Saturday, May 10, 2008

DOKTRIN POLITIK SUNNI KLASIK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Muhammad Iqbal

The present study is aimed at finding out how the political doctrine of classical Sunni was as it was developed by its thinkers, and how it has influenced Islamic political thoughts and behaviors in Indonesia. The political thoughts of al-Mawardi, al-Ghazali and Ibn Taimiyah is discussed and confronted with Sunni’s political thoughts in Indonesia since the Islamic kingdoms up to present time. The study suggests that the political doctrines of classical Sunni have a strong influence on the political thoughts and behaviors of Muslim in Indonesia.

Term Kunci: Sunni, politik, Indonesia

Dalam politik Islam, Sunni adalah kelompok mayoritas yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik Sunni sering dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berkembang di dunia Islam. Beberapa tokoh Sunni merumuskan pemikiran politik mereka yang cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada status quo. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris adalah ciri umum paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sangat luas. Rakyat dituntut mematuhi kepala negara, bahkan di kalangan sebagian pemikir Sunni kadang-kadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keistimewaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Di antaranya yang mereka jadikan landasan adalah surat al-Nisa, 4:59 yang memerintahkan umat Islam untuk patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu al-amr di antara mereka. Selain itu juga surat al-An`am, 6:165 yang menyatakan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi dan melebihkan sebagian atas yang lain.

Dalam konteks keindonesiaan, doktrin politik Sunni juga sering menjadi landasan bagi kekuasaan dan memberi implikasi terhadap praktik politik umat Islam Indonesia. Tidak jarang pula pelaku politik Islam Indonesia, disadari atau tidak, mendasarkan perilaku politik mereka pada paradigma Sunni. Umat Islam Indonesia yang mayoritas menganut paham Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah) juga tidak bisa melepaskan diri dari paradigma politik Sunni abad klasik tersebut. Berhadapan dengan kekuasaan, umat Islam Indonesia umumnya, bahkan sejak masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, cenderung bersikap akomodatif dan mengutamakan keharmonisan sosial.

Setelah kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, ketika Indonesia memasuki era Demokrasi Terpimpin, sebenarnya Presiden Soekarno telah jauh menyeleweng dan menyimpang dari "aturan main ketatanegaraan" yang sudah digariskan bersama. Banyak tindakan-tindakan Soekarno yang inkonstitusional, namun umat Islam merasa mendapat perlindungan dari Soekarno. Kalangan Islam kelihatannya tidak mau bersikap frontal terhadap Soekarno. Paradigma "enam puluh tahun berada di bawah kekuasaan pemimpin yang zalim lebih baik daripada tidak punya pemimpin meskipun hanya semalam" seperti dirumuskan oleh Ibn Taimiyah dan larangan bersikap oposisi mendominasi perilaku politik Islam ketika itu.

Setelah jatuhnya Soekarno dan munculnya Orde Baru dengan Soeharto sebagai kepala negara, paradigma politik Sunni juga memainkan peranan penting dalam hubungan antara Islam dan kekuasaan. Namun, berbeda dengan masa Orde Lama, pada masa Orba paradigma politik Sunni ini dijalankan dengan format yang lebih elegan dan sophisticated. Pengalaman masa lalu, ketika umat Islam mengalami kegagalan dalam politik, membuat pelaku dan pemikir politik muslim Indonesia merumuskan kembali pola baru yang saling menguntungkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam rangka memberi sumbangan Islam bagi bangunan negara Indonesia.

Pada tahun 1970, dalam rangka menciptakan harmonisasi politik ini, Nurcholish Madjid merumuskan sebuah paradigma Islam yes partai Islam no. Menurut Cak Nur, panggilan akrab cendekiawan muslim ini, "jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada ialah image sebaliknya."

Pasca Orde Baru pun, paradigma politik Sunni mempunyai pengaruh dalam kehidupan dan praktik politik Islam Indonesia. Ada kesan bahwa umat Islam khawatir kalau tidak "merapat" dengan kekuasaan, sehingga mereka mendukung kekuasaan yang sedang mapan.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana implikasi doktrin politik Sunni dalam politik Islam Indonesia, apakah memberi pengaruh yang signifikan atau tidak. Lebih lanjut, rumusan masalah ini dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan berikut:

Bagaimana doktrin politik Sunni klasik yang dikembangkan oleh para ulamanya dalam merespons situasi sosial politik ketika itu;

Bagaimana implikasi doktrin politik Sunni klasik terhadap politik Islam Indonesia sebelum dan pasca kemerdekaan RI;

Bagaimana relevansi dan sumbangan doktrin politik Sunni klasik dalam membangun format politik Islam Indonesia yang sesuai dengan watak masyarakat Indonesia yang majemuk.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dari rumusan masalah yang dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk

Mengetahui doktrin politik Sunni yang dikembangkan oleh para ulamanya dalam merespons situasi sosial politik ketika itu;

Mengetahui implikasi doktrin politik Sunni klasik terhadap politik Islam Indonesia sebelum dan pasca kemerdekaan RI;

Mengetahui relevansi dan sumbangan doktrin politik Sunni klasik dalam membangun format politik Islam Indonesia yang sesuai dengan watak masyarakat Indonesia yang majemuk.

Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pelaku politik Islam dalam perilaku politik mereka agar dapat menggunakan strategi-strategi yang tepat dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam setiap keputusan politik. Selain itu, bagi pemegang kekuasaan, penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan bahwa Islam bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya Islam dapat digunakan sebagai pengarah bagi pelaksanaan kekuasaan yang sedang mereka genggam.

Pembatasan Masalah

Masalah yang diteliti dibatasi pada pemikiran beberapa pemikir politik Islam Sunni klasik, yaitu Abu al-Hasan al-Mawardi (975-1058), Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) dan Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyah (1263-1329). Mereka bertiga dianggap sebagai pionir pemikir politik Sunni yang merumuskan landasan politik Islam dan paling berpengaruh bagi kalangan muslim Sunni. Tokoh-tokoh tersebut berperan besar dalam merumuskan hubungan yang akomodatif antara Islam dan kekuasaan.

Pemikiran mereka selanjutnya akan dikomparasikan dengan pemikiran politik para ulama Nusantara sebelum merdeka dan perkembangan politik Islam Indonesia modern pasca kemerdekaan. Dengan demikian akan dapat dilacak bagaimana gagasan-gagasan pemikir politik Sunni tersebut memberi pengaruh terhadap praktik politik Islam Indonesia.

Pendekatan Kajian

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (historical approach), tepatnya sejarah intelektual. Penggunaan pendekatan sejarah dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pemikiran politik Sunni klasik dan latar belakang sosial politik yang ikut berpengaruh dalam pembentukan pemikiran tersebut.

Dalam hal ini peneliti melacak karya-karya pemikir politik Islam Sunni klasik untuk mendapatkan gambaran tentang gagasan-gagasan mereka berhadapan dengan kekuasaan. Dari sini dirumuskan ciri dan kecenderungan umum politik Islam Sunni klasik. Pemikiran mereka selanjutnya dijadikan sebagai kerangka atau alat untuk melihat evolusi pemikiran politik Islam Sunni di Indonesia sejak masa Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara hingga Indonesia modern. Dengan demikian, selain studi literatur, penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis-empirik. Dari pendekatan ini akan dijawab apakah pemikiran politik Sunni klasik memberi implikasi dan pengaruh dalam perilaku politik Islam di Indonesia.

Landasan Teori

Penelitian ini mengunakan landasan teori dekonfessionalisasi Islam. Bahtiar Effendy menyatakan bahwa teori ini dikembangkan oleh CAO van Nieuwehhuijze. Menurut van Nieuwehhuijze, Islam adalah faktor dominan dalam revolusi nasional. Bahkan Islam harus memainkan peranan dalam proses politik dan pembangunan bangsa. Para pelaku politik Islam Indonesia akan dapat menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil `alamin tanpa harus terjebak pada simbol-simbol formal Islam.

Berdasarkan teori ini, penelitian ini menelusuri bagaimana dialektika antara pemikir dan pelaku politik Islam dalam merespons kekuasaan yang sedang berkembang dan upaya mereka menampilkan wajah Islam yang sesuai dengan semangat kekuasaan, tanpa harus menghilangkan nilai-nilai idealisme Islam.

Metode Penelitian

Karena penelitian ini bersifat kepustakaan, maka pengumpulan data dilakukan dengan melacak, membaca dan menelaah karya-karya pemikiran Sunni klasik sebagai sumber primer. Di antaranya adalah Al-Ahkam al-Sulthaniyah dan Adab al-Dunya wa al-Din karangan al-Mawardi, Ihya `Ulum al-Din, al-Iqtishad fi al-I`tiqad, dan al-Tibr al-Masbuq fi Nashihat al-Muluk karya al-Ghazali, al-Siyasah al-Syar`iyah, Majmu` al-Fatawa dan Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah karya Ibn Taimiyah. Untuk pemikiran ulama Indonesia pada masa pra kemerdekaan, dilacak dari kitab-kitab seperti Busthanus Salatin karya Nuruddin al-Raniri, Taj al-Salathin karya Bukhari al-Jauhari dan Hikayat Raja-raja Pasai yang disunting oleh Ismail Ahmad.

Sumber-sumber primer ini dilengkapi dengan sumber-sumber sekunder yang mendukung penelitian. Data sekunder ini dapat berupa kajian para sarjana tentang pemikiran tokoh-tokoh Sunni klasik, baik berupa buku, jurnal laporan penelitian yang belum diterbitkan, maupun hasil-hasil studi tentang politik Islam di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan hingga sekarang.

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode komparatif. Dalam hal ini peneliti membandingkan rumusan politik Sunni klasik dengan pemikiran ulama Indonesia serta perilaku aktor-aktor politik Islam Indonesia modern.

Temuan Penelitian

Keberadaan kelompok Sunni dimulai sejak berakhirnya pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidun. Selain dinamakan Sunni, kelompok ini juga dikenal dengan nama ahl al-hadis wa al-sunnah, ahl al-haqq wa al-sunnah dan ahl al-haqq wa al-din wa al-jama`ah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa paham Sunni adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dalam bidang fikih; ajaran Abu al-Hasan al-Asy`ari dan Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi; ajaran al-Junaid dan al-Ghazali dalam bidang tasauf serta ajaran/pemikiran kelompok mayoritas ulama seperti al-Mawardi, al-Ghazali serta Ibn Taimiyah dalam bidang politik (siyasah). Istilah Sunni dikenal pemakaiannya dalam konteks politik dan untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok politik lain Khawarij dan Syi`ah.

Sebagai kelompok mayoritas, ciri umum pemikiran politik Sunni ditandai oleh pandangan mereka tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, khalifah sentris atau kewajiban taat kepada kepala negara, pengutamaan suku Quraisy sebagai khalifah, penolakan terhadap oposisi dan akomodatif terhadap kekuasaan. Pandangan-pandangan demikian akhirnya melahirkan prinsip lebih mengutamakan keharmonisan dalam politik Islam.

Dalam pandangan tentang hubungan yang integral antara agama dan negara, menurut tokoh Sunni, al-Mawardi, negara dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan negara merupakan fardhu kifayah berdasarkan ijma` ulama. Pandangan al-Mawardi ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politik umat Islam. Pandangan al-Mawardi ini juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, maka mendirikan negara sebagai sarana menciptakan kemaslahatan tersebut juga wajib.

Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan pemikiran al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Berdasarkan pandangan di atas al-Ghazali berpendapat bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbanga rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama (Syar`i). Hal ini dikarenakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengamalan dan penghayatan agama secara benar.

Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupakan kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Ibn Taimiyah menolak landasan ijma` sebagai alasan pembentukan negara seperti dalam pandangan al-Mawardi. Ia lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ibn Taimiyah, kesejahteraan manusia tidak dapat tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung dan membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Bagi Ibn Taimiyah, penegakan institusi negara bukanlah atas dasar agama, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.

Dalam masalah kedua, semua pemikir Sunni yang menjadi objek penelitian ini sepakat tentang pentingnya kepatuhan kepada kepala negara. Mereka menganggap kepala negara sebagai sosok sentral dalam pemerintahan Islam. Otoritasnya tidak boleh digugat dan perintahnya tidak boleh dibantah. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini bersifat mutlak.

Al-Mawardi memulai pendapatnya tentang kepatuhan kepada kepala negara dengan proses pemilihan kepala negara. Menurut al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus memenuhi unsur ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak memilih) dan ahl al-imamah (orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara). Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara serta mempunyai wawasan yang luas dan kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk negara. Kemudian, calon kepala negara harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya kemampuan menjalankan perintah agama demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjuang memerangi musuh serta berasal dari keturunan Quraisy.

Pemilihan kepala negara ini diawali dengan adanya kontrak antara ahl al-ikhtiyar dan ahl al-imamah ini. Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. Kepala negara wajib menjalankan pemerintahannya dengan baik dan sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Sebagai balasannya, kepala negara berhak mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Di sisi lain, rakyat yang telah memberikan bai`at mereka atas kepala negara wajib taat kepada kepala negara. Kewajiban taat ini tidak terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang jahat.

Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yang mewajibkan umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, "Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan itu untuk kamu dan mereka. Jika mereka jahat, maka akibat baiknya untuk kalian dan kejahatannya akan kembali kepada mereka."

Ibn Taimiyah mengembangkan konsep ahl al-syaukah dalam teori politiknya. Menurut Ibn Taimiyah, ahl al-syaukah ini merupakan orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam masyarakat. Ahl al-syaukah inilah yang memilih kepala negara dan melakukan bai`at yang kemudian diikuti oleh rakyat. Seseorang tidak dapat menjadi kepala negara tanpa dukungan dari ahl al-syaukah.

Al-Ghazali juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci. Menurutnya, kepala negara harus memenuhi kualifikasi dewasa, otak yang sehat, merdeka, laki-laki, keturunan Quraisy, memperoleh hidayah dan ilmu pengetahuan serta wara’. Bagi al-Ghazali, karena kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti pendapat al-Mawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah suci dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam negara.

Berbeda dengan al-Mawardi dan al-Ghazali yang merumuskan kualifikasi kepala negara secara rinci, Ibn Taimiyah hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang kandidat kepala negara dan tidak memutlakan suku Quraisy. Indikasi kejujuran seseorang dapat dilihat dari ketakwaannya kepada Allah, ketidak bersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis serta sikap tidak takutnya kepada manusia selama ia berasa dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn Taimiyah mengutip ayat Al-Quran surat al-Nisa’, 4:58, yang memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya.

Sementara syarat quwwah memegang peranan penting dalam konsepsi politik Ibn Taimiyah, karena seorang kepala negara adalah pembimbing dan pengayom masyarakat. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat dengan otoritas tertinggi yang diperolehnya dalam masyarakat. Menurutnya, kewajiban kepala negara adalah menegakkan institusi amar ma`ruf nahy munkar, sehingga hal-hal yang dikehendaki Allah dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam masyarakat.

Kelanjutan dari pendapat Ibn Taimyah ini adalah penekanannya terhadap kepatuhan rakyat pada kepala negara. Memang, sebagaimana halnya al-Mawardi, Ibn Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi penting dalam negara. Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara harus ditaati, bahkan sekalipun zalim. Menurut Ibn Taimiyah, sebuah masyarakat yang enam puluh tahun dipimpin oleh kepala negara yang zalim lebih baik daripada masyaralat tanpa negara dan pimpinan, meskipun hanya semalam.

Dari pemikiran tentang kekuasaan kepala negara di atas, ketiga ulama Sunni ini merumuskan pemikiran bahwa tidak boleh ada oposisi atau perlawanan terhadap kepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas untuk mendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak kekuasaannya. Melakukan oposisi, meskipun al-Mawardi mengembangkan teori kontrak sosial, adalah hal yang dilarang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh al-Ghazali. Bagi Hujjah al-Islam ini, wajib hukumnya atas rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak kepada kepala negara dan melaksanakan perintahnya.

Larangan oposisi dalam pemikiran politik Sunni klasik ini lebih didasarkan pada akibat buruk yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Sangat mungkin timbul suasana chaos dalam negara bila rakyat melakukan oposisi terhadap kepela negara. Karena itu, bagi mereka, menghindarkan kekacauan yang lebih besar merupakan hal yang perlu diambil. Lebih baik dalam suasana pemerintahan yang despotik, umpamanya, namun masyarakat tidak bergolak, daripada menolak kepemimpinannya sehingga menimbul gejolak dalam masyarakat. Bagi ketiga pemikir Sunni ini, kepala negara adalah bayang-bayang Allah di muka bumi (Zhill Allah fi al-ardh).

Paradigma politik Sunni sebagaimana diuraikan di atas, ternyata sangat berpengaruh dalam tradisi politik Islam di Indonesia sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara. Beberapa karya politik Islam pada masa kerajaan Nusantara, seperti Bustanus Salatin karya Nuruddn al-Raniri dan Tajus Salatin karya Bukhari al-Jauhari serta Hikayat Raja-raja Pasai yang tidak diketahui penulisnya memperlihatkan kecenderungan demikian. Dalam karya-karya tersebut para penulisnya menempatkan raja sebagai Zhill Allah fi al-ardh atau Zhill Allah fi al-`alam (bayang-bayang Allah di bumi/alam). Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan bahwa Malik al-Salih adalah raja yang pertama kali memakai gelar tersebut.

Kerajaan-kerajaan di Jawa juga memiliki kecenderungan yang hampir sama dengan Sumatera. Dalam sistem politik di Mataram, sejak Amangkurat IV (memerintah 1719-1727), raja-rajanya memperkuat posisi mereka dengan memberi warna keagamaan dalam kekuasaan mereka dengan memakai gelar Khalifatullah.

Sesuai dengan tradisi politik Sunni, Raja atau Sultan memegang posisi sentral dalam politik. Kekuasaannya tidak boleh diganggu gugat. Sejajar dengan garis pemikiran al-Mawardi, al-Ghazali dan Ibn Taimiyah pada abad klasik, pemikiran-pemikiran ulama masa kerajaan-kerajaan di Nusantara sangat bersifat akomodatif dan mengutamakan kharmonisan dalam masyarakat.

Dalam karya Nuruddin al-Raniri dan Bukhari al-Jauhari dijelaskan bagaimana kepatuhan mutlak tersebut. Orang yang melakukan perlawanan terhadap kepala negara harus dihukum seberat-beratnya.

Pada masa Indonesia modern, tradisi politik Sunni juga sangat membekas dalam perilaku politik umat Islam Indonesia. Ketika Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimmpin, dua organisasi Islam Indonesia terbesar yang mewakili dua sayap Islam tradisionalis dan modernis, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, sama-sama "terperangkap" ke dalam paradigma politik Sunni tersebut. Muhammadiyah pernah memberikan gelar Doktor Honoris Causa untuk Soekarno dalam bidang teologi. Pasca Muktamar Muhammadiyah ke 35 pada tahun 1962, Pimpinan Pusatnya pun dilantik di Istana Bogor. Bahkan Muhammadiyah memberi gelar kepada Soekarno sebagai "Pemimpin Agung Muhammadiyah".

Sikap akomodatif dan pro status quo diperlihatkan lebih tegas lagi oleh NU. Sebagai partai politk ketika itu, NU memilih berada dalam pusaran arus politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang digulirkan oleh Soekarno. NU mencari-cari dalil pembenar sikap mereka melalui bahasa agama. Di antaranya adalah kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (Apa yang tidak bisa diperoleh secara keseluruhan, jangan dibuang sebagian yang bisa diraih tersebut). Artinya, kalau kita tidak dapat memperoleh seratus persen, maka lima puluh persen atau kurang dari itu pun tidak apalah.

Bagi NU, sikap melawan kekuasaan Soekarno jauh lebih berbahaya daripada menerima tanpa protes. Sikap akomodatif ini diambil untuk menekan risiko seminimal mungkin. Adalah hal yang sia-sia melawan Soekarno yang ketika itu sangat kuat dengan dukungan sepenuhnya militer (Angkatan Darat). Oposisi bukan hanya tindakan yang sia-sia, melainkan juga berbahaya bagi NU dan pengikutnya. Dalam hal ini NU menggunakan kaidah agama akhaff al-dhararain (memilih risiko yang paling kecil di antara dua risiko).

Setelah tumbangnya kekuasaan Soekarno dan berganti dengan kekuasaan Soeharto yang membawa bendera Orde Baru, umat Islam juga berusaha merespons kekuasaan Soeharto dengan pendekatan doktrin Sunni. Partai Persatuian Pembangunan yang merupakan partai Islam ketika itu mau tak mau harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka dalam kancah politik di Indonesia. Mereka tidak ingin mengulangi pengalaman pahit Masyumi yang dipaksa bubar oleh Soekarno karena bersikap frontal dengan kekuasaan. PPP banyak berdamai dengan kekuasaan Soeharto.

Di sisi lain, sebagian pemikir Islam yang semula belajar di berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri, berusaha mengembangkan pendekatan gerakan Islam Kultural. Jargon Islam yes partai Islam no yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid pada tahun 1970 mulai mendapat simpati. Bagi Cak Nur, panggilan akrabnya, partai Islam bukanlah satu-satunya alat untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam. Ide tentang partai Islam tidak lagi menarik dan kehilangan dinamika.

Akhirnya, pada tahun 1980-an terjadilah booming gerakan Islam kultural yang dikembangkan oleh Cak Nur dan kawan-kawan. Mereka, dengan pendekatan politik Sunni yang mengutamakan harmonisasi dan menolak sikap oposisi, berupaya merespons Orde Baru dengan pendekatan yang lebih sophisticated. Orba adalah kekuatan riil yang tidak mungkin dilawan. Sementara umat Islam perlu memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara dan aspirasi mereka perlu diperjuagkan. Gerakan Islam kultural ini yang mengalami booming sejak tahun 1980-an semakin mendapatkan tempatnya dalam peta politik Indonesia. Mereka tidak mempertanyakan, apalagi menolak, kekuasaan Soeharto, tetapi berusaha masuk ke dalam lingkaran kekuasaan tersebut.

Dari perkembangan Orba selama 32 tahun perjuangan integralisasi Islam dan kekuasaan politik sudah tidak lagi menjadi perhatian umat Islam. Orde Baru merasa khawatir dengan keberadaan Islam politik. Karena itu, dalam perkembangannya umat Islam pun akhirnya mengubah strategi perjuangan dengan menitikberatkan perhatian pada "Islam kultural." Dalam hal ini, kalangan cendekiawan Islam berusaha menghilangkan stigma radikalisme politik Islam yang dicitrakan selama masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Adagium enam puluh tahun di bawah rezim yang diktator lebih baik daripada tidak mempunyai pemerintahan meskipun semalam, disadari atau tidak, menjadi bagian dari pemikiran dan perilaku politik Islam di Indonesia pada masa Orba.

Strategi ini berhasil dengan mulai terjalinnya saling pengertian antara Islam dan Orba. Pemerintahan Soeharto pun dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat Islam, meskipun tidak memberi ruangan yang lebih luas untuk politik. Namun demikian, kita juga tidak bisa menafikan peran politik PPP yang, meskipun terkooptasi oleh pemerintah dan melepaskan Islam sebagai ideologinya, tetap memperjuangkan kepentingan Islam dalam lembaga legislatif.

Jadi pada masa Orde Baru, paradigma politik Sunni juga memainkan peranan penting dalam hubungan Islam dan kekuasaan. Namun berbeda dengan Orde Lama,. Paradigma ini dijalankan dengan format yang lebih anggun. Paradigma Sunni yang bersikap pro status quo dan melarang oposisi terhadap kekuasaan tetap diusung, namun dengan bahasa yang lebih halus dan elegan, tidak vulgar untuk kepentingan sesaat dan golongan tertentu saja. Pengalaman masa lalu, ketika umat Islalm mengalami kegagalan dalam politik, membuat pemikir-pemikir muslim Indonesia mencari pola baru yang saling menguntungkan. Dengan demikian umat islam dapat memainkan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Namun masa "bulan madu" Islam dan kekuasaan Orde Baru tidak berlangsung lama. Sejak pertengahan tahun 1990-an kekuasaan Orde Baru mulai goyah. Akhirnya pada tahun 1998 kekuasaan Orba jatuh oleh kekuatan rakyat.

Seiring dengan kejatuhan Orba, umat Islam memanfaatkan momentum euforia reformasi untuk menyusun kembali format perjuangan politik Islam di jalur politik. Di antaranya adalah mencuatnya kembali cita-cita menjadikan Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena asas tunggal yang diterapkan Soeharto resmi dicabut dan masyarakat berhak membuat partai-partai sesuai ideologi mereka. Keadaan ini dimanfaatkan oleh umat Islam dengan mendirikan partai-partai Islam dengan berbagai orientasi, visi dan misi perjuangannya.

Di sisi lain, dalam tataran kepemimpinan negara pada masa pasca Orba, paradigma ketaatan mutlak kepada presiden yang digagas Sunni terlihat begitu jelas di kalangan umat Islam, terutama dari kalangan NU. Ketika Abdurrahman Wahid menduduki jabatan kepala negara, orang-orang NU yang merupakan representasi kelompok Sunni berjuang mati-matian membela kepemimpinan Wahid.

Baik pada tataran politisi NU maupun akar rumputnya, perilaku tersebut begitu transparan mereka lakukan. Bahkan mereka memandang Presiden Abdurrahman Wahid sebagai seorang "wali" yang sudah mendekati derajat malaikat. Konsekuensi sikap ini, maka apa pun yang dilakukan Presiden Wahid tidak pernah dan tidak boleh dianggap salah. Pemikiran al-Ghazali dan Ibn Taimiyah yang menempatkan kepala negara pada posisi yang sakral begitu membekas dalam perilaku politik NU.

Demikian juga setelah Megawati memegang tampuk kekuasaan. Meskipun sebagian umat Islam menolak kekuasaannya dengan menggunakan bahasa agama, sebagian yang lain ternyata juga menggunakan bahasa agama untuk mendukung kepemimpinan Megawati. Sikap akomodatif Sunni lagi-lagi mengemuka dalam politik Islam era Megawati.

Penutup

Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pada rumusan masalah, yaitu:

Paradigma politik Sunni klasik ditandai dengan hubungan yang integral antara agama dan negara (politik), kepatuhan yang (hampir) mutlak kepada penguasa dan pro pada status quo serta larangan oposisi terhadap penguasa.

Paradigma politik Sunni klasik tersebut sangat mempengaruhi pemikiran dan praktik politik Islam di Indonesia, sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam Nusantara hingga masa modern sekarang. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara hubungan yang integral antara Islam dan negara ditandai dengan merapatnya ulama pada kekuasaan. Mereka bertindak sebagai penasihat raja atau sultan. Selanjutnya mereka menekankan kepatuhan kepada penguasa dan melarang sikap oposisi terhadap penguasa tersebut.

Sementara pada masa kemerdekaan terjadi variasi dalam pengaruh paradigma Sunni terhadap pemikiran dan praktik politik umat Islam Indonesia. Adakalanya paradigma politik Sunni dijalankan secara vulgar dan sangat konservatif, seperti yang dilakukan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan NU. Namun, dalam kesempatan lain pemikiran Sunni klasik tersebut dikontekstualisasikan dengan semangat perkembangan dan tantangan politik yang dihadapi umat Islam. Hanya saja, hubungan integral antara negara dan agama mengalami kegagalan dalam penerapannya. Sedangkan kepatuhan kepada penguasa dan larangan bersikap oposisi mendapatkan penekanan dari pemikir dan pelaku politik Islam Indonesia.

Dalam tataran tertentu, paradigma pemikiran politik Sunni masih memiliki relevansi untuk dikembangkan dalam politik Islam di Indonesia. Paradigma Sunni yang menekankan harmonisasi dalam batas-batas tertentu dapat menjadi kekuatan perekat bagi bangunan politik Indonesia yang majemuk.

Selain itu, penelitian ini memberi rekomendasi dan saran agar para pelaku politik Islam Indonesia menggunakan strategi-strategi yang tepat dalam menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam setiap perilaku politik mereka. Selain itu, bagi pemegang kekuasaan diharapkan agar memiliki pemahaman yang baik. Islam bukanlah sesuatu yang menakutkan sehingga harus dicurigai dan diperlakukan secara tidak proporsional. Sebaliknya, Islam Sunni dapat digunakan sebagai kekuatan pengarah bagi pelaksanaan kekuasaan mereka. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang saling menguntungkan antara Islam dan politik demi terciptanya masyarakat yang bermartabat, adil dan makmur.

Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., dosen Fakultas Syari`ah IAIN Sumatera Utara. Memperolehh gelar Magister Agama dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) 1996, dan Doktor pada Perguruan tinggi yang sama pada tahun 2005.

DAFTAR PUSTAKA

Hashim, Muhammad Yusoff, Persejarahan Melayu Nusantara, Kuala Lumpur: Teks Publishing Sdn. Bhd., 1988.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1994.

Azra, Azyumardi, (peny.), Perspekltif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Arnold, Thomas W., The Preaching of Islam, Delhi: Low Price Publication, 1995.

Alatas, Syed Hussein Naquib al-, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Bandung: Mizan, 1990.

Hamka, et al., Risalah Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, Medan: Panitia Seminar Sedjarah Masuknja Islam ke Indonesia, 1963.

Hurgronje, Snouck, Kumpulan Karangan Jilid X, Jakarta: INIS, 1993.

Mudzhar, Mohammad Atho, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesnia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.

Azra Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2002.

Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Konteklstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Abdullah, Taufik, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.

Abdullah, Taufik, dan Sharon Shiddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989.

Ahmad, Ismail, peny., Hikayat Raja-Raja Pasai, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,. 2004.

Braginsky, V.I., Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, Jakarta: INIS, 1998.

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1986.

Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1994.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1991.

Thabathaba`i, Sayyid Muhammad Husein, Islam Syi`ah Asal-usul dan

Perkembangannya, terjemahan Djohan Effendi, Jakarta: Grafiti Press, 1993.

Momen, Moojan, An Introduction to Shi`i Islam, London: Yale University Press, 1985.

Siba`i, Mushtafa Ahmad al-, Al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri` al-Islâmiy, Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1949.

Hitti, Philip K., History of the Arabs, London: Macmillan Press, 1970.

Mawardi, Abu al-Hasan al-, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, Beirut:

Dar al-Fikr, t.tp.

Al-Ghazali, Abu Hamid al-Tibr al-Masbûk fî Nâshihat al-Mulûk, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, Bandung: Mizan, 1994.

Ibn Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad Al-Siyâsah al-Syar`iyah fî Ishlâh al-Râ`i wa al-Ra`iyyah, Mesir: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1969.

Ibn Taimiyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyah, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.tp., Juz I.

Al-Mawardi, Adab al-Dunyâ wa al-Dîn, terjemahan Ibrahim Syu`aib, Etika Agama dan Dunia, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, terjemahan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1995.

Sumber: www.litagama.org

No comments: