Saturday, May 10, 2008

RUMAH IBADAH DI TENGAH PEMUKIMAN MASYARAKAT MAJEMUK: Telaah Sikap Keberagamaan Umat Islam dan Kristen

H. Abbas Pulungan

A religious building is an important symbol of living religions. In addition to being a place for religious rituals, a religious building also serves as a center for religious activities. However, with its essential functions, a religious building is sometimes seen negatively, for its activities may be disturbing the surrounding communities. This is often the case with a heterogeneous community. This study is meant to explore social attitudes of people with different religions towards religious building within their surroundings. Conducted in a qualitative approach, the research indicates that religious buildings in a heterogeneous community are perceived in many ways by the people. The perceptions range from positive acceptance, pessimism, passive rejection, to open rejection.

Term kunci: Rumah ibadah, masyarakat majemuk, sikap pemeluk agama.

Rumah ibadah merupakan kebutuhan setiap umat beragama. Kehadiran sebuah rumah ibadah seiring dengan terbentuknya suatu komunitas di suatu kawasan, biasanya dilakukan dengan musyawarah dan swadaya. Jika di suatu kawasan bermukim pemeluk agama yang mayoritas jarang terjadi benturan-benturan sosial dalam penetapan tempat atau lokasi bangunannya, tetapi apabila masyarakatnya terdiri dari berbagai pemeluk agama sering muncul konflik.

Dari perspektif agama, pada dasarnya konflik antarkelompok agama dalam hal rumah ibadah berakar dari pola pemahaman dan wawasan keagamaan yang sempit. Ketika agama dipahami secara sempit dan tidak toleran terhadap agama lain berarti agama menjadi subyektif. Berkaitan dengan itu, dimungkinkan akan muncul: (1) fanatisme keagamaan yang berlebihan sehingga tidak ada lagi peluang untuk toleransi, dan (2) prejudice yang menganggap agama lain rendah dan tidak pantas untuk diberikan apresiasi. Kedua hal ini jika terus dikembangkan maka disintegrasi dan konflik semakin terbuka di antara pemeluk agama yang berbeda.

Dalam perkembangan masyarakat majemuk, kecenderungan untuk memelihara identitas golongan sangat kuat. Orientasi yang kuat ke dalam golongan sendiri memberikan isyarat mengenai pekanya hubungan antar-golongan sosial dalam masyarakat. Orientasi kuat kedalam itu merupakan faktor yang memperkuat batas sosial dan perbedaan, seperti yang dikemukakan oleh Fredrik Barth dalam bukunya Ethnic- Groups and Bourdaries (1976) "agar tercipta integrasi, haruslah tercipta sejumlah pranata yang mengikat semua anggota golongan sosial sehingga setiap warga dapat mengidentitaskan dirinya pada suatu ciri yang juga dimiliki oleh warga golongan sosial yang lain". Apabila landasan identitas suatu golongan adalah agama, sedangkan agama merupakan etos yang memberikan bobot keyakinan kuat pada penganutnya, maka batas-batas dan perbedaan sosial atau bahkan pertentangan dapat terjadi sebagai akibat dari doktrin-doktrin agama yang diterjemahkan kedalam kenyataan sosial manusia yang kompleks, duniawi, dan manusiawi.

Pembangunan Perumnas sebagai pemukiman baru di pinggiran kota Medan merupakan hal yang cukup penting dalam melihat pola hubungan antarkelompok keagamaaan. Sebagaimana lazimnya suatu daerah pemukiman baru, corak masyarakat penghuni lokasi perumnas tersebut sangat beragam. Mereka datang dari tingkat sosaial dan kultural yang relatif tidak sama. Dari sudut etnis, diantara mereka ada yang berasal dari Batak Toba, Batak Simalungun, Mandailing/Tapanuli Selatan, Minang, Melayu, Aceh, Jawa, Karo, Nias dan sebagainya. Dari sudut agama, mereka terdiri dari pemeluk agama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Pekerjaan mereka bisa dikelompokkan sebagai: pegawai pemerintah, pegawai swasta, pedagang, dan lain sebagainya yang sudah barang tentu memiliki tingkat kehidupan yang berbeda-beda.

Keragaman semacam ini tentu mempengaruhi struktur dan corak masyarakat baru tersebut, yang dalam pertumbuhannya masih mencari bentuk-bentuk yang mapan. Dalam keadaan semacam ini, mereka saling melakukan identifikasi sosial dan keagamaan serta mengembangkan tatanan-tatanan sosial baru berdasarkan aturan-aturan kemasyarakatan yang bisa disepakati. Oleh karena itu, dalam proses pembentukan persekutuan sosial baru itu mulai ditemukan faktor-faktor yang dapat menghimpun mereka dalam ikatan kebersamaan sosial yang beridentitaskan kultural, agama, dan profesi yang berujung kepada munculnya konflik-konflik, baik karena kepentingan sosial maupun yang didasarkan untuk menegakkan kepentingan kelompok, kultural, dan agama masing-masing. Termasuk dalam pengertian ini adalah munculnya pengelompokan sosial berdasarkan identitas keagamaan. Di antara pengelompokan berdasarkan keagamaan ini adalah ditandai dengan berdirinya rumah-rumah ibadah bagi pemeluk agama yang berbeda. Rumah ibadah bagi setiap pemeluk agama menjadi bagian dari kehidupan religiusnya, dan dijadikan sebagai simbol masyarakat sekitarnya.

Masalah utama yang dibahas dalam penelitian terdiri dari dua aspek yaitu: (1) Bagaimana sikap sosial pemeluk agama minoritas terhadap pendirian dan kegiatan-kegiatan rumah ibadah pemeluk agama mayoritas; (2) Bagaimana sikap pemeluk agama mayoritas terhadap pendirian dan kegiatan-kegiatan rumah ibadah pemeluk agama minoritas. Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:

MASYARAKAT

MASYARAKAT

Penelitian bertujuan untuk menemukan pola interaksi dan sikap sosial keberagamaan suatu masyarakat di suatu pemukiman yang terdiri dari pemeluk agama yang berbeda. Dalam kaitan ini, penelitian melihat dampak kehadiran rumah ibadah di tengah pemukiman masyarakat berbeda agama. Secara khusus, penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui sikap masyarakat terhadap pendirian rumah ibadah di lingkungan pemukiman yang berbeda dengan agama yang dianutnya: (2) Mengetahui dan menganalisis pola interaksi sosial berbeda agama terhadap aktivitas dan perilaku keberagamaan yang dilakukan oleh masing-masing pemeluk agama yang berbeda.

Hasil penelitian ini diharapkan akan berguna bagi pembinaan dan pengembangan kerukunan dan keharmonisan masyarakat beragama baik internal umat beragama maupun antar umat berbeda agama. Selain itu, hasil penelitian juga memberikan kontribusi kepada pengambil kebijakan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor: 9 tahun 2006 dan nomor: 8 tahun 2006 tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadah.

Metode Penelitian

Pendekatan: Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan analisis interpretatif dan naturalistik terhadap fenomena yang akan diamati. Sebagai dasar pertimbangan dengan pendekatan kualitatif ialah: pertama, permasalahan akan dijawab merujuk kepada proses sosial, pemaknaan, dan pemahaman, ketiga hal ini merupakan yang penting dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami proses interaksi sosial antar umat beragama yang telah dan sedang berlangsung. Gejala sosial yang mengarah kepada kerukunan atau konflik dan konteks yang mengitarinya dianalisis dalam setting alamiah, kemudian diinterpretasikan berdasarkan pemaknaan yang diberikan informan. Kedua, realita kerukunan dan ketidakrukunan bersifat multidimensi dan merupakan akibat dari kompleksitas proses dan situasi yang beragam. Ideologi, faham keagamaan, sosial-budaya, etnisitas, ekonomi dan politik menjadi bagian dimensi yang secara bersama-sama dan dalam proses yang berlangsung dalam fase-fase tertentu turut memberikan kontribusi atau akselerasi terhadap kontruksi interaksi sosial. Oleh karena itu, kajian terhadap sebuah fenomena harus dilakukan dengan menganalisis konteks yang mengitarinya, dan hanya mungkin dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

Lokasi penelitian: Penelitian ini dilakukan di kelurahan Kenangan dan Kenangan Baru Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. Kedua kelurahan ini termasuk kawasan Perumnas Medan II yang dibangun tahun 1980-an. Kawasan pemukiman ini terletak di sebelah timur kota Medan. Pada saat ini dengan perluasan kota Medan maka secara geografis telah berada di wilayah kota Medan, namun secara administratif masih berada dalam daerah Kabupaten Deli Serdang. Pemukiman penduduk termasuk sangat padat dan dihuni lebih dari 10 ribu kepala keluarga.

Subjek dan informan: Subjek penelitian ini adalah masyarakat di kelurahan Kenanga I dan II (Perumnas Medan II Mandala) yang terdiri dari latar etnis dan latar agama (Islam, Kristen Protestan dan Katolik). Sementara informan terdiri dari tokoh dan pemuka agama, pemuka masyarakat, pimpinan organisasi keagamaan, pempinan komunitas etnis atau daerah, pimpinan organisasi pemuda, cendikiawan/terpelajar, dan pimpinan majelis taklim. Subjek dan informan ini akan ditetapkan dengan menggunakan tehnik purposive sampling dan snowball sampling.

Prosedur Pengumpulan Data

a. Observasi: Tehnik observasi yang digunakan adalah pengamatan tersamar dan bersifat non-partisipan, di mana peneliti bertindak sebagai pengamat dan tidak terlibat langsung dalam kegiatan subjek penelitian. Metode observasi ini sekaligus akan digunakan sebagai analisis silang terhadap data yang diperoleh melalui wawancara.

b. Wawancara: Penelitian ini menggunakan interview semi tersetruktur. Tehnik ini dipilih untuk mengontrol informasi yang diperoleh dari informan penelitian dengan tetap membuka kemungkinan munculnya pertanyaan susulan.

Wawancara dilakukan terhadap subjek dan informan penelitian yang diidentifikasi mengetahui, mengalami, dan mamahami hubungan antar umat beragama di daerah penelitian. Para informan ini meliputi pemuka agama, pemuka masyarakat, pimpinan organisasi sosial keagamaan, majelis taklim, kepemudaan, kenaziran Masjid, dan pimpinan organisasi kesukuan/kedaerahan serta aparat pemerintahan kelurahan/RW, RT, atau lorong.

c. Dokumentasi: Penelitian ini juga akan menelusuri informasi dan data yang relevan atau dapat membantu pemahaman peneliti tentang fenomena interaksi sosial antar umat beragama. Penelusuran ini akan dilakukan terhadap sumber berbeda seperti dokumen dan statistik di lembaga pemerintahan daerah, berita, kasus-kasus yang terkait dengan konflik sosial keagamaan, monograph, laporan penelitian, literatur, jurnal, dan publikasi online di website.

Analisis data: Data dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data meliputi delapan langkah sebagaimana yang disarankan Tesch (1990:142-145), yakni: 1) memahami catatan secara keseluruhan dengan teliti dan menuliskan sejumlah ide yang muncul, 2) memilih salah satu data paling menarik kemudian mempelajari makna pokoknya, 3) membuat daftar seluruh topik dan mengklasifikasikannya, 4) menyingkat topik-topik dan membuat kode di sebelah bagian-bagian naskah, 5) mencari kata paling deskriptif untuk topik dan mengubahnya ke dalam beberapa kategori lalu mengelompokkan kategori yang saling berhubungan, 6) membuat kata akhir tentang singkatan setiap kategori dan mengurutkannya menurut abjad, 7) mengumpulkan materi data setiap kategori dalam satu tempat dan memulai analisa awal, dan 8) jika perlu, mengkode kembali data yang sudah ada. Kedelapan langkah ini sangat berguna untuk memandu peneliti dalam proses sistematis analisa tekstual.

Tehnik Penjaminan Keabsahan Data: Penelitian ini menggunakan tehnik penjaminan keabsahan data yang umum terdapat dalam penelitian kualitataif, yaitu kredibilitas dan transfrebilitas (credibility and transfrability). Untuk menjamin tingkat keterpercayaan data yang diperoleh dalam penelitian, peneliti akan melakukan dua hal berikut:

a. Sedapat mungkin memperpanjang keterlibatan di lapangan penelitian untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang hal tertentu dan untuk menguji informasi tertentu yang mungkin belum sesuai dengan pemaknaan sebenarnya.

b. Triangulasi sumber dan metode. Data yang diperoleh dicek ulang dengan sumber berbeda (informan, catatan observasi dan dokumen) atau dengan metode berbeda (observasi dan wawancara).

Temuan Penelitian

Gambaran umum lokasi penelitian

Pembangunan Perumnas Medan II Mandala dimulai pada tahun 1978, dan dipasarkan kepada masyarakat tahun 1980 sampai tahun 1984. Perumnas ini terdiri dari 18 blok dengan bangunan rumah type 18 sampai type 36 dengan luas tanah dari ukuran 60 meter sampai 150 meter. Penduduk yang mendiami perumnas Medan II Mandala secara administrasi dibagi kepada dua kelurahan, yaitu kelurahan Kenangan dan kelurahan Kenangan Baru. Kelurahan Kenangan terdiri atas 10 lingkungan dan Kenangan Baru sebanyak 14 lingkungan.

Penghuni perumahan ini merupakan miniatur dari masyarakat Sumatera Utara. Di sini terdapat bermacam-macam etnis, yang terdiri atas etnis Batak Toba, Karo, Nias, Mandailing dan Tapanuli Selatan, Melayu, Minang, Jawa, dan Aceh. Masing-masing etnis membentuk komunitas sendiri yang mencerminkan identitasnya sebagai pemeluk agama Islam atau Kristen. Gambaran pemeluk agama Islam dan Kristen berdasarkan etnis di Kelurahan Kenangan dan Kenangan Baru dapat dilihat pada tabel berikut

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama pada thn 2004

Pemeluk Agama

Jumlah

Islam

K.Pro

Kat

Hind

Bud

Kenangan

16.674

6.637

2.189

-

27

25.527

65,33%

26,00%

8,57%

0%

0,10%

18.828

6.496

-

33

25

25.382


74,18%

25,60%

0%

0,13%

0,09

100,00


Etnis terbanyak di dua kelurahan adalah etnis Batak Toba (26,80 %), kemudian Mandailing/Tapanuli Selatan (23,35 %) disusul oleh Jawa termasuk Banten dan Sunda (15,32 %). Urutan keempat dan kelima adalah Minang (14,86 %) dan Melayu (6,80 %). Jika dipetakan, maka etnis-etnis ini bisa mencerminkan identitas keagamaan. Etnis yang menganut agama Islam adalah etnis Mandailing/Tapanuli Selatan, Minang, Melayu, Jawa dan Aceh, sedangkan etnis yang mayoritas memeluk agama Kristen adalah etnis Batak Toba sebanyak 96,90 % dan yang memeluk agama Islam hanya 3,10 % saja, kemudian Batak Simalungun, Karo, Nias, dan Pakpak Dairi masing-masing di bawah tujuh persen. Dari data ini terlihat bahwa etnis urutan pertama sampai kelima (Melayu, Mandailing /Tapanuli Selatan, Minang, Jawa, dan Aceh) seluruhnya pemeluk agama Islam. Sedangkan etnis urutan keenam sampai sembilan (Batak Toba, Batak Simalungun, Karo, adan Nias) ada yang pemeluk agama Islam walaupun jumlahnya tidak signifikan.

Pendirian Rumah Ibadah:

Masjid yang pertama berdiri di perumnas ini berlokasi di jalan Garuda/Merpati I pintu masuk perumnas pada tahun 1980, yang dibangun dari wakaf perorangan yang diberi nama Masjid Al-Hasanah. Sedangkan gereja pertama terdapat di lingkungan Enggang (Blok 15), dan menurut masyarakat di lingkungan ini bahwa sebelum perumahan ini dibangun, gereja tersebut telah lebih dahulu berdiri, yang kemudian bernama "Gereja Kristen Protestan Indonesaia (GKPI). Sekarang jumlah rumah ibadah di kelurahan Kenangan dan Kenangan Baru sebanyak 33 buah, Masjid 18 buah dan Gereja 15 buah, lokasi rumah ibadah tersebut tidak mereta di setiap lingkungan, terutama rumah ibadah Gereja, dimana sebagian terdapat tiga sampai empat saling berdekatan. Seperti di lingkungan enam Enggang terdapat empat gereja, tiga di antaranya berdekatan dan menurut data di kelurahan bahwa lokasi gereja yang tiga ini tidak masuk dalam wilayahnya. Demikian juga lima gereja di lingkungan sepuluh Pelikan, kelima gereja ini adalah di luar batas kelurahan, yaitu di tanah kosong antara sungai denai dengan lingkungan Pelikan. Namun demiikian, jamaah gereja pada umumnya adalah pemeluk agama Kristen yang bermukim di daerah ini. Gereja yang terdapat di lingkungan tujuh Kenari A adalah Gereja Katolik, sampai sekarang tidak memakai nama, karena lokasi ini diperuntukkan untuk bangunan sekolah/perguruan Katolik. Masyarakat pernah melakukan protes terhadap pembangunan gereja tersebut pada tahun 2000.

Sikap Pemeluk Agama terhadap Rumah Ibadah

Letak rumah ibadah di Perumnas Mandala relatif tidak sama dalam penempatan tata ruang dan penetapan lokasinya, karena masing-maing mempunyai latar kesejarahan yang berbeda. Jika dilakukan perbandingan antara penetapan lokasi Masjid dengan Gereja dan keberadaannya di tengah pemukiman masyarakat, maka akan ditemukan sejumlah perbedaan yang cukup menyolok. Sebagai contoh, diambil empat Masjid, yaitu Masjid Al-Mukhlisin dan As-Syahadah di kelurahan Kenangan, dan Masjid Al-Ihsan dan Al-Muhajirin di kelurahan Kenangan Baru, serta dua gereja, yaitu Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) di kelurahan Kenangan dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bethesda di kelurahan Kenangan Baru.

Sikap informan terhadap keberadaan Masjid

Di lingkungan tempat tinggal

Pemeluk Agama

I s l a m

Kristen

F

%

F

%

1

merasa senang dan tentram

24

96

2

8

2

kurang senang karena mengganggu ketenangan keluarga

-

-

3

12

3

tidak senang karena beda dengan rumah ibadah saya

-

-

5

20

4

tidak bersikap, kadang ada negatif dan positifnya

1

4

15

60

Sikap informan terhadap Keberadaan Gereja

di lingkungan tempat tinggal

Pemeluk Agama

I s l a m

Kristen

F

%

F

%

1

Merasa senang dan tentram

1

21

2

Kurang senang karena mengganggu ketenangan keluarga

16

64

-

-

3

tidak senang karena beda dengan rumah ibadah saya

4

16

-

-

4

tidak bersikap, kadang ada negatif dan positifnya

4

16

4

16

Sikap pemeluk agama terhadap tempat dan lokasi rumah ibadah yang baik, terdapat beda antara pemeluk Islam dan Kristen. Pemeluk Islam menyatakan lebih baik berada di tengah pemukiman pemeluk agama yang bersangkutan, sedangkan pemeluk Kristen menyatakan tidak masalah walaupun rumah ibadah itu berlokasi di pemukiman yang berbeda agama. Sikap para pemeluk agama ini bisa dilihat pada tabel berikut :

Lokasi Bangunan Rumah Ibadah yang paling ideal/baik

Menurut Pemeluk Agama

Pemeluk Agama

I s l a m

Kristen

F

%

F

%

1

berada di tengah pemukiman pe meluk agama yang bersang kutan

18

72

4

16

2

tidak mesti di tengah permuki man pemeluk agama yang ber sangkutan

2

8

2

8

3

tidak terlalu dekat dengan rumah ibadah yang berbeda agama

4

16

6

24

4

tidak masalah meskipun berdeka tan dengan pemeluk agama yang berbeda

1

4

13

52

Dari tujuh rumah ibadah yang menjadi konsentrasi penelitian, yaitu empat Masjid dan tiga Gereja sebagaimana digambarkan pada situasi ketetanggaan yang bermukim di lingkungan rumah ibadah tersebut, satu atau dua orang dilakukan wawancara mendalam dengan mereka yang rumahnya mempunyai jarak antara lima sampai 50 meter dengan rumah ibadah. Dimaksud dengan rumah informan ini adalah bagi pemeluk agama Islam dekat dengan Gereja dan pemeluk agama Kristen dekat dengan Masjid

Sikap Masyarakat Mayoritas salah satu Pemeluk Agama

terhadap Minoritas yang tidak ada Rumah Ibadahnya

Pemeluk Agama

I s l a m

Kristen

F

%

F

%

1

harus ada rumah ibadah masing-masing pemeluk agama

3

12

18

72

2

tidak mesti ada, karena terlalu dekat dgn rumah ibadah lainnya

5

20

-

-

3

diserahkan saja pada pemuaka agama setempat

3

12

4

16

4

disesuaikan pada peraturan pemerintah saja

14

56

3

12

Sekaitan dengan penetapan lokasi rumah ibadah, terdapat perbedaan perdapat antara pemeluk agama Islam dan Kristen, sebagaimana terlihat pada tabel beikut :

Lokasi Bangunan Rumah Ibadah yang paling ideal/baik

Menurut Pemeluk Agama

Pemeluk Agama

I s l a m

Kristen

F

%

F

%

1

berada di tengah pemukiman pemeluk agama yang bersangkutan

18

72

4

16

2

tidak mesti di tengah pemukiman pemeluk agama yang bersangkutan

2

8

2

8

3

tidak terlalu dekat dengan rumah ibadah yang berbeda agama

4

16

6

24

4

tidak masalah meskipun berdekatan dengan pemeluk agama yang berbeda

1

4

13

52

Pembahasan

Pendirian rumah ibadah

Jika dibandingkan antara jumlah penduduk dengan sarana rumah ibadah yang ada, maka satu Masjid digunakan oleh 2.079 orang, dan satu Gereja digunakan 657 orang, sedangkan pemeluk agama Katolik belum mempunyai Gereja dan jumlah mereka 4.362 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah Gereja Kristen Protestan seharusnya mereka (pemeluk Katolik) mempunyai Gereja sebanyak lima buah. Walaupun pemeluk agama Kristen Protestan telah mempunyai gereja 19 buah, mereka masih tetap berusaha mendirikan gereja baru, karena jumlah aliran/sekte dalam agama ini cukup banyak (di Sumatera Utara mencapai lebih dari 30 sekte). Selain jumlah sekte yang terdapat pada Kristen Protestan, gereja mereka juga mencerminkan jumlah etnis. Menurut ketentuan agama Kristen bahwa setiap sekte mempunyai gereja masing-masing. Bagi pemeluk agama Katolik yang belum mempunyai gereja di kawasan ini, tetap mengupayakannya. Memang, di lingkungan VII Kenari kelurahan Kenangan, mereka telah membangun sebuah gereja dalam komplek perguruan Katolik pada tahun 2000-an, tetapi masyarakat pemeluk agama Islam disekelilingnya melakuikan protes karena lokasi itu diperuntukkan untuk sekolah bukan lokasi rumah ibadah, dan sampai sekarang bangunan itu tidak mempunyai lambang dan nama "Gereja", atau dalam keadaan status quo.

Lokasi rumah ibadah di kawasan ini cukup beragam. Dari 16 Masjid, 15 buah berlokasi di kawasan perumnas dan berada di tengah pemukiman masyarakat, dan satu buah terdapat di pinggiran perumnas. Sedangkan gereja yang berjumlah 20 buah tersebut, hanya empat buah yang berada di kawasan perumnas dan 16 buah berlokasi di pinggiran perumnas. Jika dilihat dari sudut tata ruang bangunan perumahan di perumnas ini, tanah untuk lokasi rumah ibadah hanya di dua tempat, dan keduanya diperuntukkan untuk lokasi Masjid, dan untu lokasi Gereja nampaknya tidak disediakan oleh pemerintah. Namun demikian, tanah kosong dan tidak terdapat bangunan rumah cukup banyak. Tanah-tanah kosong inilah yang menjadi garapan/ rebutan masyarakat untuk dijadikan lokasi rumah ibadah, sebagaimana terlihat di atas. Menyangkut dengan tanah yang kosong di kawasan perumnas, satu sisi memang umat Islam lebih diuntungkan, tetapi pada sisi lain, bahwa sebanyak tiga tempat dijadikan lokasi perguruan/ sekolah Kristen, yaitu 1) Perguruan Parulian, 2) Perguruan Kenangan, dan 3) Perguruan Katolik. Sedangkan bagi pemeluk agama Islam tidak mempunyai perguruan sama sekali. Walaupun pada tahun 2003, oleh pemerintah melalui Departemen Agama kota Medan telah membangun sebuah gedung Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), tapi lokasinya berada di pinggiran perumnas dan sebelumnya dijadikan semacam Madrasah Diniyah Agama (MDA).

Cara mendapatkan tanah untuk lokasi pembangunan rumah ibadah, juga berbeda antara Masjid dan Gereja. Kalau bangunan Masjid yang berada di kawasan perumnas, seluruhnya pemberian dari pihak Perum Perumnas (pemerintah), walaupun sebagian diawali dengan menggarap tanah kosong, kemudian diproses secara prosedural kepada pemerintah. Masjid yang berlokasi di pinggiran perumnas ada berbentuk wakaf dari pemilik tanah, karena secara kebetulan para pemilik tanah tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sedangkan tanah lokasi gereja di kawasan perumnas hanya satu buah yang diperdapat dari Perum Perumnas, dan lainnya melalui jual beli kepada pemilik rumah, kemudian dibangun Gereja. Bangunan gereja yang lokasinya di pinggir perumnas sebanyak 11 buah, juga tanahnya dibeli oleh jemaat Gereja kepada pemilik tanah. Demikian juga halnya dengan pengadaan tanah untuk lokasi perguruan /sekolah yang dikelola oleh agama Kristen, dengan melalui transaksi jual beli dengan pihak Perum Perumnas pada awal pembangunan perumnas.

Pemeluk Agama dan Pemerintah

Sikap pemeluk agama terhadap kebijakan pemerintah yang menyangkut dengan kehidupan beragama terdapat perbedaan antara pemeluk Islam dan pemeluk Kristen. Walaupun umat Islam di sana tidak mengetahui secara lengkap peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, namun mereka mendukung sepenuhnya dan menyatakan agar peraturan ini benar-benar dilaksanakan. Karena itu mereka mengusulkan supaya disosialisasikan kepada masayarakat secara luas. Berbeda dengan kebanyakan pemeluk Kristen, mereka berpendapat bahwa peraturan ini menghambat dan mempersempit kehidupan beragama, dan sebagian tidak memberikan pendapat atau bersifat pasif yang penting bagaimana supaya pemeluk agama melaksanakan ajaran agama masing-masing. Karena itu mereka mengusulkan supaya perturan ini dicabut kembali. Dari hasil temuan di lapangan dengan 25 informan bisa dilihat pada tabel berikut :

Sikap Pemeluk Agama terhadap Peraturan Bersama

Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

No.9 dan 8 tahun 2006

Pemeluk Agama

I s l a m

Kristen

F

%

F

%

1

sangat setuju, sudah ada pedoman

16

64

-

-

2

kurang setuju, membatasi kehidupan beragama

-

-

6

24

3

tidak setuju, pemerintah terlalu mencampuri intern umat beragama

-

-

9

36

4

tidak memberikan pendapat, yang penting agar kehidupan beragama sesuai dgn ajaran agama masing-masing

9

36

10

40

Jika dilihat kuantitas rumah ibadah di kawasan kelurahan Kenangan dan Kenangan Baru, sebenarnya yang belum terpenuhi menurut jumlah pengguna rumah ibadah adalah bagi pemeluk agama Islam, dan bagi pemeluk agama Katolik, sedangkan gereja bagi pemeluk agama Kristen Protestan telah terpenuhi. Namun karena banyaknya sekte/aliran dalam agama Kristen, jumlah tersebut belum terwakili, apalagi terdapat dua sampai empat buah Gereja dalam satu sekte/aliran, seperti Gereja Huria Kristen Batak Protestas (HKBP) empat buah dan Gereja Pentakosta di Indonesia (GPDI) empat buah. Akibat banyaknya sekte/aliran dalam agama Kristen dan harus mempunyai Gereja masing-masing, mengakibatkan pemeluk agama tersebut tidak melaksanakan kebaktian di Gereja yang berada di lingkungannya, dan mereka mempunyai Gereja di luar lingkungan, termasuk beberapa Gereja di kota Medan. Demikian pula sebaliknya terdapat pemeluk agama Kristen yang bermukim di kota Medan melaksanakan kebaktian di Gereja lingkungan kelurahan Kanangan dan Kenangan Baru (perumnas).Berbeda dengan pemeluk agama Islam, biasanya rumah ibadah (Masjid) mereka adalah terdapat di lingkungan masing-masing.

Sebagai konsekuensi banyaknya sekte/aliran dan etnis dalam agama Kristen dan setiap sekte harus mempunyai Gereja masing-masing, semakin sulit mereka menerima peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tahun 2006 tersebut. Sebab, diantara persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam pendirian rumah ibadah pada pasal 14 ayat (2) : daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang dan berdomisili di lingkungan atau kelurahan yang bersangkutan. Dengan demikian, berarti bukan karena semata pemerintah menghambat dan membatasi kehidupan beragama, tetapi substansinya adalah berada pada struktur kegerejaan dan jumah sekte/aliran yang terdapat pada agama Kristen sendiri. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan ritual keagamaan pemeluk Kristen memberikan peluang untuk melakukan ibadah/kebaktian di rumah atau bangunan gedung lainnya.

Petutup

Kesimpulan

Pembangunan dan keberadaan rumah ibadah di tengah pemukiman masyarakat majemuk ternyata memberi dampak terhadap interaksi sosial antarumat beragama. Hubungan ketetanggaan dengan rumah ibadah merupakan faktor penting dalam membentuk sikap sosial pemeluk agama terhadap pembangunan dan kegiatan rumah ibadah. Sikap sosial umat beragama terhadap suatu rumah ibadah ternyata tidak semata-mata karena faktor subyektifitas keberagamaan, melainkan juga karena faktor obyektif, seperti ketidaknyamanan di dalam rumah disebabkan kebisingan dalam rumah ibadah.

Tampaknya orang-orang Kristen lebih akomodatif terhadap kehadiran rumah ibadah agama lain di sekitar rumahnya. Sikap akomdatif ini tidak lain karena mereka merasakan ada manfaat tertentu yang diperoleh dari keberadaan rumah ibadah tersebut, seperti rasa aman dari tindakan pencurian, dan dapat membangunkan pada pagi hari. Berbeda dari sikap orang Kristen, umat Islam cenderung menolak keberadaan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Hal ini disebabkan adanya rasa ketidaknyamanan di dalam rumah, baik karena kebisingan di rumah ibadah maupun karena adanya binatang peliharaan yang dianggap tabu.

Saran dan Rekomendasi

Penataan kehidupan beragama perlu mendapat perhatian dari semua kalangan, terutama para pemuka, pemimpin, dan pemeluk agama yang bersangkutan agar saling menghormati dan tidak memunculkan berbagai pertentangan yang sifatnya profokatif. Pendekatan yang dilakukan tidak hanya dari aspek kajian-kajian keagamaan, tetapi bisa dilakukan dengan pendekatan sosial dan budaya yang dimiliki masyarakat pemeluk agama yang bersangkutan

Membangun kehidupan masyarakat beragama, tidak hanya dilakukan oleh pemeluk agama dan pemuka agama saja, tetapi pihak pemerintah harus secara terus menerus mempasilitasi aspek-aspek kebutuhan fisik dan material masyarakat beragama

Peraturan dan semacamnya yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti peraturan bersama Menteri Agama dan Mnteri Dalam Negeri tahun 2006, supaya sesegera mungkin disosialisasi kepada masyarakat luas oleh pemerintah dan pemuka agama. Sosialisasi tersebut tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Departemen Agama, tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama sebagai bangsa Indonesia

Jajaran Departemen Agama mulai dari pusat sampai di tingkat kecamatan perlu melakukan monitoring gerakan-gerakan sempalan yang muncul dalam masyarakat beragama atau gerakan radikalisme yang mengarah kepada kerenggangan umat beragama, dan juga supaya melakukan sensus jumlah pemeluk agama dan sarana keagamaan lainnya disetiap daerah agar tidak terjadi manipulasi data tentang jumlah pemeluk agama dan sarana keagamaan.

Penulis adalah alumni S3 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian IAIN Sumatera Utara.

Pustaka Acuan

Abbas Pulungan, Profil Kerukunan Hidup Beragama: Kasus Desa Sibaruang Kecamatan Siabu Tapanuli Selatan, Laporan Penelitian, Balitbang Dep. Agama, Jakarta, 1991

__________, Masjid-Masjid Tua di Kota Medan: Telaah Interaksi Sosial Keagamaan Etnis Melayu dan Mandailing, Laporan Hasil penelitian, IAIN Sumatera Utara, Medan, 2005

Ahmad Syahid dan Zainuddin Daulay, (Ed), Riuh Di Beranda Satu: Peta Karukunan Umat Beragama di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Beragama Balitbang Departemen Agama, Jakarta, 2002

Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan terhadap Prilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing, Sanggar Willem Iskander, Jakarta, 1987

Basori A. Hakim dan Moh. Saleh Isre, (Ed), Fungsi Sosial Rumah Ibadah Dari Berbagai Agama: Dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Dep. Agama, Jakarta, 2004

Bryan S. Tunner, Religion Social Theory, SAGE Publication, London, Newburi Park, New Delhi, 1991

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Oxford University Press, New York, 1996

Edward M. Bruner, Kinship Organization Among the Urban Batak of Sumatra, Transaction of the New York Academy of Sciences 22(2), 1959, hal. 118-125

John W. Creswell, Research Design Qualitative & Quantitative Approaches, Editor: Aris Budiman Cs, Edisi Revisi, KIK Press, Jakarta, 2002

JC. Vegowen, The Social Organization and Customary Law of the Toba Batak, The Hugue: Martinus Nijhoff, 1964

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. VII, 1985, Gramedia, Jakarta, 1985

__________, Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Baru, Cet. VIII, Rineka Cipta, Jakarta, 1990

Lance Castles, The Political Life of a Sumatra Resisdency: Tapanuli 1915-1940, disertasi doktor, Yale University, 1972

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Terj. Tim Yasogama, Raja Grapindo Persada, Jakarta, 1994

M.Ridwan Lubis, dkk (Ed), Konsep Kerukunan Hidup Umat Beragama, Citapustaka, Bandung, 2004

M.Yusri Abadi, dkk, Dinamika Kehidupan Beragama Muslim Pedesaan, Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang Dep.Agama, Jakarta, 2002

Sumber: www.litagama.org

No comments: