Saturday, May 17, 2008

wakaf tunai dan kesejahteraan umat

Oleh: Abdul Aziz Setiawan

Salah satu instrumen Ekonomi Islam yang sangat unik dan sangat khas dan tidak dimiliki oleh sistem ekonomi yang lain adalah Wakaf. Masyarakat non-Muslim boleh memiliki konsep kedermawanan (philanthropy) tetapi ia cenderung ‘seperti’ hibah atau infaq, berbeda dengan wakaf. Kekhasan wakaf juga sangat terlihat dibandingkan dengan instrumen zakat yang ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat mustahiq.

Wakaf adalah sebentuk instrumen unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilkan pribadi menuju kepemilikan masyarakat Muslim yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).

Sayangnya potensi wakaf banyak yang kurang dimanfatkan secara optimal, sehingga tidak terjadi pembesaran manfaat secara luas. Luas tanah wakaf masyarakat menurut data Depag (2003) mencapai 1.535,19 km²--jauh lebih luas bila dibandingkan dengan negara Singapura—yang tersebar pada 362.471 lokasi di seluruh Indonesia. Tanah wakaf ini sebagian besar hanya digunakan untuk fasilitas ibadah dan pendidikan saja. Belum terlihat pemanfaatan lebih optimal secara multifungsi terutama kemanfaatan ekonomis.

Potensi Ekonomi Wakaf Tunai

Dalam dekade terakhir terjadi perubahan yang sangat besar dalam masyarakat Muslim terhadap paradigma wakaf ini. Wacana dan kajian akademis ini kemudian merebak ke Indonesia enam tahun terakhir. Salah satu pembahasan yang mengemuka adalah wakaf tunai (dengan uang). Wakaf tunai sebenarnya sudah menjadi pembahasan ulama terdahulu; salah satunya Imam az-Zuhri yang membolehkan wakaf uang (saat itu dinar dan dirham). Bahkan sebenarnya pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i juga membolehkan wakaf uang. Mazhab Hanafi juga membolehkan dana wakaf tunai untuk investasi mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil digunakan untuk kepentingan umum.

Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan ummat. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat Muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan (Rp 1,2 trilyun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).

Apakah ini realistis? Model wakaf semacam ini akan memudahkan masyarakat kecil untuk ikut menikmati pahala abadi wakaf. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi Muwaqif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf tunai. Disebutkan 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga nonkeagamaan. (PIRAC, 2002).

Strategi Optimalisasi Kemanfaatan

Ada beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf dan wakaf tunai dalam rangka untuk menopang pemberdayaan dan kesejahteraan ummat.

Pertama, optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf dan wakaf tunai. Seluruh komponen ummat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat. Di pulau kecil Sisilia (Italia), ketika berada di bawah kekuasaan Islam, memiliki sekitar 300 sekolah yang seluruhnya dibiayai dari harta wakaf. Ini karena gerakan wakaf telah tersosialisasi secara luas di tengah masyarakat.

Kedua, melakukan optimalisasi pemanfaatan wakaf untuk memberikan kemanfaatan secara lebih luas. Tanah wakaf memiliki potensi yang sangat besar dalam memajukan sektor pendidikan, kesehatan, perdagangan, agrobisnis, pertanian dan kebutuhan publik lainnya, terutama kebutuhan masyarakat miskin. Tanah wakaf dapat dioptimalkan pemanfaatannya sesuai dengan posisi dan kondisi strategis masing-masing; terutama dikaitkan dengan nilai manfaat dan pengembangan ekonomi.

Ketiga, membangun institusi pengelola wakaf yang profesional dan amanah. Pemerintah Arab Saudi, misalnya, belakangan mulai menerapkan pengelolaan harta wakaf melalui sistem perusahaan begitu juga adanya "Bank Wakaf" di Bangladesh. Keunggulan Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun terletak kemampuan mengelola wakaf tanah, gedung, lahan pertanian, serta wakaf tunai yang dengannya mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah maupun pembayaran siswa dan mahasiswanya.

Keempat, reoptimalisasi pemanfaatan asset wakaf yang sudah termanfaatkan. Berkaitan dengan hal ini, di beberapa kota di Timur Tengah seperti Mekkah, Kairo dan Damaskus muncul kebutuhan untuk meninjau ulang sejumlah wakaf tetap seperti mesjid yang pada waktu diwakafkan hanya satu lantai. Mesjid-mesjid seperti itu banyak yang dibongkar dan dibangun kembali menjadi beberapa lantai. Lantai satu digunakan untuk mesjid, lantai dua digunakan untuk ruang belajar bagi anak-anak, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat untuk ruang serba guna, dan seterusnya (Arifin, 2003).

Kelima, memanfaatkan wakaf untuk pembangunan sarana penunjang perdagangan. Misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha Muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih masif.

Keenam, mengembangkan inovasi-inovasi baru melalui berbagai hal dalam kaitan dengan wakaf. Hal menarik adalah eksperimen yang dikembangkan oleh Prof. Manan yang mendirikan "Bank Wakaf" dengan konsep Temporary Waqf. Dengan konsep ini pemanfaatan dana wakaf dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada muwaqif. Hal ini sangat menarik meski masih diperdebatakan kebolehannya. Wacana lain yang menarik adalah memanfaatkan Wakaf Tunai untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi Syariah.

Kita merindukan sebuah kemajuan besar bangsa ini. Kita merindukan untuk mengulang kembali sukses-sukses besar Islam di antara tahun 1400 dan 1650 yang dimotori bangkitnya Malaka sebagai Kesultanan Islam sekaligus pelabuhan terbesar di kawasan ini. Juga emporium Banten, Gowa, Ternate dan Tidore. Sebuah kejayaan ekonomi yang terungkap dengan apik dalam pemamparan Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Wallahu ‘alam bis-shawab

. (* Penulis adalah peeliti pada SEBI Research Center, STIE SEBI Jakarta)

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: