Saturday, May 10, 2008

Jelang 100 Tahun Kebangkitan Nasional

Oleh: syafii maarif

Jelas sebagian pembaca pasti kaget pada judul Resonansi hari ini. Pada saat negara dan masyarakat lagi giat-giatnya memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional melalui berbagai agenda, saya malah 'menyimpang' dari alur yang dianggap benar selama ini. Sebagai seorang peminat sejarah, saya harus mengemukakan masalah penting ini untuk didiskusikan secara mendalam, jujur, dan objektif.

Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: (1) apa yang dimaksud dengan kebangkitan nasional; (2) kapan kebangkitan itu dimulai disertai dengan parameter dan fakta sejarah yang digunakan. Kebangkitan nasional harus diartikan sebagai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa, bukan kebangkitan suku-suku bangsa.

Sebelum lanjut, saya harus menegaskan bahwa kelahiran Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908 adalah sebuah terobosan kultural-intelektual yang sangat penting bagi sebuah suku yang kebetulan berjumlah mayoritas dibandingkan dengan suku-suku lain, yaitu suku Jawa, yang sekarang meliputi Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jasa tokoh-tokoh seperti Dr Wahidin Soedirohoesodo dan Dr Soetomo dengan gagasan pencerahannya bagi suku Jawa (saat itu disebut bangsa Jawa), tentu punya makna tersendiri.

Kemudian, para priayi Jawa yang mendominasi struktur pengurus pertama, sedangkan Dr Wahidin hanya sebagai wakil ketua mendampingi ketua pertamanya, Raden Tumenggung Aria Tirtokoesoemo, bupati Karanganyar, menunjukkan bahwa BU memang punya filosofi alon-alon nanging klakon.

Di tangan para priayi yang menjabat sebagai bupati, jaksa, dokter, mantan letnan pada legiun Pakualam Jogjakarta, tentu orang tidak boleh berharap bahwa organisasi ini akan mengkritik tatanan kolonial, betapa pun menghisapnya.

Dalam Anggaran Dasar BU, ditetapkan di Yogyakarta 9 Oktober 1908, pasal dua berbunyi: "Tujuan organisasi untuk menggalang kerja sama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis." Tetapi, juga harus dikatakan bahwa sebelum tahun 1920-an, memang tidak ada organisasi manapun di nusantara yang sudah menggagas tentang kemungkinan munculnya sebuah bangsa yang kemudian bernama Indonesia yang tegas dengan watak nasionalnya. Apalagi pada abad ke-19, sosok bangsa Indonesia dalam mimpi pun tidak terbayang. Dalam perspektif ini, mengangkat tokoh seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Hasanuddin, Pattimura, dan sederetan nama lain sebagai Pahlawan Nasional sama sekali tidak punya pijakan historis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jika mau ditetapkan juga sebagai pahlawan, mungkin bisa diusulkan sebagai pahlawan nusantara. Demikian juga BU yang belum berpikir tentang Indonesia tentu perlu dikaji ulang, apakah pantas ditetapkan sebagai awal kebangkitan nasional atau kita cari dasar yang lebih kokoh, kebangkitan Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda 1922, misalnya, atau malah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

Mengapa saya berpikir ke arah ini? Alasannya sederhana saja: ketetapan politik untuk sebuah peristiwa penting tanpa dasar sejarah yang solid, posisinya tentu tidak lebih dari mitologi, rapuh sekali. Kata seorang penyair: "Sebuah sarang di atas dahan yang rapuh, tidak akan tahan lama". Apakah Indonesia pada permulaan abad ke-21 ini masih juga harus berkubang dalam mitologi, sementara kita untuk menentukan hari Kebangkitan Nasional memiliki data sejarah yang sangat kuat?

Saya lebih cenderung pada Sumpah Pemuda 1928, itulah sebabnya judul Resonansi ini dianyam seperti formula di atas. Dengan kata lain, 100 Tahun Kebangkitan Nasional baru tepat diperingati pada 28 Oktober 2028, masih 20 tahun lagi. Tetapi, akan sangat bijak jika pemerintah dan masyarakat kita sekarang mau membetulkan keputusan politik tahun 1948 (atas usul Ki Hadjar Dewantara, info dari Dr Anhar Gonggong) yang menetapkan kelahiran BU, 20 Mei 1908, sebagai tonggak kebangkitan nasional.

Bahwa BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang pun yang dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Sumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnya masing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran dan pencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yang masih mencekam.

Dengan Sumpah Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipun dengan susah payah, akhirnya meleburkan diri dan bersepakat untuk mendeklarasikan trilogi pernyataan yang tegas-tegas menyebut tumpah darah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung oleh berbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, cukup repsesentatif bagi awal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa: Indonesia! Mari kita tinggalkan mitos, jadikan fakta keras sejarah sebagai tonggak sebuah kebangkitan.

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: