Saturday, May 17, 2008

PERKEMBANGAN WAKAF PADA MASA KONTEMPORER

Oleh: uswatun hasanah

A. Pendahuluan

Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Di beberapa negara yang telah mengembangkan wakaf secara produktif, misalnya Mesir, Turki, Yordania, wakaf sangat berperan dalam memajukan bidang pendidikan, kesehatan, penelitian, pengentasan kemiskinan, peningkatan ekonomi umat, dan lain sebagainya.

Meskipun dalam sejarah wakaf telah memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat, namun hasil studi tentang pengelolaan wakaf akhir-akhir ini menunjukkan masih adanya wakaf yang kurang memberi dampak positif karena tidak dikelola dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan karena terjadinya mismanajemen, bahkan tidak jarang terjadi penyelewengan harta wakaf. Sebagai akibatnya ada negara yang hasil pengelolaan harta wakafnya menurun sehingga tidak cukup untuk memelihara aset harta wakaf yang ada, apalagi untuk memberikan manfaat kepada fakir miskin, atau dengan kata lain tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkan wakif. Berkenaan dengan kondisi tersebut, banyak ilmuwan yang mengkaji kembali strategi pengelolaan wakaf, dengan harapan di masa yang akan datang wakaf dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Bagi negara yang wakafnya kurang berkembang, pada umumnya pemerintah dan ilmuwan setempat mengkaji faktor yang menyebabkannya. Setelah diketemukan faktor penyebabnya, negara-negara tersebut menyusun strategi dan kebijakan untuk mengembalikan fungsi wakaf sebagaimana mestinya, yakni untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Di beberapa negara hasil wakaf pada umumnya selain dipergunakan untuk kepentingan keagamaan, meningkatkan ekonomi umat, kesehatan, pendidikan, juga dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk menyediakan air minum di pusat perbelanjaan, membangun jalan, menyediakan sarana dan prasaran umum lainnya. Begitu pentingnya wakaf untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat, maka pada saat ini wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang menjadi bahan kajian bagi para ilmuwan. Kajian wakaf tersebut tidak hanya di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam, tetapi juga perguruan-perguruan tinggi umum, bahkan di Barat masalah wakaf sudah mendapat perhatian khusus bagi para cendekiawan. Hal ini disebabkan karena wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang sangat potensial, sehingga perlu digali dan dikembangkan. Beberapa cendekiawan yang pada saat ini cukup banyak bicara tentang wakaf, antara lain Monzer Kahf (Islamic Finance Consultant USA), M.A. Mannan (Bangladesh), dan lain-lain.

Seminar/workshop Internasional tentang wakafpun akhir-akhir ini sering dilakukan. Di Indonesia sepengetahuan penulis sudah tiga kali Seminar/Workshop Internasional tentang Wakaf diselenggarakan, yakni Seminar/workshop di Batam, Medan dan terakhir di UHAMKA. Seminar yang belum lama berlangsung adalah Singapore International Waqf Coference 2007, yang dilaksanakan awal Maret yang lalu. Pada umumnya seminar/workshop yang diselenggarakan tersebut membahas berbagai masalah yang dihadapi dalam masalah perwakafan dan solusinya. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk memabahas mengenai: “Bagaimanakah Perkembangan Wakaf pada Masa Kontemporer”.

B. Wakaf dan Permasalahannya

Sebagai salah satu lembaga Islam, wakaf dikenal di suatu negara bersamaan dengan masuknya Islam di negara tersebut. Perkembangan dan permasalahan wakaf di satu negara dengan negara lain jelas berbeda. Di beberapa negara wakaf dapat berkembang dengan baik dan mampu berperan untuk meningkat perekonomian umat, seperti di Mesir, Turki, Saudi, dan lain-lain, tetapi di negara lain seperti Indonesia, wakaf belum dapat memberdayakan ekonomi umat. Bagi negara-negara yang wakafnya sudah dapat meningkatkan perekonomian umat, masalah yang dihadapi tidaklah terlalu berat, karena mereka hanya perlu mempertahankan dan meningkatkan prestasi pengelolaan yang telah mereka capai dengan meningkatkan profesionalitas para nadzir. Akan tetapi bagi negara yang lembaga wakafnya belum dikembangkan secara produktif, permasalahan yang dihadapi cukup banyak dan sangat komplek. Hal ini tidak berarti bahwa wakaf di negara tersebut tidak dapat berkembang, tetapi untuk mengembangkan wakaf di negara tersebut memerlukan beberapa syarat, antara lain perumusan konsepsi fiqih wakaf baru, pengelolaan wakaf secara produktif, pembinaan nazhir, peraturan perundang-undangan yang mendukungnya, dan komitmen bersama antara nadzir, pemerintah dan masyarakat untuk mengembangkan wakaf secara produktif. Jika dikaji, ada beberapa masalah yang dihadapi dalam perwakafan saat ini, antara lain:

1. Masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf.

Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkannya wakaf. Memahami rukun wakaf bagi masyarakat sangat penting, karena dengan memahami rukun wakaf, masyarakat bisa mengetahui siapa yang boleh berwakaf, apa saja yang boleh diwakafkan, untuk apa dan siapa wakaf diperuntukkan, bagaimana cara berwakaf, dan siapa saja yang boleh menjadi nadzir, dan lain-lain. Pada saat ini cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang dapat diwakafkan hanyalah benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan benda-benda tidak bergerak lainnya. Dengan demikian peruntukannyapun sangat terbatas, seperti untuk mesjid, mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, sekolah dan sejenisnya. Pada umumnya masyarakat mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid, karena mesjid dipergunakan untuk beribadah. Walaupun wakaf untuk masjid penting, namun jika masjid sudah banyak, akan lebih manfaat jika wakif mewakafkan hartanya untuk hal-hal yang lebih produktif sehingga dapat dipergunakan untuk memberdayakan ekonomi umat. Karena pemahamannya masih pada wakaf konsumtif, maka nadzir yang dipilih oleh wakifpun mereka yang ada waktu untuk untuk menunggu dan memelihara mesjid. Dalam hal ini wakif kurang mempertimbangkan kemampuan nadzir untuk mengembangkan masjid yang dapat menjadi pusat kegiatan umat. Dengan demikian wakaf yang ada, hanya terfokus untuk memenuhi kebutuhan peribadatan, dan sangat sedikit wakaf yang berorientasi untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat. Pada hal jika dilihat dari sejarah wakaf pada masa lampau, baik yang dilakukan Nabi Muhammad maupun para sahabat, selain mesjid, tempat belajar, cukup banyak wakaf yang berupa kebun yang produktif, yang hasilnya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan. Untuk mengatasi masalah ini sebaiknya, di negara yang bersangkutan dilakukan perumusan konsepsi fikih wakaf baru, kemudian dituangkan dalam Undang-undang tentang Wakaf, dan undang-undang tersebut disosialisasikan kepada masyarakat. Di samping itu nazhir juga dibina supaya mampu mengelola wakaf secara produktif. Dengan demikian perwakafan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga tujuan wakaf dapat tercapai.

Hal demikian pada saat ini sudah diterapkan di Turki, Mesir, Bangladesh, dan lain-lain.

2. Pengelolaan dan manajemen wakaf

Saat ini ada beberapa negara yang pengelolaan dan manajemen wakafnya sangat memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu sebabnya antara lain adalah karena umat Islam (wakif) pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah saja, kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya juga kurang profesional.

Oleh karena itu kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf ini sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia dikarenakan wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan wakaf harus diterapkan. Wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain perumusan konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan, nazhir juga harus dibina menjadi nazhir profesional untuk mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang antara melakukan pembinaan nazhir. Badan wakaf dimaksud sudah ada di beberapa negara, antara Badan Wakaf Mesir, Badan Wakaf Sudan, dan lain-lain. Di Indonesia diharapkan dalam waktu dekat juga dibentuk Badan Wakaf Indonesia.

3. Benda yang diwakafkan dan Nazhir Wakaf.

Nazhir adalah salah satu unsur penting dalam perwakafan. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Sayangnya,

masih ada beberapa negara yang wakafnya dikelola oleh mereka yang kurang profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Kasus semacam ini juga terjadi di Indonesia, bahkan pada umumnya wakaf di Indonesia dikelola nazhir yang belum mampu mengelola wakaf yang menjadi tanggungjawabnya. Di Indonesia hanya ada beberapa wakaf yang dikelola oleh nazhir profesional, misalnya Badan Wakaf UII, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung, Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Gontor, dan lain-lain. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, kadangkala biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah masyarakat. Pada hal andaikata, nazhirnya kreatif, dia bisa mengelola wakafnya secara produktif. Sayangnya, di samping nazhirnya kurang kreatif, tanah yang diwakafkan juga luasnya hanya cukup untuk mushalla. Di samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain sehingga memungkinkan wakaf tersebut berpindah tangan.

Kondisi ini juga pernah terjadi di Turki, yang menyebabkan Pemerintah mengeluarkan Undang-undang. Pada waktu itu ada keluhan dari masyarakat tentang sikap negatif nazhir dan wali serta kerusakan yang mereka lakukan terhadap harta wakaf, serta tidak terealisasinya tujuan yang diinginkan wakif (Monzer Kahf, 2005: 296). Selain Turki, kasus serupa juga terjadi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir hendaknya mempertimbangkan kompetensinya. Di samping itu harus disosialisasikan kepada masyarakat perlunya dikembangkan wakaf benda bergerak, selain benda tidak bergerak.

C. Bentuk-bentuk Pengembangan Harta Wakaf pada Masa Kontemporer.

Dalam hukum Islam, wakaf tidak terbatas pada benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak termasuk uang. Di beberapa negara seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Turki, Kuwait, wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, hotel, pusat perbelanjaan, uang, saham, real estate dan lain-lain yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam serta telah menfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai yang memungkinkan mereka melakukan berbagai kegiatan seperti riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun masyarakat. Sebagai contoh misalnya di bidang kesehatan, lembaga wakaf juga menyediakan fasilitas-fasilitas untuk meningkatan kesehatan masyarakat dan fasilitas pendidikan dengan pembangunan rumah sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri obat-obatan serta kimia.

Pada saat ini, di Indonesia sedang dilakukan sosialisasi wakaf uang. Di negara lain seperti Turki, Kuwait, Bangladesh sudah cukup lama dikembangkan, sehingga dapat mengembangkan harta benda wakaf yang lain. Hasil pengelolaan wakaf di negara-negara tersebut sangat membantu menyelesaikan berbagai masalah umat, khususnya masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Wakaf uang sebenarnya sudah dikenal oleh para ulama klasik.

Ulama yang membolehkan wakaf uang berpendapat, bahwa uang dapat diwakafkan asalkan uang tersebut diinvestasikan dalam usaha bagi hasil (mudlarabah), kemudian keuntungannya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian uang yang diwakafkan tetap, sedangkan yang disampaikan kepada mauquf ‘alaih adalah hasil pengembangan wakaf uang itu. Pada saat ini sudah cukup banyak bermunculan bentuk baru pengelolaan wakaf uang. Munculnya bentuk-bentuk pengelolaan wakaf uang tersebut tidak terlepas dari munculnya berbagai bentuk investasi dan berbagai cara dalam pengelolaan ekonomi. Salah satu bentuk baru dalam pengelolaan wakaf uang adalah wakaf uang yang dikelola oleh perusahaan investasi. Biasanya wakaf uang di sini dikelola atas asas mudlarabah. Dalam hal ini uang diserahkan kepada badan atau yayasan yang menerima pinjaman usaha bagi hasil atau kepada yayasan yang dikelola oleh pengelola sewaan, sedangkan hasilnya diberikan kepada mauquf ‘alaih sebagai amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf.

Sebagaimana sudah diketahui bersama, agar wakaf dapat mewujudkan kesejahteraan umat, maka wakaf harus dikelola secara produktif oleh nazhir yang profesional. Untuk menacapai tujuan tersebut masing-masing negara memiliki kebijakan sendiri. Ada negara yang mengelola wakaf secara langsung, ada yang negara yang wakafnya dikelola oleh suatu badan atau lembaga wakaf (swasta), ada negara yang wakafnya dikelola oleh nazhir perorangan yang ditentukan dan diawasi oleh Hakim, dan ada pula negara yang wakafnya dikelola oleh tiga unsur sekaligus yakni negara, badan hukum/organisasi, maupun perorangan.

Pada saat ini ada beberapa negara khususnya negara Islam atau negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam sengaja membentuk Kementerian Wakaf dan Lembaga Wakaf Daerah. Kedua lembaga pemerintahan ini mengelola semua jenis wakaf, baik wakaf benda bergerak maupun benda tidak bergerak termasuk uang, wakaf mesjid dan tempat kegiatan ibadah lainnya. Dalam praktiknya, pemerintah menguasai pengelolaan wakaf, dan pemerintah menghalangi pengangkatan nazhir wakaf selain dari lembaga resmi yang dibentuk oleh pemerintah, kondisi semacam ini terjadi di Syria. Ciri khas lembaga pemerintah ini biasanya menggunakan sistem sentralisasi yang ketat, di mana wakaf produktif juga dikelola oleh Kementerian Wakaf atau Kantor Pusat (Monzer Kahf, 2005: 296-297).

Adapun contoh wakaf yang dikelola oleh swasta independen adalah wakaf di Aljazair. Dalam Undang-undang Wakaf di Aljazair terang-terangan dinyatakan bahwa yang menjadi nazhir wakaf adalah Lembaga Wakaf (swasta independen). Yang dimaksud dengan kepengurusan wakaf swasta independen adalah kepengurusan yang dibentuk oleh wali wakaf atau nazhirnya saja dan berdiri secara independen tanpa campur tangan pemerintah, baik wakaf itu terbentuk sebagai wakaf yang jelas di negara yang membolehkan adanya para nazhir maupun yang terbentuk sebagai organisasi sosial dan lain sebagainya. Disebut kepengurusan swasta karena setiap nazhir mengurus wakaf terpisah dari lainnya, sehingga harta wakaf tidak bercampur antara satu wakaf dengan wakaf lainnya. Yang termasuk dalam kategori kepengurusan swasta ini adalah wakaf yang dikelola oleh organisasi sosial kemasyarakatan, baik berupa organisasi keagamaan, sosial, olah raga atau yang lainnya yang berupa badan hukum dan berdiri secara independen serta beban keuangan yang independen pula (Monzer Kahf, 2005: 304).

Sedangkan nazhir perorangan adalah nazhir yang ditentukan dan diawasi oleh para hakim atau mahkamah. Nazhir semacam ini masih cukup banyak di sebagian negara Islam atau negara yang penduduknya beragama Islam. Pada umumnya wakaf yang dikelola oleh nazhir perorangan tidak dapat berkembang secara produktif, karena di samping pengetahuannya terbatas, sedikit di antara para hakim yang mempunyai pengalaman yang layak dalam mengawasi dan mengelola wakaf, apalagi para hakim juga tidak mempunyai pengetahuan tentang kelayakan para nazhir. Oleh karena itu pengawasan mereka terhadap nazhir juga tidak efektif, hal ini menyebabkan tidak dapat berfungsinya wakaf secara optimal (Monzer Kahf, 2005: 306).

Adapun bentuk pengembangan wakaf yang terjadi akhir-akhir ini sangat bermacam-macam sesuai dengan benda yang diwakafkan. Sebagaimana sudah penulis kemukakan bahwa harta benda yang diwakafkan meliputi benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak anatara lain meliputi tanah, bangunan di atas tanah, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah, dan benda lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara yang bersangkutan. Adapun benda bergerak yang boleh diwakafkan antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Pada dasarnya semua wakaf harus dikembangkan secara produktif, namun pengembangannya tentu disesuaikan dengan benda yang diwakafkan dan peruntukannya. Dalam kaitannya dengan pengembangan wakaf ini penulis ambil contoh di Sudan dan Kuwait. Untuk mengembangkan wakaf, di Sudan dibentuk Badan Wakaf yang bekerja tanpa ada keterikatan secara birokratis dengan Kementerian Wakaf. Badan Wakaf Sudan ini mengurusi wakaf yang belum tertib dan mengawasi jalannya pengelolaan wakaf dan menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada nazhir (Monzer Kahf, 2005: 308). Yang perlu diperhatikan dalam praktik perwakafan di Sudan adalah berdirinya badan wakaf yang menggunakan sistem manajemen yang sesuai dengan kondisi perwakafan di Sudan. Tugas utama Badan Wakaf Sudan adalah (a) menggalakkan wakaf baru, dan (b) meningkatkan pengembangan harta wakaf produktif. Untuk menggalakkan wakaf baru, Badan Wakaf Sudan membuat produksi dan investasi proyek-proyek wakaf yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan pembangunan umum. Di antara proyek tersebut antara lain adalah proyek wakaf pembangunan asrama mahasiswa; proyek wakaf pembangunan rumah sakit; proyek pembangunan pasar sebagai pusat perdagangan, dan lain-lain. Di samping itu Badan Wakaf Sudan juga mempunyai proyek wakaf yang disebut Lembaga Dana Sosial yang bertujuan menggalang dana wakaf umum untuk diinvestasikan pada pasar uang dan properti, serta menyalurkan hasilnya untuk berbagai tujuan kebaikan sesuai yang ditentukan program tahunan dan anggaran tahunan Badan Wakaf. Adapun garapan Badan Wakaf Sudan yang kedua adalah mengelola dan melakukan investasi wakaf lama yang ada di tengah-tengah masyarakat Sudan. Untuk wakaf yang jelas akte dan memenuhi syarat termasuk jelas nadzirnya, Badan Wakaf hanya membantu nazhir dalam mengembangkan harta wakaf, dan bila perlu memberi bantuan dana kepada wakaf yang ada, tetapi terhadap wakaf yang belum ada aktenya dan syarat-syaratnya juga tidak jelas, Badan Wakaf mengurusnya dan menjadikan dirinya sebagai nazhir untuk mengembangkan harta wakaf tersebut, dan mengelola secara produktif untuk disalurkan hasilnya kepada mereka yang berhak. Untuk mengembangkan wakaf tersebut Badan Wakaf mendirikan beberapa perusahaan, antara lain Perusahaan Kontraktor. Perusahaan ini bertujuan melakukan rehabilitasi bangunan serta membuat perencanaan bangunan dan penyelesaiannya. Selain itu Badan Wakaf mendirikan bank untuk membantu proyek pengembangan wakaf, dan juga mendirikan perusahaan pengembangan bisnis dan industri (Monzer Kahf, 2005: 312). Dengan program seperti ini jelas wakaf yang sudah ada terkelola dengan baik, dan yang wakaf barupun dapat digerakkan dan dikembangkan.

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1993 Kementerian Wakaf Kuwait melakukan penertiban terhadap semua wakaf yang ada. Kementerian Wakaf sengaja membentuk semacam perserikatan wakaf yang merupakan lembaga pemerintah yang berdiri secara independen dalam mengambil keputusan, walaupun secara administrasi lembaga tersebut bekerja berdasarkan peraturan pemerintah. Lembaga Wakaf ini mempunyai strategi kerja yang mengacu pada dua hal, yang keduanya bertujuan untuk melaksanakan wakaf secara efektif. Pertama, Lembaga Wakaf mengembangkan harta wakaf yang sudah ada di Kuwait melalui berbagai saluran investasi, dan membagikan hasilnya sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Wakif. Sedangkan yang kedua, Lembaga Wakaf membuat jaringan dan program untuk menggalakkan wakaf baru. Untuk itu Lembaga tersebut melakukan kampanye gerakan wakaf dengan tujuan mengajak masyarakat berwakaf dan melakukan penyuluhan pemanfaatan wakaf untuk pembangunan masyarakat di bidang peradaban, pendidikan dan sosial. Dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga Wakaf ini menggunakan sistem kerja terstruktur berdasarkan bidang dan spesialisasi masing-masing, namun tetap untuk mencapai tujuan yang sama dalam memanaj semua harta wakaf. Maka untuk merealisasikan tujuan dari pembentukan Lembaga Wakaf ini, dibentuk dua bagian utama, yaitu”

1. Bagian investasi dan pengembangan harta wakaf lama dan baru dan pencapaian hasil-hasilnya.

2. Bagian penyaluran hasil-hasil wakaf yang ada sesuai dengan tujuannya masing-masing dan melakukan kampanye pembentukan wakaf baru yang dapat memberi pelayanan kepada masyarakat berdasarkan prioritas dan tingkat kebutuhannya.

Sistem kerja terstruktur tersebut telah membentuk dua bagian penting dalam lembaga wakaf, yaitu bagian investasi yang terdiri dari beberapa bagian, misalnya bagian investasi bidang properti dan non properti, bagian dana dan proyek yang terdiri dari beberapa saluran dana dan proyek yang diperlukan dalam masyarakat. Bagian investasi dalam lembaga wakaf ini secara khusus menangani investasi harta wakaf dan mengembangkannya, serta mengoptimalkan pelaksanaannya untuk meningkatkan hasil-hasilnya. Strategi investasi pada bagian investasi bersandar pada sistem terstruktur yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan spesialisasi dan bidangnya masing-masing. Bidang investasi properti dan non properti, masing-masing mempunyai kantor sendiri, tetapi semua bagian nenjalin kerjasama antara satu dengan lainnya dalam rangka menjaga kelancaran dan pelaksanaan investasi ideal yang meliputi semua jenis investasi dengan resiko yang kecil, dan secara geografis kawasan investasi mudah melakukan distribusi.

Investasi ini ada kalanya di bidang properti, keuangan maupun jasa. Dengan demikian Lembaga Wakaf di Kuwait telah memberi kontribusi yang sangat besar dalam membuat berbagai kawasan investasi keuangan yang semuanya terikat dengan hukum syari’ah, dan telah diagendakan untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Untuk menangani hal-hal di atas, Lembaga Wakaf juga telah membentuk bagian investasi yang secara khusus menangani bidang investasi keuangan. Dengan adanya sistem manajemen investasi, Lembaga Wakaf telah membentuk perusahaan manajemen properti, dimana semua pengelola harta properti wakaf menyatu di perusahaan tersebut (Monzer Kahf, 2005: 313-315).

Selain Sudan dan Kuwait, beberapa negara seperti Mesir, Turki, Yordania, Bangladesh juga sudah mengelola wakaf mereka secara produktif. Di samping itu di negara-negara tersebut wakaf juga sudah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang memadai. Dengan demikian wakaf dapat berkembang secara produktif, dan sudah berperan untuk mengurangi permasalahan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Di Indonesia, alhamdulillah pada saat ini konsepsi fikih wakaf dan pengelolaannya juga sudah dikembangkan, dan sudah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

D. Peranan Nazhir dalam Pengelolaan Wakaf

Nazhir berasal dari kata kerja bahasa Arab nazhara yang mempunyai arti, menjaga, memeliha­ra, mengelola dan mengawasi. Adapun (nazhir) adalah isim fa'il dari kata nazhara yang kemudian dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pengawas atau penjaga (J. Hilton Cowan, 1980: 977). Sedang­kan nazhir wakaf atau biasa disebut nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Pengertian ini kemudian di Indonesia dikembangkan menjadi kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf. Dalam kitab fiqh masalah nazhir ini dibahas dengan judul al-Wilayat 'ala al-waqf artinya pengua­saan terhadap wakaf atau pengawasan terhadap wakaf. Orang yang diserahi atau diberi kekuasaan atau diberi tugas untuk mengawasi harta wakaf itulah yang disebut nazhir atau mutawalli. Dengan demikian nazhir berarti orang yang berhak untuk bertindak atas harta wakaf, baik untuk mengurusnya, memeliharanya, mengembangkan dan mendistribusikan hasil wakaf kepada orang yang berhak menerimanya, ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan harta itu tumbuh dengan baik dan kekal Ash-Shan’any: 112).

Dari pengertian nazhir yang telah dikemukakan, tampak bahwa dalam perwakafan, nazir memegang peranan yang sangat penting. Agar harta itu dapat berfungsi sebagaimana mesti­nya dan dapat berlangsung terus-menerus, maka harta itu harus dijaga, dipelihara, dan jika mungkin dikembangkan. Dilihat dari tugas nazir, di mana dia berkewajiban untuk mengadmistrasikan harta benda wakaf, menjaga, mengembangkan harta benda sesuai dengan fungsi, tujuan, dan peruntukannya serta melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang berhak menerimanya. Di samping itu nazhir juga berkewajiban mengawasi dan melindungi harta wakaf. Dengan demikian jelas bahwa berfungsi dan tidak berfungsinya suatu perwa­kafan sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Berkenaan dengan tugasnya yang cukup berat, maka nazhirpun mempunyai hak untuk memperoleh hasil dari pengembangan wakaf. Di berbagai negara pada umumnya diatur bahwa nazhir berhak memperoleh hasil pengembangan wakaf paling banyak 10%. Di Indonesia, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%.

Walaupun para mujtahidin tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf (pengawas wakaf). Pengangkatan nazhir ini tampaknya ditujukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terkelola sehing­ga harta wakaf itu tidak sia-sia. Begitu pentingnya keberadaan nazhir, dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 nazhir dianggap sebagai salah satu unsur wakaf. Nazhir tersebut bisa berbentuk perorangan, organisasi maupun Badan Hukum.

Agar nazhir bekerja sesuai dengan apa yang disyaratkan wakif dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, biasanya di setiap negara yang yang wakafnya sudah berkembang dengan baik dibentuk suatu lembaga atau badan yang salah satu tugasnya adalah membina dan mengawasi nazhir. Di Indonesia misalnya, dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Dalam Pasal 49 ayat (1) disebutkan Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;

b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;

c. memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;

d. memberhentikan dan mengganti nazhir;

e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;

f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Dalam Pasal yang sama ayat (2) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu.

Dilihat dari tugas dan wewenang BWI dalam UU ini nampak bahwa BWI selain mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia, juga mempunyai tugas untuk membina para nazhir, sehingga nantinya wakaf dapat berfungsi sebagaimana disyariatkannya wakaf. Adapun pengawasan terhadap perwakafan pada umumnya dan nazhir pada khususnya dilakukan oleh pemerintah dibantu Badan Wakaf atau Lembaga Wakaf dari negara yang bersangkutan. Di Indonesia misalnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif. (2) Pengawasan aktif dilakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung terhadap nazhir atas pengelolaan wakaf, sekurang-kurangnya sekali dalam setahun. (3) Pengawasan pasif dilakukan dengan melakukan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nazhir berkaitan dengan pengelolaan wakaf; (4) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah dan masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen.

Dengan ketentuan di atas diharapkan harta wakaf bisa terlindungi dan pengembangannya tetap terjaga sehingga dapat berfungsi sesuai dengan kehendak wakif.

D. Kesimpulan

Dari pembahasan yang sudah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa praktik perwakafan di beberapa negara seperti Mesir, Turki, Syria, Sudan, Bangladesh sudah berkembang dengan baik, namun beberapa negara lain seperti Indonesia masih perlu pembenahan, karena walaupun peraturan perundang-undangannya sudah cukup bagus, namun penerapannya belum dilakukan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan tentang wakaf dan pengelolaan wakaf secara produktif perlu disosialisasikan kepada masyarakat dengan baik. Namun demikian, untuk mengembangkan wakaf di suatu negara, di samping syarat-syarat yang sudah penulis kemukakan, ada hal yang sangat penting untuk ditekankan yaitu komitmen bersama antara pemerintah, umat Islam dan para nazhir wakaf. Di samping itu, di masa yang akan datang diperlukan kerjasama antar Badan Wakaf yang ada di seluruh dunia Islam termasuk Badan Wakaf Indonesia yang insya Allah sebentar lagi terwujud. Dengan demikian berbagai permasalahan umat Islam khususnya masalah sosial dan ekonomi dapat diselesaikan bersama-sama. Wallahu a’lam. Semoga Allah memudahkan semuanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Khurshid (ed.), Pesan Islam, diterjemahkan oleh Achsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1983.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Bandung: Al-Ma’arif, 1987.

Jumhuriyyah Misr al-‘Arabiyyah, Qawanin al-Auqaf wa al-Hikr wa Qararat al-Tanfiziyyah, Cayro: Al-Haiah al-‘Ammah li Syuun al-Matabi al-Amiriyyah, 1993.

Kahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, Jakarta: Khalifa (Pustaka al-Kautsar Grup, 2005.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ahkam al-Waqf, Mesir: Mathba’ah al-Misr, 1951.

Kubaisyi, Muhammad ‘Ubaid ‘Abdullah, Ahkam al-Waqf fi Syari’at al-Islamiyyah, Jilid II, Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977

Manna, M. A., “Cash-Waqf Certificate Global Apportunities for Developing The Social Capital Market in 21 -Century Voluntary Sector Banking”, di Dalam Harvard Islamic Finance Information Program-Center for Middle Eastern Studies, Proceedings of The Third Harvard University Forum on Islamic Finance, Cambridge: Harvard University, 1999.

Zuhaily, Wahbah, Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Mesir: Dar al-Fikri, t.t. Juz VIII.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2994 Tentang wakaf.

________________

CURRICULUM VITAE

Nama : Dr. Uswatun Hasanah

Pendidikan (terakhir) : S-3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997

Pekerjaan : Staf Pengajar Universitas Indonesia

Pengalaman Kerja :

Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dari tahun 1998 – sekarang.

Staf Pengajar Matakuliah: (a) Hukum Islam, (b) Zakat dan Wakaf, (c) Hukum dan HAM di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2003

Mengajar Matakuliah (a) Ushul Fiqh, (b) Manajemen Zakat dan Wakaf, (c) Akuntansi Zakat pada Program Studi Timur Tengah dan Islam, Pasca sarjana Universitas Indonesia, dari tahun 2002 – sekarang

Staf Pengajar Matakuliah Zakat, Shadaqah, Waqaf Management pada Islamic Economics and Finance (IEF), Post Graduate Program, Trisakti University

Staf Pengajar pada Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Kekhususan Kajian Strategi Kebijakan dan Manajemen Lembaga Pemasyarakatan dan Penegakan HAM Program Pascasarjana Universitas Indonesia, dari tahun 2003

Staf Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta - Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Tahun 2005

Staf Pengajar Mata Kuliah (a) Agama Islam, dan (b) Lembaga-lembaga Islam di Indonesia di FISIP-UI dari tahun 1983 – sekarang

Staf Pengajar Mata Kuliah Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, dari Tahun 1999 – sekarang.

Asisten Deputi Urusan Pemantauan dan Evaluasi Diskriminasi HAM, Kantor Menteri Negara Urusan HAM Republik Indonesia, Tahun 2000.

Sekretaris Lembaga Kajian Sosiologi Hukum dan Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1999 – sekarang. Anggota Tim Penyusunan Usulan Garis-Garis Besar Haluan Negara, Universitas Indonesia, 1999.

Wakil Ketua Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2001 – sekarang.

Anggota Dewan Syari’ah Nasional

Ketua V Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia.

Pengurus Masyarakat Ekonomi Syari’ah

Anggota Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Tentang Wakaf, Departemen Agama RI

Anggota Tim Penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Departemen Agama RI.

Ketua Tim Pembina Pendidikan Agama Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, dari tahun 2002 – sekarang.

Anggota Dewan Pengawas Syari’ah pada PT. Bhakti Asset Management, dari Tahun 2004 – sekarang.

Anggota Dewan Pengawas Syari’ah pada PT. Asuransi Jiwa Mega Life Cabang Syari’ah dari Tahun 2006

Anggota Sentra HAM-Fakultas Hukum UI

Dan lain-lain.

Sumber: www.fai.uhamka.ac.id

No comments: