Saturday, May 3, 2008

Optimalisasi Gerakan Kultural

Oleh : Abd Moqsith Ghazali

NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim modernis.

Tatkala Muhammadiyah sedang menyelenggarakan Sidang Tanwir (mulai tanggal 24 Januari dan berakhir pada tanggal 27 Januari 2002 yang bertempat di Denpasar Bali), maka tepat pada tanggal 31 Januari 2002 Nahdhatul Ulama (NU) merayakan ulang tahunnya yang ke-76. Inilah sebuah koinsidensi historis menarik yang terjadi awal tahun 2002 ini. Pertanyaannya kemudian, apakah sesuatu yang menarik itu juga merupakan hal penting dan signifikan. Jawabannya bisa dua, “ya” dan “tidak”.

Kalau dipandang dari dimensi “teks”nya semata, maka jelas koinsidensi historis itu merupakan peristiwa biasa yang normal terjadi, karena ia berlangsung secara kebetulan dan natural, tanpa ada disain dan rekayasa. Dengan demikian, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Namun, jika ditelaah dari sudut konteksnya, maka koinsidensi historis itu bisa diberi makna yang lebih strategis dan penting. Dan agaknya cukup tepat memaknai koinsidensi historis itu dari sudut pandang kontekstual ini.

NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah massa masing-masing puluhan juta. Keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutuhkan NU dan Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagi sebuah organisasi yang mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim modernis. Kalau NU lahir pada 31 Januari 1926, maka Muhammadiyah lahir lebih awal empat belas tahun, yaitu pada 18 Nopember 1912.

Melihat kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia, keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan lanskap sejarah keindonesiaan yang lengkap dan utuh. Keduanya, meminjam istilah Mas Surya Paloh, merupakan organisasi tujuh zaman. Keduanya sama-sama pernah menjalani masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan sekarang era Reformasi. Dilihat dari sudut historisitasnya, keduanya telah berperan cukup besar bagi kelangsungan eksistensi Indonesia, tentunya dengan mengecualikan fase-fase tertentu dimana langit-langit politik memang tak memberikan peluang bagi keduanya untuk tampil sebagai pemain garda depan. Dan dengan tipologi yang dimiliki masing-masing, keduanya telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam pengisian nilai-nilai religius ke dalam lokus keindonesiaan.

Pada optik itulah, koinsidensi historis NU-Muhammadiyah yang terjadi ini memiliki makna penting. Setelah melalui perjalanan panjang dengan segala suka dukanya, maka kebersamaan waktu antara Sidang Tanwir Muhammadiyah dan ulang tahun NU ke-76 inipun bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk mengoptimalkan secara serius (bukan semu) peran keduanya dalam konteks sosio-kultural. NU dan Muhammadiyah kini perlu untuk memfokuskan dan mengorientasikan diri pada kerja-kerja kultural secara lebih maksimal.

Optimalisasi kerja kultural itu dapat dilakukan sekurang-kurangnya dalam lima bentuk. Pertama, baik NU maupun Muhammadiyah secara kelembagaan tidak perlu lagi menempatkan politik sebagai kepentingan tujuan yang dominan. NU dengan kredonya “Kembali ke Khithah 1926” dan Muhammadiyah dengan slogannya “High Politics” atau “Politik Luhur”, perlu semakin dimantapkan sebagai visi dan cita pergerakan kultural, tanpa perlu terjebak pada pemenuhan kepentingan-kepentingan politik yang bersifat jangka pendek, tentatif, dan sesaat.

Keduanya mesti mengkonsentrasikan gerakannya pada penggarapan masalah sosial keagamaan, yang beberapa waktu lalu sempat terhenti akibat gonjang-ganjing politik nasional yang telah memecah konsentrasi sebagian besar para petinggi kedua organisasi ini. Sekarang tiba saatnya bagi keduanya untuk bisa bekerja sama dalam jalur-jalur pergerakan kultural.

Untuk sampai ke arah itu, diperlukanlah keberanian moral untuk mengakhiri dan menyudahi polarisasi politik antara NU dan Muhammadiyah yang selama ini terjadi. Dalam konstelasi yang paling kontemporer, misalnya, masing-masing perlu menarik garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB, dan Muhammadiyah dengan PAN. Ini penting dikemukakan, karena walaupun secara formal-institusional antara NU dengan PKB dan Muhammadiyah dengan PAN tidak mempunyai hubungan, namun pertengkaran yang pernah terjadi antara Abdurrahman Wahid (PKB) dan Amin Rais (PAN) bagaimanapun telah menyebabkan NU dan Muhammadiyah berada dalam ketegangan dan hubungan yang tidak mesra.

Dalam konteks itu, penegasan kembali oleh Syafi’ie Ma’arif dalam Sidang Tanwir di Denpasar Bali bahwa Muhammadiyah tidak memiliki hubungan organisasitoris dengan partai manapun, dan Muhammadiyah tidak akan memasuki wilayah kekuasaan (Kompas, 28/1/2002) perlu mendapatkan apresiasi yang cukup.

Begitu juga, walaupun menyulut kegeraman Ketua Dewan Syura PKB Abdurrahman Wahid, ketidakhadiran Hasyim Muzadi dan Sahal Mahfudz (masing-masing sebagai Ketua Umum dan Rais ‘Am PBNU) dalam MLB PKB versi Alwi Shihab di Yogyakarta beberapa hari yang lalu, saya kira merupakan awal yang baik untuk menjaga netralitas dan independensi NU berhadapan dengan berjibun partai politik, sehingga NU tetap berada di garis orbitnya (Khithah 1926), setelah sepanjang 1999-2001 seluruh energinya terkuras habis untuk megamankan posisi Gus Dur dari kursi kepresidenannya.

Hubungan NU dengan PKB atau PAN dengan Muhammadiyah cukuplah dimaknakan dalam hubungan historis-kesejarahan. PKB didirikan oleh PBNU yang waktu itu diketuai oleh Abdurrahman Wahid, dan kemunculan PAN tak terlepas dari andil besar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amin Rais.

Secara lebih jauh, penarikan garis demarkasi yang tegas antara NU dengan PKB atau Muhammadiyah dengan PAN merupakan langkah strategis, agar NU dan Muhammadiyah bisa optimal bekerja pada gerakan pemberdayaan civil society (istilah yang populer di kalangan NU) atau masyarakat madani (istilah yang nge-trend di kalangan Muhammadiyah). Pilihan inilah yang paling ideal, meskipun oleh sebagian politisi Islam akan dinilai tidak strategis dan realistis. Namun, seharusnyalah baik NU maupun Muhammadiyah tetap mengutamakan yang ideal tersebut, dan tidak begitu saja terjebak pada kubangan politik praktis yang bersifat tentatif dan fluktuatif. Tegasnya, kedua organisasi ijtima’iyah-diniyah ini dituntut untuk mencadangkan diri sebagai wahana penciptaan dan pemberdayaan masyarakat sipil (civil society).

Kedua, merumuskan agenda aksi bersama pada tingkat praksis di lapangan untuk menggiatkan kreativitas ekonomi rakyat. Sebab, telah cukup lama warga NU dan Muhammadiyah berada dalam proses peminggiran yang tak ketulungan. Ambil contoh, warga NU yang tinggal di desa-desa dan anggota Muhmmadiyah yang berada di perkotaan telah dipertemukan dalam suratan yang sama, yaitu marginalisasi ekonomi. Tengoklah, para petani yang tanahnya terampas, penggusuran rumah pemukiman miskin (slum) di kota, para pedagang batik dan kretek yang kelimpungan. Kurangnya perhatian terhadap kelompok tertindas itu, menyebabkan mereka semakin terpojok berada di periferi secara ekonomi.

Ketiga, sama-sama merumuskan agenda masing-masing yang pada suatu ketika diarahkan pada pembentukan konvergensi--terutama dalam kerangka peningkatan sumberdaya manusia. Untuk membenahi sistem pendidikan di pesantren-pesantren milik warga NU, misalnya, para pengasuh pesantren tidak perlu malu-malu dan segan untuk meminta masukan bahkan belajar banyak dari kesuksesan Muhammadiyah dalam bidang pengelolaan lembaga pendidikan. Kita tahu, lembaga-lembaga pendidikan milik Muhammadiyah mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi banyak mendapatkan pengakuan dari publik. Begitu juga, bagi Muhammadiyah. Untuk mengatasi kelangkaan para ulama yang mampu merujuk dan mengakses pada khazanah intelektual keislaman klasik, maka tidak mengapa jika Muhammadiyah memasoknya dari NU yang konon sudah kelebihan stok untuk itu, paling tidak hingga saat ini.

Keempat, memikirkan secara lebih serius mekanisme komunikasi yang produktif di antara kedua organisasi Islam terbesar itu untuk mencari titik-titik temu fundamental dan menghindari titik-titik pecah permukaan. Sebab, antara kedua organisasi keagamaan terbesar itu, sesungguhnya memang tidak ada perbedaan yang menyolok. Secara teologis, misalnya, antara keduanya ditemalikan dalam dasar-dasar dan konsep-konsep fundamental keagamaan yang sama. Tak dapat diragukan bahwa keduanya adalah termasuk golongan Muslim Sunni, yang melaksanakan pokok-pokok keimanan dan sendi-sendi ibadah yang sama. Perbedaan keduanya hanya menyangkut masalah furu’iyah yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Namun, dalam sejarahnya, masa`il furu’iyah inilah yang seringkali memacetkan jalur komunikasi antarwarga dua ormas ini

Kelima, sama-sama mengorientasikan diri ke arah pencarian jawaban atas krisis-krisis sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang sedang melanda bangsa ini. Sebab, akutnya kemelut yang melanda bangsa Indonesia hari ini agaknya tidak bisa dipasrahkan penyelesaiannya hanya kepada tangan negara. Di sini, NU- Muhammadiyah yang warganya paling dahsyat tertimpa badai krisis itu--mulai dari krisis ekonomi, sosial hingga krisis politik--harus mengorientasikan dan memfokuskan program kerjanya secara sungguh-sungguh pada advokasi dan pemberdayaan warganya. Seruan keprihatinan beberapa waktu yang lalu oleh para tokoh agama-agama yang juga menyertakan tokoh NU (Hasyim Muzadi) dan Muhammadiyah (Syafi’i Ma’arif) bahwa Indonesia sedang berada di ambang kebangkrutan dan kehancuran, harus segera dilanjutkan kepada kerja-kerja yang lebih konkret.

Jika kelima hal di atas dilaksanakan, koinsidensi historis yang terjadi antara NU dan Muhammadiyah ini boleh jadi akan memiliki bobot sejarah yang dalam dan strategis. Sehingga, NU-Muhammadiyah akan dapat menatap masa depan dengan cerah, tanpa terbelenggu oleh beban-benan sejarah masa lalu yang telah menjerumuskan kedua ormas ini kedalam pertikaian dan perseteruan yang tidak perlu.

Referensi: http://www.google.co.id/search?hl=id&q=sejarah++NU+Muhammadiyah&btnG=Telusuri&meta=

No comments: