Saturday, May 17, 2008

melahirkan mujtahid ekonomi islam yang kerdibel

Oleh: agustianto

Perkembangan sains dan teknologi modern telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk terhadap kegiatan ekonomi bisnis, seperti tata cara perdagangan melalui e-commerce, system pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, ekspor impor dengan media L/C, dsb.

Demikian pula perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti asuransi, mortgage, leasing, obligasi, mutual fund, capital market, pasar uang, sampai kepada, instrumen pengendalian moneter oleh bank sentral, exchange rate, waqf saham, MLM, jaminan fiducia dalam pembiayaan, jaminan resi gudang, dsb. Produk-produk perbankan, asuransi dan lembaga keuangan syariah lainnya juga harus dikembangkan secara inovatif, agar bisa memenuhi kebutuhan pasar. Semua ini menjadi tantangan bagi para pakar syariah.

Untuk memberikan jawaban secara tepat dan relevan dengan kemajuan zaman, diperlukan pakar-pakar ekonomi syariah yang handal dan credible. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan sosial dalam bidang muamalah secara cepat, akibat dari akselerasi globalisasi. Sehububungan dengan itu, maka pengajaran fiqh muamalah pun tidak cukup secara a priori bersandar (merujuk) pada kitab-kitab klasik semata, karena formulasi fiqh muamalah masa lampau sudah banyak yang mengalami irrelevansi dengan konteks kekinian. Rumusan-rumusan fiqh muamalah tersebut harus diformulasi kembali agar bisa menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern.

Rumusan fiqh muamalah yang “lengkap”, berlimpah dan mendatail yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik, sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahalu dalam memecahkan dan menjawab tantangan dan problematika ekonomi di zamannya. Tentunya formulasi fiqh mereka banyak dipengaruhi atau setidaknya diwarnai oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi yang ada pada zamannya. Karena itu terdapat kaedah populer

Dengan demikian, konsep-konsep dan formulasi fiqh klasik tersebut perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zaman, tempat dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.

Untuk melakukan ijtihad dalam memberikan solusi dan jawaban bagi problematika ekonomi dan keuagan syariah dewasa ini, kita harus melahirkan mujtahid-mujtahid ekonomi Islam yang berkualitas dan memiliki ilmu yang integraif. Adapun kualifikasi yang harus dicapai untuk melahirkan para mujtahid ekonomi Islam tersebut antara lain : Pertama, Menguasai secara mendalam disiplin ilmu ushul fiqh, qawaidh fiqh, falsafah hukum Islam, dan ilmu tarikh tasyri. Disiplin-disiplin ilmu ini mesti dikuasai oleh ahli ekonomi Islam, apalagi para anggota Dewan Syariah Nasional dan dosen pascasarjana ekonomi Islam yang membidangi materi fiqh muamalah dan ushul fiqh. Saat ini masih banyak anggota Dewan Syariah Nasional yang tidak memiliki latar beLakang ilmu-ilmu syariah yang memadai, sehingga keterbatasan keilmuan syariah menjadi hal yang lumrah, Hal ini dikarenakan ada di antara mereka ada yang tidak berlatar belakang pendidikan ilmu syariah. Menurut KH. Ma’rif Amin pada Studium General di Pascasarjana UI Maret 2008, rekruitmen anggota tersebut mirip dengan perekrutan TNI di tahun 1945. Kondisi ini harus dimaklumi untuk saat ini, karena kelangkaan intelektual yang komprehensif ilmunya. Meskipun demikian, upaya DSN dan kinerjanya harus diacungi jempol dalam mengeluarkan fatwa-fatwa secara produktif. Namun, di masa depan kita mengharapkan para anggota Dewan Syariah benar-benar fiqur yang handal dan ahli (expert) dalam ilmu-ilmu syariah dan memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer. Ilmu-ilmu syariah yang harus dimiliki Dewan Syariah Nasional, meliputi ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyrik, falsafah tasyrik dan maqashid syariah,

Untuk menguasai ilmu ushul fiqh saja, menurut Ibnu Taymiyah paling tidak harus dibaca dan ditelaah 100 buku/kitab tentang ilmu ushul fiqh, termasuk muqaranah mazahib fil ushul fiqh. Selain itu, ahli ekonomi syariah harus menguasai ratusan qaidah-qaidah fiqh ekonomi terapan. Kitab Undang-Undang Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dari Khilafah Turki Usmani (1876 M) yang berisi 100 qaidah fiqh ekonomi sangatlah tidak memadai, karena terlalu bercorak Hanafi centris. Padahal terdapat ratusan qaidah lain dari mazhab yang lain. Karena itu perlu banyak membaca literature Arab tentang qaidah-qaidah fiqh ini. Ilmu tarikh tasyrik dan falsafah tasyri’ juga mesti dimiliki para ulama ekonomi syariah. Kalau tidak, akan menimbulkan kekakuan dan kebingungan dalam menjawab persoalan-persoalan ekonomi. Pengetahuan tentang asbun nuzul, nasakh mansukh, merupakan bagian dari pengetahun ilmu ushul fiqh. Yang lebih penting dalam ushul fiqh adalah pengetahunan tentang maqashid syariah. Untuk menguasa ini wajib dibaca dan dikuasai Al-Muwafaqat Al-Syatibi, Al-Mustashfa dan Syifaul Ghalil Al-Ghazali, juga perlu dilihat Risalah ath-Thufi, sebagai perbandingan.

Kedua penguasaan bahasa Arab dan Inggris, Ketiga, menguasai ayat-ayat dan tafsir tentang ekonomi dan keuangan (sebaiknya hafal ayat-ayat tersebut) , demikian pula hadits-hadits tentang ekonomi dan ulumul hadits. dan sebaiknya juga menguasai pemikiran ekonomi para ilmuwan Islam klasik, seperti Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Ibnu Sina, Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Abu Yusuf, Asy-Syaybani, Ibnu Maskawaih, Al-Mawardy, Asy-Syatibi, Ibnu Qudamah, Ibnu Rusydi sampai Ibnu ‘Abidin. dan lain-lain. Keempat, memahami dengan baik masalah ekonomi keuangan kontemporer. (Akan semakin baik dan sempurna jika pernah terlibat sebagai praktisi) dan semakin baik lagi jika menguasai statistik dan ekonometrik. Tetapi ini tidak menjadi syarat bagi anggota Dewan Syariah atau Dewan Pengawas Syariah. Ilmu tersebut diperlukan para peneliti di Perguruan Tinggi atau yang membidangi manajemen resiko.

Lebih jauh, sebagai kualifikasi kelima, ulama sekarang harus juga belajar ilmu ekonomi mikro dan makro, akuntansi dan teknik perbankan dan keuangan. Tanpa ilmu ekonomi makro, pemahaman tentang riba pasti tidak tepat dan jauh dari sempurna. Untuk menghasilkan fiqur ahli seperti ini, dibutuhkan universitas (pendidikan tinggi) mulai dari S1 sampai S3 yang secara khusus mendalami ilmu-ilmu ekonomi syariah. Keahlian khusus tersebut lebih akan bisa menghasilkan ulama yang lebih kredibel, jika sejak usia dini (misalnya ibtidaiyah) telah bergelut dengan disiplin ilmu-ilmu syariah di atas. Melalui pendidikan di S1, S2 dan S3, pemahaman ilmu ekonomi modern dan perbankan bisa seimbang dengan ilmu-ilmu syariah. Apalagi ketika di level tsanawiyah sudah dijarkan materi ekonomi dan perbankan Islam. Keenam, pakar ekonomi syariah harus khazanah pemikiran fiqh muamalah klasik dari berbagai mazhab dan ulama sepajang sejarah.

Bila keenam syarat ini dipenuhi, Insya Allah masa depan ekonomi syariah akan makin mantap, berkembang dan maju dengan baik. baik secara akademis keilmuan maupun secara praktik empiris di lapangan.

(Penulis adalah Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ushul Fiqh Ekonomi dan Fiqh Muamalah (for Islamic Banking and Finance) pada Pascasarjana UI, IEF S2 Universitas Trisakti, Program Magister Universitas Paramadina dan Univ. Az-Zahro)

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: