etnis di sana. Ibu-ibu dari bermacam etnis (Jawa, Melayu, Batak Angkola/Mandailing, Batak Toba atau Tionghoa) sering bertemu dan mengobrol panjang lebar ketika berbelanja di kedai sampah atau bertandang ke rumah tetangga. Para laki-laki remaja dan dewasa juga tampak terlibat dalam kegiatan interaksi di lapangan olah-raga dan kedai kopi. Demikian juga anak-anak dari berbagai etnis, mereka berintekrasi hampir sepanjang waktu ketika belajar di sekolah atau bermain di area perkampungan. Tak terkecuali, pada waktu-waktu khusus, seperti dalam acara pesta perkawinan dan melayat orang meninggal, masyarakat dari beragam etnis juga dapat bertemu dan saling bercerita antara satu sama lain.

Salah satu akibat positif dari proses interaksi yang cukup intensif itu adalah pertukaran bahasa antaretnis. Walaupun orang-orang pada tiga desa tersebut mengaku menggunakan bahasa Indonesia di tempat-tempat umum, namun tampaknya pertukaran bahasa etnis juga terjadi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya, khususnya bagi mereka yang sudah lama bermukim di sana. Selain pertukaran bahasa antara Melayu dan Jawa di Desa Bandar Setia, bahasa Jawa menjadi pilihan yang banyak dipelajari anggota komunitas selain Jawa. Umumnya orang-orang Batak Toba di Desa Kolam, dan orang-orang Tionghoa di Desa Bandar Klippa telah menguasai dan mahir berbicara dengan bahasa Jawa. Bahkan, banyak orang-orang Tionghoa yang lebih lancar berbahasa Jawa daripada bahasa Hokian (Cina), dan hampir tidak mengerti bahasa Mandarin. Oleh karena itu, tidak heran bilamana dalam komunikasi antara orang Batak Toba dengan orang Jawa atau orang Tionghoa dengan orang Jawa lebih sering menggunakan bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia.

Ada perbedaan penting antara pendatang awal dan pendatang belakangan dalam proses adaptasi dengan etnis setempat. Generasi pertama migrasi Mandailing ke Desa Bandar Setia, Batak Toba ke Desa Kolam, dan Tionghoa di Desa Bandar Klippa lebih cepat beradaptasi dengan etnis setempat, tetapi kaum migran dari generasi belakangan (yang datang pada 20 tahun terakhir) tampaknya semakin sulit. Pergeseran durasi proses adaptasi antara generasi awal dan generasi belakangan berkaitan dengan sikap-sikap sosial yang dipertunjukkan. Jika pendatang awal segera berusaha mendekat kepada etnis setempat, maka pendatang baru cenderung mencari teman seetnis dalam berkomunikasi. Sikap ini berkaitan dengan banyak hal, seperti karena semakin populasi anggota etnis, adanya keunggulan kompetitif, dan adanya perbedaan di bidang pekerjaan.

Interaksi dalam Kegiatan Budaya

Di desa Bandar Setia, berlangsung interaksi segitiga antar etnis Melayu, Jawa dan Batak Angkola/Mandailing. Orang-orang dari ketiga etnis ini 100% menganut agama Islam, dengan faham keagamaan yang sama; baik di bidang teologi, fiqh, maupun tasawuf. Secara umum, Melayu dan Jawa merupakan dua etnis yang sudah cukup lama di desa tersebut dan dikategorikan sebagai penduduk setempat, sedangkan Batak Angkola /Mandailing adalah kelompok etnis pemukim baru, yang dikategorikan sebagai etnis pendatang.

Sebenarnya migrasi etnis Mandailing ke Tembung dan sekitarnya (termasuk ke Desa Bandar Setia) sudah berlangsung sejak lama. Tidak ada data valid yang dapat dirujuk mengenai masa perpindahan orang-orang dari etnis ini ke Bandar Setia, namun diperkirakan orang-orang Mandailing telah ada di pinggiran kota Medan sejak awal kemerdekaan. Jumlah mereka masih terbatas, jauh lebih sedikit dibanding dengan penduduk setempat; Melayu dan Jawa.

Pemukim gelombang pertama ini membaur dengan masyarakat setempat dan kemudian berakulturasi secara intens. Orang-orang Mandailing dari generasi pertama memang berusaha untuk menjadi identik dengan orang Melayu. Mereka banyak mengadopsi budaya Melayu, mulai dari bahasa, tradisi-tradisi budaya, kebiasaan hidup, pola berbusana, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan daerah asal juga hampir terputus, sehingga budaya daerah hampir terlupakan dan sudah amat jarang dilaksanakan, mereka juga tidak menggunakan marga dalam dokumen formalnya, sekalipun mereka tahu dan sadar atas marga mereka. Karena itu, generasi pertama orang-orang yang berasal dari Mandailing yang sekarang tinggal di Bandar Setia telah benar-benar melaksanakan adat-budaya Melayu.

Agaknya pola interaksi yang ditempuh orang-orang Mandailing generasi awal tidak diikuti dengan baik oleh orang-orang Batak Angkola /Mandailing yang datang belakangan. Sebagai pendatang baru di tengah-tengah masyarakat Melayu dan Jawa, orang-orangg Batak Angkola/Mandailing telah mengikuti dan memperhatikan upcara-upacara budaya setempat. Namun dalam perkembangan berikutnya, para pendatang baru Angkola-Mandailing lebih selektif dalam memilih bagian-bagian budaya Melayu yang dapat diadopsi, sekaligus mencoba mengukuhkan identitas budaya etnis sendiri. Beberapa indikasi ke arah penerimaan sebagian budaya Melayu dan Jawa dapat ditangkap dari acara-acara etnis yang disertai marhaba, tepung tawar, dan bale (dari budaya Melayu), serta acara kirim do'a untuk arwah keluarga yang pada 7 atau 40 hari meninggalnya (dari budaya Jawa). Tetapi indikasi lainnya menunjukkan pula, bahwa orang-orang Batak Angkola/Mandailing masih tetap melaksakan acara-acara etnis, seperti mangupa (membuat hidangan khusus bagi penganten yang disertai nasehat-nasehat), dan mangadati (mengantar secara adat) orang yang baru meninggal dunia, termasuk manariakkon (menyampaikan pidato-pidato pada saat pembeangkatan jenazah dari rumah), suatu tradisi yang sebelumnya tidak dikenal di sana.

Pertukaran budaya juga telah terjadi antara Jawa dan Melayu. Berbeda dari interaksi Mandailing-Melayu, interaksi Jawa dengan Melayu berlangsung tanpa peleburan identitas. Anggota kedua etnis Jawa dan Melayu bergaul dalam hidup sehari secara normal sebagaimana layaknya hubungan saudara muslim. Karena lamanya interaksi itu, secara otomatis terjadi pertukaran budaya secara alamiah. Ini banyak terjadi pada sisi-sisi budaya bernuansa agama; Islam. Tradisi marhaban, tepung tawar, bale, dan tepak sirih yang menjadi tradisi orang Melayu dalam acara-acara kegembiraan sudah biasa dilakukan oleh orang-orang Jawa. Demikian sebaliknya, acara-acara selamatan atau kirim doa pada tujuh, empat puluh, seratus dan seribu hari bagi anggota keluarga yang meninggal sebagai tradisi orang Jawa sudah amat sering dilakukan oleh orang-orang Melayu. Atas dasar itu, dalam banyak hal, orang-orang Melayu sering memegang peranan dalam acara orang Jawa, dan sebaliknya orang-orang Jawa sering berperan dalam acara budaya orang Melayu.

Sekalipun orang-orang Jawa telah banyak mengadopsi adat-budaya Melayu, namun mereka tetap mempertahankan adat tradisi mereka. Dalam acara-acara budaya, orang Jawa mencampur-adukkan adat Melayu dengan Jawa dengan memberi porsi yang lebih besar pada unsur kejawaannya. Biasanya pada upacara-upacara inilah orang-orang Melayu dan juga Batak Angkola turut berperan penting. Selain itu, upacara-upacara yang sangat bernuansa etnis sering dilakukan orang Jawa, seperti selamatan, kuda kepang, permainan gamelan dan gong untuk kesenian wayang golek, namun orang-orang Melayu dan Batak Angkola juga turut diundang dan hadir di sana walau hanya sebagai partisipan biasa.

Persintuhan adat-budaya ataretnis di desa Kolam dan Bandar Klippa tidak seintensif yang terjadi di Desa Bandar Setia. Interaksi budaya antara Jawa dengan Batak Toba di Desa Kolam, dan antara Jawa dan Tionghoa lebih terfokus pada unsur-unsur yang bersifat kesenian dan tata krama pergaulan. Di desa Bandar Klippa, sifat kejawaan orang Tionghoa cukup kuat yang terekspresi dari cara bicara dan tatakrama pergaulan mereka sehari-hari. Tidak seperti teman seetnis yang tinggal di kota Medan, Tionghoa tampak sangat-sangat sopan dan penuh perhatian pada orang lain. Selain itu, mereka juga cukup menyenangi tradisi kesenian Jawa, seperti kuda kepang dan gamelan. Karena rasa senang inilah, Pak Nasib (seorang Etnis Cina dari ibu etnis Jawa) pandai memainkan kuda kepang, dan kemudian menjadi 'pawang' sekaligus pimpinan dalam setiap kegiatannya.

Interaksi dalam institusi agama, sosial dan ekonomi

Di desa Bandar Setia, Kolam, dan Bandar Klippa terdapat sejumlah pranata dan lembaga sosial, keagamaan, dan ekonomi. Paling sedikit terdapat empat dasar penting pengorganisasian sosial di ketiga desa tersebut, yaitu; dasar kesamaan etnis, dasar kesamaan agama, dasar kesamaan/kedekatan tempat tinggal, dan dasar kepentingan pragmatis. Organisasi yang dibentuk berdasarkan kesamaan etnis dan agama cukup banyak ditemukan di tiga desa tersebut, di antaranya Arisan Keluarga Melayu, Pengurus Ranting Masyarakat Budaya Melayu Indonesia, Ikatan Keluarga Tapanuli Selatan, Paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (PUJAKESUMA), Partukkoan Batak Toba Desa Kolam, Badan Kenaziran Mesjid, Ikatan Remaja Mesjid, PHBI, Naposo Bulung HKBP, Persatuan Wirid Yasin, dan Parere Kamis (Ibu-ibu Kristiani). Selain itu, organisasi yang dibentuk berdasarkan kesamaan tempat tinggal terdapat pada setiap dusun, yang paling populer adalah Serikat Tolong-menolong (STM). Sedangkan organisasi kepentingan meliputi banyak sektor, seperti Arisan atau yang mereka sebut dengan Jula-jula Ibu-ibu (hampir semua dusun) pada sektor ekonomi, Group Musik Band di Desa Kolam, dan Kelompok Kuda Kepang di Desa Bandar Klippa, pada sektor kesenian, Kelompok-kelompok olah-raga di berbagai tempat, dan sebagainya.

Kehadiran organisasi yang bermacam tipe ini dipandang cukup penting oleh masyarakat di sana. Organisasi-organisasi yang bersifat ekslusif yang dibentuk berdasarkan etnisitas dan keagamaan biasanya ditempatkan sebagai wadah bersama untuk membangun solidaritas dan memajukan anggota kelompok Mereka memiliki alasan-alasan rasional mengapa organisasi semacam ini dibentuk, terutama untuk pelestarian budaya, peningkatan wawasan pengetahuan, penguatan jaringan, dan peningkatan pembangunan. Organisasi kepentingan juga memiliki peranan penting, di samping seperti yang diperoleh dari organisasi yang berifat ekslusif, dapat juga dijadikan sebagai wadah bersama untuk meningkatkan taraf ekonomi. Kelebihan organisasi kepentingan ini bagi mereka adalah karena sifatnya yang netral, merupakan zona netral yang melibatkan anggota lintas etnis dan lintas agama.

Perkawinan Antarkomunitas

Sudah sejak lama perkawinan antaretnis telah berlangsung di pinggiran kota Medan. Di desa Bandar Setia, sekitar 65% warga etnis Melayu menikah dengan warga etnis Jawa, demikian juga orang-orang Mandailing/Batak Angkola, baik generasi awal maupun belakangan, telah banyak yang menikah dengan orang Melayu atau Jawa. Secara umum, pola perkawinan silang ini sudah dianggap biasa oleh warga ketiga komunitas etnis, semuanya berjalan secara alamiah. Pada umumnya, penyelesaian adat-istiadat perkawinan didasarkan pada agama Islam dan lebih banyak mengacu pada kesepakatan sebagaimana yang lazim terjadi.

Di Desa Kolam, perkawinan antaretnis antara warga Jawa dan Batak Toba sering juga terjadi. Perbedaan agama antara kedua calon mempelai, biasanya mereka selesaikan dengan cara (salah satunya) pindah agama, sedangkan penyelesaian adat-istiadat diatur berdasar kesepakatan keluarga kedua belas pihak. Biasanya, penyelesaian adat-istiadat perkawinan mengikut pada tradisi pihak mempelai perempuan. Jika pemuda Jawa mempersunting gadis batak, maka adat-istiadatnya mengikut tradisi Batak Toba, demikian juga sebaliknya, jika pemuda Batak mempersunting gadis Jawa, maka diselesaikan sesuai tradisi orang Jawa.

Sejalan dengan perubahan waktu dan tempat disertai semakin kompleksnya kehidupan masyarakat kedua etnis, di Desa Bandar Klippa banyak dari etnis Tionghoa, terutama para laki-laki melakukan perkawinan eksogami dengan wanita Jawa. Dari data yang ditemukan, diketahui bahwa sejak zaman Belanda laki-laki etnis Tionghoa telah banyak yang menikah etnis lainnya, terutama dari etnis Jawa, dan jarang sekali gadis Tionghoa yang menikah dengan pemuda etnis lain. Baik bagi etnis Tionghoa maupun etnis Jawa, perkawinan semacam ini tidak lagi dipandang sebagai deviasi budaya, tetapi sudah dianggap hal biasa saja., walau harus berpindah agama.

Pembahasan: Dinamika Interaksi Sosial Antar Etnis Dalam Perspektif Agama dan Budaya

Posisi agama dan budaya dalam interaksi sosial antaretnis

Kesimpulan sementara yang dapat ditarik dari temuan penelitian ini adalah, interaksi sosial antaretnis setempat dan pendatang sudah tercipta dengan cukup baik di pinggiran Kota Medan. Kesimpulan ini bertolak dari kenyataan yang dijumpai dalam pergaulan sosial, budaya, ekonomi, dan agama yang tampak harmonis; pergaulan tanpa gejolak dan tanpa rasa permusuhan. Seperti yang terlihat di permukaan, budaya dan etnisitas itu seolah-olah telah menjadi sesuatu yang tidak diturunkan ayah-ibu, tidak lagi secara ketat berkaitan dengan faktor geneologis (keturunan). Karena itu, etnisitas menjadi hasil konstruksi (proses) sosial yang lazim disebut askripsi (ascription). Inilah proses sosial yang menandai hubungan sosial antar etnis di pinggian kota Medan. Proses ini terlah berlangsung dalam hitungan generasi, puluhan tahun. Setidaknya, persoalan-persoalan interaksi yang timbul antara pihak pendatang dan pihak penduduk setempat masih dapat mereka atasi melalui cara-cara yang arif dengan memanfaatkan pranata-pranata tradisional yang ada.

Untuk memahami faktor perekat antaretnis di pinggiran kota Medan tidak dapat dilewatkan peranan penting etnis Jawa. Kelompok etnis Jawa – sebagai mayoritas penghuni—merupakan kunci utama pembentukan sistem sosial yang harmonis di sana. Sejalan dengan ciri budaya Jawa yang sangat memegang teguh konsep harmoni, mereka selalu cenderung bersikap akomodatif terhadap orang lain. Orang Jawa termasuk etnik yang paling toleran dan paling mudah beradaptasi. Dalam soal hubungan antaretnik, orang Jawa merasa tidak punya masalah dengan kelompok etnik mana saja. Seperti yang terungkap dari temuan penelitian ini, karena kuatnya minat untuk mewujudkan harmonisitas inilah orang-orang Jawa mampu hidup rukun dengan Melayu, Batak Angkola/ Mandailing, Batak Toba, dan bahkan dengan etnis Tionghoa. Karena itu erat sekali hubungan antara Muslim Jawa dengan Kristiani, dengan Budha, dan lain-lainnya.

Kebutuhan terhadap keharmonisan sosial, serta nilai budaya Jawa lainnya yang mendukung keharmonisan itu, tampaknya memiliki posisi yang amat penting dalam tradisi Jawa. Faktor ideologis ini banyak memberi nuansa dalam pergaulan sosial antaretnis. Perkawinan antaretnis yang terus terjadi –sejak lama sampai sekarang-- antara orang Jawa Muslim dengan orang Batak Toba Kristiani di Desa Kolam, atau dengan orang Tionghoa Budhis di Desa Bandar Klippa dapat dikaitkan dengan sikap sosial etnis Jawa ini. Orang-orang tua Jawa tampaknya telah terbiasa dan bisa menerima pola-pola perkawinan antaretnis, sekalipun anak-anak mereka ada yang melakukan konversi agama. Fakta ini mengindikasikan, bahwa faktor budaya Jawa yang amat mendambakan keharmonisan menempati posisi penting yang dapat mengatasi nilai-nilai lainnya, seperti agama.

Sejalan dengan sikap sosial orang-orang Jawa, dari kalangan Tionghoa juga cenderung bersikap menerima terhadap perkawinan antaretnis ini. Orang-orang tua Tionghoa juga tidak terlalu mempersoalkan konversi agama yang terjadi pada ana-anak mereka sebagai akibat kawin silang. Sikap sosial semacam ini berkaitan dengan nilai budaya yang memandang kedewasaan orang Tionghoa dimulai dari masa perkawinannya. Jika orang-orang Tionghoa telah menikah berarti telah dewasa, dan jika dewasa berarti memiliki kebebasan seluas-luasnya. Seorang anak Tionghoa dapat menentukan pilihan-pilihannya ketika ia memasuki masa dewasa itu. Jadi, sekali lagi di sini kedudukan nilai budaya cukup penting di lingkungan komunitas Tionghoa dalam membentuk pola interaksi antar etnis.

Hal lain yang patut dicatat dari tradisi Jawa sebagai faktor perekat sosial adalah corak pemahaman keagamaan yang mereka miliki. Kebiasaan orang-orang Jawa makan di rumah majikan Tionghoa yang beragama Budha, saling mengirim makanan dengan tetangga Batak Toba Kristiani atau Tionghoa Budhis, serta kesediaan menjadi pelanggan tetap kedai kopi seorang Batak Toba Kristiani tentu sangat berkaitan dengan corak hukum fiqh yang mereka pahami. Pernyataan-pernyataan, seperti "kami hanya mau memakan/ meminum yang halal", dan "kami tahu bahwa orang-orang Kristen atau Budha itu bersih, tidak makan anjing atau babi", merupakan bukti bahwa orang-orang Jawa di sana tidak memiliki pemahaman fiqh yang ketat, seperti yang sering dibaca dalam kitab-kitab di pesantren. Jadi, sesungguhnya dalam banyak hal, faham keagamaan tidak menghambat orang Jawa untuk hidup berdampingan secara damai dengan orang-orang Batak Toba yang beragama Kristen dan dengan orang-orang Tionghoa yang beragama Budha.

Pada pihak lain, cross-cultural antara sesama komunitas-komunitas muslim cukup menarik untuk dikaji dari sisi agama dan budaya. Pertemuan segitiga budaya Jawa, Melayu dan Batak Angkola/Mandailing telah banyak menghasilkan pertukaran budaya di antara mereka. Umumnya orang-orang Jawa dan Batak Angkola/Mandailing banyak mengadopsi tradisi Melayu karena dianggap sebagai tradisi Islam. Menurut kedua etnis ini, melaksanakan budaya Melayu sama dengan melaksanakan budaya Islam. Sebaliknya, orang-orang Melayu dan Batak Angkola/Mandailing hanya mengadopsi sebagian kecil dari tradisi Jawa, sedangkan sebagian besarnya tidak diadopsi. Tradisi Jawa yang mereka adopsi adalah yang memiliki unsur keagamaan, dan tidak diadopsi adalah yang digali dari tradisi Jawa murni. Jadi dari fakta ini dapat dikatakan, bahwa persintuhan Jawa-Melayu-Batak Angkola/Mandailing dalam hal budaya lebih dikarenakan karena kesamaan pandangan tentang budaya Melayu sebagai budaya Islam.

Dinamika Interaksi Sosial dan Masa Depan Kerukunan Umat Beragama

Awal proses interaksi antara pendatang dengan penduduk setempat merupakan informasi kunci yang cukup penting dikaji dalam peneltian ini. Pada tahapan ini umumnya terjadi proses adaptasi timbal balik antara kedua belah pihak. Proses interaksi tahap awal itu, sampai pada tataran tertentu tidak mengalami hambatan. Persoalannya kemudian adalah pada interaksi tahap berikutnya, seperti pembagian peranan sosial. Di sini tantangan yang dihadapi kaum pendatang ternyata tidak mudah dipecahkan. Usaha adaptasi yang mereka jalankan dihadang dengan berbagai bentuk sikap sosial penduduk setempat. Sikap-sikap itu, seperti yang lazim ditemukan di tempat lain, ialah kecenderungan mempertahankan status quo (dalam banyak hal) dan berperilaku sebagai 'tuan' di kampung sendiri.

Dalam banyak hal, ternyata taraf adaptasi merupakan faktor kunci bagi kaum pendatang untuk memegang peranan di dalam masyarakat. Sesungguhnya, target adaptasi ini –seperti yang diungkap oleh etnis Melayu dan Jawa, adalah tercapainya kedekatan antara kaum pendatang dan masyarakat setempat, tanpa harus melebur secara kultural. Siapa saja yang telah mampu beradaptasi dengan masyarakat, biasanya akan segera diberi tugas-tugas sosial dan diberi peran yang layak sesuai keahlian dan kemampuannya. Ini membutuhkan waktu penyesuaian diri, seperti yang dialami dan dicermati oleh anggota etnis Batak Angkola, akan berlangsung antara 1 – 3 tahun. Jadi cukup jelas, bahwa –seperti yang dinyatakan dalam teori fungsionalisme struktural-- pada dasarnya masyarakat memiliki watak untuk bersatu dan hidup serasi. Untuk sampai pada taraf kesetaraan dalam kehidupan sosial membutuhkan kondisi kohesif, karena itu kehidupan sosial sangat tergantung pada solidaritas yang didasarkan pada resiprositas dan kerjasama (Pelly; 1993, 128).

Secara teoritis, hal ini dapat dijelaskan dari teori identitas sosial. Teori yang dikembangkan oleh ahli psikologi Henri Tajfel, menyatakan bahwa setiap komunitas sosial akan menciptakan identitas sosial untuk menyederhanakan hubungan eksternal mereka. Identitas yang diciptakan itu berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk memiliki rasa harga diri (self esteem and self worth) yang ditransfer ke dalam kelompok sendiri. Dari sinilah muncul konsep ‘dalam kelompok’ (ingroups) dan ‘luar kelompok’ (outgroups), yang kemudian menumbuhkan kesadaran adanya perbedaan antar komunitas. Dari sisi pandang fungsionalisme, ikatan-ikatan etnik semacam ini diperlukan sebagai karakteristik dasar relasi-relasi manusia yang fundamental. Tetapi, apabila kesadaran atas perbedaan dan keinginan untuk mempertahankan identitas ini didukung oleh faktor kuantitas dan kualitas anggota komunitas, maka dapat membuat proses adaptasi menjadi lambat. Kondisi inilah yang terjadi pada proses adaptasi antara kaum migran generasi belakangan dengan penduduk setempat di tiga desa pinggiran kota Medan.

Pada masa lalu, tempat-tempat berkumpul yang berfungsi sebagai zona netral cukup penting dalam melahirkan cross-cutting loyalities. Hambatan psikologis dalam berinteraksi --karena perbedaan agama dan kultur, termasuk bahasa-- dapat mereka atasi karena pranata-pranata tradisional dan tempat-tempat berkumpul yang masih berfungsi. Pranata sosial tradisional dan tempat anggota kelompok-kelompok etnis sering bertemu adalah arisan, perwiridan, kedai kopi, kedai sampah (tempat menjual sembako), mesjid atau mushalla, dan tempat kerja. Pada masa lalu, pranata-pranata ini dipandang cukup fungsional sebagai medium yang cukup penting dalam proses saling memahami sekaligus pertukaran budaya di antara mereka sekaligus dapat membentuk rasa solidaritas. Karena di tempat itu terjalin komunikasi yang intensif melalui debat kusir, pertukaran ide, penceritaan folklore, dan sejenisnya, sehingga tercipta proses akulturasi budaya secara alamiah. Pertemuan yang sering ternyata mampu menjalin komunikasi dan hubungan sosial yang intensif antaretnis bukan saja makin mengenal karakter masing-masing, melainkan juga menumbuhkan kesadaran antara mereka dengan etnis yang lain memang berbeda, tanpa harus saling menyubordinasi. Empati dan toleransi adalah dua hal yang tumbuh bersamaan dengan makin intensifnya kegiatan yang saling menyapa antar-etnis yang berbeda dalam sebuah titik pertemuan yang netral. Walaupun interaksi sosial antar-etnis berlangsung tidak selalu dengan ketulusan, namun tetap bernilai penting dalam menumbuhkan kesadaran pada batas demarkasi sosial mana mereka harus bekerja sama dan saling bertoleransi, dan pada bagian mana mereka harus berpisah karena adanya perbedaan.

Efektifitas pranata tradisional ternyata mengalami penurunan pada masa-masa belakangan. Ketika jumlah populasi penduduk semakin besar, serta semakin bervariasinya lapangan pekerjaan, tampaknya pranata-pranata itu tidak lagi mampu menjangkau semua anggota masyarakat. Paling tidak pranata-pranata tradisional dan tempat-tempat bekumpul hanya dapat menyerap bagaian-bagian tertentu dari anggota masyarakat, dan tidak lagi mampu menjaring semua orang melalukan komunikasi intensif dalam waktu bersamaan. Jadi perubahan fungsi-fungsi pranata-pranata tradisional pada tahun-tahun terakhir di pinggiran kota Medan, harus dipahami sebagai realitas sosial yang alamiah. Para ahli evolusi menyatakan, bahwa arah kecenderungan utama dalam evolusi sosiokultural adalah semakin bertambahnya kompleksitas masyarakat. Kenyataan inilah yag dimaksud dengan evolusi perubahan yang mengarah pada semakin kompleksitasnya masyarakat. Karena itu, ketika sistem sosial semakin kompleks dengan sendirinya akan terjadi perubahan dalam berbagai sub-sistemnya. Dengan adanya perubahan pada satu sub-sistemnya niscaya akan menimbulkan perubahan pada sub-sistem lainnya (Sanderson; 2000, 64-65). Dengan demikian, jika pada masa-masa awal persintuhan antar etnis, hambatan psikologis yang timbul karena perbedaan agama dan budaya masih dapat diatasi dengan cara-cara tradisional, maka pada masa belakangan ini tampaknya semakin sulit sehingga mengalami keterlambatan.

Sisi lain yang cukup penting diutarakan di sini, adalah arah dan pola adaptasi dan akulturasi di pinggiran kota Medan. Ternyata arah interaksi sosial selama bertahun-tahun lebih tertuju pada pembentukan sistem sosial 'kejawaan', seperti yang tejadi di Desa Bandar Klippa dan Desa Kolam, dan atau 'kemelayuan' seperti yang ditemukan di Desa Bandar Setia. Keberhasilan orang-orang Tionghoa dan Batak Toba mengadopsi sebagian nilai-nilai budaya dan bahasa Jawa, serta orang-orang Mandailing dengan nilai-nilai, tradisi budaya, dan bahasa Melayu, serta orang-orang Melayu dan Jawa melakukan cross-cultural, dapat dijadikan indikasi bahwa proses interaksi itu terbentuk ke dalam pola tertentu. Pola integrasi semacam ini tentu tidak menjadi persoalan bagi para migran generasi awal, tetapi sesuatu yang sulit diterapkan oleh generasi pendatang belakangan. Titik masalahnya bukan pada sikap mereka yang kurang adaptif terhadap lingkungan, tetapi ini berhubungan dengan lebih pada pengaruh eksternal, terutama semakin menguatnya jaringan kekeluargaan dengan anggota seetnis ditempat lain yang tetap memelihara budaya etnisnya. Sekali lagi, peningkatan kompleksitas menjadi faktor penting yang turut memperlemah proses integrasi di pinggiran kota Medan.

Faktor integrasi yang mungkin dicatat dari proses hubungan sosial antaretnis di pinggiran kota Medan adalah interaksi sosial yang melekat pada kegiatan ekonomi. Dengan mengacu pada teori Lukacs (1968) yang menyebutkan bahwa perebutan sumber daya ekonomi (acces to economic resources and to means of production) sebagai faktor pemicu konflik (Pelly; 1993, 124), tampaknya tidak terjadi di sini. Bahkan, secara faktual, terdapat dua pola interaksi di sana; 1) interaksi antara pihak-pihak yang berbeda lapangan pekerjaan dan sumber-sumber ekonominya; dan 2) interaksi antara pihak-pihak yang sepadan dengan lapangan pekerjaan yang hampir sama. Pola interaksi tipe pertama, seperti yang ditemukan di Desa Bandar Setia dan Bandar Klippa, menciptakan pola hubungan simbiosis mutualis yang saling menguntungkan. karena adanya pola hubungan yang saling menguntungkan antar-etnis yang berbeda dalam kegiatan produksi. Kehadiran pendatang baru telah membuka peluang kerja baru bagi penduduk setempat, seperti pekerjaan membangun rumah, pembantu rumah tangga, tukang cuci, penjaga toko, dan sebagainya. Karena penduduk setempat merasa bahwa kehadiran para migran tidak mengganggu usaha masyarakat, maka perbedaan okupasi atau bidang pekerjaan ini menjadi salah satu faktor yang dipandang mampu merekatkan integrasi sosial antara para pendatang dengan penduduk setempat. Hal ini sesuai dengan pendapat Kaare Svalastoga yang menyatakan bahwa; "Syarat umum untuk terciptanya hubungan positif antara interaksi dan kesenangan adalah kondisi saling menambah kesenangan yang diperoleh kedua belah pihak yang terlibat dalam proses interaksi" (Svalastoga, 1989; 92-93). Seorang warga dari suku Jawa yang bekerja pada toko Cina, misalnya, tidak akan mempersoalkan status dan peran sosialnya sepanjang dalam soal upah relatif dapat disepakati kedua pihak, dan satu sama lain saling bertoleransi dengan caranya masing-masing. Dengan kata lain, tanpa harus melalui asimilasi kultural, masih dapat terbangun pola hubungan patront-client yang adil, bahkan dapat ditumbuhkan hubungan sosial yang erat dan saling membutuhkan. Selanjutnya, tipe interaksi tipe kedua, seperti yang terjadi di desa Kolam, telah melahirnya konsensus yang konvensional. Di sini para pendatang yang bergerak pada lapangan pekerjaan yang sama dengan etnis setempat tidak melahirkan hubungan antara majikan dengan buruh, melainkan lebih pada hubungan kesetaraan antara dua kelompok yang berbeda. Hubungan kesetaraan itu mempermudah kegiatan-kegiatan kerjasama yang ditandai dengan sikap saling membantu. Jadi, sekalipun lapangan pekerjaan mereka sama dan mengambil manfaat dari sumber-sumber ekonomi yang sama pula, interaksi antaretnis berlangsung normal dan saling menguntungkan. Karena itu, adanya perbedaan lapangan pekerjaan serta adanya hubungan di bidang ekonomi telah memperkuat jalinan sosial antaretnis. Dengan demikian, di bidang ekonomi tidak terjadi benturan antaretnis, dan para pendatang tidak dianggap sebagai pesaing serta sama sekali tidak memasuki wilayah kerja mereka. Karena itu, perbedaan lapangan pekerjaan dipandang sebagai faktor yang cukup penting dalam percepatan proses integrasi antaretnis.

Faktor integratif lainnya adalah perkawinan silang antaretnis. Di pinggiran kota Medan, praktek perkawinan silang antaretnis (eksogami) sudah lama terjadi, hampir tanpa masalah. Pola perkawinan ini dipandang sukup penting, karena akan mampu mempercepat proses asimilasi antaretnis. Dari sejak dulu sampai sekarang, eksogami berlangsung secara alamiah karena intensnya interaksi antar kelompok-kelompok etnis dalam pergaulan sehari-hari. Dari itu adalah menjadi hal biasa bagi orang Melayu menikah dengan Jawa, orang Batak Angkola /Mandailing dengan Jawa atau Melayu, dan bahkan orang Jawa dengan Tionghoa dan Batak Toba. Karena itu, campur aduk, blasteran, dan hibriditas budaya dan etnisitas terjadi secara alamiah dan terus berlanjut secara evolusi.

Bertolak dari keterangan di atas, terdapat dua pola interaksi sosial yang saling tarik-menarik di pinggiran kota Medan. Pertama, adalah pola penguatan identitas yang cenderung mengedepankan etnisitas; dan kedua, adalah pola penguatan jaringan antar etnis yang ditandai dengan tetap solidnya kerjasama ekonomi, serta tetap berlangsungnya proses akulturasi dan asimilasi. Kedua pola ini tampaknya sama kuatnya, sehingga sulit diramalkan seperti apa bentuk budaya yang akan timbul di pinggiran kota Medan pada beberapa dekade ke depan. Namun sesuatu yang pasti, seperti dianut dalam teori primordialisme, adalah bahwa ikatan-ikatan etnik sebagai jenis penggabungan manusia yang fundamental akan tetap bertahan bahkan mungkin semakin kuat, tetapi di sana-sini akan terjadi pelunakan karena proses pertukaran budaya yang berlangsung secara alamiah.

Namun demikian, pola interakasi antaretnis di pinggiran kota Medan dalam jangka waktu panjang ke depan masih perlu dicermati. Peningkatan gejala penguatan identitas etnis yang didukung dengan semakin meningkatnya populasi kaum pendatang sudah pasti tidak hanya melahirkan pola-pola baru hubungan antar-kelompok, melainkan bisa mengarah pada sikap-sikap sosial ekslusif. Hal ini tidak mustahil, karena dalam kenyataannya sekarang sudah lebih banyak anggota etnis pendatang yang belum integratif dengan masyarakat daripada yang sudah berintegrasi dengan baik, sementara jumlah mereka kaum pendatang akan terus bertambah setiap tahun atau bulannya. Diperkirakan, bahwa dalam 10 atau 15 tahun lagi, desa-desa di pinggiran kota Medan akan dihuni oleh mayoritas pendatang, karena berdasarkan fakta yang ada sejumlah tanah perumahan atau persawahan yang dulu milik masyarakat setempat, kini sudah beralih kepemilikan kepada orang-orang luar desa, tanpa kecuali dari kalangan penganut agama yang berbeda.

PENUTUP

Kesimpulan

Proses interaksi sosial di pinggiran kota yang penduduknya amat heterogen banyak dipengaruhi oleh faktor etnis, agama, dan tempat tinggal. Pranata-panata tradisional dipandang cukup fungsional dalam membangun jaringan integrasi antara komunitas-komunitas yang heterogen itu. Dengan berfungsinya pranata-pranata tradisional tersebut melahirkan banyak pola-pola hubungan antaretnis, yang pada intinya menggambarkan adanya integrasi yang kuat antara satu komunitas dengan komunitas lainnya.

Nialai-nilai budaya yang mengedepankan pentingnya harmonitas yang didukung oleh corak pemahaman agama yang toleran merupakan faktor kunci terciptanya integrasi sosial antaretnis. Karena itu, hegemoni kultur dominan yang mengarah pada konflik mayoritas-minoritas akan dapat teratasi dengan menguatnya kesadaran sosial terhadap nilai budaya kerukunan.

Masa depan integrasi sosial pada pemukiman yang terdiri atas etnis lokal dan etnis pendatang sangat tergantung pada sikap-sikap sosial masing-masing komunitas etnis. Bila komunitas etnis pendatang memiliki kesediaan untuk beradaptasi secara intensif serta lebih mengedepankan perubahan secara evolutif, maka integrasi sosial akan dapat dipertahankan dengan baik.

Rekomendasi

Pengembangan pemukiman secara natural di pinggiran kota, tanpa direncanakan secara rigit, memiliki nilai positif dilihat dari perspektif pembentukan interaksi sosial antarkomunitas. Kelebihan pola pemukiman ini adalah pada proses adaptasi dan akulturasi antaretnis yang berlangsung secara alamiah. Karena itu, diharapkan pada pihak pemerintah untuk lebih mengutamakan tumbuhnya pola pemukiman yang bersifat natural ini, dengan menyediakan lahan-lahan pemukiman di pinggiran kota.

Untuk memperkuat integrasi sosial antaretnis di pinggiran kota masih diperlukan penanganan khusus dari segi perluasan wawasan budaya dan keagamaan. Karena itu masih sangat diharapkan bantuan-bantuan serius dari para ahli sosial dan agama untuk merumuskan strategi-strategi baru dalam meningkatkan wawasan budaya dan agama serta memperbaiki sistem organisasi sosial-keagamaan dan ekonomi di pinggiran kota yang heterogen penduduknya.

Penulis adalah dosen fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara dan alumni S2 IAIN Sumatera Utara Medan.

PUSTAKA ACUAN

Barth, Fredrik, "Introduction". Dalam Fredrick Barth (ed.), Ethnic Groups and Boundaries, (Boston: Little, Brown, and Co, 1969).

Bruner,Edward M., "The Expression of Ethnicity in Indonesia". Dalam Abner Cohen (ed.), Urban Ethnicity (London: Tavistock, 1974).

Colletta, Nat J., dan Umar Kayam, (ed.), Kebudayaan dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987)

Daldjoeni, N., Seluk-beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota), (Bandung: Alumni, 1982)

Evers, Hans-Dieter, Sosiologi Perkotaan, (Jakarta: LP3ES, 1979)

Geertz, Clifford, "Religion as Cultural System," dalam The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973).

Geertz, Clifford, The Religion of Java, (Glencoe: The Free Press, 1960).

Gerungan, W. A., Psychologi Sosial: Suatu Ringkasan, (Jakarta: PT. Ersco, Cetakan ke VII, 1981).

Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama, Bagian I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993)

Karim, Muhammad Rusli, (ed.), Seluk-beluk Perubahan Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, tt.)

Kartodirdjo, Sartono, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta, LP3ES, 1984)

Kodiron, "Kebudayaan Jawa," dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1999) cet. XVIII.

Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, (Jakarta: P.T. Gramedia, 1987)

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).

Lauer, Robert H., Perspektif Tentang Perubahan Sosial, terjemahan Alimandan (Jakarta: Bina Aksara, 1988).

Majalah Bulanan Tionghoa SINERGI, edisi 14, tahun II 1999.

Marzali, Amri, "Kesenjangan Sosial Ekonomi Antar Golongan Etnik: Kasus Cina-Pribumi di Indonesia," dalam Prisma, No. 12, 1994

Menno, S. dan Alwi, Mustamin, Antropologi Perkotaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992)

Pelly, Usman dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya (Jakarta: B3 PTKSM P2TKPI Dirjen DIKTI Depdikbud, 1993).

Pelly, Usman, "Akar Kerusuhan Etnik di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik Etnik pada Era Reformasi," dalam Journal Analytica Islamica, Vol. 1, No. 1, 1999

Pelly, Usman, Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, (Jakarta: LP3ES, 1994).

Robertson, Roland, (ed.), Sociology of Religion, edisi Indonesia oleh Paul Rosyadi, Sosiologi Agama, (Jakarta: Aksara Persada, 1986)

Sanderson, Stephen K.. Macrosociology, terjemahan Farid Wasjidi & S. Menno, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (edisi kedua), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).

Sayekti, Retno, "Upacara Tradisional Kelahiran pada Masyarakat Jawa di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis," Jurnal Penelitian Medan Agama, Pusat Penelitian IAIN SU, edisi 2, Desember 2003.

Setiawan, Bambang, "Tionghoa: Dialektika Sebuah Etnis," Kompas, Rabu, 14 Maret 2001.

Setiono, Benny G., "Etnis Tionghoa adalah Bagian Integral Bangsa Indonesia," makalah disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure Rekao, Jakarta.

Soedjito S., Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1986)

Suparlan, Parsudi, "Kemajemukan, Hipotes Kebudayaan Dominan, dan Kesukubangsaan". Jurnal Antropologi Indonesia, no. 58.

Suparlan, Parsudi, "Konflik Antar-SukuBangsa Melayu dan Dayak Dengan Madura di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat" di Moh. Soleh Isre (ed.), Konflik Ethno Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003).

Suparlan, Parsudi, ed., Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya, (Jakarta, Rajawali Pers, 1993).

Svalastoga, Kaare, Sosial Diefferentiation, terjemahan Alimandan SU, Diferensiasi Sosial, (Jakarta: Bina Aksara, 1989).

Vasanty, Puspa, "Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia," dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Koentjaraningrat (ed.), (Jakarta: Djambatan, 1999).

Sumber :www.litagama.org

No comments: