Saturday, May 10, 2008

PENGARUH PERSEPSI TENTANG AGAMA & KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP KONSEP DIRI SISWA MADRASAH ALIYAH

Al Rasyidin

This study aimed at finding out the contribution of perception of religion and emotional quotient to self-concept of students of Madrasah Aliyah Laboratorium (MAL) Institute for Islamic Studies of North Sumatra. The sample included 84 students of III-IPS taken totally. Data were analyzed using questionnaires correlation and regression. The study indicates that: (1) there are significant correlation between perception of religion and self-concept, (2) there are significant correlation between emotional quotient and self-concept, and (3) the perception of religion and emotional quotient are at the same time related and contribute positively to the self-concept of the students of MAL Institute for Islamic Studies of North Sumatra.

Term kunci: persepsi, kecerdasan emosional, dan konsep diri.

Umumnya setiap individu memiliki kepercayaan atau keyakinan terhadap agama. Tindakan, prilaku, dan cara pandang seseorang terhadap diri sendiri dan orang lain, dipengaruhi oleh ajaran agama yang dianutnya. Demikian pula halnya dengan seorang siswa, berdasar kepercayaan atau keyakinannya terhadap agama, ia bertindak, berperilaku, dan memandang diri sendiri serta orang lain sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang diyakininya. Agama, yang merupakan sistem kepercayaan, pada hakikatnya mengatur (a) kaedah atau tata hubungan manusia dengan Tuhan, (b) kaedah atau tata cara bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan manusia lain, (c) kaedah atau tata cara bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan alam semesta, dan (d) kaedah atau tata cara bagaimana seharusnya manusia berinteraksi dengan dirinya sendiri.

Dalam konteks kaedah atau tata cara bagaimana seharusnya individu berinteraksi dengan diri sendiri, agama memberikan panduan kepada penganutnya dalam memandang, merasakan, menghargai dan menilai dirinya sendiri. Dalam hubungan ini, agama merupakan salah satu faktor yang turut membentuk dan mempengaruhi konsep diri seseorang. Karena itu, agama memiliki arti penting dalam kehidupan manusia.

Arti penting agama dalam kehidupan individu sangat ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi agama yang dianutnya. Secara leksikal, persepsi dapat diartikan sebagai: (1) consciousness: awareness, (2) the awareness of objects on other data through the medium of the senses, (3) the process or faculty of perceiving, (4) the result of this: knowledge; etc, gained by perceiving, dan (5) insight or intuition, as of as abstract quality.

Berdasar pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa persepsi merupakan proses kesadaran, yakni kesadaran terhadap sesuatu objek yang mengantarkan pada suatu pengertian, proses atau kemampuan untuk merasakan, hasil dari pengetahuan dan sebagainya yang diperoleh dengan perasaan dan pengertian atau gerak hati yang sifatnya abstrak. Karena itu, persepsi akan mengantar-kan seseorang kepada pengertian atau pemberian makna tentang sesuatu.

Untuk membentuk persepsi, maka dibutuhkan bekerjanya fungsi-fungsi kejiwaan individu. Fungsi-fungsi kejiwaan dimaksud adalah menerima ransang, mengolah ransang, mengingat ransang, berpikir dan sebagainya. Proses ini bisa terjadi melalui penginderaan, baik indera perabaan, penglihatan, dan sebagainya. Berfungsinya dengan baik fungsi-fungsi kejiwaan tersebut sangat mempengaruhi kualitas sebuah persepsi yang dihasilkan.

Secara umum, persepsi individu terhadap sesuatu ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional yang disebut David Krech dan Richard S. Crutchfield sebagai faktor fungsional dan faktor struktural. Faktor fungsional antara lain berasal dari kebutuhan dan pengalaman masa lalu. Sementara itu faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf yang ditimbulkannya dalam sistem saraf individu. Contoh, bila kita mempersepsi sesuatu kita mempersepsinya sebagai suatu keseluruhan. Artinya, jika kita ingin memahami sebuah peristiwa, kita tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah melainkan harus memandangnya dalam hubungan keseluruhan. Karena itu, untuk memahami persepsi individu, kita harus melihatnya dalam konteksnya, dalam lingkungannya, dan dalam masalah yang dihadapinya. Selain kedua faktor di atas, menurut Rahmat perhatian (attention) seseorang juga sangat mempengaruhi persepsinya tentang sesuatu.

Karena faktor-faktor di atas, maka tidak setiap individu memiliki persepsi yang sama terhadap agama. Sebagai contoh, dalam konteksnya dengan remaja, seorang ahli menyatakan bahwa sikap remaja terhadap agama ada yang percaya turut-turutan, percaya dengan kesadaran, percaya tetapi dengan keraguan, dan ada pula yang tidak percaya sama sekali. Dapat dikemukakan bahwa keragaman sikap tersebut tentunya disebabkan adanya perbedaan persepsi tentang agama. Karenanya secara teoritis dapat dinyatakan bahwa seseorang yang memiliki persepsi yang baik atau positif tentang agama, maka ia akan memiliki sikap keberagamaan yang positif; sementara itu, sikap keberagamaan yang positif pada gilirannya akan membentuk konsep diri yang baik atau positif pula. Demikian sebaliknya.

Selain persepsi tentang agama, konsep diri seseorang juga ber-hubungan dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Secara leksikal, makna emosi dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan yang teransang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan prilaku. Sementara Goleman menyatakan emosi sebagai suatu perasaan dan perbedaan cara berpikir, keadaan psikologis dan biologis, dengan rentang kecenderungannya untuk berbuat.

Dalam diri individu terkandung banyak emosi dengan berbagai variasi dan kombinasinya, seperti kemarahan, kesedihan, kesenangan, cinta, kebahagiaan, dan sebagainya. Emosi tersebut turut mempengaruhi sikap, tindakan dan seluruh perbuatan individu. Sebagai gejala kejiwaan, emosi memiliki baik sisi positif maupun negatif. Selama ini, peranan emosi dalam kehidupan individu lebih banyak dipersepsi secara negatif. Tetapi pada dekade 1990-an, berkembang paradigma baru dalam memandang emosi, yakni emosi ternyata memiliki hubungan yang erat dengan kognisi dan kecerdasan. Sejak saat itu berkembanglah istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence).

Weisinger sebagaimana dikutip Bahauddin mengemukakan pengertian kecerdasan emosional sebagai kecerdasan untuk menggunakan emosi kita sesuai keinginan kita dan karenanya dapat mengendalikan perilaku dan cara berpikir yang membuat kita mampu mencapai hasil yang baik. Sementara Cooper dan Sawaf mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Sedangkan Salovery dan Meyer sebagaimana dikutip Goleman memberikan pengertian kecerdasan emosional sebagai: 1) ke-mampuan untuk mengenali diri sendiri, 2) kemampuan untuk mengelola dan meng-ekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, 3) kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, 4) kemampuan untuk mengenali orang lain, dan 5) kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain.

Beberapa pengertian di atas menjelaskan bahwa key term kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang memahami, menyadari, mengendalikan dan mengarahkan emosinya pada hal-hal yang bersifat positif. Karenanya, penekakan kecerdasan emosional ada pada self-awarenes, yakni kesadaran diri untuk mengendalikan emosi sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Dengan kesadaran tersebut, seseorang tidak lagi dikuasai oleh emosinya, tetapi mampu mengendalikan emosi dan mengarahkannya pada perbuatan positif dalam menyikapi dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupannya.

Mencermati paparan di atas, maka dapat dinyatakan pula bahwa konsep diri seseorang juga tidak terlepas dari aspek mental atau emosi. Seseorang yang memiliki stabilitas emosional yang mantap dan terkendali akan cenderung memiliki konsep diri yang positif bila dibanding dengan orang yang tidak mampu mengendalikan emosinya. Karenanya, aspek emosi memegang peranan penting dalam membentuk dan mempengaruhi konsep diri seseorang.

Rogers mendefenisikan konsep diri sebagai cara seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri. Sementara Brooks, sebagaimana dikutip Rahmat mendefenisikan konsep diri sebagai "those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others". Pengertian ini menjelaskan bahwa konsep diri adalah pandangan seseorang mengenai dirinya sendiri, baik fisik, sosial maupun psikologis, yang bersumber dari berbagai pengalaman dan interaksinya dengan orang lain. Selanjutnya Covington (1992), Snow, Corno dan Jackson (1996) sebagaimana dikutip Gage dan Berliner mengemukakan bahwa konsep diri berhubungan dengan rasa percaya diri dan berbagai perasaan tentang penghargaan terhadap diri sendiri. Karena itu, dalam konteks ini, jika kita merasa lebih baik atau sebaliknya, maka rasa percaya diri dan penghargaan kita terhadap diri sendiri akan lebih baik atau sebaliknya.

Setiap individu cenderung mengembangkan sebuah konsep diri yang didasarkan pada berbagai karakteristik yang mereka miliki. Konsep diri akan membatasi bagaimana seseorang merasakan tentang dirinya sendiri, apa yang mungkin dapat dilakukannya di masa depan, dan bagaimana ia menilai penampilan dirinya sendiri. Karena itu, konsep diri sebenarnya merupakan salah satu faktor penting bagi keberhasilan seseorang, tidak terkecuali para pelajar. Penelitian yang dilakukan Coopersmith menyimpulkan bahwa konsep diri memiliki korelasi positif terhadap pencapaian akademik. Kesimpulan tersebut mengindikasikan bahwa konsep diri yang positif adalah penting dan mempengaruhi pencapaian (achievement) seseorang dalam belajar. Dalam konteks ini, Gage dan Berliner dengan mengadopsi pendapat Shavelson, Hubner dan Stanton (1998) membagi konsep diri para pelajar kepada 2 (dua) area utama, yaitu konsep diri akademik dan konsep diri non-akademik.

Konsep diri akademik adalah adalah pandangan dan penilaian seorang siswa terhadap dirinya sendiri dalam kaitannya dengan berbagai perilaku belajar. Contoh konsep diri ini antara lain motivasi dalam belajar dan berprestasi, relasi atau hubungan dengan guru dan teman, respon terhadap keberhasilan dan kegagalan. Sedangkan konsep diri non-akademik adalah pandangan dan penilaian seorang siswa mengenai diri mereka sendiri dalam konteksnya dengan tingkah laku atau aktivitas di luar belajar. Di antara contoh konsep diri non-akademik inimisalnya percaya pada kemampuan diri sendiri, relasi atau hubungan dengan orang lain, pandangan terhadap masa depan, dan respon terhadap kritik atau pujian.

Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri seorang siswa. Dalam konteks ini, Rahmat berpendapat ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri seseorang. Pertama, orang lain, yaitu bagaimana orang lain menilai diri kita, maka penilaian tersebut akan membentuk konsep diri kita. Misalnya, seorang siswa dianggap rekan-rekan sekelasnya sebagai orang yang cerdas. Penilaian tersebut akan membentuk citra diri dan siswa yang dinilai cerdas tersebut akan berusaha mempertahankan citra diri tersebut menjadi konsep dirinya. Di antara orang lain ini, yang paling berpengaruh adalah significant others seperti orangtua, saudara-saudara, dan orang yang yang tinggal satu rumah dengan individu. Kedua, kelompok rujukan atau reference group, yaitu kelompok-kelompok masyarakat di mana individu menjadi bahagian dari padanya. Sebagai contoh, jika seorang siswa menjadi anggota remaja mesjid, maka norma-norma yang dianut organisasi remaja mesjid akan mengikatnya dan akan berpengaruh dalam membentuk konsep diri. Selain hal di atas, unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam membentuk konsep diri seseorang adalah nilai atau norma-norma agama yang diyakini atau dianut individu.

Menurut Brooks dan Emmert sebagaimana dikutip Rahmat, individu yang memiliki konsep diri positif dapat ditandai dengan lima hal: (1) ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah, (2) ia merasa setara dengan orang lain, (3) ia menerima pujian tanpa rasa malu, (4) ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat, dan (5) ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak dise-nanginya dan berusaha merubahnya.

Sementara itu, orang yang memiliki konsep diri negatif dapat ditandai dengan empat hal: (1) ia peka pada kritik. Orang ini tidak tahan pada kritik dan mudah marah atau naik pitam, (2) responsif sekali terhadap pujian. Ia tidak dapat menyembunyikan antusiasnya pada waktu mene-rima pujian, selalu mengeluh, mencela dan me-remehkan orang lain, tidak pandan dan sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain, (3) cenderung tidak merasa disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itu ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak pernah mempersalahkan diri-nya, tetapi menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres, dan (4) bersikap pesimis terhadap kompetisi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

Akhir-akhir ini, fenomena empirik memperlihatkan bahwa persepsi siswa madrasah-madrasah kita terhadap agama dan kecerdasan emosionalnya semakin kurang menggembirakan. Hal tersebut dapat diamati dari berbagai kasus yang terjadi, seperti perkelahian antar pelajar, perjudian, perampokan, keterlibatan dalam mengkonsumsi obat-obat terlarang, mudah emosi dan terbakar amarahnya, dan lain-lain. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa persepsi terhadap ajaran agama dan kecerdasan emosional sepertinya tidak memiliki pengaruh positif terhadap pembentukan konsep diri yang baik di kalangan sebagian siswa madrasah dan generasi muda Muslim. Karena itu, dua faktor yang terkait dengan konsep diri ini perlu diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pengaruh persepsi tentang agama terhadap konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU, (2) mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU, dan (3) mengetahui apakah terdapat pengaruh persepsi tentang agama dan kecerdasan emosional secara bersama-sama terhadap konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU.

Metode Penelitian

Disain penelitian ini adalah quantitative mode of inquiry yang termasuk dalam kategori non-experimental dengan tipe correlational. Menurut McMillan dan Schumacher non-experimental modes of inquiry adalah penelitian yang berusaha menggambarkan sesuatu yang terjadi atau menguji hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedang yang dimaksud tipe correlational dalam non-experimental modes of inquiry adalah penelitian yang bertujuan menilai hubungan antara dua atau lebih fenomena. Tipe ini selalu mengggunakan sebuah pengukuran statistik guna mengukur kedalaman hubungan yang biasa disebut dengan istilah korelasi. Ukuran hubungan adalah sebuah pernyataan tentang kedalaman asosiasi antara beberapa variabel yang diteliti.

Masalah penelitian ini menyangkut tiga variabel, yaitu; (1) persepsi tentang agama sebagai variabel bebas (X1); (2) kecerdasan emosional sebagai variabel bebas (X2) dan, (3) konsep diri sebagai variabel terikat (Y). Secara operasional variabel X1 diungkapkan dengan indikator fungsi dan peran agama dalam kehidupan dalam memberikan bimbingan dalam hidup, membantu dalam menghadapi kesukaran, dan memberikan ketenteraman bathin. Kemudian variabel X2 diungkapkan dengan indikator kemampuan mengenali diri, mengelola emosi, memotivasi diri, dan membina hubungan dengan orang lain. Sedangkan variabel Y diungkap dengan indikator konsep diri akademik non-akademik.

Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III jurusan IPS Madrasah Aliyah Laboratorium (MAL) IAIN-SU yang berjumlah 84 siswa. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu mengambil seluruh siswa kelas III-IPS sebagai sampel studi. Dilipihnya siswa kelas III-IPS didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka adalah para pelajar yang sudah mulai memasuki usia remaja akhir dan menjelang usia dewasa. Dalam rentang usia kalender dan psikologis demikian, diduga kuat mereka telah mampu mempersepsi sesuatu dengan baik, kecerdasan emosionalnya mulai berkembang dengan baik, dan konsep dirinya pun mulai terbentuk dengan baik pula.

Pengambilan data penelitian dilakukan dengan menggunakan angket dengan skala Likert. Sebelum digunakan, angket penelitian telah diuji validitas dan realibilitasnya. Uji validitas dilakukan terhadap isi dan konstruk. Sedangkan realibilitasnya diuji dengan sistem konsistensi belah dua dengan rumus Alpha Cronbach. Data penelitian dianalisis dengan teknik statistik inferensial dengan rumus regresi. Sebelumnya telah dilakukan uji normalitas dengan menggunakan teknik Chi Square.

Temuan Penelitian

Hasil perhitungan didapati bahwa semua variabel berdistribusi normal. Variabel persepsi tentang agama (X1) berdasar perhitungan Chi Square sebesar 18, 952 dengan c 2 tabel sebesar 30, 1435. Variabel kecerdasan emosional (X2) = 8, 000 dengan c 2 tabel = 40, 1133. Variabel konsep diri (Y) = 5, 048 dengan c 2 tabel = 49,8018. Untuk menguji lineariltas data peneitian, digunakan teknik Anova dan uji signifikansi garis regresi dengan melihat harga p. Hasilnya menunjukkan linearitas dimana hasil pengolahan data melalui SPSS versi 10.0 diperoleh hasil sebagai berikut: (1) uji linearitas garis regresi X1 dengan Y diperoleh harga Fhit = 29,177 dengan tingkat signifikansi 0,000 <>2 dengan Y diperoleh harga Fhit = 37,330 dengan tingkat signifikansi 0,000 <>

Perhitungan korelasi untuk menguji setiap hipotesis menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara variabel bebas (X1 dan X2) terhadap variabel terikat (Y). Antara variabel X1 dengan Y diperoleh r1.y-2 sebesar 0,2999 dengan koefisien determinasi sebesar 0,422. Untuk mengetahui bagaimana signifikansi variabel persepsi terhadap agama dengan konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU maka dilakukan dengan uji "t". Hasil uji "t" menunjukkan bahwa thitung sebesar 3,377 sedangkan ttabel pada dua sisi pada a 0,05 adalah 2,0244. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel persepsi terhadap agama (X1) dengan konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU (Y), karena harga thitung > ttabel, keduanya berhubungan secara linear dan prediktif dengan garis regresi Y = 81,012 + 1,896 X1.

Terdapat korelasi yang signifikan antara variabel bebas X2 dengan variabel Y. Dari hasil perhitungan, diperoleh r1.y-2 sebesar 0,4312 dengan koefisien determinasi sebesar 0,483. Kemudian Hasil uji "t" menunjukkan bahwa thitung sebesar 2,146 sedangkan ttabel dua sisi pada a 0,05 adalah 2,0244. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel kecerdasan emosional (X2) dengan konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU (Y) karena nilai thitung > ttabel, keduanya berhubungan secara linear dan prediktif dengan garis regresi Y = 54.728 + 1.666 X2.

Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara variabel X1 dan X2 secara bersama-sama terhadap Y. Proses analisis hipotesisi yang ketiga ini dilakukan dengan analisis regresi ganda dengan dua prediktor. Dari hasil analisis tersebut diperoleh koefesien korelasi ganda variabel persepsi tentang agama dan kecerdasan emosional secara bersama-sama terhadap konsep diri siswa sebesar Rx1.x2 à sebesar 0,758 dengan p=0.000 dan koefesien determinasi r2 sebesar 0,529. Hasil analisis ini memberi arti bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara persepsi tentang agama (X1) dan kecerdasan emosional (X2) terhadap konsep diri siswa MAL IAIN-SU (Y). Selanjutnya, angka koefesien r2 memberi makna bahwa konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU sebesar 52.9 % ditentukan oleh persepsi tentang agama dan kecerdasan emosionalnya. Sedangkan selebihnya, yaitu 47,1 %, ditentukan oleh variabel lain yang tidak turut diteliti dalam penelitian ini.

Pembahasan

Penelitian ini menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang agama dan kecerdasan emosional terhadap konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU. Bila variabel kecerdasan emosional dikontrol, maka sumbangan atau konstribusi variabel persepsi tentang agama terhadap konsep diri siswa adalah sebesar 42,22 %. Sebaliknya, bila variabel persepsi tentang agama dikontrol, maka sumbangan atau konstribusi variabel kecerdasan emosional terhadap konsep diri siswa adalah sebesar 48,3 %. Kemudian, bila variabel lain diabaikan, maka besarnya konstribusi variabel persepsi tentang agama dan kecerdasan emosional secara bersama-sama terhadap konsep diri siswa adalah sebesar 52,9 %.

Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa persepsi tentang agama dan kecerdasan emosional merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsep diri seseorang, baik konsep diri akademik maupun non akademik. Temuan penelitian ini pada dasarnya tidak berbeda dengan hasil yang ditemukan M. Farid Nasution. Dalam penelitian yang dilakukannya terhadap siswa MAN se-kota Medan, M. Farid Nasution menemukan bahwa persepsi tentang agama dan kecerdasan emosional memiliki hubungan dan konstribusi yang siginifikan terhadap konsep diri siswa MAN se-kota Medan. Perbedaan hasil penelitian ini dengan yang dilakukan Nasution hanya terletak pada besarnya konstribusi masing-masing variabel terhadap konsep diri siswa.

Secara psikologis -- tanpa mengecilkan peran faktor lainnya -- temuan penelitian ini menegaskan kembali urgensi dimensi psikologis -- dalam konteks penelitian ini adalah persepsi dan kecerdasan emosi -- bagi pembentukan konsep diri seorang siswa. Karena itu, setiap individu perlu mengembangkan fungsi-fungsi kejiwaan atau psikologis yang ada dalam dirinya untuk mengarahkan pembentukan konsep diri yang positif. Semakin baik kondisi dan berkembangnya fungsi-fungsi kejiwaan tersebut, seperti persepsi dan emosi, maka akan semakin baik atau positif pula konsep diri yang akan dikembangkannya.

Persepsi dan kecerdasan emosional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dimensi konsep diri dan kepribadian seseorang. Dalam konteks ini Hurlock menyatakan bahwa konsep diri terbentuk dari sebuah organisasi konfigurasi tentang berbagai persepsi mengenai diri sendiri, seperti persepsi, keyakinan, perasaan, sikap, dan nilai-nilai yang dipandang individu sebagai bagian atau karakteristik dari dirinya. Baik persepsi maupun kecerdasan emosional, keduanya merupakan dimensi psikologis yang pembentukan dan perkembangannya bergantung pada faktor-faktor internal dan eksternal. Karena itu hasil penelitian ini juga harus dilihat dari kedua konteks tersebut.

Secara internal maupun eksternal, persepsi yang baik terhadap agama tentu berkaitan erat dengan kesan-kesan positif yang dimiliki seseorang tentang agama atau keyakinan yang dianutnya. Kesan positif tersebut terbentuk melalui serangkaian tahapan dalam rentang kehidupan individu. Pada masing-masing tahapan tersebut, sejumlah faktor bisa mempengaruhi individu, seperti perlakuan, pendidikan, dan pengalaman yang dilalui dalam keluarga, sejumlah peristiwa penting yang dialami dalam masyarakat, pendidikan dan pelatihan yang diperoleh dari sekolah, atau pergaulan sesama teman sebaya, dan lain-lain. Semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi cara dan kualitas persepsi individu tentang sesuatu.

Tidak berbeda dengan persepsi, secara internal dan eksternal, kecerdasan emosi seseorang juga dipengaruhi oleh banyak hal. Secara teoritis, kecerdasan emosi individu tidak dapat dilepaskan dari dua faktor utama, yakni (1) anugerah bawaan (hereditary endowment) seseorang, dan (2) faktor pembelajaran. Secara hereditas, setiap individu lahir dengan membawa gen tertentu yang berasal dari orangtua atau keluarganya. Hurlock menyatakan bahwa pada saat konsepsi, individu menerima anugrah turunan yang terpusat pada 23 kromosom dari ibu dan 23 kromosom dari ayah. Dengan 46 kromosom ini ada ribuan gen sifat-sifat fisik dan mental individual yang menentukan potensi-potensi turunan apa yang akan dimiliki seorang individu nantinya. Kemudian dari sudut pembelajaran, maka kecerdasan emosi merupakan produk yang dihasilkan dari sejumlah komunikasi dan interaksi antara individu dengan lingkungan sosial dan budayanya, baik di dalam rumah, di sekolah, di masyarakat atau dalam kelompok teman sebaya (peer group).

Dalam konteks penelitian ini, adalah sulit untuk membuktikan secara empirik bahwa siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU memiliki anugerah bawaan (hereditary endowment) yang baik. Hal itu dikarenakan, faktor hereditas atau anugerah bawaan tidak secara spesifik distudi dalam penelitian ini. Begitupun, secara teoritis -- hemat penulis -- adalah sulit untuk membantah bahwa individu yang memiliki persepsi dan kecerdasan emosi yang baik tidak memiliki anugerah bawaan (hereditary endowment) yang baik. Karenanya, besar atau kecil, dapat diprediksi bahwa anugerah bawaan memberikan konstribusi bagi pembentukan persepsi terhadap agama dan kecerdasan emosional di kalangan siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian ini.

Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari temuan penelitian ini. Pertama, hasil penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari latar pendidikan siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU yang mayoritas berasal dari Madrasah Tsanawiyah. Hemat penulis, hal ini merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam konteks persepsi yang baik terhadap agama. Sebab, persepsi yang baik terhadap agama tidak terbentuk dengan sendirinya atau bisa terbentuk pada suatu masa tertentu saja, melainkan berkembang melalui suatu proses panjang dan berlangsung secara kontinum. Adalah rasional untuk menyatakan bahwa pengetahuan -- khususnya pengetahuan agama -- yang diperoleh siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU dari pendidikan yang mereka lalui selama belajar di Madrasah Tsanawiyah, telah memberikan konsribusi yang positif dalam membentuk persepsi dan kecerdasan emosi siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU.

Kedua, iklim pembelajaran yang dikembangkan pada MAL IAIN-SU tampaknya juga memberikan konstribusi yang positif, baik terhadap persepsi, kecerdasan emosi maupun konsep diri siswa. Pada satu sisi, lokasi MAL yang strategis -- yang menempati gedung dan ruang belajar eks IAIN SU -- yang bertempat di jalan Sutomo Medan, adalah lokasi yang benar-benar kondusif untuk belajar. Lokasi ini cukup luas, jauh dari kebisingan, dan berada dekat dengan Mesjid Ulul Albab, tempat di mana siswa bisa diajak, dilatih, dan didik untuk mempraktikkan ajaran agama. Keberadaan MAL yang menempati kampus IAIN-SU merupakan kondisi dan lingkungan yang sangat strategis bagi siswa untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Sarana fisik seperti lingkungan madrasah yang dekat dengan sarana ibadah (Mesjid Ulul Albab), merupakan tempat di mana para siswa dapat mempraktikkan ajaran agamanya. Di mesjid yang setiap waktu berkumandang azan menyeru umat Islam mengerjakan shalat, para siswa bisa menemukan refferences-group untuk dicontoh atau diteladani. Sedangkan dari sisi lain, para guru yang menjadi pendidik siswa MAL IAIN-SU terdiri dari para pendidik yang berpengalaman. Pada umumnya pendidik yang bertugas pada MAL IAIN-SU adalah guru-guru yang berasal dari MAN yang ada di kota Medan, bahkan sebahagian lainnya merupakan dosen Fakultas Tarbiyah IAIN-SU.

Ketiga, temuan penelitian ini juga tidak bisa dilepaskan dari konstribusi orangtua dan keluarga di rumah tangga. Dengan mengutip penelitian M. Farid Nasution tentang keberagamaan remaja di kota Medan, bahwa sosialisasi agama yang dilakukan secara kontiniu oleh orangtua di rumah tangga, ditambah pemberian contoh yang ajeg dari orangtua, telah membentuk sikap percaya dengan kesadaran terhadap agama pada diri anak. Karena itu, persepsi, kecerdasan emosi, dan konsep diri yang positif di kalangan siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU juga tidak bisa dilepaskan dari peran positif atau pendidikan yang diberikan orangtua dalam rumah tangga.

Hemat penulis, benang merah dari ketiga poin atau catatan di atas adalah bahwa pendidikan dan pembelajaran, baik yang diselenggarakan di madrasah maupun di rumah tangga, memberikan konstribusi yang positif terhadap pembentukan persepsi, kecerdasan emosi dan konsep diri peserta didik. Pendidikan dan pembelajaran tampaknya berkonstribusi positif, baik dalam mendorong kematangan potensi psikologis siswa maupun dalam memberi atau menciptakan sejumlah kesempatan belajar yang diperlukan bagi pengembangan persepsi, kecerdasan emosi dan konsep diri yang baik di kalangan siswa MAL IAIN-SU. Dalam tataran praktikal, untuk membentuk persepsi, kecerdasan emosi dan konsep diri yang baik, maka pembelajaran yang diselenggarakan idealnya merupakan perpaduan dari model self initiated dan outer-directed. Self-initiated adalah aktivitas pembelajaran di mana pebelajar atau siswa mengambil inisiatif dalam mengerahkan usaha-usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil yang ia rasakan berharga bagi dirinya. Sedangkan outer-directed adalah aktivitas pembelajaran di mana pebelajar atau siswa dibimbing oleh seseorang yang memotivasi mereka untuk bergerak, bekerja, dan melakukan sesuatu agar sampai pada tujuan yang diinginkan. Karena itu, apa, seberapa banyak, dan bagaimana kualitas yang dicapai anak tidak hanya bergantung pada pada kesempatan-kesempatan untuk belajar dan metoda pembelajaran yang digunakan pendidik, tetapi juga bergantung pada kekuatan motivasi pebelajar atau siswa dan kesiapannya untuk belajar pada saat-saat kesempatan untuk itu dihadirkan.

Kesimpulan

Persepsi tentang agama berkorelasi secara signifikan dengan konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU. Jika variabel lain diabaikan, maka besarnya konstribusi persepsi tentang agama terhadap konsep diri siswa adalah sebesar 42,2 %.

Kecerdasan emosional memiliki hubungan yang signifikan dengan konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU. Jika variabel lain diabaikan, besarnya konstribusi kecerdasan emosional terhadap konsep diri siswa adalah sebesar 48,3 %.

Secara bersama-sama, variabel persepsi tentang agama (X1) dan kecerdasan emosional (X2) memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap konsep diri siswa jurusan IPS MAL IAIN-SU. Dari koefesien r2 dapat diketahui bahwa besarnya konstribusi persepsi tentang agama (X1) dan kecerdasan emosional (X2) terhadap konsep diri siswa (Y) adalah sebesar 52,9 %.

[Penulis adalah dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara, menyeleaikan Program S2 di PPs IAIN Sumatera Utara dan Program S3 di PPs Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung]

Pustaka

Bahaudin, Taufik, Brainware Management, Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999.

Brooks, William D., Speecs Communication. Dubuque: Wm.C. Brown Company Publishers, 1974.

Burn, R.B., Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku, alih bahasa Eddy, Jakarta: Arcan, 1993.

Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, terj. Katini Kartono, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Cooper, Robert K. dan Sawaf, Ayman, Executive EQ, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1998..

Daradjat, Zakiah, Psikologi Agama, cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Gage, N.L. dan Berliner, David C., Educational Psychology, New York: Houghton Mifflin Company, 1998..

Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, Jakarta: Gramedia, 1999.

Hurlock, Elizabeth. B., Personality Development, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., 1974.

Kretch, David dan Crutchfield, Richard S., Perceiving the World: The Process and Effects of Mass Communication, Schramm, W dan Roberts, D.F. (eds.), Urbana: University of Illinois Press, 1977.

McMillan, James H. dan Schumacher, Sally, Research in Education: A Conceptual Introduction. New York: Addisey Wesley Longman Inc., 2001.

Nasution, M. Farid, Sikap Remaja Terhadap Agama, Medan: IAIN Press, 2000.

Nasution, M. Farid. ‘Pengaruh Persepsi tentang Agama dan Kecerdasan Emosional terhadap Konsep Diri Siswa MAN di Kota Medan’ dalam Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 10, No. 2, Juni 2003.

Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.

Rogers, C.R. (1951). Client-Centered Theraphy. Boston: Houghton Mifflin.

Santoso, Singgih. 2002. SPSS: Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Webster, Noah. (1980). Webster’s Twentieth Century Dictionary. USA: Unaibridge.

Sumber :www.litagama.org

No comments: