Saturday, May 10, 2008

Kultur Politik Pemborong

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Saya tidak akan mengatakan bahwa seorang mantan pejabat tingkat menteri, panglima, dan yang setara dengan itu jika masih ingin jadi bupati, wali kota, ataupun gubernur bertentangan dengan UU. Semuanya boleh saja, secara legal formal tidak ada masalah. Bahkan, mantan menteri boleh jadi camat, sekiranya jabatan camat itu bisa diraih melalui pilca (pemilihan tingkat camat). Hanya, dalam perundangan-undangan kita, jabatan camat itu dilakukan melalui pengangkatan, tidak dipilih langsung.

Sekiranya, pada suatu masa nanti, ada UU pemilihan camat, Anda jangan kaget kalau akan muncul mantan menteri, gubernur, dan bupati/wali kota untuk turut bertarung. Apa yang tidak mungkin di Indonesia ini sekalipun itu, misalnya, sudah sangat menjijikkan dan memuakkan, orang tidak peduli. Sebuah formula rapuh terlihat jelas di sini: Jika tidak memegang jabatan, mungkin ada pihak yang merasa kewarganegaraannya tidak lengkap. Oleh sebab itu, jabatan harus diburu jika perlu sampai ke ujung bumi. Situasinya akan semakin ruwet lagi jika nyonya besar lengkap dengan sanggul palsu yang bertengger di belakang kepalanya merasa sangat kesepian bila tidak lagi diberi kesempatan menggunting pita. Maka, sang suami jangankan diberi nasihat agar tahu diri, sang nyonya malah lebih bernafsu mendorong suaminya untuk maju dalam pemilihan dibandingkan dengan suaminya sendiri. Bukankah ini sebuah beban yang hampir tak terpikul? Bukankah ini bagian dari kultur politik yang kumuh?

Lukisan di atas hanyalah andai-andai. Bisa saja sang nyonya keberatan suaminya maju dalam pilkada, tetapi para pengeliling dengan sejibun kepentingan yang belum dikatakan dengan terus terang telah memaksa seorang tokoh untuk maju juga, sekalipun misalnya harus pakai tongkat karena cara berjalannya sudah oleng. Inilah Indonesia, Bung, setelah satu dasawarsa gerakan reformasi berjalan yang tampaknya sudah semakin kehilangan harga diri, jika bukan sudah mati suri.

Semestinya, jika semua orang tua mau berpegang kepada doktrin Ki Hadjar Dewantara ''tut wuri handayani'', generasi yang lebih muda pun harus didorong untuk mulai berkiprah memimpin bangsa ini. Apakah tidak ada lagi ruang untuk menyimpan rasa malu, sekiranya tokoh tua yang sudah punya nama secara nasional ''dilumpuhkan'' anak muda yang masih miskin pengalaman, tetapi mendapat tempat terhormat di hati para pemilih. Sebuah bangsa yang beradab dan dewasa pasti paham filosofi matahari, kapan harus terbit, naik, dan meninggi. Tetapi, juga akan sangat arif kapan pula harus turun di kala petang untuk kemudian tenggelam.

Saya tidak ingin lagi menyaksikan demo besar-besaran anak muda yang sudah tidak sabar untuk menurunkan bapak-bapaknya yang belum juga tahu diri. Jabatan mau dibawa ke liang kubur. Dan, bagi yang pahlawan telah tersedia peristirahatan terakhir di makam pahlawan, bukan? Alquran memperingatkan dalam terjemahan bebasnya, ''Berbanyak-banyak dalam mengumpulkan harta dan jabatan telah melengahkan kamu hingga kamu masuk kubur.'' (Lihat QS Altakatsur: 1-2). Ini termasuk ayat makiyah masa awal, turun di saat nabi masih menderita di Makkah karena perlawanan anggotanya sukunya (Quraisy) sungguh dahsyat ketika itu. Ayat ini ada di antara kritik tajam terhadap perilaku siapa saja, tidak semata-mata orang Quraisy yang sombong, juga terhadap mereka yang rakus terhadap harta, jabatan, dan pengikut sehingga lupa daratan, lupa lautan. Toh, semuanya itu, bila maut datang, tidak akan dibawa ke liang lahat. Sebab, bekal utama hanyalah iman dan amal saleh, bukan selain itu.

Namun, yang namanya manusia umumnya tidak pernah merasa puas dengan harta dan kedudukan sampai saat nyawanya direnggut malaikat maut. Tak seorang pun, tidak nabi, yang berani menolak perintah Allah melalui malaikat pencabut nyawa ini. Mahatma Gandhi kabarnya pernah bertutur, ''Dunia sebenarnya cukup bagi seluruh umat manusia, tetapi tidak pernah cukup bagi mereka yang rakus.'' Harta dan kedudukan adalah penaka orang meneguk air laut, semakin diteguk semakin dahaga, kecuali mereka yang siuman.

Akhirnya, kultur politik pemborong bila tetap dibiarkan merajalela pasti akan merusak perjalanan demokrasi ke arah yang lebih sehat dan segar. Orang yang gamang hidup tanpa jabatan adalah mereka yang tidak punya kepercayaan diri, sekalipun selintas terlihat seperti berwibawa dengan tanda-tanda pangkat kebesaran di dada dan bahunya: Kewibawaan palsu!

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: