Saturday, May 3, 2008

NABI

Oleh : Prof. DR. M. Dawam Raharjo

Nabi dan rasul, menurut al-Qur'an adalah manusia biasa. Kelebihannya adalah bahwa nabi dan rasul itu mendapat wahyu dari Allah dan mempunyai kelebihan lain, terutama dalam hal akhlak. Dengan kelebihannya itulah maka para nabi dan rasul mampu memperoleh kepercayaan dari kaumnya dan dari umat manusia umumnya, walaupun dalam sejarah tampak bahwa selalu saja ada manusia yang mendustakan mereka. Dan dalam agama-agama semit, Nabi Ibrahim merupakan bapak mereka, bapak agama monoteis. Nabi Ibrahim tidak dapat disebut sebagai seorang pemeluk agama terlembaga, melainkan seorang yang hanif, yang murni, atau yang lurus, penganut monoteisme murni, yang pasrah pada Tuhan. Ini dapat dijadikan dasar teori dalam analisis perbandingan agama.

Timur Tengah, kerap kali disebut sebagai "negeri para nabi", karena semua nabi berasal dari kawasan itu atau hanya kawasan itulah yang melahirkan nabi-nabi. Pemimpin-pemimpin agama dunia, yang melahirkan agama baru atau memperbarui suatu agama dari kawasan lain, tidak lazim disebut nabi. Tokoh-tokoh seperti Konfusius, Lao-tse dan Mencius dari Cina atau Sidharta Gautama dari India, tidak disebut sebagai nabi, karena memang tidak mengklaim diri sebagai penerima wahyu atau diutus oleh Tuhan. Sekalipun adakalanya tokoh seperti Konfusius disebut sebagai "nabi", istilah itu hanya berfungsi kiasan belaka. Malah Marx, yang anti agama itu pun, ada kalanya misalnya oleh Schumpeter disebut sebagai "nabi" karena perannya sebagai orang yang melahirkan suatu ideologi yang menyerupai agama.

Sekalipun begitu, tokoh keagamaan Amerika, Joseph Smith, pendiri Gereja Yesus Kristus Latter-Day Saints atau Gereja Mormon, yang lahir pada zaman modern, menyebut dirinya dan disebut oleh para pengikutnya sebagai nabi (prophet) dan rasul (apostle), sedangkan para penggantinya, - semacam Paus dalam agama Katolik, yang sehari-hari disebut sebagai Presiden Dewan Pimpinan Gereja, beranggotakan dua belas orang (The Twelve Apostles), berkedudukan di Salt Lake City (Utah, AS) itu adalah the living prophet. Smith sendiri, disebut sebagai nabi, karena mewartakan diri, dengan bukti-bukti tertentu, sebagai penerima wahyu di Palmyra, New York pada 1822, melalui malaikat yang bernama Moroni.

Dalam perkembangan Islam, terdapat pula pemimpin agama yang mengklaim dirinya sebagai nabi. Misalnya, Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), orang Pakistan pemula gerakan Ahmadiyah. Ia juga dianggap para pengikutnya sebagai Juru Selamat (Messiah) dan Imam Mahdi, penjelmaan Khrisna. Demikian pula Baha'ullah (1817-1892) dari Parsi. Keduanya dianggap sebagai pembawa agama baru diluar Islam Sunni, sekalipun Ahmadiyah masih percaya pada al-Qur'an dan rasul yang sama, Muhammad saw. dan menganggap diri sebagai Muslim sejati. Agaknya, Ahmadiyah mempunyai pengertian yang berbeda tentang nabi. Muhammad saw. adalah Rasul terakhir, tapi nabi, yang mendapat wahyu dari Allah, masih terjadi. Mirza Ghulam Ahmad adalah orang yang merasa telah menerima wahyu semacam itu.

Namun Gerakan Ahmadiyah aliran Lahore, dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, seorang sarjana agama yang pemikirannya menarik perhatian para cendekiawan berpendidikan barat itu, dan pengarang tafsir The Holy Qur'an, tidak menganggap Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan pembaharu. Ajaran aliran ini, pada dasarnya tidak berbeda dengan aliran sunni. Hanya saja aliran ini cenderung bersifat rasional dalam menafsirkan segi-segi dogmatis Islam guna menghilangkan unsur-unsur mitos. Dengan perkataan lain, ia melakukan demitologisasi dogma Islam, sebagaimana yang dilakukan Karl Bultman dalam agama Kristen Protestan.

Agama Baha'i, agak berbeda. Berkembang keluar dari aliran Syi'ah, menjadi agama pasca Syi'ah, Baha'ullah mengembangkan ajaran-ajarannya menjadi agama universalis dan humanitarian, dengan tekanan pada kesatuan esensial dari semua kepercayaan, pendidikan, persamaan seksual, monogami dan pencapaian perdamaian dunia (John R. Hinnels, Dictionary of Religions, Pinguin Books, 1984). Sekalipun bertolak dari Islam, agama Baha'i melakukan sinkretisasi secara eklektik terhadap ajaran-ajaran agama lain, asal sejalan dengan esensi ajaran Islam. Baha'ullah juga merasa membawa misi kenabian (prophecy) bagi umat manusia.

Dalam kepercayaan Islam, dalam hal ini Sunni, sebelum Muhammad saw., orang yang bertugas sebagai nabi memang banyak. Dalam cerita, yang banyak menghiasi tafsir al-Qur'an, ada yang mengatakan bahwa jumlah nabi sekitar 124.000 orang, di antaranya 315 orang berkedudukan sebagai rasul. Tapi al-Qur'an sendiri hanya mengatakan: "Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu...." (QS. al-Mu'min:78). Kandungan ayat ini memang bisa ditafsirkan, bahwa jumlah nabi itu memang banyak dan hanya sebagian saja yang disebut dalam al-Qur'an.

Dalam al-Qur'an, yang disebut hanyalah 25 Nabi dan Rasul saja. Mereka itu adalah: Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Ibrahim, Luth, Isma'il, Ishaq, Ya'kub, Yusuf, Ayyub, Syu'aib, Musa, Harun, Dzulkifli, Daud, Sulaiman, Ilyas, Ilyasa', Yunus, Zakaria, Yahya, Isa dan Muhammad. Di antara 25 orang nabi itu terdapat 5 orang Rasul yang mempunyai kelebihan, yang disebut ulu al-azmi yang berarti "orang yang berhati teguh" dan memiliki kesabaran yang tangguh (QS. al-Ahqaaf:35). Mereka itu adalah Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa dan Nuh (baca buku Usuluddin, atau Aqaid berdasarkan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, anggitan KH. Imam Zarkasyi, pendiri dan pengasuh Pondok Modern, Gontor).

Daftar nama nabi-nabi secara tidak berurutan antara lain disebut dalam QS. al-An'aam:83-86, "Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.(83) Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya`qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,(84) dan Zakaria, Yahya, `Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.(85) dan Ismail, Alyasa`, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya),(86)."

Selain itu, sebagian daftar nama para nabi disebut juga di surat lain, yaitu QS. an-Nisaa':163. Sedangkan nama nabi-nabi lain disebut secara terpencar di berbagai ayat dan surat. Dalam buku Qishashul Anbiya (1982) Ny. Hadiyah Salim menyebut bukunya itu sebagai "Sejarah 25 Rasul". Tapi ia menyebut seorang nabi lagi, yaitu Nabi Khaidir, yang ilmunya dikatakan lebih unggul dari Musa itu, memang seorang nabi. Tapi ia bukanlah seorang rasul. Sedangkan Bey Arifin dalam bukunya Rangkaian Cerita dalam al-Qur'an (1971) menyebut nama lain, yaitu Nabi Uzair, seperti disebut dalam QS.at-Taubah:30. Dalam bukunya The Religion of Islam (terjemahan Indonesia, 1980), Muhammad Ali menyebut dua nabi lagi, yaitu nabi Luqman dari Ethiopia dan Zulkarnain dari Parsi (yang menurut dugaannya adalah raja Darius I).

Soal yang hingga kini masih diperdebatkan adalah, apakah Adam itu nabi, rasul, manusia pertama, atau ketiga-tiganya? Bahkan timbul pertanyaan pula apakah Adam itu suatu tokoh historis atau simbolis? seandainya Adam itu tidak tergolong rasul atau nabi, maka jumlah rasul atau nabi hanyalah dua puluh empat. Sebagian mengatakan bahwa al-Qur'an tidak secara tegas menyebut Adam sebagai nabi, melainkan Khalifah fi al-ardh, wakil Tuhan di bumi (Keith Crim, The Perennial Dictionary of World Religions, 1989), simbol makhluk manusia. Tapi justru karena sebutan Khalifah, atau pemimpin makhluk-makhluk lain di bumi, termasuk manusia sendiri itulah, maka Adam dapat disebut sebagai nabi dan rasul. Malahan, Ahmadiyah mengatakan sebaliknya, bahwa Adam as. adalah salah seorang nabi, yaitu nabi yang diutus Allah di antara manusia, yang memang sudah ada sebelumnya.

Menurut kalangan Ahmadiyah, Adam memang simbol manusia, suatu makhluk yang unggul karena kemampuannya mempergunakan akal. Tapi ia bukanlah makhluk pertama satu-satunya. Tuhan memang menciptakan Adam, lambang manusia yang mengawali kehidupan manusia dari taraf yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi (seperti ditafsirkan oleh kaum evolusionis yang menerima teori Darwin). Tapi makhluk seperti Adam itu lahir di mana-mana di muka bumi, di lingkungan bangsa-bangsa primitif. Sebelum Adam, menurut tafsiran kalangan Ahmadiyah, memang sudah ada manusia yang oleh al-Qur'an disebut sebagai makhluk yang berkecenderungan membuat kerusakan dan menumpahkan darah (QS. al-Baqarah:30). Alasan dari yang menafsirkan demikian itu adalah bagian ayat yang menimbulkan pertanyaan, mengapa malaikat bisa menyebut kecenderungan manusia seperti itu apabila tidak berdasarkan pengalaman historis? (baca umpamanya Saleh A. Nahdi, Adam Manusia Pertama?,1992).

Nabi dan Rasul

Istilah nabi berasal dari kata naba', yang artinya warta (news), berita (tidings), cerita (story), dan dongeng (tale). Ini tentu saja di mengerti sebagai kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam al-Qur'an kata nabiy (jamaknya, nabiyun atau anbiya), berasal dari satu akar kata yang sama yaitu naba' (N-B-'), bersama dengan beberapa kata yang lain seperti nubuah (prophecy ramalan dan prophethood, kenabian), nabba'a dan anba'a (to tell atau bercerita) dan istanba'a (meminta untuk di ceritakan). Kata nabi disebut sebanyak 75 kali dalam 20 surat, sedangkan kata naba' sendiri di sebut sebanyak 29 kali dalam 21 surat.

Salah sebuah ayat yang menyebut nabi adalah dalam QS. Maryam: 30-33 berbunyi,

"Berkata Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.(30) dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;(31) dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.(32) Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali".(33)"

Dalam ayat ini Isa menjelaskan dirinya sendiri sebagai hamba Allah biasa, maksudnya bukan putra Allah, dia telah pula diberi kitab, yaitu Injil dan ditetapkan sebagai nabi. Dengan begitu Isa adalah orang yang diberkati Allah dan ia merasakan diberkati Allah dan ia merasakan berkat.Tapi ia mendapat misi kenabian, yaitu menegakkan shalat dan menunaikan zakat.

Seperti telah dijelaskan di atas, pengertian tentang istilah nabiy, berkaitan dengan kata naba' yang maknanya berita, kabar warta atau cerita. Makna sesungguhnya dari kata naba' ini perlu dilihat dalam konteks ayat-ayat al-Qur'an sendiri, seperti misalnya pada QS Ali Imran: 44,

"Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita (anba') ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa."

Ayat ini, menurut Maulana Muhammad Ali, menjelaskan misteri disekitar kisah Maryam dan putranya, Isa. Rasulullah saw. sendiri, menurut keterangan Ali, pernah berdebat dengan orang-orang Kristen Najran dan berargumen, bahwa Nabi Isa, tidak seperti dituduhkan orang-orang Yahudi, adalah anak haram Maryam, tapi juga bukan seperti diyakini oleh orang-orang Kristen bahwa ia adalah Putra Tuhan. Sebagai mana nabi-nabi lain, ia adalah anak Maryam dari perkawinannya dengan Yusuf, tukang kayu, yang berhasil mendapatkan Maryam, melalui tradisi melempar pena untuk menentukan siapa yang akan menjadi suami Maryam.

Itulah yang disebut sebagai "berita", yaitu perkabaran tentang masa lampau yang tidak diketahui. Memang, dalam berbagai ayat, kata naba', diartikan sebagai cerita: tentang Nabi Nuh as. (QS. Yunus: 71) atau kisah dua anak Adam (QS. al-Maidah: 27). Pada QS. al-A'raf:101, naba' adalah riwayat tentang kota, yang sebagian telah diwahyukan kepada Rasulullah saw. Kesemuanya adalah berita tentang masa lampau. Tapi naba' bukanlah sejarah yang diketemukan orang atau diceritakan secara turun temurun, melainkan diwahyukan oleh Allah pada Rasulullah saw. Sungguhpun begitu, oleh Muhammad Ali, naba' diartikan juga sebagai ramalan, seperti umpamanya pada QS. al-An'am:67 "Untuk tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui." Di sini, yang dimaksud "berita adalah kejadian yang akan datang. Dan hanya nabi sajalah yang diberi yang diberi kemampuan "meramal" kejadian yang akan datang, karena telah menerima wahyu dari Allah.

Kata naba' ini secara khusus bahkan menjadi judul sebuah surat (surat 78). Judul itu diambil dari ayat 2. Di dua tempat, yaitu dalam surat ini dan QS. Shaad:67, tersebutlah istilah al-naba' al-adhim yang artinya berita besar. Awal surat an-Naba' itu sendiri berbunyi : "Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?(1) Tentang berita yang besar,(2) yang mereka perselisihkan tentang ini.(3) Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui,(4)."

Para ahli tafsir pada umumnya menginterpretasikan bahwa yang dimaksud dengan pemberitaan besar itu adalah tentang Hari Kebangkitan, dimana setiap manusia akan dimintai pertanggung-jawaban tentang perilaku mereka di dunia.Tapi ada pula sebagian, termasuk Yusuf Ali, yang menafsirkan bahwa berita besar itu adalah seluruh risalah kenabian itu sendiri, yang menjanjikan bahwa: "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan," (QS. an-Naba':31). Berita semacam ini memang tidak disampaikan oleh sembarang orang. Karena berita ini adalah berita wahyu Ilahi. Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan berita semacam ini.

Dalam penjelasan ensiklopedia karya Cyril Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam (1989), nabi adalah seorang yang menjalankan tugas kenabiannya dalam kerangka wahyu yang telah ada, berlawanan dengan rasul (pesuruh, utusan, duta) yang membawa wahyu baru. Dalam keterangan ensiklopedia yang sama, istilah Inggris prophet, yang bahasa Arabnya adalah nabi, tunggalnya, atau anbiya', jamaknya, dapat dibagi artinya menjadi dua kelas menurut misinya:

Rasul, secara harfiah berarti pesuruh atau utusan. Kata jamaknya adalah rusul. Al-Qur'an sering pula menyebut para rasul itu dengan istilah al-mursalin, yaitu "mereka yang diutus". Seorang rasul, menurut Glasse mengemban misi membawa religi baru atau kesatuan wahyu baru dalam konteks masyarakatnya. Mereka itu disebut juga ulu al-'azm (al-Ahqaaf:35). Al-Qur'an tidak secara spesifik menyebut para rasul ini diantara para nabi. Tapi ahli tafsir menyebut misalnya Nabi-nabi Nuh as., Ibrahim as., Musa as., Isa as. dan Muhammad saw. sebagai Nabi-nabi dengan kualitas itu. Rasul, biasanya berkaitan atau dekat dengan umatnya, seperti yang dijelaskan dalam QS. Yunus:47,

"Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya."

Sebagai contoh, Nabi Musa dan Harun dikirim oleh Allah pada bangsa Israil yang ditindas oleh Fir'aun. Misi utamanya adalah membebaskan bangsa Israil dari penindasan dan membangun suatu umat baru berdasarkan syari'at Allah di tempat lain yang dijanjikan.

Kata nabi berasal dari kata naba', yang artinya, menurut Maulana Muhammad Ali adalah "pemberitahuan yang besar faedahnya, yang menyebabkan orang mengetahui sesuatu". Imam al-Raghib dalam kitabnya Al-Mufradat fi 'l-Gharib al-Qur'an menambahkan bahwa berita itu bukanlah sembarang berita, tapi berita yang tak mungkin salah. Dalam kata nabi, huruf hamzah-nya telah dibuang.

Tentang istilah nabi ini, Gibb & Kramers memberikan keterangan lain. Mereka mengatakan bahwa istilah ini merupakan pinjaman dari kata Ibrani, nabi dan Aram n-bi'a. Istilah ini baru muncul pada ayat-ayat dalam periode Makkah kedua (Shorter Encyclopaedia of Islam,1953). Tapi keduanya tidak menjelaskan apa arti kata itu. Memang, al-Qur'an sering meminjam istilah-istilah non-Arab yang serumpun dengan bahasa Arab, seperti bahasa Ibrani. Tapi setelah ditampilkan dalam al-Qur'an, istilah-istilah itu selalu mengandung muatan makna baru yang berbeda dari arti lamanya.

Dalam al-Qur'an, kata nabi dan rasul memang dipergunakan secara bergantian. Untuk membedakan artinya, ulama melihat pada arti katanya. Dari asal katanya, istilah nabi menekankan segi kesanggupannya menerima berita Illahi (wahyu), sedangkan kata rasul menekankan pada misinya untuk menyampaikan risalah atau nubuah pada manusia, walaupun rasul, atau utusan, ada kalanya bukan manusia, melainkan juga malaikat (QS. Faathir:1).

Salah satu keterangan tentang nabi dan rasul dalam al-Qur'an diberikan oleh QS. al-An'aam:89,

"Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka kitab, hikmat (pemahaman agama) dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya."

Ayat diatas memberikan penjelasan bahwa nabi itu mempunyai tiga kriteria. Pertama, menerima wahyu yang kemudian terhimpun dalam suatu kitab. Kedua, membawa hukum atau syari'at sebagai pedoman cara hidup, karena itu maka teladan nabi dan rasul itu merupakan sumber hukum. Dan Ketiga, berkemampuan untuk memprediksi tentang berbagai hal di masa yang akan datang, sebagaimana terlihat pada Nabi Nuh, Ibrahim dan Luth yang telah memperingatkan umatnya, sekalipun telah didustakan. Nabi Muhammad sendiri, berdasarkan wahyu Illahi pernah meramalkan dengan tepat kekalahan Parsi dalam berperang melawan Roma. Karena itu maka ayat selanjutnya mengatakan: "Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka..." (QS. al-An'aam:90). Nabi Muhammad saw. juga belajar dari pengalaman nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya dalam perjuangannya.

Nabi, menurut Muhammad Ali, adalah perantara antara manusia dengan Tuhannya dan utusan Allah pada manusia. Dalam analisisnya tentang konsep sejarah menurut Perjanjian Lama, Erich Fromm mengajukan pertanyaan tentang peranan Tuhan dalam sejarah. Apakah Tuhan menyerahkan sepenuhnya pada kebebasan manusia untuk membentuk sejarahnya sendiri, dan dengan demikian Tuhan hanyalah penonton yang pasif terhadap nasib umat manusia? Ataukah Ia menyatakan kehadiran-Nya dalam sejarah? Fromm menyatakan bahwa jawabnya terletak pada fungsi dan peran para nabi. Peranan Tuhan antara lain adalah mengirimkan utusan-utusan-Nya. Para nabi mempunyai empat fungsi.:

Pertama, Mereka membawa perkabaran tentang adanya Tuhan, yaitu Ia yang mewahyukan diri melalui para nabi dan menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah menjadi sepenuhnya manusiawi, yaitu menjadi insan yang mengikuti perilaku Tuhan;

Kedua, Mereka menunjukkan pada manusia, alternatif-alternatif yang bisa dipilih dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan itu. Mereka itu mengekspresikan pilihan-pilihan itu dalam bentuk ganjaran atau hukuman Tuhan, namun pada akhirnya selalu manusialah, dengan tindakannya sendiri, yang membuat pilihan itu;

Keempat, Mereka tidak berpikir tentang keselamatan pribadi saja, melainkan percaya, bahwa keselamatan individu terkait dengan keselamatan masyarakat. Kepedulian mereka adalah terbentuknya masyarakat, yang dibimbing oleh cinta, keadilan dan kebenaran. Mereka menekankan bahwa politik harus ditentukan oleh nilai-nilai moral dan fungsi kehidupan politik adalah realisasi nilai-nilai itu.

Lebih jauh Fromm mengatakan bahwa para nabi adalah pengilham kebenaran. Demikian pula Lao-tse dan Buddha. Tapi para nabi itu pada waktu yang bersamaan, adalah juga pemimpin politik, sangat mendalam kepeduliannya pada tindakan politik dan keadilan sosial. Ruang lingkupnya tidak pernah rohaniah murni, melainkan selalu memikirkan dunia ini. Dengan perkataan lain, spiritualitas mereka selalu dijalani dalam dimensi politik dan sosial. Karena Tuhan menghadirkan diri-Nya dalam sejarah, para nabi tak bisa lain kecuali menjadi pemimpin politik. Dan sepanjang manusia mengambil jalan yang keliru, para nabi tak punya pilihan kecuali mengambil jalan lain dan revolusioner.

Para nabi selalu melihat realitas dan berbicara tentang apa yang mereka lihat. Seorang nabi melihat hubungan yang tak terpisahkan antara kekuatan rohaniah dan ketentuan sejarah. Ia melihat realitas moral menggaris-bawahi realitas sosial dan politik, - suatu konsekuensi yang mesti dihasilkannya. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan perubahan dan ia mengumumkan apa yang ia lihat.

Dalam melihat peranan nabi, agaknya Fromm mengambil Musa sebagai model. Tapi apa yang dilukiskannya itu sangat tepat terutama untuk Nabi Muhammad saw. Seorang nabi, dalam "tafsir radikal"nya tentang Perjanjian Lama, Fromm menjelaskan juga bahwa dalam bahasa Ibrani, para nabi itu disebut sebagai roeh atau "maharesi" (seer). Sejak nabi Elijah, salah seorang nabi dari kalangan bangsa Israel, maharesi itu disebut navi, artinya "pembicara" (speaker) atau "juru bicara" (spokesman). Nabi sesungguhnya berbicara tentang sesuatu di masa datang. Tapi sesuatu di masa datang yang seharusnya terjadi itu bukanlah mengenai suatu kejadian biasa, sekalipun diwahyukan oleh Tuhan atau berdasar pengetahuan astrolog.

Ia melihat yang akan datang itu, karena itu melihat kekuatan-kekuatan yang sedang berlaku sekarang, dan konsekuensi dari kekuatan-kekuatan itu, kecuali jika situasi itu dapat dirubah. Seorang nabi, tidak mungkin adalah seorang Cassandra (dewi peramal dalam mitologi Yunani yang dikutuk oleh Apollo bahwa ramalannya tak pernah terjadi). Ramalannya selalu berupa alternatif. Para nabi selalu memberikan ruang bagi kebebasan kehendak dan keputusan.

Seorang nabi, menjadi nabi, bukan karena ia ingin jadi nabi. Seorang nabi, menjadi nabi bukan karena kehendaknya sendiri. Apabila ada orang yang ingin menjadi nabi, maka ia bukanlah nabi. Nabi adalah pilihan Tuhan (al-Anbiya':75). Bahkan banyak nabi pada mulanya menolak misi berat yang dipikulkannya itu. (baca Eric Fromm, You shall be as Gods: A Radical Interpretation of The Old Testament and its Tradition, 1969).

Nabi Pamungkas

Dari sejumlah nabi dan rasul yang disebut dalam al-Qur'an, Nabi Muhammad saw. adalah Nabi dan Rasul yang terakhir. Sesudah beliau tak ada lagi nabi. Pengertian ini bersumber dari sebuah ayat pada QS. al-Ahzab:40 yang mengatakan sesuatu tentang Muhammad,

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Kata Khatam dipakai dalam ayat ini dan bukannya khatim, karena yang dimaksud adalah bahwa Nabi Muhammad saw. bukan sekedar nabi terakhir atau penutup, melainkan juga mengandung arti menggenapi, melengkapi atau menyempurnakan. Hal ini, menurut Muhammad Ali, berkaitan dengan bagian dari QS. al-Maa'idah:3 yang berbunyi: "...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...".

Islam, yang dibentuk oleh serangkaian wahyu yang diturunkan dalam jangka waktu kira-kira 23 tahun itu pada nabi Muhammad saw., dalam surat al-Mai'dah itu dinyatakan telah menjadi sempurna. Dalam kaitannya dengan QS. al-Ahzab:40 itu, maka "Islam" yang dibawa oleh Muhammad saw. telah menggenapi dan menyempurnakan Islam yang telah dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, dari Adam as. hingga Muhammad saw. Dengan perkataan lain, Islam yang tercermin dalam keseluruhan wahyu Allah dalam al-Qur'an tersebut, telah pula meliputi seluruh ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya.

Pengertian bahwa semua agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul dalam al-Qur'an adalah agama Islam, menjadi populer oleh keterangan Haji Agus Salim. Sebelumnya banyak orang salah mengerti bahwa Islam itu, bagi kaum Muslim, adalah agama yang dibawakan oleh Muhammad saja, sedangkan yang lain tidak. Menurut al-Qur'an, semua agama itu sama, atau pada mulanya sama. Karena mereka sama-sama menyembah Tuhan yang satu, yaitu Allah. Dalam QS. al-Anbiya':92 dikatakan:"Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." Al-Qur'an dan Terjemahannya, terbitan Departemen Agama, menerjemahkan ayat ini sebagai berikut: "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.".

Dengan begitu, maka Islam yang dibawakan oleh Muhammad saw. bukanlah agama baru, melainkan agama yang telah dikenal oleh umat-umat terdahulu. Kesemuanya mengajarkan tauhid, yaitu kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Agama yang dibawa oleh Muhammad saw. adalah juga yang diturunkan pada nabi-nabi yang lain, seperti dikatakan dalam QS. Asy-Syuura:13,

"Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya)."

Semua nabi yang diutus oleh Allah membawa misi menegakkan suatu agama dan menggalang persatuan umat. Kesemua agama itu mengajarkan iman pada Tuhan Yang Satu dan memerintahkan beribadah hanya pada Allah. Nabi Hud umpamanya diutus Allah pada kaum 'Ad. Pada kaumnya Hud berkata: "Wahai kaumku, mengabdilah kepada Allah; kamu tak punya Tuhan selain Dia." Kata-kata seperti itu diucapkan juga oleh Nabi Salih pada bangsa Tsamud (QS. Hud:61), dan oleh Nabi Syu'aib yang diutus pada bangsa Madian (QS. Hud:84). Hanya saja, selain mengajarkan tauhid, Nabi Syu'aib mempunyai misi khusus pada kaumnya, seperti tersebut dalam QS. Hud:84, diatas,

"Dan kepada (penduduk) Mad-yan (Kami utus) saudara mereka, Syu`aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)."

Misi khusus Nabi Syu'aib adalah memperbaiki etika bisnis yang berlaku pada kaumnya.

Nama Muhammad sendiri disebut dalam al-Qur'an sebanyak 4 kali dan 1 kali sebagai Ahmad (QS. Ash-Shaff:6), yaitu dalam QS. Ali Imran:144; QS. al-Ahzab:40; QS. Muhammad:2; dan al-Fath:29. Dan seperti setelah disebut, nama Muhammad juga menjadi nama dari sebuah surat, yaitu surat 47. Nama surat itu diambil dari perkataan "Muhammad" dalam ayat 2: "Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka."

Nama Ahmad itu menurut al-Qur'an disebut dalam nubuah Nabi Isa seperti yang disebut yang dalam QS. Ash-Shaff:6,

"Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata".

Dalam ayat ini Nabi Isa as. sendiri juga membenarkan wahyu sebelumnya dan meramalkan datangnya rasul dengan misi yang sama.

Sekalipun nama Muhammad dan Ahmad hanya disebut 5 kali, namun ayat-ayat yang berkaitan dengan Nabi saw. sangat banyak. Misalnya saja dalam QS. al-Qalam:4, al-Qur'an menyebut akhlak Nabi saw. sebagai tangkisan terhadap tuduhan kaum musyrik Makkah bahwa Nabi saw. adalah seorang yang "gila": "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." Dalam QS. at-Takwir:22. tangkisan diatas diulang lagi: "Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila." Serangan kaum musyrik itu bertentangan dengan kenyataan, karena sejak muda, masyarakat Makkah telah menjuluki Nabi sebagai al-amin, orang yang bisa dipercaya.

Pemberian gelar semacam itu tidak pernah diberikan pada orang lain sebelumnya. Sebagai seorang yang dapat dipercaya, Muhammad tidak pernah tercatat berbicara bohong. Sebenarnya menjadi orang yang dapat dipercaya adalah ciri dan syarat seorang nabi. Al-Qur'an sendiri juga memberikan gelar "rasul al-amin" pada beberapa nabi, yaitu Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih dan Nabi Luth (QS. asy-Syuaraa':107,125,143 dan 162). Namun, semua Nabi itu telah didustakan kaumnya. Nabi Nuh sendiri pernah mengeluh: "Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku;"(QS. Asy-Syuaraa':117). Memang Nabi-nabi itu telah diutuskan oleh kaumnya masing-masing. Kaum 'Ad telah mendustakan Nabi Hud (QS. Asy-Syuara:123), kaum Tsamud mendustakan Nabi Salih (QS. Asy-Syuara':141). Demikian pula penduduk Aikah telah mendustakan Nabi Syua'ib (QS. Asy Syu'ara':176).

Seluruh isi surat asy-Syua'ra' (artinya: Para Penyair) diturunkan dengan maksud untuk menghibur Rasulullah saw. Dalam surat itu ditayangkan riwayat para nabi, mula-mula Musa dan saudaranya Harun ketika melawan Fir'aun, Ibrahim, Nuh, Hud, Salih, Luth dan Syu'aib. Semuanya menghadapi persoalan yang sama, yaitu didustakan oleh kaumnya. Padahal mereka membawa pesan yang sama dan mempunyai akhlak yang serupa. Ibrahim adalah orang yang berani mengatakan yang benar (QS. Maryam:41), Musa adalah seorang pejuang yang tulus, tanpa pamrih (QS. Maryam:51), Nuh, Hud, Salih dan Luth adalah orang yang dapat dipercaya, sedangkan Yahya adalah seorang yang sejak kanak-kanak dikenal sebagai manusia bijak, berbakti pada kedua orang tuanya dan tidak sombong (QS. Maryam 12 dan 14).

Setiap karakteristik akhlak pada nabi-nabi tertentu itu tidak saja eksklusif dimiliki oleh nabi yang bersangkutan, tapi menjadi ciri nabi-nabi lainnya, karena semuanya memancar dari ajaran agama yang sama yang mengacu pada Tuhan yang sama (QS. al-Mu'minun:52 dan al-Anbiya:92). Karena itulah al-Qur'an menurunkan kisah para nabi pada Rasulullah saw. agar bisa diambil pelajaran daripadanya, tidak saja bagi beliau sendiri tapi untuk semua orang yang beriman. Khusus bagi Rasulullah saw. sendiri yang lagi mengalami tantangan dan tekanan dari kaum musyrik, kisah nabi itu mempunyai fungsi meneguhkan batin untuk tetap terus berjuang, seperti disimpulkan dalam QS. Huud:120,

"Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman."

Lebih jauh QS. Yusuf:111, mengatakan bahwa kisah-kisah para nabi itu tidak sekedar pelajaran bagi orang-orang yang beriman, tapi juga begi semua orang yang berakal,

"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman."

Dalam menyebarkan ajaran-ajarannya yang bersumber dari wahyu Allah itu, Rasulullah saw. sudah tentu selalu merujuk pada ajaran-ajaran para nabi sebelumnya. Karena itulah perintah Tuhan. Dengan analogi ini, maka pengalaman para nabi juga bermanfaat bagi para ulama dan cendekiawan yang mewarisi risalah nabi.

Para nabi dapat dijadikan contoh oleh para pejuang kontemporer, karena nabi adalah manusia biasa (QS. Ibrahim:11). Pernyataan bahwa para nabi itu adalah manusia biasa juga karena orang-orang kafir itu mengharapkan hal yang tidak-tidak pada nabi dan rasul. Kelebihan para nabi dan rasul hanyalah karena mereka itu dapat wahyu tentang keesaan Tuhan,

"Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya),"

Tuhan yang dimaksud disitu adalah "Tuhan Yang Maha Esa". Pertanyaannya adalah, apakah nama Tuhan itu berbeda-beda dari satu bangsa kebangsa lain? Dalam bahasa Ibrani, Tuhan itu bernama Y-H-W-H, atau Yahweh. Itulah Tuhan yang dikenal oleh Musa, Daud, Sulaiman dan Isa dari kalangan Yahudi. Sedangkan dikalangan bangsa Arab Tuhan itu disebut Allah atau al-Rahman, seperti disebut dalam Q.S. al-Isra':110,

"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)..."

Ayat di atas, dihubungkan dengan ayat yang dikutip sebelumnya mengisyaratkan bahwa yang penting, para nabi dari berbagai bangsa itu memberitakan warta yang sama dari Tuhan Yang Maha Esa, dengan bahasa apapun dan dengan nama Tuhan apapun, asalkan sesuai dengan nama-nama indah Tuhan (al-asma' al-husna), misalnya al-Rahman atau yang lain. Allah adalah satu dari antara nama Allah itu, karena itu tidak mengapa jika kita menyeru pada Allah atau pada al- Rahman, karena keduanya adalah Tuhan Yang Maha Esa yang diajarkan oleh semua Nabi utusan Allah itu.

Itulah konsekuensi bahwa kaum Muslim itu harus percaya pada semua nabi sebagai kesatuan, walaupun mereka berasal dari berbagai bangsa dan mempunyai bahasanya sendiri. Para utusan itu mamang di perintahkan untuk menyebarkan ajarannya dengan bahasa kaumnya agar ajarannya itu bisa dimengerti sejelas-jelasnya :

''Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (QS. Ibrahim:4). Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari ayat di atas, maka sekalipun al-Qur'an itu diturunkan dalam bahasa Arab, tapi hal itu tidak berarti bahwa al-Qur'an hanya untuk bangsa Arab, melainkan untuk seluruh manusia, karena Nabi Muhammad saw. diutus tidak hanya untuk bangsa Arab sebagaimana Nabi Isa as. hanya untuk bangsa Israil, melainkan untuk semua bangsa: "Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. Saba':28). Juga dalam QS. al-Anbiyaa':107, "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.".

Nabi Ibrahim as.

Ibrahim as. adalah salah seorang Nabi dan Rasul yang mempunyai kedudukan istimewa dalam Islam dan namanya disebut dalam do'a shalat. Ibadah haji, rukun Islam yang kelima, berkaitan pula dengan namanya. Orang yang naik haji disebut "memenuhi panggilan Nabi Ibrahim as.". Dalam al-Qur'an, Ibrahim as. disebut sebagai seorang Muslim dan seorang yang hanif, seorang yang tulus dalam percaya dan mengabdi pada Allah swt. Tapi Ibrahim as. sangat dekat dengan Islam karena ia adalah moyang Nabi Muhammad saw., lewat puteranya Ismail as. Ibrahim dan puteranya itu adalah orang-orang yang membangun kembali Ka'bah, yang mula-mula didirikan oleh Nabi Adam as.

Tapi bagi bangsa Ibrani, Ibrahim adalah juga patriach mereka. Ibrahim adalah moyang bangsa Yahudi lewat puteranya Ishak. Dalam kitab Genesis 12 disebutkan bahwa Ibrahim menerima perintah Tuhan untuk meninggalkan kampung halamannya di Ur dan mengembara ke bagian bumi lain, dengan membawa kepercayaan bahwa ia akan menjadi Bapak bangsa-bangsa, dengan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan. Kitab Genesis 15:6 juga melukiskan sesuatu yang sama dengan yang dikatakan oleh al-Qur'an, bahwa Ibrahim adalah orang yang lurus (righteous) dan tunduk pada Tuhan. Hal itu terutama dibuktikan dengan kepatuhannya menjalankan perintah Tuhan untuk menyembelih puteranya yang paling dicintai, Ishak, dari perkawinan pertama dengan Sarah. Di sinilah perbedaannya antara keterangan Perjanjian Lama dengan al-Qur'an. Menurut al-Qur'an, yang diperintahkan untuk disembelih adalah Ismail as., putera dari istri keduanya, Hajar; bukannya Ishak.

Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa Ibrahim bukanlah seorang Yahudi maupun Nasrani. Disini al-Qur'an bertanya: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah Ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?" (Ali Imran:65). Namun al-Qur'an tidak mengingkari bahwa agama yang disampaikan oleh Musa as., dengan kitabnya Taurat, maupun Daud as., dengan kitabnya Zabur, demikian pula Isa as., dengan kitabnya Injil, bersumber pula dari agama Ibrahim as., yang oleh al-Qur'an disebut pula Islam.

Karena itu, maka Ibrahim as. tidak bisa disebut Yahudi dan tidak pula Nasrani, seperti yang mereka klaim, karena agama-agama itu, atau lebih tepatnya, syari'at-syari'at itu, baru lahir kemudian, sesudah nabi Ibrahim as. Dalam hal ini al-Qur'an surat Ali Imran:67, menjelaskan:

"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik."

Apa yang dilukiskan ayat ini adalah seorang Ibrahim as., bukan seorang pemeluk agama terlembaga (organized religion), khususnya Kristen atau Yahudi, begitu juga "Islam" yang dibawa oleh Muhammad saw., - karena ketiga agama itu baru lahir kemudian -, melainkan agama pribadi Ibrahim, sebagai seorang yang hanif dan Muslim.

Namun disebutkan pula oleh al-Qur'an, dalam QS. Ali Imran:68 bahwa,

"Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman."

Tentu saja yang dikatakan oleh al-Qur'an itu, agar disampaikan oleh Muhammad saw. dan kaum Muslim pada pemeluk agama Yahudi maupun Nasrani, bisa dinilai "subyektif" oleh pemeluk agama-agama itu. Tapi, dengan mengacu pada agama Ibrahim, sebagai bentuk kepercayaan yang paling murni dalam kaitannya dengan ketiga agama itu, maka melalui penelitian sejarah, perbincangan bisa dibawa ke arena obyektif.

Ibrahim adalah Bapak agama monoteis, dengan asumsi bahwa yang disebut agama monoteis dan agama dunia dewasa ini adalah Yahudi, Kristen dan Islam. Suatu penelitian mengenai tiga agama itu perlu menjawab, mana diantara tiga agama itu yang paling dekat dengan agama Ibrahim? Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa Islam lah yang paling dekat dengan agama Ibrahim. Rukun Islam yang kelima, adalah pelaksanaan dari tradisi yang telah dibina oleh Ibrahim as. dan puteranya Ismail as. Ka'bah, atau al-bait alatiq, rumah kuno, adalah salah satu tujuan ibadat haji. Disitulah terdapat pertanda sejarah yang disebut dalam QS. Ali Imran:97 sebagai maqam Ibrahim, atau petilasan yang ditinggalkan oleh Ibrahim ketika ia dan puteranya membangun kembali rumah suci itu. Agama-agama lain, yaitu Yudaisme dan Kristen, sekalipun mengacu kepada Ibrahim, tapi tidak mempunyai tanda bukti hubungannya, seperti halnya Ka'bah.

Sungguhpun begitu, dengan mengacu pada kepercayaan Ibrahim dan seluruh keturunannya, termasuk Ishak dan Ya'kub, maka titik temu itu harus mengarah pada inti ajaran Ibrahim, sebagai patriach dari tiga agama itu. Itulah sebabnya maka QS. Ali Imran:64 menurunkan sebuah ayat yang dapat dijadikan acuan, yang berbunyi,

"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (Muslim)".

Ayat itu menjelaskan, bahwa titik temu yang benar antara agama-agama adalah Tauhid, yaitu pengakuan bahwa "Tiada Tuhan melainkan Allah".

Adam, sebagai hanif, menurut Glasse merepresentasikan manusia primordial dan penyerahan diri yang universal pada Realitas Ilahiyah, sebelum manusia terpecah satu dengan yang lain dalam berbagai bentuknya. Agama Ibrahim as., dalam orientasi ini, adalah sebuah penyucian kembali (reconsecration), suatu restorasi terhadap manusia menuju ke fitrahnya, yaitu bentuknya yang paling primordial. Itulah pula yang disebut sebagai millah al-Ibrahim. Dalam QS. al-an'aam:161, istilah hanif diterjemahkan juga sebagai "yang murni" atau yang lurus.

Istilah di atas disebut sebanyak 15 kali dalam al-Qur'an, 7 diantaranya, berkaitan dengan Ibrahim as. Terjemahan yang lazim adalah "agama Ibrahim" (Al-Qur'an dan Terjemahannya terbitan Departemen Agama RI). Tapi untuk membedakannya dengan istilah al-din, yang mungkin dikaitkan dengan agama yang mapan, maka istilah millah, diterjemahkan dengan "kepercayaan" (creed), seperti nampak dalam QS. An-Nisaa':125,

"Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.".

Dari ayat ini nampak bahwa kepercayaan Ibrahim, terutama dalam analisis perbandingannya dengan Yudaisme dan Kristen dijadikan patokan, mana diantara tiga agama dunia itu yang paling dekat dengan kepercayaan Ibrahim as.

Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. memang mengacu pada kepercayaan (creed) Ibrahim itu. Islam yang dibawakan oleh Muhammad saw. disebut juga "agama Ibrahim". Hal ini sangat nampak pada firman Allah swt. sendiri dalam QS. al-An'aam:161 berbunyi,

"Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik".

Penamaan Islam sebagai "agama Ibrahim" atau "kepercayaan Ibrahim" itu ternyata memang berdasarkan firman Allah sendiri. Ini diperkuat dengan QS. An-Nahl:123, yang bersifat perintah langsung dari Allah swt. pada Rasulullah saw.,

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."

Karena itu tidak ada salahnya jika ada seseorang yang menyerukan "kembali pada kepercayaan Ibrahim", lebih-lebih jika seruan itu dilakukan dalam konteks perbincangan tentang agama-agama lain, khususnya Yudaisme dan Kristen, karena seperti itu pulalah seruan Allah pada Rasulullah saw., guna mencari plaform yang sama, yaitu kepercayaan tentang Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam rangka kajian ilmiah, istilah millah al-Ibrahim dapat diformulasikan ke dalam suatu teori tentang kepercayaan monoteisme yang murni, sebagai dasar analisis perbandingan agama. Memang dalam kebudayaan Islam, istilah millah telah berkembang dan berubah dari makna aslinya. Misalnya, saja istilah millet dipakai dalam pengertian "agama resmi" yang dianut dilingkungan Imperium Turki. Tapi istilah itu, dalam penggunaan yang lebih lazim di Turki dan Parsi, diartikan pula sebagai "bangsa", "rakyat" atau "negara". Harus disadari disini bahwa pengertian agama itu berkaitan juga dengan pengertian negara, bangsa dan rakyat, mengingat al-din, juga berarti "ikatan". Tapi istilah millah itu sendiri, sebenarnya mempunyai arti yang berkebalikan dengan al-din, karena yang pertama menunjuk pada "kepercayaan" (creed) atau komunitas spiritual yang tidak bersifat resmi, sedangkan yang kedua menunjuk pada agama tertentu (the religion), seperti Islam, Kristen dan yang lain.

Catatan Akhir

Percaya pada para nabi dan rasul, merupakan salah satu Rukun Iman. Kepercayaan ini sangat penting, karena Nabi dan Rasul, adalah orang yang dipilih oleh Allah swt., untuk menjadi perantara antara manusia umumnya dengan Allah. Dengan percaya pada para Nabi dan Rasul yang membawa kepercayaan yang sama, yaitu yang paling dasar adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa (tauhid), maka umat manusia bisa memperoleh pegangan yang pasti dan otentik tentang berita yang berasal dari Tuhan.

Nabi dan rasul, menurut al-Qur'an adalah manusia biasa. Kelebihannya adalah bahwa para Nabi dan Rasul itu mendapat wahyu dari Allah dan mempunyai kelebihan lain, terutama dalam hal akhlak, dari manusia lainnya. Dengan kelebihannya itulah maka para Nabi dan Rasul mampu memperoleh kepercayaan dari kaumnya dan dari umat manusia umumnya, walaupun dalam sejarah nampak bahwa selalu saja ada manusia yang mendustakan mereka.

Muhammad saw. adalah Nabi dan Rasul penutup, yang menggenapi ajaran-ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul penutup, yang menggenapi ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Semua agama yang dibawa oleh nabi, disebut Islam, karena kesemuanya mengajarkan sikap "berserah diri pada Allah". Kepercayaan Tauhid yang murni dan asli terutama ditunjukkan oleh kepercayaan Ibrahim.

Agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. mengacu pada Tauhid yang bersumber pada tauhid yang bersumber dari kepercayaan Nabi Ibrahim as., Nabi kesayangan Tuhan itu. Dibanding dengan agama-agama lain, khususnya agama dunia Yahudi dan Kristen, yang mengacu kepada "agama Ibrahim" itu, maka Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. adalah yang paling dekat dengan kepercayaan Ibrahim tersebut.

Dalam komunikasi dan berinteraksi dengan agama-agama lain, khususnya agama-agama Ahli Kitab, maka acuan yang diikuti adalah mencari kata sepakat yang bertitik pusat pada kepercayaan dan kepasrahan yang tulus pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, kepercayaan Ibrahim sebagai bentuk yang paling primordial, dapat dijadikan dasar teori dalam analisis perbandingan agama.

No comments: