Saturday, May 10, 2008

bahaya riba dalam perekonomian dunia

Oleh: agustianto

Para ekonom modern dewasa ini, telah menyadari, bahwa secara ilmiah dan empiris, bunga mengandung mudharat dan kezaliman besar bagi perekonomian umat manusia. Namun, banyak tokoh agama Islam yang tidak memiliki latar belakang keilmuan ekonomi, belum memahami kemudratan bunga bagi perekonomian. Mereka memahami bunga secara dangkal dan hanya memandangnya dari perspektif ekonomi mikro, padahal persoalan riba lebih merupakan studi ekonomi makro. Membahas riba tidak boleh hanya dari sisi ekonomi mikro, tetapi juga dari sisi ekonomi makro, bahkan sisi makronya jauh lebih besar.

Akibat kedangkalan ilmu pengetahuan tentang ilmu moneter, maka masih banyak tokoh dan para ulama/ustaz yang berpandangan “sesat” tentang bunga. Sesat dalam hal ini adalah memandang bunga sebagai praktik yang sah-sah saja. Padahal semua ahli ekonomi Islam sedunia telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Ijma’ tersebut merupakan kesimpulan penelitian ilmiah dari sejumlah professor, seperti Prof. Dr M.Umer Chapra, Prof.Dr.M.Akran Khan, Prof. Dr. Yusuf Qardhawi dan Prof Dr. Ali Al-Shabuni. Menurut penelitian mereka, tidak ada pakar ekonomi Islam yang membolehkan bunga bank. Pakar ekonomi Islam di sini tidak termasuk ahli agama Islam yang tidak faham tentang ilmu ekonomi. Ahli fikih yang tidak faham ilmu ekonomi tidak termasuk pakar ekonomi Islam. Ijtihad ahli fiqh dalam bidang ekonomi hanya bisa diterima jika dia menguasai ilmu ekonomi, jika tidak, maka fatwanya bisa menyesatkan.

Sebagaimana disebut di awal, bahwa bunga secara factual telah menimbulkan kemudratan besar bagi umat manusia. Tidak terhitung jumlah ekonom yang berkeyakinan bahwa krisis ekonomi yang melanda banyak negara dan terjadi terus menerus disebabkan oleh sistem ribawi.

Roy Davies dan Glyn Davies dalam buku “A History of Money from Ancient Time to the Present Day” (1996), menulis dan menyimpulkan, “Sepanjang abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis. Krisis ini melanda banyak negara tidak terkecuali Amerika, Inggris, Perancis Jepang, dan negara-negara dunia ketiga. Kesemuanya merupakan krisis sektor keuangan”. Gempuran krisis bisa memiskinkan ratusan juta bahkan milyaran umat manusia di berbagai negara. Indonesia salah satu contoh yang menjadi sasaran dari gempuran krisis tersebut.

Dalam memberikan tanggapan terhadap dampak bunga, ekonom kenamaan W.C. Mitchel dengan tepat sekali menuturkan bahwa bunga memainkan peranan penting dalam mengakibatkan timbulnya krisis.

Jadi secara factual dan empiris, telah terbukti bahwa sistem bunga banyak menimbulkan bencana di berbagai negara dan bangsa. Bunga telah menciptakan ekonomi suatu negara menjadi volatile (gonjang ganjing dan tidak stabil). Hal ini dikarenakan bunga telah membuka jalan bagi kegiatan spekulasi melalui transaksi derivatif. Jika ekonomi suatu negara tidak stabil (volatile), maka akan terjadi penurunan ekspor dan investasi. Sebuah penelitian yang dilakukan Esquivel and Larrain (2002) tentang dampak volatilitas nilai tukar G-3 pada negara-negara berkembang, menyimpulkan bahwa kenaikan volatilitas 1 % pada negara-negara berkembang akan mengurangi ekspor negara-negara berkembang sebanyak 2 %. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa volatilitas juga secara signifikan akan mengurangi investasi.

Sejumlah ekonom lainnya juga memberikan pandangan yang buruk terhadap bunga antara lain Minsky (1985), Bernante and Gertler (1989), Greenwald and Stiglizt (1990). Mereka berpandangan bahwa sistim suku bunga mengakibatkan fluktuasi dan ketidakstabilan, Sehingga dalam literatur ekonomi Barat ada semacam ‘tradisi’ walaupun bukan termasuk sebagai pandangan utama, yang mengindikasikan bahwa setan-setan ekonomi saat ini adalah hasil dari suku bunga dan sangat berhubungan dengan ekspansi dan kontraksi pinjaman bank. Karena itu Thomas Jefferson mengatakan “I Sincerely believe that banking establishments are more dangerous than standing armies”.

Sementara itu, Maurice Allaice (1993) mengatakan pula , tujuan utama dari kebijakan fiskal dan moneter dalam ekonomi modern (konvensional) gagal tercapai karena fluktuasi siklikal sebagai hasil dari sistim suku bunga.

Bunga juga menciptakan inflasi di mana-mana sepanjang sejarah. Roy Davis dan Glyn Davis menyebutkan banyak negara mengalami inflasi secara hebat yang dia sebut sebagai hyper inflasi, seperti Jerman, Perancis, Hongaria, Austria, Inggris, dan negara-negara di Amerika latin.

Dalam studi ekonomi makro, teori ekonomi mengajarkan bahwa bunga tersebut menurunkan investasi. Jika investasi menurun maka otomatis akan menurunkan produksi dan akibat berikutnya bunga menciptakan pengangguran dan kemiskinan. Tegasnya. Bunga mengakibatkan bangkrutnya sektor produktif, dan menciptakan pengangguran bagi kehidupan masyarakat. Bayangkan jika fenomena ini melanda dunia, maka bisa dipastikan kemiskinan semakin menggurita.

Sebenarnya, ekonom ternama, Lord Keyness, pernah mengakui dan menyimpulkan bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan macetnya pasar atau terhentinya kegiatan industri dan kemudian secara negatif mempengaruhi penerimaan yang merupakan sumber produksi. Penyimpanan (tabungan) nasabah di bank akan berjalan terus menerus, meski suku bunga turun sampai titik nol.

Selanjutnya, menjadi fakta yang terbantahkan bahwa negara-negara penghutang dijerat hutang yang besar, 30 % di antaranya adalah hutang bunga. Itu bukan saja atas modal yang dipinjam, tetapi juga bunga atas bunga. Inilah yang disebut dengan bunga yang berlipat ganda (compound interest). Akhirnya bunga telah menciptakan hutang menumpuk yang tak terbayar. Berikut ini data hutang negara dunia ketiga sejak tahun 1973 sampai 2000.

Sumber : IMF 2000

Perangkat kapitalis, i.e. sistem moneter berbasis bunga menjadi instrumen utama yang mendukung kapitalisasi. Pemilik modal dapat memperkaya diri tanpa harus bekerja keras. Dalam sistem bunga, terjadi perpindahan aset dari debitur kepada kreditur secara tidak adil, karena mengambil keuntungan tanpa memikul resiko atas proyek usaha yang dikelola si peminjam adalah sebuah ketidakadilan. Karena kapitalisasi yang terbentuk sedemikian rupa di mana terjadi perpindahan kekayaan dari negara dunia ketiga ke negara-negara maju (krditur), maka terjadilah kesenjangan yang semakin tajam antara negara-negara pemakan riba dengan negara-negara berkembang yang menjadi korban dari sistem riba. Dalam hal ini Ahmad Kameel Mydin Meera,dalam tulisannya Theft of Nations Returning to Gold mengatakan, “Bunga memusatkan kekayaan pada kaum minoritas dengan membebankan kaum mayoritas”.

Di bawah ini terlihat dengan jelas kesenjangan pendapatan tersebut sejak tahun 1965-1990.

Shares of Total World Income, 1965-1990

Sumber :L IMF 2000

Dari berbagai data, teori-teori ekonomi serta fakta-fakta ekonomi, jelaslah bahwa system bunga menimbulkan kemudhraran besar bagi kehidupan kemanusiaan. Dengan demikian bunga merupakan sumber kehancuran ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah sesungguhnya yang dimaksudkan Alquran pada surah Ar-Rum (39-41).”Apa aja yang berikan dalam bentuk bunga supaya bertambah harta manusia (terjadi pertumbuhan ekonomi), maka sesungguhnya hal itu tidak bertambah menurut Allah”. Dalam ayat selanjutnya, yakni ayat 41 Allah berfirman, ”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia, supaya kami rasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Menurut ayat ini praktik bunga merupakan fasad fil ardhi yang menimbulkan krisis, volatilitas, inflasi, penurunan investasi dan produksi, kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan pendapatan serta berbagai kekacauan ekonomi dan bencana ekonomi lainnya. Karena itu, tidak ada kata yang bisa menjadi kesimpulan, kecuali ”Bunga mutlak harus kita tinggalkan. Hijrah ke sistem syari’ah mutlak kita lakukan”.

(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Islam UI)

Sumber :www.fai.uhamka.ac.id

No comments: