Saturday, May 10, 2008

KESETARAAN DALAM (KETERBELAKANGAN) PENDIDIKAN

Rustam, M.A dan Chuzaimah Batubara, M.A

More than 56% of about 104 world children who do not enjoy education are girl children, and about two third of 860 million illiterate people in the world are females. The paper, which is based on research on children living in coastal villages in North Sumatera, describes girl children’s participation in education and discusses economy, cultural and religious values contributing to girl children’s access to education. How girl children give meaning to their educational situation is also part of the analysis in the paper. The research, which applies mixing methods with focused group discussions as the main technique of data collection, suggests that three out of ten children aged 7-15 years do not attend schools, with there are more boy dropouts (54%) than girls (32%). Economic and cultural factors as well as parent’s perspective on education contribute to the low participation of children in education in the coastal villages.

Kata kunci: akses anak perempuan, pendidikan, desa pantai

Pada tanggal 26 Mei 2004 sepuluh menteri pendidikan di Asia Tenggara, termasuk menteri pendidikan Indonesia, menandatangani Deklarasi Bangkok tentang Kualitas dan Persamaan dalam Pendidikan (Bangkok Declaration on Quality and Equality in Education). Deklarasi ini antara lain menekankan perlunya meningkatkan pendidikan yang bersifat inklusif dan responsif jender. Penandatanganan ini merupakan salah satu respon terhadap realita bahwa anak perempuan belum memperoleh kesempatan dan akses yang sama dengan anak laki-laki ke dunia pendidikan. Statistik menunjukkan bahwa lebih 56% dari sekitar 104 juta anak yang tidak menikmati pendidikan adalah anak perempuan, dan lebih dua pertiga dari total 860 juta penduduk dunia yang buta hurup adalah perempuan.

Ketimpangan jender diyakini semakin nyata di daerah dengan prinsip patrilinial dalam hal warisan dan keturunan, serta memiliki preferensi kultural terhadap anak laki-laki. Ketidaksetaraan jender juga lebih terlihat di komunitas dimana anak perempuan menjadi penanggungjawab pekerjaan rumah tangga atau setidaknya sangat diharapkan untuk membantu ibu mereka melakukan pekerjaan tersebut. Masyarakat desa pantai termasuk dalam kategori ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan di komunitas desa pantai melakukan tugas-tugas rumah tangga yang jauh lebih berat daripada anak laki-laki.

Penelitian juga menunjukkan bahwa keputusan untuk memilih, melanjutkan sekolah anak dan menentukan pendidikan anak laki-laki atau anak perempuan yang akan dijadikan prioritas dilakukan di tingkat rumah tangga. Norma sosial, tradisi, pengalaman, dan pemahaman (termasuk pemahaman keagamaan, peran jender dan makna pendidikan) yang dimiliki orang tua secara bersama-sama mewarnai keputusan yang dibuat. Bagi sebagian orang tua, menyekolahkan anak merupakan investasi jangka panjang, bukan hanya untuk anak tapi juga bagi orang tua. Pendidikan anak laki-laki biasanya menjadi prioritas karena mereka akan dituntut bertanggungjawab memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya kelak, dan karena dalam tradisi yang berlaku, mereka juga diharapkan tetap bisa membantu orang tuanya meski telah menikah, sesuatu yang tidak dituntut dari anak perempuan.

Masyarakat pantai sering diidentikkan dengan keterbelakangan ekonomi dan ketertinggalan pendidikan. Pekerjaan sebagai nelayan yang biasanya menghasilkan uang secara cepat dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa orang tua cenderung tidak begitu tertarik menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan lebih tinggi, sesuatu yang lebih bersifat investasi jangka panjang.

Diangkat dari konteks desa pesisir di kecamatan Pantai Labu, makalah ini bermaksud memberikan gambaran analitis dan holistik tentang permasalahan akses anak perempuan di desa-desa pantai ke dunia pendidikan. Gambaran ini termasuk distribusi partisipasi anak perempuan ke dunia pendidikan formal dan informal; kondisi yang menjadi penghalang bagi anak perempuan untuk mendapatkan akses ke dunia pendidikan, termasuk bentuk-bentuk diskriminasi terhadap anak perempuan, preferensi orang tua dalam menentukan akses pendidikan bagi anak-anaknya, serta faktor sosio-kultural, ekonomi dan religious yang mempengaruhi preferensi tersebut; dan pemahaman, pemaknaan serta harapan anak perempuan tentang kesetaraan akses pendidikan.

METODE

Sesuai sifat permasalahan penelitian yang diajukan, penelitian ini menggunakan dua pendekatan (mixing method) yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah statistik deskriptif, dan hanya diperuntukkan dalam tahapan awal penelitian untuk mendapatkan gambaran permasalahan secara umum (misalnya menggunakan mean dan median untuk menganalisa data-data statistik yang ada di dinas pendidikan, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintahan). Pengumpulan data ke subjek dan informan penelitian serta analisisnya secara lebih holistik dan komprehensif dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yang merupakan analisis interpretif dan naturalistik terhadap fenomena yang akan diamati. Pendekatan kualitatif menjadi fokus utama pelaksanaan penelitian ini.

Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasari pemikiran karena penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan pemahaman (verstehen/ understanding), pemaknaan (meaning making), dan konteks yang mengitari permasalahan kesetaraan akses pendidikan bagi anak perempuan di desa pantai terhadap dunia pendidikan.

Dilakukan di desa pantai Rantau Panjang, kecamatan Pantai Labu, kabupaten Deli Serdang, penelitian ini menggunakan focus group discussion (FGD), observasi dan indepth interview sebagai instrumen pengumpulan data. Data primer digali dari subjek penelitian yaitu adalah anak perempuan – berusia dibawah 18 tahun. Orang tua dijadikan informan dalam sesi FGD yang berlangsung sekitar dua jam.

Data yang diperoleh kemudian dianalisa sesuai jenisnya. Data kuantitatif yang diperoleh antara lain dari statistik yang ada di dinas pendidikan, sekolah, kantor kecamatan dan kantor lurah dianalisis secara kuantitatif deskriptif, sementara data kualitatif yang diperoleh dari observasi, wawancara, FGD dan dokumentasi dianalisis secara kualitatif secara siklus seperti yang disarankan Miles & Huberman (1984) yaitu reduksi data, tampilan data dan penarikan kesimpulan.

TELAAH LITERATUR

A. Akses Anak Perempuan ke Dunia Pendidikan dalam Pandangan Islam dan Konvensi Internasional

1. Prinsip-prinsip Islam

Di dalam ajaran Islam, perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya kepada laki-laki, tetapi juga kepada kaum perempuan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis, "Menuntut ilmu pengetahuan adalah difardhukan kepada kaum Muslim laki-laki dan perempuan." Al-Qur’an dan hadis banyak memberikan pujian kepada laki-laki dan perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan.

Pada tataran ideal masyarakat terutama keluarga harus menegakkan hak-hak anak baik hak untuk hidup maupun memperoleh kesejahteraan dan pendidikan dengan berdasar kepada nilai-nilai universal yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis, seperti keadilan, perdamaian, egalitarianisme, dan kesejajaran antara lelaki dan perempuan. Nilai kesejajaran antara anak laki-laki dan perempun yang harus diterapkan bersumber dari beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan dua jenis makhluk Allah yang sama, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Beberapa ayat al-Qur’an tersebut, yaitu:

"Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan, sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain" (QS. Ali Imran: 195)

"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk de dalam surga dan mereka tidak dianiyaya walau sedikitpun" (QS. Al-Nisa’: 124)

Akan tetapi secara realitas, di banyak negara termasuk di Indonesia masih terdapat kesenjangan yang lebar antara ajaran Islam dengan prakteknya dalam kenyataan hidup sehari-hari. Lily Zakiyah Munir menilai bahwa pengaruh budaya patriarkis yang membelenggu kaum perempuan, dan misinterpretation terhadap sebahagian ajaran agama, masih sangat kuat sehingga membuat mereka terbelakang di berbagai sektor seperti sektor pendidikan, ekonomi dan pekerjaan.

2. Konvensi Hak Anak (KHA)

Permasalahan pendidikan bagi anak perempuan merupakan bahagian dari hak-hak anak yang secara tegas tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA), yang telah disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 dan segera diratifikasi pemerintah Indonesia. Pasal 28 dan 29 KHA menyatakan bahwa "negara mengakui hak anak atas pendidikan dan untuk mewujudkan hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang diarahkan kepada pengembangan kepribadian, bakat dan kemampuan mental dan fisik anak, pengembangan sikap menghormati hak-hak asasi manusia dan kebebasan hakiki, pengembangan sikap menghormati orang tua anak, kepribadian budaya, bahasa dan nilai-nilainya, persiapan anak untuk hidup yang bertanggung jawab dan pengembangan sikap menghormati lingkungan."

Anak yang dimaksudkan dalam KHA adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun. KHA mengatur hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh negara dikarenakan anak membutuhkan hal-hal khusus yang berhubungan dengan kondisi dan situasinya sebagai anak yang rentan, bergantung dan berkembang. Hak anak yang harus dipenuhi oleh negara meliputi hak atas kelangsungan hidup (survival), hak untuk berkembang (development), hak atas perlindungan (protection), dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (participation). Sementara hak untuk memperoleh pendidikan merupakan penjabaran dan bahagian dari hak anak untuk berkembang. Keseluruhan hak anak tersebut harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan empat prinsip dasar yaitu non-diskriminatif, kepentingan terbaik untuk anak (the best interests of the child), kelangsungan hidup dan perkembangan, serta menghormati pandangan anak.

3. Konvensi Dakar "Education For All (EFA)"

Forum Pendidikan Dunia yang dikoordinir oleh UNESCO mengadakan pertemuan di Dakar, Senegal pada bulan April 2000 untuk membahas permasalahan pendidikan di seluruh negara. Pada pertemuan tersebut dihasilkan sebuah kesepakatan yang kemudian dikenal dengan Education for All (EFA), yaitu Pendidikan untuk Semua. Tujuan utama dari EFA adalah kejajaran dalam memperoleh pendidikan bagi seluruh anak. Ketika anak-anak yang tidak mendapat kesempatan untuk mengakses pendidikan, maka kenyataan tersebut bermakna hak-hak kemanusiaan mereka telah diingkari, dan perkembangan minat dan bakat mereka telah dihambat. Karena pendidikan adalah obor yang akan menjadi petunjuk dan pencerah kehidupan mereka. Untuk itu, seluruh pemerintahan negara di dunia bertanggungjawab untuk menjamin bahwa setiap orang diberi kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan, dan semua unsure masyarakat bertugas memastikan pelaksanaannya dengan mempertimbangkan perkembangan sosial ekonomi negara tersebut.

Dalam merespon pemikiran tersebut maka lahirlah kesepakatan seluruh peserta yang hadir dalam Forum Dakar yang kemudian ditetapkan sebagai Konvensi Dakar "Education for All" dengan enam target, yaitu:

· Mengembangkan dan meningkatkan pendidikan dini secara komprehensif

· Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak mempunyai akses dalam menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik

· Menjamin bahwa kebutuhan pembelajaran bagi seluruh anak-anak muda dan dewasa dapat diakses secara adil

· Mencapai peningkatan 50% pada tingkat keniraaksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan

· Menghapus kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan pencapaian kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015

· Meningkatkan kualtias seluruh aspek pendidikan.

B. Lingkaran Setan (Vicious Circle) Kemiskinan, Pendidikan Dan Buruh Anak

Dalam Ekonomi dan Sosiologi, istilah lingkaran kemiskinan (cycle of poverty) merujuk ke fenomena sosial dimana orang miskin menunjukkan kecenderungan tetap miskin sepanjang hidupnya bahkan mungkin sampai beberapa generasi berikutnya. Fenomena ini sering terlihat di negara terbelakang atau negara sedang berkembang seperti Indonesia.

Data di Susenas menunjukkan bahwa pada tahun 2004 sebanyak 36,1 juta (16,7%) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Ini belum termasuk orang yang beresiko (vulnerable) jatuh miskin dengan berbagai krisis dan bencana yang terjadi di negara ini. Krisis ekonomi yang belum pulih masih sangat berpeluang membuat orang kehilangan pekerjaannya dan memperkecil kemungkinan orang memperoleh pekerjaan layak yang mampu mengimbangi melonjaknya biaya setiap kebutuhan hidup. Semakin banyak orang yang hidup tanpa kemampuan untuk saving dan berinvestasi untuk perkembangan perekonomiannya. Keadaan ini berpeluang mewariskan dan melestarikan lingkaran kemiskinan ke generasi berikutnya.

Kemiskinan terkait dengan keterbelakangan pendidikan dan buruh anak, dan isu ini menjadi diskusi panjang dalam kajian ekonomi, pendidikan dan hak-hak anak. Secara sederhana keterkaitan antara ketiga hal ini dapat dikatakan seperti berikut: kemiskinan menyebabkan orang tua tidak mampu mendukung pendidikan anaknya secara maksimal dan sering mengakibatkan anak harus dropout lalu bekerja sebagai buruh anak. Buruh anak tanpa keahlian hanya bisa melakukan pekerjaan kasar dengan gaji rendah, dan ini akan mewariskan kemiskinan kepada anak-anaknya yang juga tidak akan mampu ia dukung untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Siklus ini akan tetap berkelanjutan hingga kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan kemudian menjadi sebuah kultur yang sulit diretas. Ibarat telur dengan induk dan anak ayam, mencari ujung pangkal antara kemiskinan, pendidikan dan buruh anak seperti sesuatu yang tidak akan berakhir, dan keterkaitan antara ketiga hal tersebut seolah-olah sesuatu yang abadi.

Banyak yang berkeyakinan bahwa pendidikan dapat dijadikan alat peretas lingkaran setan kemiskinan dan buruh anak. Ini antara lain dimungkinkan karena dengan pendidikan, anak akan memperoleh keahlian yang memungkinkannya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, antara lain seperti ditulis Human Right Watch, "Education breaks generational cycles of poverty by enabling children to gain skills and knowledge for better jobs." Selain itu, anak yang memperoleh akses ke dunia pendidikan akan lebih memahami hak-haknya dan lebih tidak mungkin menerima tawaran pekerjaan yang bersifat eksploitatif dan membahayakan.

Secara lebih teroritis, pendekatan human capital menjelaskan peran pendidikan dalam meningkatkan kesejahteraan. Istilah human capital merujuk kepada karakteristik dan atribut individu yang menjadi modal utama pencapaian tujuan seseorang. Ini termasuk tingkat kepuasan perkembangan fisik dan kognitif dengan dukungan kesehatan, nutrisi dan pendidikan.

Pendekatan ini menekankan bahwa pendidikan merupakan instrument penting untuk mengurangi tingkat kemiskinan melalui peningkatan pendapatan dan intervensi pendidikan terhadap dimensi-dimensi kemiskinan. Melalui pendekatan human capital akan terlihat bagaimana pendidikan dapat digunakan untuk memperluas pilihan yang ada dengan adanya produktifitas dan income yang lebih tinggi. Dalam human capital diyakini bahwa "Knowledge – and the capacity to put knowledge to good use – is now the only dependable source of wealth all over the world."

Akan tetapi permasalahannya tidak sesederhana itu. Pertama, pendidikan jelas membutuhkan biaya dan ini terbukti menjadi salah satu penyebab anak tidak memperoleh akses pendidikan atau dropout. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa di Indonesia biaya pendidikan - termasuk uang sekolah, biaya buku, pembelian seragam dan dana transportasi - menjadi kendala bagi pendidikan anak dan ini sering terkait dengan tingkat kehadiran anak di sekolah, dropout, dan masuknya anak ke pasar kerja. Meski sebagai salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang menjamin setiap anak mengecap pendidikan dasar, namun pendidikan bukan sesuatu yang gratis di negara ini. Bagi sebuah keluarga nelayan dengan penghasilan yang tidak menentu misalnya, menamatkan pendidikan SMP dua orang anak saja sudah merupakan satu langkah besar.

Kedua, pendidikan non kejuruan tidak dimaksudkan untuk memberikan keahlian khusus yang dibutuhkan anak di pasar kerja. Satu jenjang pendidikan tertentu hanya merupakan matai rantai yang harus dilewati anak untuk masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya. Bahkan tingkat pendidikan di perguruan tinggi tidak melahirkan sarjana yang profesional di bidangnya. Persyaratan telah berpengalaman kerja beberapa tahun yang dituntut di hampir setiap tawaran lowongan kerja menunjukkan tidak adanya pengakuan bahwa alumni pendidikan siap pakai di pasar kerja.

Ketiga, keputusan partisipasi dan akses anak ke dunia pendidikan diambil di level keluarga, dan ini sangat dipengaruhi bagaimana orang tua – dengan tingkat pemahamannya sendiri – menilai untung rugi menghabiskan dana demi pendidikan anaknya. Permasalahannya, investasi di dunia pendidikan bersifat jangka panjang dan manfaatnya lebih tertuju kepada si anak, bukan kepada orang tua yang harus memikul segala pembiayaan hingga anak menyelesaikan jenjang-jenjang pendidikannya.

Permasalahan lain, orang tua mungkin tidak bisa menilai manfaat pendidikan yang sebenarnya. Secara kasat mata, sebagian orang tua melihat output dunia pendidikan tidak jauh lebih baik dari yang tidak mengecap dunia pendidikan. "Sebagian orang tua menganggap sekolah tidak berarti karena mereka melihat anak yang sekolah kemudian melakukan pekerjaan yang sama seperti yang dilakukan teman-temannya yang dropout." Dalam keadaan seperti ini orang tua akan lebih terdorong untuk mempekerjakan dari pada menyekolahkan anaknya. Dengan mempekerjakan anak lebih dini, orang tua terbebas dari tuntutan biaya pendidikan anak, dan sebaliknya mendapat keuntungan karena hasil kerja anak dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Pertimbangan seperti ini membuat lingkaran kemiskinan yang baru kemudian tercipta lagi.

Keempat, jenis dan tingkat pendidikan tertentu tidak senantiasa ada di setiap tempat. Pendidikan tingkat dasar terdapat hampir di setiap desa, tetapi sekolah menengah atas dan kejuruan biasanya hanya ada di ibukota kecamatan dan perguruan tinggi hanya ada di ibukota kabupaten/ kota atau bahkan di ibukota propinsi. Bertambahnya jarak tempuh antara rumah dengan sekolah berarti bertambahnya biaya yang transportasi yang harus ditanggung orang tua.

Berbagai permasalahan yang menjadi penghalang akses anak ke dunia pendidikan seperti digambarkan diatas telah lama menjadi agenda pembicaraan di tingkat internasional. Pada tahun 1948, Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia) menegaskan bahwa pendidikan dasar harus diberikan secara gratis kepada seluruh anak di negara manapun. Ini kemudian ditegaskan ulang dalam berbagai kesepakatan internasional dan deklarasi PBB seperti World Declaration on Education for All tahun 1990, Convention on the Rights of the Child tahun 1990 dan Millenium Declaration and the Dakar Framework for Action tahun 2000. Yang terakhir ini menuntut komitmen seluruh negara agar dapat mencapai target penyediaan pendidikan dasar wajib dan gratis kepada semua anak pada tahun 2015.

Program pendidikan dasar wajib sembilan tahun secara signifikan akan berpengaruh terhadap insiden buruh anak. Dengan keterlibatannya di dunia pendidikan dasar, anak-anak akan berpeluang kecil menjadi buruh hingga usia mereka mencapai 15 tahun. Setidaknya mereka tidak berpeluang besar menambah angka 352 juta buruh anak di dunia, 61% dari jumlah tersebut berasal dari Asia termasuk Indonesia.

REALITA AKSES ANAK PEREMPUAN DESA PANTAI KE DUNIA PENDIDIKAN

Data BPS Sumatera Utara dan data dari kecamatan Pantai Labu menunjukkan dari jumlah penduduk 518 orang di Desa Rantau Panjang, 308 orang penduduk dewasa tidak tamat Sekolah Dasar (SD), 189 orang yang hanya tamat SD dan SLTP, dan penduduk yang tamat SLTA keatas hanya 18 orang. Untuk golongan anak-anak anak-anak, dari jumlah keseluruhan anak laki-laki 414 orang, 81 orang tidak bersekolah, dan dari 385 anak perempuan, 48 orang diantaranya tidak bersekolah. Sementara dari keseluruhan jumlah anak yang berusia 7-15 tahun sekitar 429 anak, yang bersekolah hanya 300 anak: dengan rincian 151 anak laki-laki dan perempuan 149 orang. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan membuktikan bahwa pemerataan partisipasi pendidikan belum menyentuh Desa Rantau Panjang. Table berikut akan menunjukkan data-data tersebut lebih rinci.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Berdasarkan Jenis Kelamin

Usia 7-15 Thn

Sekolah

Tdk Sekolah

Lk

Pr

Lk

Pr

Rantau Panjang

203

98

151

149

81

48

241

113

Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Kecamatan Pantai Labu 2004

Partisipasi pendidikan di desa Rantau Panjang tidak jauh berbeda dengan kondisi di desa-desa pantai lainnya di kecamatan Pantai Labu.. Akan tetapi, tingkat drop out untuk usia anak sekolah dari 7 sampai 15 tahun, desa Rantau Panjang termasuk yang terburuk. Dari 429 orang anak berusia 7 sampai 15 tahun di desa tersebut, 129 orang berstatus tidak sekolah. Tabel berikut akan menunjukkan tingkat perbandingan anak putus sekolah di setiap desa di Kecamatan Pantai Labu.

Tabel: 2. Jumlah Anggota Keluarga Menurut Kelompok Umur 5-21 Tahun di Kecamatan Pantai Labu

7-15 Thn

Sekolah

Tdk Sekolah

Lk

Pr

Lk

Pr

1.

Rantau Panjang

98

151

149

81

48

241

2.

Pantai Labu Pekan

122

259

303

66

39

319

3.

Pantai Labu Baru

24

57

75

7

4

48

4.

Paluh Sibaji

87

273

252

77

67

177

5.

Rugemuk

117

235

194

41

35

228

6.

Pematang Biara

156

342

318

39

19

273

7.

Bagan Serdang

49

108

113

28

20

145

8.

Binjai Bakung

57

124

133

18

21

137

9.

Denai Lama

132

203

162

43

25

182

10.

Denai Kuala

33

226

207

3

1

20

11.

Desa Sarang Burung

77

251

200

42

29

158

12

Kelambir

133

168

170

51

35

199

14

Kubah Sentang

34

116

110

6

8

61

15

Rumania 1

40

94

89

12

8

152

16

Rumania 2

38

181

182

1

4

259

17

Perkebunan Rumania

62

272

277

29

32

158

18

Durian

223

462

434

18

24

454

19

Tengah

40

68

46

10

9

71

20

Sei Tuan

99

123

139

14

8

123

Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Kecamatan Pantai Labu 2004

Dari perspektif gender, data dari tabel di atas menunjukkan di desa Rantau Panjang, Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak usia 7-15 tahun adalah 69,93%. Sementara Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak perempuan usia 7-15 tahun 75,63%, dan Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak laki-laki usia 7-15 adalah 65,08%. Jadi Indeks Paritas Gender untuk APS 7-15 tahun di desa Rantau Panjang adalah 1,16%, ini berarti terdapat kesenjangan gender untuk partisipasi sekolah, dimana partisipasi sekolah anak perempuan lebih tinggi dibanding partisipasi anak laki-laki dengan Disparitas Gender 10,55, lebih rinci tertuang dalam tabel berikut:

Tabel 3: Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia Sekolah tahun di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Pantai Labu.

No

Usia 7-12 Thn

Usia 7-15 Thn

Anak Pr Usia 7-15 Thn

Anak Lk Usia 7-15 Thn

Indeks Paritas Gender Usia

7-15 Thn

Disparitas Gender Usia 7-15 Thn

1

86,98

69,93

75,63

65,08

1,16

10,55

Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Kecamatan Pantai Labu 2004

Temuan ini tidak jauh berbeda dari kondisi di wilayah pedesaan lainnya di Sumatera Utara dimana secara umum APS anak perempuan lebih besar dari APS anak laki-laki pada setiap kelompok umur. Akan tetapi tingkat partisipasi di Desa Rantau Panjang sangat jauh ketinggalan berdasarkan perbandingan untuk daerah pedesaaan di Sumatera Utara yang mana pada tahun 2003 APS anak perempuan 98,44, dan APS anak laki-laki 97,37. Sementara untuk tingkat Kecamatan Pantai Labu, APS di Desa Rantau Panjang untuk Usia Pendidikan Dasar (7-12 tahun) berada pada urutan ke 12 dari 19 desa. Desa Paluh Sibaji merupakan desa dengan tingkat APS terendah, yaitu 75,42 dan Desa Perkebunan Ramunia dengan APS tertinggi, yaitu 90,47. Untuk lebih jelas tabel berikut menjelaskan perbandingan APS di setiap desa di Kecamatan Pantai Labu, dan perkembangan Angka Partisipasi Sekolah (APS)) anak laki-laki dan perempuan berdasarkan kelompok umur di daerah pedesaan Sumatera Utara.

Tabel 6: Angka Partisipasi Sekoleh (APS) di Kecamatan Pantai Labu untuk Kelompok Anak Usia Pendidikan Dasar

No

D e s a

Jumlah Anak

Jumlah yang Bersekolah

APS

1

Bagan Serdang

415

316

76,14

2

Binjai Bakung

508

385

75,79

3

Denai Kuala

680

565

83,09

4

Denai Lama

769

642

83,48

5

Denai Sarang Burung

974

859

88,19

6

Durian

813

1506

83,11

7

Kelambir

731

655

89,60

8

Kubah Sentang

352

310

88.07

9

Paluh Sibaji

1249

942

75,42

10

Pantai Labu Baru

262

217

82,82

11

Pantai Labu Pekan

1262

1110

87,96

12

Pematang Biara

1136

998

87,85

13

Perkebunan Ramunia

661

598

90,47

14

Ramunia I

286

237

82,87

15

Ramunia II

774

664

85,79

16

Rantau Panjang

730

635

86,98

17

Regemuk

816

668

81,86

18

Sei Tuan

421

376

89,31

19

Tengah

302

239

79,91

Jumlah

14142

11922

84,30

Sumber: Data BPS untuk Kecamatan Pantai Labu 2004

Rendahnya partisipasi sekolah anak di desa Rantau Panjang memberi dampak sosial yang luas terhadap kehidupan anak pada masa sekarang dan mendatang. Berdasarkan dari hasil wawancara dan FGD yang dilakukan ditemukan banyak anak-anak yang tidak bersekolah atau hanya tamat pada tingkat Sekolah Dasar terpaksa harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Hampir seluruh anak laki-laki yang putus sekolah terpaksa bekerja ke laut atau di pabrik-pabrik di Kecamatan Pantai Labu, dan anak perempuan mengambil resiko dengan menjadi TKI ke Malaysia sebagai pembantu rumah tangga meski usia belum mencukupi.

Walau tanpa data yang akurat, dipastikan keberadaan anak putus sekolah yang bekerja di desa Rantau Panjang turut berpartisipasi dalam peningkatan jumlah keseluruhan anak-anak yang bekerja secara global. Menurut data terkini secara global diperkirakan sebanyak 211 ribu anak berusia 5 tahun sampai 14 tahun aktif secara ekonomi, dan sekitar 186 ribu dari jumlah tersebut adalah buruh anak, dan ketika dimasukkan anak usia 15-17 tahun, jumlahnya sampai mencapai 246 ribu anak pekerja buruh. Kebanyakan dari anak-anak tersebut berasal dari daerah pedesaan, seperti Desa Rantau Panjang.

Terjun ke dunia kerja bagi anak-anak perempuan memiliki resiko yang berat bagi keselamatan hidup. Beberapa informan menyatakan bahwa ada beberapa orang anak perempuan yang pergi ke Malaysia untuk bekerja mendapatkan kekerasan, penipuan ataupun terjebak dalam penjualan anak untuk tujuan prostitusi.

"Anak perempuan di desa ini banyak yang pergi TKI ke Malaysia, ada yang berhasil dan banyak juga yang tidak berhasil, ya tidak pulang-pulang, hilang."

"Adik saya kena tipu baru-baru ini, dia kerja di sana tapi tidak dapat gaji, keluar diapun dari rumah tempat dia kerja melarikan diri, dia laporkan ke Polisi kemudian Polisi mengantarkan dia kemari, pulang tidak dapat apa-apa. Padahal semua surat-surat sudah diurus sebelumnya."

Bekerja sebagai pembantu rumah tangga bukan saja dilakukan anak perempuan putus sekolah, sebahagian anak perempuan yang masih bersekolah di Desa Rantau Panjang juga menjalani profesi yang sama. Seorang ibu menyatakan bahwa anaknya harus menjadi pekerja rumah tangga untuk membantu biaya pendidikannya.

"Anak saya ambil upah cucian untuk ongkos sekolahnya. Pulang sekolah, dia nyuci dan gosok, kadang-kadang ngopek kerang untuk ongkos sekolah. Saya repot untuk ngurus anak-anak di rumah."

Kemiskinan keluarga tidak selamanya menjadikan anak kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Orangtua di Desa ini mengakui bahwa anak perempuan yang terus bersekolah memiliki prestasi dan kreatifitas di sekolah maupun di tengah-tengah keluarga.

"Di rumah saya anak perempuan yang lebih berprestasi, anak perempuan yang dapat ranking, tapi itulah sampai SMP kelas dua kita udah tidak mampu lagi. Jadi dia berhentilah sekolah."

"Ya memang anak saya yang laki-laki itu kurang kreatifnya, meskipun dia itu sering ranking di sekolah, tapi kalau anak saya yang perempuan itu sangat kreatif, tanpa kita suruh, dia selalu mengerjakan pekerjaan rumah dan sekolahnya. Kalau anak yang laki-laki untuk mengupas mangga saja istilahnya dia tidak bisa. Begitulah perbedaan anak laki-laki dan perempuan.

Ungkapan-ungkapan di atas membuktikan anak perempuan yang memiliki akses ke dunia pendidikan mampu memberi prestasi yang lebih baik daripada anak laki-laki. Oleh karena itu, ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pendidikan akan menghambat kreatifitas anak perempuan di desa-desa pantai, seperti di desa-desa Kecamatan Pantai Labu.

Sistem Sosial Lokal yang Mempengaruhi Akses Anak Perempuan ke Dunia Pendidikan

1 Kemiskinan

Sebagai desa yang terletak tidak jauh di garis pantai, Rantau Panjang dapat dikategorikan sebagai desa pantai atau pesisir. Desa-desa pantai di Indonesia tidak terkecuali di Rantau Panjang merupakan kantong-kantong kemiskinan struktural yang potensial. Gambaran umum yang pertama kali bisa dilihat dari kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dalam kehidupan masyarakat Rantau Panjang adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman. Rumah-rumah yang sangat sederhana; berdinding anyaman bambo, berlantai tanah berpasir atau papan yang berada diatas rawa-rawa, beratap daun nipah, dan keterbatasan pemilikan perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan tradisional. Sebaliknya, rumah-rumah yang megah berkeramik dengan segenap fasilitas yang memadai akan mudah dikenali sebagai tempat tinggal pemilik perahu besar atau boat, pedagang perantara/penerima hasil tanggapan nelayan kecil atau pedagang dengan pangkalan besar, dan pemilik toko.

Dengan pendapatan melaut sekitar Rp. 10.000 - Rp. 30.000 per hari, nelayan tradisional di Rantau Panjang tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan sekolah anak-anak mereka. Konsekwensinya, tingkat pendidikan anak-anak nelayan secara otomatis rendah. Banyak anak yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, ia tidak akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama.. Deskripsi kesulitan hidup ini dapat disimak dari kisah hidup Nr (17 thn), anak perempuan yang tamat hanya tingkat SLTP:

"Nama saya Nr, sekarang saya 17 Thn. Saya sekolah sampai SMP saja. Saya punya 4 saurdara, dua laki-laki dan 2 perempuan. Abang yang nomor pertama telah tamat SMA dan hingga sekarang belum bekerja dan tinggal bersama uwak di Medan. Kakak perempuan yang nomor dua juga hanya tamat SMP, dan belum menikah dan bekerja, kami masih tinggal bersama. Dua orang adik yang lain masih bersekolah di SMP dan SD. Ayah saya seorang nelayan yang telah lama sakit-sakitan, sedangkan waktu sehat aja ayah susah dapat uang apalagi saat sakit sekarang, hasilnya hanya 10.000 rupiah kadang 20.000 rupiah, paling ibulah yang bantu-bantu. Ibu kerja dari pagi sampai sore di ladang, hasilnya bisa buat makan. Kata dokter ayah sakit gula, tapi menurut dukun sakit karena guna-guna. Saya sedih lihat ayah. Terkadang saya ingin bantu kerja biar adik-adik bisa terus sekolah. Dulu saya sempat kerja rumah tangga di Medan, tapi kemudian dilarang abang. Sekarang hanya di rumah, membersihkan rumah, nyapu, nyuci dan masak. Kalau udah siang gini, ya enggak ada kerja lagi, paling nanti kalau ayah udah pulang dari laut, saya masak untuk makan malam"

Tidak jauh berbeda dengan kondisi anak laki-laki, banyak anak perempuan harus putus sekolah dikarenakan keinginan untuk meringankan beban keluarganya. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di desa ataupun luar daerah bahkan sebagai TKI ke Malaysia merupakan pilihan yang menarik bagi kebanyakan anak perempuan putus sekolah di desa ini. Seorang informan menyatakan kenyataan tersebut ketika ditanyakan mengapa banyak anak perempuan putus sekolah di desa tersebut.

"Anak perempuan gitu juga. Umumnya kalau sudah kelas-kelas VI dan pandai ke Malaysia, maka udah tidak mau lagi sekolah. Itu sebabnya kebanyakannya."

Pernyataan orangtua di atas mengisyaratkan seolah-olah keputusan tidak sekolah merupakan pilihan anak secara individu. Akan tetapi, sesungguhnya alasan mengapa banyak anak yang terjun ke dunia kerja dapat dilihat dari dua sisi, dari diri anak sendiri bahwa ia bekerja adalah pilihan yang ditempuh karena rasa keprihatinan terhadap kondisi keluarga atau orangtua yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Kedua, keuntungan finansial yang diperoleh dari hasil kerja anak tidak dapat dipungkiri merupakan alasan orang tua membiarkan atau mengirim anak-anak mereka untuk aktif secara ekonomi. Sebagaimana yang disinyalkan oleh Tim UNESCO dalam Monitoring Report Paper mereka sebagai berikut:

"One of the commonest reasons for children not attending school is that their families need them to work. Sometimes this work is paid, but mostly it is unpaid and takes place within the household or on the family farm."

Dalam konteks inilah, Gordon Betcherman menilai orangtua mungkin akan membandingkan keuntungan ekonomi antara nilai materi yang dihasilkan anak yang bekerja dengan harga yang harus dikeluarkan untuk mengembalikan anak ke sekolah. Putusan negatif akan diambil manakala pengeluaran biaya sekolah melebihi dari pendapatan hasil bekerja anak.

2 Kepasrahan terhadap Nasib Hidup

Kepasrahan terhadap nasib hidup membuat sebagian keluarga nelayan bersikap pasif, dengan kata lain sebagian orang tua tidak memiliki inisiatif untuk bekerja sampingan agar mendapat penghasilan tambahan yang dapat digunakan untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Sebenarnya, kreatifitas sebahagian ibu/isteri nelayan tradisional dengan mengambil upah jahitan atau mencuci dan menggosok di rumah keluarga kaya di desa tersebut, dan ketrampilan ayah/suami memperbaiki boat nelayan yang rusak merupakan modal bagi keluarga tersebut untuk menyekolahkan anak-anak mereka, sekaligus menjadikan mereka keluarga yang berbeda dari keluarga nelayan tradisional yang lain. Seorang ibu mengatakan ia rela bekerja dan hanya minum air teh manis saja asalkan anak perempuannya dapat terus melanjutkan sekolah. Sementara ibu yang lain bersedia menjahitkan baju atau pakaian orang dengan gaji yang sedikit, tapi dengan uang tersebut dia mampu memberi ongkos kepada anaknya untuk pergi sekolah. Ia mengatakan, "kalau saya mengambil upah jahit kecil-kecilan, nanti ada orang yang minta pasangkan kancing baju, saya pasangkan, kemudian dapat empat ribu, cukup untuk ongkos anak sekolah. Ini blak-blakkan ya bu." Keinginan untuk memberi bekal pendidikan yang memadai bagi anak telah mendorong sebagian orang tua untuk mencari pekerjaan tambahan selain melaut. Motivasi kuat yang dimiliki ibu-ibu anak perempuan tidak miliki oleh kebanyakan ibu-ibu yang lain. Banyak dari mereka lebih bersikap pasrah dengan kondisi rumah tangga yang teromang-ambing dalam kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Pemenuhan ekonomi keluarga hanya digantungkan pada penghasilan suami mereka yang jauh dari cukup. Seorang anak perempuan mengatakan kehidupan keluarga hanya bergantung pada penghasilan, ini dapat disimak pada kutipan berikut:

"Penghasilan ayah dari melaut tidak tentulah, kadang sepuluh ribu, paling banyak tiga puluh ribu. Kalau mamak tidak ada kerjanya, di rumah aja, kalau dikasih bapak uang baru ada uangnya."

Dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi rumah tangga termasuk kesulitan menyekolahkan anak-anak, istri-istri nelayan sebenarnya memiliki peranan yang strategis. Sepanjang memungkinkan dari segi ketrampilan dan pengadaan modal, istri-istri / ibu anak-anak nelayan sangat berpeluang untuk terlibat kegiatan ekonomi-perdagangan informal yang sangat adaptif dan menyerap tenaga kerja yang relative besar. Seperti di desa nelayan di Desa Percut Sei Tuan, ibu-ibu nelayan mampu mengembangkan diri di bidang produktif guna membantu perekonomian keluarganya. Di desa tersebut, kaum perempuan tidak hanya menjadi ‘penguasa riel’ ekonomi rumah tangga, tetapi juga penguasa kegiatan ekonomi perdagangan informal masyarakat. Bahkan di desa Percut Sei Tuan tidak berlaku system pembagian kerja secara seksual yang berlaku secara umum di masyarakat nelayan – sistem ini berlaku di Desa Rantau Panjang – di mana laut adalah ranah laki-laki, sedangkan darat adalah ranah perempuan, dikarenakan sebahagian isteri dan anak perempuan nelayan di sana turut terjun ke laut sebagai pencari kerang atau menjaring ikan ke tengah laut lepas. Potret kehidupan para ibu-ibu nelayan di Desa Percut Sei Tuan berbeda dengan mereka yang di Desa Rantau Panjang.

B.3 Budaya Hidup Nelayan Melayu

Masyarakat Desa Rantau Panjang merupakan masyarakat nelayan yang mayoritas dari etnis Melayu. Etnis Melayu meskipun sebagai etnis asli di wilayah Sumatera Utara, tetapi telah banyak mendiami daerah-daerah pinggiran kota, termasuk wilayah-wilayah pantai Sumatera. Persaingan ekonomi dengan etnis-etnis pendatang menjadikan banyak orang Melayu terpaksa mundur dari kehidupan perkotaan, dan bertahan hidup di daerah pedesaan.

Masyarakat Melayu terkenal sebagai masyarakat yang memiliki selera makanan yang tinggi dibanding mereka yang dari etnis lain seperti Jawa dan Batak. Terdapat kecenderungan bahwa mereka lebih mengutamakan mengelola makanan dengan bahan-bahan yang lebih banyak dan dana yang lebih besar daripada mengirit agar bisa menyekolahkan anak perempuannya. Pola hidup yang cendrung mementingkan kualitas makanan ini termasuk faktor pendukung banyaknya anak perempuan yang putus sekolah di desa Rantau Panjang. Seorang ibu mengatakan:

"Karena gini istilahnya kalau orang kita Melayu ini "Biarlah rumah runtuh asal gulai lemak", kalau orang kita bermarga ini makan pakai cabe doangpun dia mau asal anaknya bisa sekolah. Orang Melayu ini disitulah kesalahan dia, saya bilang. Jadi karena gulai tadi, makan aja tidak memikirkan anak sekolah. Laki saya sajalah saya katakan, dia tidak berani mengurangi uang rokoknya agar anak bisa pergi sekolah untuk ongkos, kebanyakan itu, pak".

Pola hidup nelayan Melayu ini sering dianggap orang luar bergaya hidup konsumtif atau boros ketika memperoleh penghasilan yang cukup banyak lebih mementingkan makan daripada kebutuhan lain. Ketika memperoleh penghasilan yang cukup besar, mereka bertindak konsumtif. Kecendrungan bisa jadi merupakan "kompensasi psikologis" dari kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpanya. Dengan kata lain, gaya hidup bisa dianggap ‘boros’ itu merupakan upaya menyenangkan diri dalam sesaat dan menikmati kehidupan yang selayaknya.

4 Pilihan Orangtua Terhadap Anak Laki-laki atau Perempuan

Preferensi orang tua untuk lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki daripada anak perempuan, atau kebalikannya juga merupakan faktor pendukung rendahnya partisipasi pendidikan anak di Desa Rantau Panjang. Pernyataan beberapa orang tua anak perempuan yang putus sekolah di Rantau Panjang menunjukkan adanya penilaian bahwa anak laki-laki harus lebih diutamakan dalam pendidikan dibanding anak perempuan. Budaya patriakhi yang lebih mengedepankan laki-laki di tengah keluarga masih kuat melekat di masyarakat desa ini.

"Kalau saya, saya pilih yang laki-laki saya sekolahkan, karena lapangan kerja itu kan lebih banyak untuk laki-laki, kalaupun tidak jadi pegawai dia bisa kerja di pabrik. Tapi kalau perempuan inikan masih panjang apanya, perjalanannya maklumlah kalau nanti dia pulang malamkan payah. Kalau laki-laki inikan bebas."

"Kalau saya anak laki-lakilah yang melanjutkan karena sekarangkan bapaknya ke laut, jadi kalau anak laki-lakinya sekolah, dia bisa kerja dan tidak ke laut lagi. Maaf cakapnya laki-laki itukan paling besar tanggung jawabnya, dia yang mencari makan untuk keluarga dan bukan perempuan."

Dari beberapa faktor di atas yang mempengaruhi rendahnya partisipasi pendidikan anak perempuan di Desa Rantau Panjang, namun, bila dicermati dari awal pendidikan itu berlangsung, maka keluarga sebagai unit terkecil di masyarkat sangat berperan dalam membentuk kondisi pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat. Sejak didalam keluargalah fenomena sosial ekonomi dan budaya masyarakat mulai berkembang. Kutipan berikut menguatkan kesimpulan di atas:

The critically important locus for decision making as regards participation in schooling is the family. It is here that notions of gender relations are transmitted from one generation to the next. This happens implicitly via the gender roles that members of the household themselves fulfill, and explicitly by consequence of the gender frameworks within which children of each sex are brought up. Households allocate time for different activities among their members, and they also allocate resources – for consumption, savings and investment, including those associated with the formation of human capital – between each of them.

Kesetaraan Akses Pendidikan dalam Pandangan Anak Perempuan

Sebagai seorang anak yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau paling tinggi Sekolah Menengah, pandangan anak perempuan terhadap pendidikan sangat sederhana. Bagi mereka pendidikan merupakan tempat untuk mencari pengetahuan dan memperoleh ijazah yang dapat digunakan nantinya untuk memperoleh pekerjaan. Nilai sebuah ijazah adalah pekerjaan yang lebih baik dan terhormat di masayarakat. Sebagaimana ungkapan beberapa orang anak perempuan berikut ini:

"Kalau kita sekolah, kita akan dapat ijazah jadi nanti mudah dapat kerja. Ya kerja di kantoran atau apalah bukan kerja rumah tangga."

"Kalau saya sekolah pasti tidak begini, ini jaga anak orang, berapalah gajinya. Kalau SMA ini nantinya dia dapat ijazah, dan dia bisa kerja nantinya. Dan sekarang yang tamat SMA dia kapat kerja."

Pendidikan dapat dianggap sebagai kunci bagi pengurangan kemiskinan ketika seseorang mampu mencapai tingkat pendidikan tinggi membuka peluang yang lebih besar baginya untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji besar. Lebih jauh, karena seseorang memiliki ketrampilan karena pendidikan, maka semakin tinggi pencapaian pendidikan orang tersebut, semakin besar peluangnya untuk memperolah pekerjaan yang lebih baik. Bahkan, diharapkan bahwa pendidikan memiliki hubungan negatif dengan kemiskinan: semakin tinggi pendidikan maka semakin rendah kemiskinan.

Thesis di atas akan dapat diterima manakala masyarakat menemukan anak yang berpendidikan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang mereka capai, akan tetapi sebaliknya ketika sekolah tidak lagi menjanjikan pekerjaan yang diidamkan. Banyak anak dan orangtua pesimis untuk sekolah atau menyekolahkan anak mereka ketika mereka melihat ternyata banyak anak-anak yang bersekolah akhirnya mendapat pekerjaan yang sama dengan anak yang tidak sekolah. Pengakuan seorang anak perempuan dan orang tua berikut ini menguatkan pernyataan tersebut:

"Saya bilang sama kawan, "kak, saya mau sekolah". Katanya, "ngapainlah sekolah, sekolahpun tinggi-tinggi nanti di rumah juga. Orang yang tamat SMA, kan jadi ibu rumah tangga juga. Mungkin karena ditengoknya kawan kami yang tamat SMA memang di rumah juga." "Jadi kadang karena melihat banyaknya anak yang sekolah dan kuliah itu tetap nganggur, jadi orang tua berpikir untuk apa disekolahkan tinggi-tinggi karena sekolah tinggipun jadi apapun tidak. Kalau yang perempuan sekolah tinggi-tinggi akhirnya ke dapur juganya."

Seiring dengan perkembangan masyarakat modern dimana tuntutan tidak hanya pada seberkas kertas ijazah tapi pada kualitas pengetahuan dan skills, dunia kerja membutuhkan tenaga kerja yang siap pakai, dan ini umumnya didapati bagi mereka yang lulusan perguruan tinggi. Harapan anak-anak pedesaan untuk sebuah pekerjaan yang lebih layak, akhirnya menjadi hanya sebatas impian disaat realita menunjukkan mereka hanya sampai pada tamat sekolah menengah.

Karenanya, mereka menuntut kesetaraan dalam pendidikan, ketika orang tua mampu menyekolahkan abangnya hingga ke SLTA, maka seharusnya mereka juga memiliki kesempatan yang sama. Seorang anak mengungkapkan perasaannya dalam kutipan berikut:

"Seharusnya mamak dan ayah menyekolahkan lagi kita, inikan wajarlah buk, abang awak tamat SMA, sedangkan awak hanya tamat SMP, apa bedanya awak dengan abang, walaupun katanya abang itu dibantu uwak waktu sekolah."

Anak-anak perempuan memandang kesetaraan pendidikan antara mereka dengan anak laki-laki masih belum terwujud di kalangan banyak keluarga nelayan Rantau Panjang. Banyak anak perempuan merasa bahwa orangtua cendrung lebih mengutamakan sekolah anak laki-laki daripada mereka anak perempuan. Ketiadaan uang memaksa orang tua untuk memilih salah satu anak untuk terus disekolahkan, dan pilihan lebih banyak jatuh kepada anak laki-laki daripada anak perempuan.

Pada situasi demikian, anak perempuan memiliki sikap menerima dan juga menolak. Penerimaan terhadap kondisi yang jelas tidak bersifat adil dan merugikan masa depan mereka lahir karena rasa keprihatinan akan kondisi ekonomi keluarga, sekaligus kepatuhan atas keputusan orangtua. Seorang anak mengatakan, "Awak pun tidak menyalahkan orang tua. Tidak awak salahkan mamak atau ayah yang tidak menyekolahkan awak, tapi karena tidak ada biaya. orang merekapun usahanya untuk kita anak-anaknya," ketika ia ditanya siapa yang bertanggungjawab atas tidak sekolahnya mereka. Sementara penolakan lebih banyak tidak memberikan hasil selain penantian bahwa suatu hari nanti orangtua mereka akan kembali mengirim mereka ke sekolah.

PENUTUP

Seperti daerah pantai pada umumnya, penelitian ini menunjukkan tingkat partisipasi anak di dunia pendidikan secara umum sangat rendah. Akan tetapi berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Sumatera Utara, dari segi jumlah tidak ada perbedaan partisipasi yang menyolok antara anak perempuan dengan anak laki-laki ke dunia pendidikan di Pantai Labu. Meski bias jender masih terlihat dari perspektif yang dikemukakan informan, pada kenyataannya bias ini tidak terefleksi secara nyata jika dilihat dari angka partisipasi anak perempuan ke dunia pendidikan di daerah ini.

Rendahnya partisipasi anak terhadap pendidikan di desa ini dipicu beberapa faktor yaitu kemiskinan keluarga, kepasrahan terhadap nasib, jarak sekolah yang jauh dari desa, serta budaya hidup nelayan Melayu.

Anak perempuan sadar dengan keterbelakangan mereka di dunia pendidikan dan kecewa dengan keadaan tersebut. Namun mereka tidak punya banyak pilihan dengan keterbatasan penghasilan orang tuanya sebagai seorang nelayan. Pilihan anak semakin lebih kecil lagi karena keputusan keberlanjutan pendidikan mereka sangat tergantung dengan pertimbangan dan pandangan orang tuanya.

Pustaka Acuan

Ahmad, Alia, "Inequality in the Access to Secondary Education and Rural Poverty in Bangladesh: An Analysis of Household and School Level Data," 2005, http://www.nek.lu.se/publications/ workpap/Papers/WP05_36.pdf

Chuzaimah Batubara, dkk., 2002, Pembagian Kerja dalam Keluarga Muslim di Percut Sei Tuan: Studi Analisis Perspektif Gender, Laporan penelitian dan telah diterbitkan dalam bentuk jurnal, lihat dalam Jurnal Penelitian Medan Agama, Edisi 2, Desember 2003, Pusat Penelitian IAIN Sumatera Utara.

Conway, Carol, "Leave No Stone Unturned: A Human Capital Approach to Workforce Development," http://www. southern.org/pubs/pp052301cc.pdf

Human Right Watch, "Failing Our Children: Barriers to the Rights to Education," 2005, http://hrw.org/reports/2005/ education0905/education0905.pdf

Ima Susilowati, dkk., Pengertian Konvensi Hak Anak (Unicef, 2003)

International Program on the Elimination of Child Labor, Every Child Counts, New Global Estimates on Child Labor, (Switzerland, International Labor Office: 2002)

Lily Zakiyah Munir, "Hak Asasi Perempuan dalam Islam: Antara Idealisme dan Realitas" dalam Memposisikan Kodrat, ed. Lily Zakiyah Munir (Bandung: Mizan, 1999)

Maksum, Choiril, "Official Poverty Measurement in Indonesia," Paper presented at 2004 International Conference on Official Poverty Statistics 4-6 October 2004, EDSA, Shangri-la Hotel, Mandaluyong City, Philippines, http://www.nscb.gov.ph/poverty/ conference/papers/ 2_Indonesia

Matz, Peter, "Cost and Benefit of Education to Replace Child Labor," ILO-IPEC Working Paper, 2002

Shaffer, Paul, "New Thinking on Poverty: Implications for Poverty Reduction Strategies," 2001, http://www.un.org/esa/ socdev/poverty/papers/paper_shaffer

The Dakar Framework for Action. Education for All: Meeting our Collective Commitments, adopted by the World Education Forum (Dakar, Senegal, 26–28 April 2000), para. 7, Paris, UNESCO, 2000

UNESCO, Gender and Education for All:The Leap to Equality (EFA Global Monitoring Report, 2003/4), 2003, khususnya bab tiga "Why are Girls Still Held Back."

UNICEF, Education As A Preventive Strategy Against Child Labor, 2003, http://www.unicef.org/evaldatabase /files/Child_Labour_Evaluation_Report_27_Feb_2004.pdf

Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Cycle_of_poverty

Sumber :www.litagama.org

No comments: