Oleh: Rokhmat S. Labib
Iftitah
Tema tentang masyarakat madani mulai memudar dari wacana publik. Pada hal, perbincangan tentang masyarakat madani pernah menghangat seiring dengan perjalanan reformasi di Indonesia. Rezim suharto yang korup dan otoriter telah mengantarkan kesimpulan pentingnya membentuk masyarakat madani.
Nasib istilah masyarakat madani ini pun hampir sama dengan istilah reformasi itu sendiri. Setiap orang meneriakkan reformasi. Semua tokoh ingin menyandang gelar reformis. Kelompok dan partai politik tak ada yang mau dijuluki pro-status quo. Mereka semua mengatakan sebagai pejuang reformasi. Tetapi sayang sekali, hanya sedikit orang yang mengucapkannya mengerti hakikat sebenarnya tentang makna reformasi. Ini terjadi karena kata reformasi begitu bias, sehingga setiap orang bisa dan berhak menafsirkan makna reformasi sendiri-sendiri. Fakta seperti ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menguasai jaringan ekonomi dan media massa. Dengan media tersebut, kelompok ini mampu menggiring opini publik untuk menyetujui, bahwa merekalah kelompok pejuang reformasi. Fakta akhirnya juga menunjukkan, bahwa opini masyarakat pada akhirnya menyetujui opini menyesatkan tersebut, meskipun sebenarnya kelompok yang dicap reformis tersebut sama sekali tidak membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik, kecuali hanya perubahan figur, yang bisa jadi lebih brengsek daripada yang digusur.
Demikian pula istilah masyarakat madani. Istilah ini banyak disebut sebagai sebuah konsep masyarakat yang dicita-citakan. Sama dengan reformasi makna masyarakat madani begitu bias, sehingga masing-masing orang dan kelompok bisa memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang maksud dari kata masyarakat madani tersebut. Juga amat disayangkan, kendati gambaran masyarakat madani ini masih bias, kabur dan samar tak sedikit yang menolak konsep tersebut.
Melacak Istilah Masyarakat Madani
Kata Madani berasal dari bahasa Arab مدنyang artinya menempati suatu tempat (Ar Raziy dalam Mukhtar as Shihah hal.742). Dari kata inilah kemudian dibentuk kata مدينة yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan kata المدن adalah البادية yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk jamaknya adalah مدائن atau مدن . Kata مدني merupakan bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti yang memiliki orang kota (من أهل المدينة.).
Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, kata madani --juga kata hadlarah--, ini digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang berarti civilization yang sering dipakai dalam perbincangan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat negara, madani juga memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam konteks hukum, madani berarti bukan pidana. Sehingga, hukum perdata sering disebut قانون مدني, seperti undang-undang sipil perkawinan disebut dengan قان الزواج المدني . Ketika ada istilah civil society yang digunakan para pemikir barat untuk merujuk ciri khas masyarakat tertentu, maka diterjemahkan dengan المجتمع المدني, atau kemudian diindonesiakan menjadi masyarakat madani atau masyarakat sipil. Jika yang dimaksud masyarakat madani adalah civil society, maka untuk menilainya apakah sesuai dengan Islam atau bukan, kita harus melacak konsep civil society tersebut.
Gambaran Civil Society
Konsep pemerintahan yang sekarang banyak diterapkan oleh banyak negara sangat banyak dipengaruhi oleh para pemikir barat. Semisal penyebutan berbagai jenis pemerintahan. Dalam istilah pemikir barat, jika pemerintahan diserahkan kepada seseorang disebut dengan pemerintahan monarki. Bila diserahkan kepada sekelompok orang disebut aristokrasi. Sedangkan bila diserahkan kepada banyak orang atau rakyat disebut dengan demokrasi.
Kecenderungan umum yang sekarang terjadi, bentuk pemerintahan demokrasi ini paling diminati dibandingkan dengan dua bentuk lainnya. Demokrasi dianggap paling adil dan rasional, karena dalam mengelola negara melibatkan seluruh rakyat. Berbeda dengan bentuk monarki dan aristokrasi yang sangat mungkin melakukan kedzaliman kepada rakyatnya, maka persoalan seperti itu bisa dicegah dalam kehidupan demokrasi. Karena dalam demokrasi kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, bagaimana mungkin rakyat akan mendzalimi dirinya sendiri.
Namun demikian, fakta menunjukkan lain. Dalam demokrasi ternyata belum bisa menghindarkan diri dari bentuk-bentuk penindasan pada rakyat. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, sebenarnya pelibatan rakyat dalam pemerintahan hanya terjadi pada saat pemilu. Semua partai politik bertarung untuk memperebutkan suara rakyat agar memilihnya. Caranya dengan mengobral janji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Setelah pemilu, tidak lagi terjadi hubungan partai politik dengan rakyat pemilih. Tidak pula terjadi mekanisme kontrol antara rakyat pemilih dengan parpol. Sehingga parpol dalam rangka untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan bisa dengan mudah mengubah program-program yang disodorkan kepada masyarakat. Demikian juga ketika kekuasaan sudah di dapat rakyat tidak dilibatkan dalam mengelola negara. Rakyat kembali dirayu manakala musim pemilu tiba. Janji-janji memperjuangkan aspirasi kembali diobral dalam panggung kampanye. Kedua, dalam demokrasi sangat memungkinkan terjadinya bentuk dominasi mayoritas atas minoritas. Karena dalam demokrasi yang diperhatikan adalah jumlah suara, tentu saja dalam setiap pembuatan perundangan dan kebijakan akan dimenangkan oleh suara mayoritas. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya penindasan mayoritas atas minoritas. Kemungkinan ini semakin terbuka lebar karena kekuasaan secara pasti dipegang oleh mayoritas.
Untuk menutup aspek negatif demokrasi itu, maka diperlukan sebuah mekanisme kontrol yang amat kuat dari masyarakat. Agar memiliki kekuatan yang cukup, maka kontrol itu harus dilakukan oleh lembaga-lembaga otonom sebagai perimbangan pada kekuasaan negara. Dalam konteks ini berarti harus selalu ada lembaga atau individu yang berhadapan dengan kekuasaan negara. Kekuatan inilah yang disebut dengan oposisi. Kelompok oposisi ini dianggap sebagai rakyat yang diperintah atau kekuatan sipil. Rakyat harus diberi kebebasan untuk mengartikulasikan gagasan dan aspirasinya, tanpa mendapatkan tekanan dan dominasi negara. Konsep penataan masyarakat seperti inilah yang disebut dengan masyarakat madani. Sehingga adanya kelompok oposisi merupakan salah satu ciri penting dalam masyarakat madani, bahkan merupakan sebuah keharusan. Ciri lain dari masyarakat madani adalah pluralisme. Pluralisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus lah dibagi-bagikan kepada berbagai golongan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan. Pluralisme juga suatu paham yang menoleransi pemikiran yang beragam (agama, budaya, peradaban, teknologi dll) dalam masyarakat.
Dari paparan di atas, konsep masyarakat madani sebenarnya masih merupakan bentuk turunan dari konsep demokrasi. Sebab, konsep masyarakat madani masih belum beranjak dari ide dasar demokrasi, yakni kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Konsep masyarakat madani masih satu lingkup dengan demokrasi dan justru yang bertujuan untuk menutupi borok-borok demokrasi. Berarti untuk mengkaji konsep masyarakat madani ini dalam pandangan Islam, harus dikaji terlebih dahulu pandangan demokrasi dalam pandangan Islam.
Realita Kerusakan Demokrasi
Sebelum kita menyoal demokrasi dan Islam, ada baiknya jika kita sedikit menelaah fakta demokrasi itu sendiri, apakah demokrasi memang mampu menyelesaikan persoalan kehidupan kita.
Demokrasi tegak di atas tonggak suara mayoritas dengan tujuan agar tidak terjadi penindasan golongan minoritas atas golongan mayoritas (bagaimana dengan penindasan golongan mayoritas atas golongan minoritas?). Demokrasi menghendaki supaya kehendak golongan mayoritas lah yang mengendalikan roda pemerintahan. Dengan begitu, hukum-hukum yang diterapkan dalam negara penganut demokrasi tersebut adalah hukum-hukum yang dikehendaki golongan mayoritas.
Ada beberapa hal yang bisa kita catat mengenai persoalan ini, di antaranya adalah:
Dengan suara mayoritas, perbedaan satu suara saja akan mampu memaksakan kehendak atas separuh suara lainnya. Sebagai contoh, jika di antara seribu wakil rakyat ada lima ratus suara yang menghendaki pembolehan zina dan satu suara abstain, maka itulah yang akan keluar sebagai hukum mengalahkan empat ratus sembilan puluh sembilan suara yang tidak sependapat. Belum lagi kalau ada lima perbedaan pendapat; dua ratus satu suara bisa mengalahkan tujuh ratus sembilan puluh sembilan suara lainnya.
Tidak ada standar hukum yang jelas karena peraturan, undang-undang dan hukum yang terlahir dari suara mayoritas (bahkan dari kesepakatan bulat pun) sama sekali tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan. Jika suara mayoritas itu berasal dari orang-orang yang tidak ahli, sudah tentu hasilnya akan jauh dari kebenaran. Demikian halnya keputusan yang diambil dari orang-orang yang cenderung untuk berbuat maksiat, sudah tentu hukum-hukum yang rusak lah yang akan diwujudkan.
Suara mayoritas membuka peluang bagi orang-orang yang berkuasa atau berharta untuk membeli dan atau memanipulasi suara.
Suara mayoritas (dalam pemilu) menghargai suara seorang cendekiawan yang berilmu tinggi dan berwawasan luas senilai dengan suara seorang pelacur yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Oleh karena itu, kondisi kebodohan mayoritas rakyat merupakan peluang emas bagi setiap partai untuk menguasai pemerintahan dengan cara yang sangat mudah walaupun mereka tidak mempunyai konsep pemerintahan yang jelas.
Mewujudkan hukum yang sesuai dengan kehendak rakyat adalah sesuatu hal yang mustahil tercapai karena di setiap kepala manusia ada keinginan yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Jika demikian, bagaimana bisa mewujudkan satu hukum dari berjuta-juta keinginan rakyat? Oleh karena itu, yang terjadi sebenarnya adalah perwujudan hukum dari kehendak para wakil rakyat semata yang dinisbahkan kepada kehendak rakyat. Kemudian seluruh rakyat dipaksa tunduk pada hukum mereka.
Pada faktanya, mewakilkan aspirasi rakyat pada partai-partai demokrasi yang ada adalah suatu kebohongan besar. Partai-partai itu hanya butuh dukungan rakyat untuk memenangkan pemilu sehingga nantinya mereka lah yang akan mengendalikan pemerintahan dengan kehendak mereka. Persoalan ini muncul dikarenakan dua faktor. Pertama, antara rakyat dengan partai-partai tersebut tidak ada kesamaan pemikiran yang mengikat mereka sehingga kehendak partai sama sekali tidak mewakili kehendak rakyat. Kedua, bentuk pertanggungjawaban pada rakyat adalah sesuatu yang abstrak--tidak terwujud; padahal segala suatu yang terlepas dari aspek tanggung jawab, hampir bisa dipastikan akan dilakukan secara sembarangan.
Itulah beberapa bukti kerusakan demokrasi. Lepas dari persoalan tidak adanya standar hukum yang benar dan jelas, demokrasi hanya menjual mimpi tentang kehendak rakyat. Yang sebenarnya terjadi adalah pembodohan rakyat, di mana mereka secara tidak sadar dibawa pada bentuk penghambaan manusia kepada manusia lain--baik para wakil rakyat maupun pihak-pihak yang mampu mengendalikan suara--karena hukum-hukum dari hawa nafsu mereka lah yang dipaksakan untuk diterima rakyat. Rakyat hanya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan mereka dengan mengatakan “ini kehendak rakyat”.
Islam Versus Demokrasi
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah saw. Lihat QS. An-Najm : 3-4, QS. Al Qadr :1.
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya) :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” (QS. An Nisaa’ : 59)
“Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy-Syuraa : 10)
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen--yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama-- dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Aqidah inilah yang menjadi alasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah--yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah--dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia. Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.
Demokrasi dalam pandangan Islam
Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok: Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.
Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan dan hukum apa pun menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidensil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.
Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (Animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa yang lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT saja lah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengabdosian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam sebuah aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri’. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Nisaa’ :65)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
Masih ada puluhan ayat dan hadits lain seperti QS. An Nisaa’: 60, QS. Al Maidah: 50, QS. An Nuur: 63, QS. An Nisaa’: 59, QS. Asy-Syuura: 10 dan lain -lain, dengan pengertian yang qath’i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, yakni bahwa Allah saja lah yang menjadi Musyarri’, bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya.
Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda :
“Siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai’at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah” (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan :
“Kami telah membai’at Nabi saw untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai” (HR Bukhari).
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Meskipun syara’ telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat --yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai’at-- akan tetapi syara’ tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan ma’shiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda : ‘Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah.”
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalim yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.
Konsep Masyarakat dalam Islam
Berbeda dengan masyarakat madani yang mengharuskan adanya kekuatan penyeimbang kekuasaan negara, bagi Islam konsep masyarakat adalah suatu yang utuh, tak terpecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari jama’ah. Jama’ah tak bisa dipisahkan dari keberadaan Daulah (negara). Bagai tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Dengan amat indahnya Rasulullah menggambarkan dengan sabdanya :
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya adalah bagaikan kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian mereka berada di atas sebagian lainnya berada di bawah. Jika orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata : “Andai saja kami lubangi (kapal ini) pada bagian kami, tentu kami tak akan menyakiti orang yang berada di atas kami. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh mereka yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki) akan binasalah seluruhnya. Dan jika mereka menghendaki keselamatan --dengan mencegahnya-- maka akan selamatlah semuanya” (HR.Bukhori No 2493 dan 2686).
Dari sinilah kekhasan pandangan Islam tentang masyarakat. Sebab tiap individu dalam masyarakat Islam --merupakan bagian dari jama’ah-- yang harus memiliki pemikiran-pemikiran yang menghubungkan antar mereka dan menjadikan kehidupannya berlandaskan (ide-ide/fikroh) tersebut. Mereka harus memiliki satu perasaan yang akan mempengaruhi tingkah laku mereka dan mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Mereka harus pula memiliki satu aturan yang dapat memecahkan persoalan-persoalan kehidupan secara keseluruhan (An Nabhani, Nidzomul Islam, Al Quds, 1953 M).
Dalam Islam bentuk pemerintahan dan masyarakat yang ada di dalamnya sangatlah khas dan unik. Dimana antara satu dan yang lainnya terjalin hubungan yang harmonis dan berkesinambungan. Keberadaan sebuah Daulah (Negara) bagi Islam sangat dibutuhkan dalam rangka untuk melaksanakan hukum-hukum (Syari’at) Islam dan mengemban risalah dari nash-nash syara’ yang mulia, yaitu Al Qur’anul Karim ke seluruh alam.
Atas dasar inilah baik aparat pemerintahan dan ummat (rakyat) dalam masyarakat Islam untuk tunduk pada hukum-hukum syara’. Dengan demikian ide pluralisme jelas tidak ada tempat dalam Islam. Karena semua komponen sebuah negara akan berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah diturunkan Allah SWT. demi terwujudnya masyarakat Islam yang didambakan. Sehingga selain hal-hal yang telah diterangkan di atas bahwa kedaulatan di tangan syara’, kekuasaan berada di tangan ummat dan ketaatan yang menyeluruh kepada penguasa muslim, kaum muslimin juga harus melakukan pengawasan terhadap pemerintahan.
Allah SWT telah mewajibkan untuk taat kepada penguasa, memerintahkan mereka untuk senantiasa mengawasi dan mengoreksi tingkah laku penguasa. Kekhawatiran bahwa sistem pemerintahan dalam Islam bisa menjadi totaliter dan diktatorisme adalah suatu hal yang tidak terbukti. Karena Islam dengan tegas memerintahkan kaum Muslimin untuk mengawasi para penguasa dan meluruskan langkah-langkahnya apabila mereka tidak memperdulikan hak dan urusannya, atau tidak menunaikan kewajibannya terhadap rakyat, atau melalaikan salah satu urusannya, atau menyalahi hukum-hukum Islam. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:
“Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang dzalim.”
Juga sabdanya :
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah, dan seorang laki-laki yang berdiri menyampaikan kebenaran dihadapan penguasa Dzalim lalu mati dibunuhnya.”
Khatimah
Jelaslah, civil society yang kemudian diterjemahkan dengan istilah masyarakat sipil atau masyarakat madani bukanlah ciri khas masyarakat yang diinginkan oleh Islam. Kaum muslimin tidak boleh terpesona dengan sebuah konsep yang dibungkus dengan istilah bahasa Arab, sehingga seolah-olah konsep itu berasal dari Islam atau sesuai dengan Islam.
Dalam kondisi keterpurukan umat Islam di seluruh dunia ini, kaum muslimin seharusnya menyadari bahwa penyebab terjadinya berbagai problematika, musibah dan tragedi yang menimpa kaum muslimin adalah tidak diterapkannya syariat Islam. Karena, selama Islam belum diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan, maka umat Islam tidak akan pernah bisa melepaskan dari berbagai problem yang menimpanya.
Untuk mewujudkan Islam dalam kehidupan mereka dalam seluruh aspek kehidupan. Yang pertama kali harus dilakukan bagi umat adalah membebaskan dirinya dari virus-virus pemikiran kufur (seperti sekularisme, demokrasi, HAM, masyarakat sipil dll) yang sekarang mencengkeram benak kaum muslimin. Setelah itu, bersama menyebarkannya ke tengah masyarakat, sehingga menjadi opini publik. pada akhirnya, semua umat Islam, bersama-sama menuntut diberlakukan syariat Islam dalam kehidupan. Wallahu a’lam.
Sumber :www.fai.uhamka.ac.id
No comments:
Post a Comment