Sunday, September 7, 2008

PRINSIP-PRINSIP KOMUNIKASI DALAM AL-QUR`AN: Suatu Kajian Tafsir Tematik

Oleh A. Husnul Hakim IMZI - Dosen Fak. Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta
Peradaban masyarakat Madinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad SAW. Digam­barkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari ke­mam­puan Rasulullah dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti. Jika ditelusuri sirah (sejarah) Nabi, akan dijumpai bahwa keberhasilan itu karena beliau menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an secara konsisten. Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang prinsip-prinsip komunikasi dengan mengambil inspirasi dari al-Qur’an, bagaimana harus dipahami dan dimaknai pada masa modern dewasa ini sebagai landasan etis untuk pengembangan ilmu komunikasi yang lebih luhur dan mencerahkan.
MANUSIA, di samping makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senan­tiasa membu­tuh­kan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasya­rakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan. Dalam hal ini, al-Qur`an banyak memberikan arahan atau nilai-nilai positif yang harus dikembangkan; juga nilai-nilai negatif yang semestinya untuk dihin­darkan. Bahkan, di dalam QS. al-Hujurāt/49: 13, penggunaan redaksi ya ayyuhan-nas ―walaupun ayatnya adalah mada­niyah― menunjuk­kan bahwa saling mengenal yang dimaksud­kan itu tidak membe­dakan suku, ras, bahasa, kebudayaan, bahkan ideologi. Maka, ketika manusia tidak peduli dengan lainnya, tidak mau saling menge­nal atau, dengan istilah lain, ia lebih menonjolkan sikap egoistiknya, maka berarti ia telah kehilangan sifat dasar kemanusiaannya.

Manusia sebagai makhluk sosial menduduki posisi yang sangat pen­ting dan strategis. Sebab, hanya manusialah satu-satunya makh­luk yang diberi karunia bisa berbicara. Dengan kemampuan bicara itulah, memung­kinkan manusia membangun hubungan sosialnya. Sebagaimana bisa dipa­hami dari firman Allah علمه البيان “menga­jarnya pandai berbicara” (al-Rahmân/55: 4). Banyak penafsiran yang mun­cul berkenaan dengan kata al-bayān, namun yang paling kuat adalah berbicara (al-nuthq, al-kalām).[1] Hanya saja, menurut Ibn 'Asyur, kata al-bayān juga mencakup isyarah-isyarah lainnya, seperti kerlingan mata, anggukan kepala. Dengan demikian, al-bayān meru­pakan karunia yang terbesar bagi manusia. Bukan saja ia dapat dikenali jati dirinya, akan tetapi, ia menjadi pembeda dari binatan.[2]

Kemampuan bicara berarti kemampuan berkomunikasi. Ber­ko­mun­ikasi adalah sesuatu yang dihajatkan di hampir setiap kegiatan manusia. Dalam sebuah penelitian telah dibuktikan, hampir 75 % sejak bangun dari tidur manusia berada dalam kegiatan komunikasi. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian dan menumbuhkan persahabatan, meme­lihara kasih sayang, menyebar­kan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Akan tetapi, dengan komunikasi, juga kita dapat menumbuh-suburkan perpecahan, meng­hidupkan permusuhan, menanamkan keben­cian, merintangi kema­juan, dan menghambat pemikiran.[3]

Kenyataan ini sekaligus memberi gambaran betapa kegiatan komu­ni­kasi bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan oleh setiap manusia. Anggapan ini barangkali didasarkan atas dasar asumsi bahwa komunikasi merupakan suatu yang lumrah dan alamiah yang tidak perlu diperma­salah­kan. Sedemi­kian lumrahnya, sehingga seseorang cenderung tidak melihat kompleksi­tas­nya atau tidak menyadari bahwa dirinya sebenarnya berkeku­rangan atau tidak berkompeten dalam kegiatan pribadi yang paling pokok ini. Dengan demikian, berkomunikasi secara efektif sebenarnya merupakan suatu perbuatan yang paling sukar dan kompleks yang pernah dilakukan seseorang.[4]

Dalam sebuah ungkapan Arab disebutkan :الكلام صفة المتكلم Ucapan atau perkataan menggambarkan si pembicara'.[5] Dari per­nya­taan ini dapat dipahami bahwa perkataan/ucapan, atau dengan istilah lain, kemampuan berkomunikasi akan mencerminkan apakah seseorang adalah terpelajar atau tidak. Dengan demikian, berkomu­nikasi tidaklah identik dengan menyam­paikan sebuah informasi. Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rah­mat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengan­dung dua aspek, yaitu aspek isi dan aspek kandungan, di mana yang kedua mengkla­si­fikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metako­muni­kasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyam­paikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara komunikan.[6]

Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antar anggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana sang komunikator akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memu­lia­kan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apa­bila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai obyek; ia hanya menuntut agar orang lain bias memahami pendapatnya; semen­tara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehuma­ni­sasikan mereka, tetapi juga dirinya sendiri.[7]

Prinsip-prinsip Komunikasi dalam al-Qur'an
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur'an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata 'komunikasi' berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang ber­arti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dika­takan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang diper­cakapkan.[8]

Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan.[9]

Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pemben­tukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).[10]

Kedua, meskipun al-Qur'an secara spesifik tidak membi­ca­rakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti ada banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasum­sikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balighan, qaulan maisuran, qaulan kari­man, qaulan ma’rufan, qaulan layyinan, qaulan sadidan, juga ter­ma­suk qaul al-zur, dan lain-lain.

a. Prinsip Qaul baligh

Di dalam al-Qur'an term qaul baligh hanya disebutkan sekali, yaitu surah an-Nisa': 63:

فكيف إذا أصابتهم مصيبة بما قدمت أيديهم ثم جاءوك يحلفون بالله إن أردنا إلا إحسانا وتوفيقا, أولئك الذين يعلم الله ما فى قلوبهم فأعرض عنهم و عظهم و قل لهم فى أنفسهم قولا بليغا (النساء/4: 62-63)

"Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersum­pah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaik­an dan kedamaian.” Mereka itu adalah orang-orang yang (sesung­guhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.s. an-Nisa'/4: 62-63)

Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasu­lullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup mem­beri nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah,[11] dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh.

Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[12] Sementara menurut al-Ishfahani,[13] bahwa perkataan tersebut me­ngan­dung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedang­kan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.

Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain:[14]
 Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disam­pai­kan
 Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
 Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
 Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
 Kesesuaian dengan tata bahasa.

b. Prinsip Qaul karim

Term ini ditemukan di dalam al-Qur'an hanya sekali, yaitu surah al-Isra': 23:

و قضى ربك الا تعبدوا إلا إياه و بالوالدين احسانا, امايبلغن عندك الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما و قل لهما قولا كريما (الاسراء/17: 23):

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (Q.s. al-Isra'/17: 23(

Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kema­nusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyan­dang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu 'athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabung­kan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orag tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Dalam sebuah hadis dinyatakan:

عن أبى هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم انف: رجل ادرك أحد أبويه او كلاهما عنده الكبر لم يدخل الجنة (رواه أحمد)

Dari Abi Hurairah r.a., dari Nabi Saw. Bersabda, "Merugilah 3 x, seseorang yang menemukan salah satu atau kedua orang tuanya sudah lanjut usia tidak bisa masuk surga. (H.r. Ahmad)

Berkaitan dengan inilah, al-Qur'an memberikan petunjuk ba­gai­mana cara berprilaku dan berkomunikasi secara baik dan benar kepada kedua orang tua, terutama sekali, di saat keduanya atau salah satunya sudah berusia lanjut. Dalam hal ini, al-Qur'an menggunakan term karīm, yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah, misalnya, Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya. Artinya, sese­orang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar ter­bukti dan terlihat dalam kesehariannya.[15]

Namun, jika term karīm dirangkai dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.[16] Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati.[17] Ibn 'Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasehati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermak­sud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaan­nya.[18] Yang pasti qaul karīm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.

c. Prinsip Qaul Maisūr

Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra'/17: 28:

و إما تعرضن عنهم ابتغاء رحمة من ربك ترجوها فقل لهم قولاميسورا (الاسراء/17: 28)

"Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut." (Q.s. al-Isra'/17: 28)

Ibn Zaid berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak berman­faat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan."[19]

Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perka­taan yang baik, lembut, dan melegakan.[20] Ada juga yang menje­laskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma'rūf. Artinya, perkata­an yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.[21]

d. Prinsip Qaul ma'ruf

Di dalam al-Qur'an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu Q.s. al-Baqarah/2: 235, al-Nisa'/4: 5 dan 8, al-Ahzab/33: 32. Di dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam Q.s. an-Nisa'/4: 5 dan 8, qaul ma'ruf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum me­man­faatkannya secara benar (safih). Sedangkan di Q.s. al-Ahzab/33: 32, qaul ma'ruf disebutkan dalam konteks istri-istri Nabi Saw.

Kata ma'ruf disebutkan di dalam al-Qur'an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut
 Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
 Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, 'iddah, pergaulan suami-istri
 Terkait dengan dakwah
 Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
 Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
 Terkait dengan ketaatan kepada Allah da Rasul-Nya

Menurut al-Ishfahani, term ma'ruf menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara'.[25] Dari sinilah ke­mu­dian muncul pengertian bahwa ma'ruf adalah kebaikan yang bersifat lokal. Sebab, jika akal dijadikan sebagai dasar pertimbangan dari setiap kebaikan yang muncul, maka tidak akan sama dari masing-masing daerah dan lokasi.

Misalnya dalam kasus pembagian warisan, dimana saat itu juga hadir beberapa kerabat yang ternyata tidak memperoleh bagian warisan, juga orang-orang miskin dan anak-anak yatim, oleh al-Qur'an diperintahkan agar berkata kepada mereka dengan perkataan yang ma'ruf. Hal ini sangatlah tepat, karena perkataan baik tidak bias diformulasikan secara pasti, karena hanya akan membatasi dari apa yang dikehandaki oleh al-Qur'an. Di samping itu, juga akan terkait dengan budaya dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing daerah. Boleh jadi, suatu perkataan dianggap ma'ruf oleh suatu daerah, ternyata tidak ma'ruf bagi daerah lain. Begitu juga, dalam kasus-kasus lain sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur'an, seperti meminang wanita yang sudah habis masa 'iddahnya, menase­hati istri, memberi pengertian kepada anak yatim menyangktu pengelolaan hartanya. Sementara menurut Ibn 'Asyur, qaul ma'ruf adalah perkataan baik yang melegakan dan menyenangkan lawan bicaranya.[26]

Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma'ruf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safih);[27] perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu;[28] Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.[29]

e. Prinsip Qaul layyin

Di dalam al-Qur'an hanya ditemukan sekali saja, Q.s. Thaha/ 20: 44:

اذهبا الى فرعون انه طغى. فقولا له قولا لينا لعله يتذكر او يخشى (طه/20: 43-44)

“Pergilah kamu bedua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut." (Q.s. Thaha/20: 43-44)

Ayat ini memaparkan kisah nabi Musa dan Harun ketika diperin­tah­kan untuk menghadapi Fir'aun, yaitu agar keduanya ber­ka­ta kepada Fir'aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti'arah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut.[30] Semen­tara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengan­dung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembi­cara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.[31]

Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa harus berkata lembut padahal Fir'aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ad dua alasan, pertama, sebab Musa pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seha­rus­nya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.[33]

f. Prinsip Qaul sadid

Di dalam al-Qur'an qaul sadid disebutkan dua kali, pertama, Q.s. an-Nisa'/4: 9:

وليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوا الله و ليقولوا قولا سديدا (النساء/4: 9)

"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seki­ranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang me­reka yang mereka khawatir atas (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (Q.s. al-Nisa'/4: 9)

Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal ber­maksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, "bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak." Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepa­da setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justru akan menjadi beban orang lain.
Dan kedua, Q.s. al-Ahzab/33: 70

يايهاالذين امنوا اتقوا الله و قولوا قولا سديدا (الاحزاب/33: 70)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.s. al-ahzab/33: 70)

Ayat ini diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu konsekwensi keimanan ada­lah berkata dengan perkataan yang sadīd. Atau dengan istilah lain, qaul sadīd menduduki posisi yang cukup penting dalam konteks kualitas keimanan dan ketaqwaan seseorang. Sementara berkaitan dengan qaul sadid, terdapat banyak penafsiran, antara lain, perka­taan yang jujur dan tepat sasaran.[35] perkataan yang lembut dan mengandung pemuliaan bagi pihak lain,[36] pembicaraan yang tepat sasaran dan logis,[37] perkataan yang tidak menyakitkan pihak lain,[38] perkataan yang memiliki kesesuaian antara yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hatinya.[39]

g. Prinsip Qaul Zur

Di dalam al-Qur'an, qaul zur hanya ditemukan sekali, Q.s. al-Hajj: 30:

ذلك ومن يعظم حرمات الله فهو خير له عند ربه, و احلت لكم الانعام الا ما يتلى عليكم فاجتنبوا الرجس من الاوثان و اجتنبوا قول الزور (الحج/22: 30)

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa menga­gung­kan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumāt) maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan kepadamu (keharam­an­nya), maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta. (Q.s. al-Hajj/22: 30)

Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang menga­gung­kan masya'ir haram dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zūr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkritnya, sama-sama menuhan­kan hawa nafsu.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melen­ceng dari yang semestinya atau yang dituju.[40] Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah saw, sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda , "saksi palsu itu sebanding syirik.[41] Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar,[42] bahkan termasuk tindak pidana.[43]

Membangun Komunikasi Beradab
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komuni­kator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab : الطريقة اهم من المادة "Cara lebih penting dari pada isi". Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomu­nikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa "setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit". Setelah mendengar nasehat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat. Kemudian si anak muda tersebut, dengan maksud menasehati orang tuanya, menemui orang tuanya lalu berkata kepadanyan, "Pak…apa bapak gak takut masuk neraka, kok sampai setua ini bapak gak pernah shalat sih…". Pernyataan ini benar, tetapi rangkaian kata yang disampaikan cenderung meremehkan pihak lain, terlebih ia adalah orang tuanya sendiri atau orang yang usianya jauh lebih tua. Belum lagi, jika hal itu disampaikan dengan intonasi yang meninggi. Ini adalah contoh sederhana dari komunikasi yang tidak beradab.

Dengan demikian, komunikasi beradab, pada prinsipnya, me­ru­pakan suatu proses untuk mengkomunikasi kebenaran dan mem­bangun hubungan sosial dengan komunikannya atau bermeta­komunikasi. Sebab, miskomunikasi hanya akan menjadikan berpa­lingnya komunikan, yang berarti hilang pula informasi kebenaran itu. Inilah yang ditegaskan oleh al-Qur`an: "Maka disebabkan rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…"(QS. Ali ‘Imran/3: 159)

Ayat ini secara khusus ditujukan Rasulullah saw, namun, secara umum, adalah dimaksud untuk mendidik umatnya, bagaimana car amenyikapi orang yang menolak kebenaran yang disampaikan kepadanya sebagai upaya untuk membangun sebuah komunikasi yang baik itu, yaitu dengan bersikap lembut dan santun, serta bertutur kata yang baik.[44]
Hanya saja, ayat ini juga memunculkan pertanyaan, apakah Rasulullah mendapatkan rahmat sehingga bersikap lemah lembut? Atau apakah Rasulullah bersikap lemah lembut, sehingga beliau memperoleh rahmat? Ayat di atas memang bisa dipahami secara berbalik, pertama, sebab rahmat Allah lah, Rasulullah saw bisa bersi­kap lemah lembut. Namun, pemahaman semacam ini akan mena­fikan suatu kenyataan bahwa Rasulullah adalah sosok yang berakhlaq sangat mulia. Bahkan, jauh sebelum turunnya ayat ini atau sebelum diangkat jadi Rasul. Oleh karena itu, penulis lebih cenderung memahami ayat tersebut dengan pemahaman kedua, yaitu bahwa rahmat dan keluhuran akhlaq menyatu secara berkelindan. Artinya, rahmat Allah tidak akan diberikan kepada hamba-Nya yang memang tidak layak untuk mendapatkannya.
Dengan demikian, ayat ini seharusnya dipandang sebagai bentuk penghargaan Allah kepada Rasulullah saw. Hasan al-Bashri berkata, "Ini merupakan akhlaq Rasulullah saw yang diutus oleh Allah untuk mendidik umatnya.[45] Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah menyandang dua predikat sekaligus, yaitu pemimpin agama dan pemimpin negara. Sebagai pemimpin agama, beliau telah berhasil mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan cara yang sangat indah, terutama sekali yang terkait dengan ajaran-ajaran yang memiliki tingkat sensisifitas yang tinggi di kalangan masyarakat.[46] Sedangkan sebagai pemimpin negara, beliau telah berhasil membangun sebuah negara, yang didasarkan pada politik kesejahtaraan bukan politik kekuasaan. Dalam hal ini, beliau telah mengajarkan kepada umatnya bahwa kemampuan bermeta­ko­munikasi secara tepat bukan saja untuk berkomunikasi yang berhasil, tetapi juga erat kaitannya dengan kesadaran diri sendiri dan orang lain.

Secara umum, upaya pembangunan komunikasi beradab bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Komunikasi dan Pendidikan
Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabbā-yurabbī-tarbiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempur­na­annya.

Dengan mengacu pengertian tersebut, maka pendidikan bu­kan­lah bersifat indokrinasi atau propaganda, akan tetapi, suatu proses yang bersifat komunikatif. Dalam hal ini, bisa digunakan prinsip-prinsip qaul maisūr, yaitu segala bentuk perkataan yang baik, lembut, dan melegakan; menjawab dengan cara yang sangat baik, benar dan tidak mengada-ada; mengucapkan dengan cara yang wajar. Semakin bertambah umur, maka metode yang digunakan tentu saja berbeda ketika masih anak-anak. Namun, secara prinsip tetap sama, yaitu melahirkan generasi yang berkaraker. Misalnya, pada saat su­dah dewasa, maka yang diterapkan adalah prinsip-prinsip qaul sadīd, yang di antaranya adalah tepat sasaran dan logis, memiliki kesesu­aian antara apa yang ada di dalam hati dengan yang diucapkan.

Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ gu­ru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelaja­ran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun komunikasi yang beradab tersebut.

b. Komunikasi dan Masyarakat
Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat meru­pakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipenga­ruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks mem­ba­ngun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehen­daki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan sema­ta-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, kelu­huran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks mem­bangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengeta­hu­an­nya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan mem­provokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersa­ma-sama saling memuliakan kemanusiaannya.

Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan ka­rak­ter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan penga­ruh dan kekuasaanya. Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir'aun: "Dan Fir'aun berkata, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku…"Melalui kata-katanya ini Fir'aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir'aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup­nya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa as.

c. Komunikasi dan Dakwah
Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da’i. Sebagai da'i, ia seantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengkomunikasikan ajaran Islam, justru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.

Dalam firman Allah dinyatakan: "Hendaklah ada di antara kamu, suatu umat yang selalu mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar " (QS. Ali ‘Imran/3: 104). Ayat tersebut memberi arahan kepada setiap anggota masyarakat, terutama umat muslim, agar selalu mengajak kepada kebaikan (al-khair), memerintahkan dengan ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Tentu saja, bukan tanpa sengaja jika ayat ini mendahulukan, da'wah ilā al-khair dari pada al-amr bil-ma'ruf. Meskipun dari sisi penerjemahan keduanya bisa saja memiliki arti yang sama, yaitu 'kebaikan', namun oleh para ahli tafsir, kata al-khair dipahami sebagai kebaikan yang bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, kepedulian sosial, dan lain-lain. Artinya, konsep ini juga harus dipandang sebagai konsep universal. Dengan demikian, mengajak kepada al-khair, sebenarnya juga menjadi concern bagi agama-agama di luar Islam. Sebab, setiap agama selalu menghendaki terciptanya kehidupan yang harmonis, aman, tentram, saling meng­hormati sesama, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus memiliki komitmen yang sama untuk peduli terhadap segala bentuk prilaku-prilaku anti sosial yang terjadi di masyarakatnya. Dalam hal ini, umat muslim harus senantiasa tampil yang terdepan untuk menyeru atau mengkomuni­kasikan, sekaligus memberi keteladanan.

Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah saw sewaktu berada di Madinah; dan ini merupakan bukti konkrit dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur'an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Madinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengkomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi, maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur'an, sebgaimana diuraikan, secara konsisten.

Catatan Akhir
[1] Lihat, antara lain, al-Thabari, Jami' al-Bayān, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid 13, juz 27, h. 114-115, al-Shabuni, Mukhtashar Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Rasyad, tt.), jilid 3, h. 415, Al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf.
[2] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis, Isa al-Babī al-Halabī, 1384 H), jilid 17, h. 4243
[3] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), cet. ke-10, h. Kata Pengantar.
[4] James G. Robbins dan Barbara S. Jones, Komuniasi Yang Efektif, terje­mahan Turman Sirait, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), h. 3
[5] Lihat al-Sakhawi, al-Maqāshid al-Hasanah, (Beirut: Dar al-Hijrah, 1986), h. 319
[6]Jalaluddin Rahmat dalam majalah al-Hikmah, diterbitkan oleh Yayasan al-Muthahhari, Bandung, halaman iftitah.
[7] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual, (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), cet. ke-4, h. 63.
[8] Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi, h. 9
[9] YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi, Jakarta, GRASINDO, 1998), h. 69.
[10] Onong Uchana, Ilmu Komunikasi, h. 10
[11] Al-Thabari, Jāmi' al-Bayān, jilid 5, h. 153.
[12] Ibn 'Asyur, al-Tahrir, jilid 4, h. 978.
[13] Al-Ishfahani, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'an, (Beirut: Dar al-ma'rifah, tt.), ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, h. 60.
[14] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2, h. 468.
[15] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term karama, h. 428.
[16] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 429.
[17] Sayyid Quthb, Fī Zhilāl al-Qur'ān, juz 13, h. 318.
[18] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, juz 15, h. 70
19]] Al-Qurthubi, Al-Jāmi' li ahkām Al-Qur'ān, jilid 10, h. 107
[20] Al-Qurthubi, al-Jāmi', jilid 10, h. 107.
[21] Al-Razi, Mafātīh al-Ghaīb, jilid 20, h. 155.
[25] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, pada term 'arafa, h. 331.
[26] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 4, h. 252 dan al-Sya'rawi, Tafsīr al-Sya'rawi, jilid 4: 2016
[27] Al-Razi, Mafātīh, jilid 9, h. 152.
[28] Al-Razi, Mafātīh, jilid 9, h. 161.
[29] Al-Razi, Mafātīh, jilid 25, h. 180.
[30] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 16, h. 225
[31] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 16, h. 225
[32] Sayyid Quthb, Fī Zhilāl, juz 13, h. 474.
[33] Al-Razi, Mafātīh, jilid 22, h. 51.
[34] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 14, h. 3402.
[35] Al-Razi, Mafātīh, juz 9, h. 199.
[36]Al-Razi, Mafātīh, juz 9, h. 199. mengutip dari al-Zamakhsyari
[37] Rasyid Ridha, al-Manār, jilid 4, h. 327
[38] Al-Sya'rawi, Tafsir al-Sya`rāwī, jilid 4, h. 2021.
[39] Ibn 'Asyur, al-Tahrīr, jilid 14, h. 3403.
[40] Al-Ishfahani, al-Mufradāt, h. 217.
[41] Al-Razi, Mafātīh, jilid 23, h. 17 dan Al-Thabari, Jami', jilid 10, juz 17, h. 154.
[42] Dalam sebuah hadis dinyatakan, sebagaimana yang dikutip oleh al-Qurthubi: إن من أكبر الكبائر الإشراك بالله وعقوق الوالدين وشهادة الزور وقول الزور
[43] Al-Qurthubi, al-Jāmi', jilid12, h. 24.
[44] Al-Shabuni, Mukhtashar..., jilid I, h. 331.
[45] Al-Shabuni, Mukhtashar..., jilid I, h. 331
[46] Bisa dilihat pada peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surah al-Lahab, (lihat Al-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn katsir, jilid 3, h. 689 dan Al-Thabari, Jami' al-Bayan, juz 30, jilid 15, h. 336

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib, al-Mufradat fi al-Gharib al-Qur`an, Mesir: Mushthofa al-Bab al-halabi, 1961.
Baqi, Muhammad Fuad Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li alfazh al-Qur`an al-Karim, Beirut: Dar al-Fikr. Cet. IV. 1994.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirat bin Bardizbat, Shahih al-Bukhari, Mesir: Dar al-Mathabi’ al-Sya’b, t. th.
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet XII, 1999.
Al-Fairuzzabadi, Majd al-Din Muhammad bin Ya’qub, al-Qamus al-Muhith, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Al-Manzhur, Abu al-Fadhl jamal al-Din Muhammad bin Mukram ibn, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Al-Maraghi, Mushthofa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Kairo: al-Masyad al-Husaini, t. th.
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khakayak dan Efek, penerjemah Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. II, 2000.
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet. X, 1996.
----------Retorika Modern: Pendekatan Praktis, Bandung: Remaja Ros­da­karya, cet. V. 2000.
Al-Razi, Fakhr al-Din, al-Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Al-Shabuni, Muhammad Ali, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Rasyad, t. th.
Shihab, Muhammad Quraish, Wawasan al-Qur`an, Bandung: Mizan, cdet. II, 1996.
----------Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1995.
Susanto, Astrid S., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Bina Cipta), cet. V, 1986.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din Abd al-Rahman, al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Beirut: dar al-Fikr, 1983.
Al-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad, Fath al-Qadir, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Al-Syinqithi, Muhammad al-Amin, Adhwa’ al-Bayan fi Idhah al-Qur`an bi al-Qur`an, Beirut: Dar ‘Alam al-Kutub, t. th.
Al-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir Ayi al-Qur`an, t. th.
Thabathaba’I, Muhammad Husein, Tafsir al-Mizan, Teheran: Dar Ihya’ al-Tuarts, al-‘Arabi, t. th.
Umari, Akram Dhiyauddin, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis kehi­dupan Zaman Nabi, (Jakarta: Gemma Insani Press), 1999.
Al-Zarkasyi, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdillah, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur`an, Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah ,t. th.

No comments: